Aku
tak pernah bisa menahanmu pergi.
Itulah
satu-satunya alasan mengapa sampai saat ini aku juga tak pernah memintamu untuk
kembali. Semua sudah menjadi takdir, dan ketika jalan kita telah sampai kepada
tiap-tiap arahnya.
Maka hal yang bisa kulakukan hanyalah membiarkan Tuhan
mengaturnya untuk kita.
Untuk segala kebaikanmu—hal yang aku sendiri tak tahu,
apakah itu baik untukku atau tidak.
Sekali
aku melihatmu berpaling, maka aku tak pernah tahu lagi, kapankah kamu akan
dikembalikan lagi.
Dan hal itu bukan terjadi hanya sekali, semua selalu
berulang.
Sama halnya dengan saat-saat dimana aku tak pernah mampu untuk
meminta jawabmu, sekali pun.
Semua
selalu terjadi di dalam sebuah pengulangan.
Ketika
aku hanya bisa mengulaskan senyum selamat tinggal.
Senyum yang kuharapkan mampu
mewakilkan sejuta aksara, dan ratusan juta kata-kata yang selama bertahun-tahun
hanya mengendap didalam pikirku.
Hanya menghuni ruang bisu yang kuncinya telah
kusandikan dengan namamu.
Satu-satunya
namamu.
Dan tak sekalipun kuganti dengan yang lain.
Tak
ada yang pernah tahu tentang itu.
Tentang seberapa besar kekuatan juga
kesanggupanku untuk menunggumu di tempat yang sama. Tentang kerelaanku untuk
membiarkan hatiku tersangkut pada dahan-dahan yang sama ; atas nama perasaan
untukmu.
Mereka
tak pernah tahu, sedangkan aku selalu memimpikan waktu dimana kamu tahu
segalanya.
Tak
terhitung berapa kali mereka membisikiku untuk menyudahi rasa, namun tak
terhitung pula berapa kali aku menyatakan bahwa aku masih sanggup menantimu,
bahkan meski hanya untuk menunggumu menolehkan kepala.
Hatiku
tak pernah tahu kepastian yang mungkin bisa saja kamu berikan, nanti.
Tetapi
sialnya, seluruh kepercayaanku mengunci segala.
Menghabiskan seluruh keraguan,
dan sekali lagi mau memberikan kesempatan.
Entah
sampai kapan hal ini akan berulang, lagi dan demikian lagi.
Untukmu.
Akhirnya bisa blogging lagi setelah beratus-ratus abad ngadat (^^)9