Adakah yang tidak kamu pahami dari
cemburuku?
Adakah yang kurang jelas dari
permintaanku untuk tak lagi mau menemanimu berburu bahan penelitian?
Bukan, bukan karena aku tak suka pada
kebiasaanmu menjelajah hutan, mengitari kebun, ataupun berjalan tanpa sungkan
sepanjang sawah. Sama sekali bukan itu.
Atau jangan-jangan, tak terlihatkah
kerut cemberutku tiap kali kudapati mata gadis itu menjadi tempat jatuhnya
pandanganmu?
Oh ya, tentu kamu tak akan pernah
memahami itu.
Bukan salahmu.
Sama sekali bukan hal yang harus kamu
seriusi tahu,
karena memang aku selalu menjadi manusia
yang jauh lebih nyaman didalam bisu.
Kali itu aku tak lagi mau membalas
pesanmu.
Pesan yang mengingatkanku untuk tak lupa
bahwa Selasa besok, ada jadwal penelitian kebunmu, yang kamu mau, aku turut
ikut.
Kamu masih pula tak menyerah.
Mengirimiku satu demi satu pesan serupa.
Seolah tak membiarkanku lupa barang
semenit.
Lalu baiklah, aku menyerah kalah.
Rinduku pada tiap-tiap balasan pesanmu
ternyata jauh lebih besar dari rasa gengsi yang kupupuk baik-baik.
Lagi, kamu berhasil membuatku mengiyakan
ajakanmu.
Penelitian kesekian, dan yang
mengharuskanku bertemu gadis itu lagi.
Pertemuan yang mengharuskanku (lagi)
sesak tak karuan hanya karena mendapatimu tertawa bersamanya saat melihat jenis
bunga yang nama latinnya aku tak paham itu.
Pertemuan yang lagi-lagi memaksaku tahu,
aku hanya sedang membodohi diriku sendiri.
Kali itu aku memilih lebih banyak diam.
Diam, sembari memahami cemburuku yang
kutanggung sendirian.
Kamu tak paham.
Tak pernah benar-benar memperhatikan
bahwa disini ada aku,
yang tak keberatan menunggumu
mengambilkannya minuman lebih dulu sebelum aku.
Aku, yang tak keberatan membiarkanmu
membimbing tangannya saat menuruni bukit,
sementara aku hampir terpeleset
berkali-kali karena kepayahan.
Ya, payah melangkah, dan payah
menunggumu yang tak kunjung memahami keberadaanku.
Lalu sampai pada kalimat ini, masih
tidak pahamkah kamu?
Atas aku yang selalu cemburu, padahal
jelas-jelas aku tahu.
Ia kekasihmu, dan aku…
“Kamu teman terbaikku, sampai kapanpun.”
Ya, itu ucapmu yang dari dulu tak pernah
sedikitpun berubah bahkan meski kamu tahu,
aku selalu cemburu.
*fiksi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar