Sabtu, Oktober 19, 2013

Tahun-tahun.


Aku tak pernah bisa menahanmu pergi.
Itulah satu-satunya alasan mengapa sampai saat ini aku juga tak pernah memintamu untuk kembali. Semua sudah menjadi takdir, dan ketika jalan kita telah sampai kepada tiap-tiap arahnya. 
Maka hal yang bisa kulakukan hanyalah membiarkan Tuhan mengaturnya untuk kita. 
Untuk segala kebaikanmu—hal yang aku sendiri tak tahu, apakah itu baik untukku atau tidak.

Sekali aku melihatmu berpaling, maka aku tak pernah tahu lagi, kapankah kamu akan dikembalikan lagi. 
Dan hal itu bukan terjadi hanya sekali, semua selalu berulang. 
Sama halnya dengan saat-saat dimana aku tak pernah mampu untuk meminta jawabmu, sekali pun.
Semua selalu terjadi di dalam sebuah pengulangan.
Ketika aku hanya bisa mengulaskan senyum selamat tinggal. 
Senyum yang kuharapkan mampu mewakilkan sejuta aksara, dan ratusan juta kata-kata yang selama bertahun-tahun hanya mengendap didalam pikirku. 
Hanya menghuni ruang bisu yang kuncinya telah kusandikan dengan namamu.
Satu-satunya namamu. 
Dan tak sekalipun kuganti dengan yang lain.

Tak ada yang pernah tahu tentang itu. 
Tentang seberapa besar kekuatan juga kesanggupanku untuk menunggumu di tempat yang sama. Tentang kerelaanku untuk membiarkan hatiku tersangkut pada dahan-dahan yang sama ; atas nama perasaan untukmu.
Mereka tak pernah tahu, sedangkan aku selalu memimpikan waktu dimana kamu tahu segalanya.
Tak terhitung berapa kali mereka membisikiku untuk menyudahi rasa, namun tak terhitung pula berapa kali aku menyatakan bahwa aku masih sanggup menantimu, bahkan meski hanya untuk menunggumu menolehkan kepala.
Hatiku tak pernah tahu kepastian yang mungkin bisa saja kamu berikan, nanti.
Tetapi sialnya, seluruh kepercayaanku mengunci segala. 
Menghabiskan seluruh keraguan, dan sekali lagi mau memberikan kesempatan.
Entah sampai kapan hal ini akan berulang, lagi dan demikian lagi. 

Untukmu.



Akhirnya bisa blogging lagi setelah beratus-ratus abad ngadat (^^)9