Sebut aku sebagai manusia paling egois
di dunia.
Manusia monokrom yang katamu hanya kenal
kepastian dan satu ketidakpastian.
Yang katamu, kalau tidak ‘ya’ maka itu
harus berarti ‘tidak’.
Ya, aku memang membiasakan diriku untuk
tak mengenal kata ‘mungkin’.
Lalu tiba-tiba kamu, manusia super
lengkap yang pernah kukenal,
mendadak membawaku melintasi apa-apa
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Duniamu yang selalu kusebut terlalu
ramai,
namun kamu yang selalu mengatakan bahwa
aku hanya terlalu mencintai sepi.
Padahal bukan itu, aku manusia biasa,
yang takut sendiri dan sebenarnya sangat
benci sepi.
Kamu hanya belum paham.
Hanya belum tahu bahwa dibalik manusia
super egois ini,
aku cuma manusia yang punya macam-macam
kesedihan.
Yang terlalu kenyang dengan kehilangan,
yang sampai akhirnya mencetakku menjadi
sosok super kaku,
yang tak kenal warna abu-abu.
Katamu, aku terlalu hitam untuk menjadi
putih.
Dan sebaliknya, mampu pula aku menjadi
terlalu putih untuk menjadi hitam.
Bagimu, aku garis tegas yang tahu kemana
harus melangkah,
yang paham betul tiap-tiap keputusan
yang harus kuambil.
Sementara aku menyebutmu sebagai garis
lengkung,
yang tak beraturan,
dan punya cabang tak terhitung.
Garis-garis yang hanya akan membuat
mataku berkunang-kunang tak karuan,
dan kepalaku pening bukan kepalang.
Kukatakan padamu sekali lagi, kamu punya
terlalu banyak warna.
Kamu punya terlalu banyak pintu, yang
hampir kesemuanya kamu biarkan terbuka lebar.
Membiarkan siapa saja memasukinya tanpa ketuk
pintu lebih dulu.
Membiarkan mereka melakukan apa saja
disana,
tanpa sadar bahwa kecerobohanmu bisa
saja membuat mereka tahu apa saja kelemahanmu,
lalu membunuhmu pelan, selagi kamu
ketiduran.
Lalu kamu tertawa keras mendengar
ucapku.
Kamu bilang imajinasiku keterlaluan.
Dan lebih parahnya, kamu bilang aku
terlalu memuja ketakutan.
Bukannya itu tak salah?
Bukankah memang semakin lebar kita
membuka pintu,
maka semakin banyak pula yang ingin
masuk?
Dan kalau sudah banyak yang masuk,
bukankah jauh lebih besar juga
kemungkinan kita dihancurkan oleh mereka?
Lagi-lagi tawamu mengeras.
Menyuruhku mengendalikan bayangan di
kepalaku,
agar tak menjadi ketakutan yang tanpa
sebab.
Aku tak mengerti, ada sebuah ruang
egoisku yang tak mau begitu saja mengiyakan pintamu.
Kamu tak paham.
Aku, si manusia paling egois di dunia
ini,
tentu tak mau begitu saja membiarkan
kamu,
yang jelas telah menjadi satu-satunya di
dalam hati,
dapat dilihat oleh siapapun.
Kamu benar, aku memang hanya mengenal kepastian
dan satu ketidakpastian.
Sementara kabar yang masih kukuh
kusembunyikan darimu,
adalah kejelasanku jatuh cinta kepadamu.
Sosok tak tergenggam yang menjadi alasan
kenapa aku masih memiliki satu ketidakpastian.
“Bisakah aku dan kamu yang bedanya
sejauh timur dari barat itu, menjadi satu, seperti laut berpeluk erat dengan
bibir pantai?”
Ketidaktahuanku menggenggam erat
ketidakpastian.
Kamu jelas tak tahu itu.
*fiksi*