Perjalanan
menyenangkan.
Jujur
sampai saat ini aku sama sekali belum menemukan definisi tentang hal itu. Belum
sedikit pun. Entah mungkin karena aku bukan tipe manusia petualang, atau memang
sampai saat ini aku belum pernah berada di dalam sebuah perjalanan menyenangkan
itu sendiri.
Hidupku
bisa dibilang monoton, kalau mengutip komentar Sandra, adikku. Eight to five habis dibalik monitor.
Tenggelam dibalik catatan-catatan keuangan, hasil audit perusahaan, atau konsep
penawaran, yang sejujurnya memang sangat membosankan itu.
“Lo
butuh piknik beneran kayanya, Al..”
Ucapan
Sandra semalam entah kenapa begitu menggangguku sejak pagi tadi. Bermula dari
sebuah pesan singkat dari Kenan, pacarku. Laki-laki itu mengabarkan bahwa
pekerjaannya di Bandung sedang menumpuk, membuatnya tak bisa mengunjungiku di
Jakarta minggu ini. Tepat satu bulan sejak kunjungan terakhirnya.
Pesan
singkat itu kubiarkan tanpa balasan. Dan tentu saja, pelampiasan kesalku adalah
Sandra. Satu-satunya adikku yang sekarang ikut menetap bersamaku, meninggalkan
kedua orangtuaku di Surabaya.
“Piknik
gimana maksud lo? Jalan-jalan? Hang out?
Bosen tau!”
Erangku
kesal sembari menelungkupkan badanku di sampingnya. Sedang gadis yang hanya
terpaut dua tahun denganku itu terlihat asyik sendiri dengan laptop di
depannya.
“Lo
butuh kesini, Al. Percaya sama gue. Biar pikiran lo nggak melulu stuck di kerjaan sama cowok lo yang
sibuknya kaya’ tiga presiden dijadiin satu itu..”
Kudongakkan
kepalaku ke arah laptop yang diangsurkan Sandra kepadaku. Gambar sebuah resort menurutku, dengan sebuah jembatan
kayu yang membelah laut biru jernih dibawahnya. Sedang langit diatasnya,
menggantungkan sunset yang sempurna.
Kali ini aku takjub.
“Bagus
banget, San. Dimana ini?”
Hampir
kuraih laptop putih itu sebelum akhirnya kembali dikuasi oleh Sandra.
“Lo
tertarik? Gue ada kenalan yang bisa bikin lo nyampe situ tanpa kesulitan sama
sekali. Mau?”
***
Lalu
disinilah aku sekarang. Bandara Soekarno-Hatta, sembari membawa sebuah travel bag sedang dengan peralatan yang
hampir semuanya dipersiapkan Sandra. Aku hanya tahu beres, sambil menitipkan
beberapa barang yang memang harus kupersiapkan sendiri.
“Lo
nggak usah khawatir apa-apa. Begitu nyampe Sepinggan, lo bakalan langsung lupa
sama gue. Yakin, deh..”
Sandra
yang mengantarku ke bandara lagi-lagi meyakinkan. Bahwa keputusanku mengambil
kesuluruhan jatah cutiku di kantor untuk sebuah perjalanan yang aku sendiri
masih tak yakin ini, adalah sebuah hal yang benar.
“Lebay,
lo! Ya udah jaga diri lo baik-baik, kalo ada butuh apa-apa lo bilang aja..”
Kurapikan sekali lagi bawaan di dalam tas kecilku. Ponsel, dompet, tiket, powerbank, headset, dan lagi-lagi sebuah buku.
“Lo
nggak bakalan butuh ini lagi selama disana, Alsa.” Sandra tiba-tiba meraih
bukuku.
Dan
sebelum aku kembali mendapatkannya, gadis itu sudah terlebih dulu mengecup
pipiku.
“Have a nice travel, Al. Lupain kehidupan
Jakarta lo sebaik mungkin disana. Have
fun, ya..”
Kali
ini aku tersenyum.
***
Perjalanan
Jakarta-Balikpapan sama sekali tak terasa melelahkan buatku. Pilihanku pada window seat ternyata membuat keinginanku
untuk lelap sepanjang penerbangan, lenyap seketika. Kumpulan awan yang serupa
kapas ternyata membuatku takjub tanpa sebab.
Mungkin
ini yang disebut Sandra sebagai kurang piknik, pikirku cepat.
Dan
lagi-lagi ketika pesawat tiba diatas Kalimantan, takjubku kembali mencatat
sesuatu. Paru-paru dunia yang mulai kritis, mengutip sebuah kalimat dari
artikel yang pernah kubaca tentang hutan-hutan di Kalimantan yang mulai rusak.
Agak sayang sebenarnya, namun perlahan kuhapus komentar itu. Menanti sebuah
kejutan yang sudah dipersiapkan pulau itu untukku setelah ini.
Sekitar
lima belas menit kemudian aku sudah menginjakkan kakiku di bandara Sepinggan.
Masih terlalu pagi untuk ukuran sebuah ramai yang asing menurutku.
Kuaktifkan
kembali ponselku, mencoba menghubungi sebuah nomor yang sedari kemarin
diberikan Sandra kepadaku.
“Halo,
benar saya sedang bicara dengan Galuh? Saya Alsa, kakaknya Sandra..”
Kemudian
telepon singkat itu mengantarku menemui Galuh, seorang gadis seusia Sandra yang
ternyata sudah menungguku di luar bandara, sesuai perintahnya.
***
“Hai,
Kak. Aku Galuh, temannya Sandra..” Gadis berkulit sawo matang, dengan rambut
panjang ekor kudanya itu menyalamiku dengan ramah. Sekilas aku mengamati
penampilannya, yang tak jauh beda dengan Sandra. Khas jiwa-jiwa muda yang masih
bebas.
“Panggil
Alsa aja, Luh. Senang ketemu kamu..”
Aku
balas menyalaminya. Dan entah kenapa aku merasa seolah sedang bersama Sandra
sekarang. Terlalu banyak kemiripan yang dimiliki Galuh dengan adikku itu.
Ah,
kenapa tiba-tiba aku rindu sosok pecicilan itu, ya?
“Oh
iya, Al habis ini kita cari makan aja dulu, ya? Soalnya penerbangan selanjutnya
masih tiga jam lagi. Kita jalan-jalan aja dulu..”
Aku
mengangguk setuju, dan memulai perjalanan kali ini dengan perasaan yang masih
aneh. Hangat dan asing yang bercampur. Perasaan kesukaanku.
***
“Balikpapan
ini nggak beda jauh sama Jakarta ya, Luh..”
Komentarku muncul ketika mobil Galuh mulai membelah jalanan Balikpapan yang tak kalah riuhnya dengan Jakarta.
Komentarku muncul ketika mobil Galuh mulai membelah jalanan Balikpapan yang tak kalah riuhnya dengan Jakarta.
“Gini
kok Sandra bilang aku disuruh ngelupain Jakarta..”
Galuh
hanya tertawa menanggapi komentar demi komentarku.
“Tujuan
kita kan bukan disini, Al. Ini cuma sebagian dari perjalanan yang sebenernya
masih jauh banget..” Lagi-lagi gadis itu bertingkah sok misterius seperti
Sandra. Membuatku memutuskan untuk diam, dan lagi-lagi menikmati perjalanan
yang dikatakan oleh Galuh.
***
Aku
merasa beruntung disambut oleh Galuh, karena selain sifat ramahnya dan seluruh
tanggungjawab perjalananku yang ditanggungnya, lagi-lagi kemiripannya dengan
Sandra-lah yang membuatku betah berlama-lama mengobrol tak jelas arah
dengannya. Mulai dari basa-basi tentang pekerjaan, makanan kesukaan, bahkan
sampai tentang Kenan (aku tak menduga akan membahas tentang itu), kubahas seru
dengannya.
“Flight sekitar satu jam, Al. Dan setelah
itu kamu boleh benar-benar lupa sama Jakarta-mu yang sesak..”
Ucapan
tegas Galuh lagi-lagi membuatku tertawa.
Dan
sepanjang satu jam penerbangan pun habis larut dalam keseruan yang diciptakan
oleh Galuh. Tentang cerita-ceritanya mengenai petualangannya di Raja Ampat,
pengalaman pertamanya diving di
Karimun Jawa, sampai patah hati pertamanya yang ia lebur habis di balik sunset Maratua.
“Aku
serasa travelling dengan dua orang
sekaligus, Luh. Kamu dan Sandra dibuat satu paket.”
Kali
ini Galuh terbahak mendengar pengakuanku.
“Bahkan
orangtuaku yang hanya mengenal Sandra lewat Skype
juga menyebutnya begitu, Al. Entah dari mana miripnya Sandra yang seputih salju
denganku yang gosong tak karuan ini..”
“Mirip
kalian bukan dari kulit atau fisik, Luh. Sikap, sifat, cara bicara, bahkan.. Ya
ampun, cara kalian menyilangkan kaki aja sama..”
“Mungkin
tanpa sadar kita dilahirkan kembar kali, ya?”
“Salah
dua diantara tujuh manusia yang katanya mirip itu, mungkin..” timpalku yang
lagi-lagi disusul tawa kerasnya.
***
Pukul
dua belas lebih kami tiba di bandara Berau. Galuh terlihat menghubungi seseorang
sampai pada beberapa menit kemudian, sebuah mobil menghampiri kami berdua.
Beberapa kali Galuh mengobrol dengan supir travel
kami dengan bahasa yang tak kupahami.
“Tujuan
kita setelah ini pelabuhan Tanjung Batu, Al. Lumayan, kita masih punya dua jam untuk
merem. Ini travel langgananku tiap
kali ke pelabuhan, kok..”
Penjelasan
singkat Galuh membuatku lega. Setidaknya ia paham tanpa perlu aku menjelaskan
apapun. Dan dua jam perjalanan kami menuju pelabuhan kali ini hanya terisi
dengkuran halusku dan Galuh.
***
“Welcome to the first vitamin sea,
Alsa!!!”
Teriakan
lantang Galuh mendadak membuatku ikut terbahak. Kali ini apa yang terhampar di
hadapanku hanyalah lautan biru, tak terlalu biru memang, namun cukup mampu
membuatku berdecak. Angin yang tak terlalu ribut, dan panas yang cukup membuatku
memicingkan mata, menyambut kedatanganku di pelabuhan siang itu.
“Ingat
Al, ini masih perjalanan. Belum tujuannya..”
Lagi-lagi
ucapan sok misterius Galuh memaksa ingatanku pulang pada Sandra. Mungkin ini
yang dinamakan seni perjalanan. Kerinduan akan pulang.
“Al,
itu boat-nya..”
Lamunanku
tersentak oleh tepukan pelan Galuh. Gadis itu rupanya sudah menawar sebuah boat untuk kami berdua. Dan sekali lagi,
perjalanan hangat bercampur asing ini diam-diam kunikmati.
***
Setengah
jam yang dikatakan Galuh untuk menempuh jarak Tanjung Batu ke Derawan ternyata
sama sekali tak terasa. Laut biru lagi-lagi menghipnotisku untuk tak terlalu
banyak berkomentar. Sementara beberapa kali aku terkena percikan air yang
biasanya tak begitu kusukai, nyatanya kali ini benar-benar sedang kunikmati.
“Gimana,
Al? Masih ingat Jakarta dan segala rumit ribet-nya, nggak?”
Suara
Galuh memaksa lamunanku berhenti. Aku tertawa kecil.
“Anehnya,
aku memang lupa sama Jakarta dan segala ketidakberaturannya itu. Tapi jujur aku
rindu manusia-manusianya, Luh..”
Baiklah,
kali ini aku terlalu melankolis. Tapi jujur, aku benar-benar berharap ada
Sandra disini.
Kenan..
Ah, manusia yang satu itu berhasil enyah sejenak dari ingatanku ternyata. Sedang
apa ia sekarang? Ah, lagi-lagi pikiran kekananakan itu.
Mungkin
itu yang membuatku selama ini tak tenang. Terlalu mengkhawatirkan hal
remeh-temeh yang tidak seharusnya menjadi beban pikiranku. Kenan sudah dewasa,
ia pasti paham dengan jadwal makannya sendiri. Tak sepertiku, yang terkadang
masih harus diingatkannya karena terlalu sering menunda. Ah, ternyata aku
se-kekanakan itu selama ini.
“Al,
udah sampe, nih..”
Takjubku
terhenti. Pemandangan didepanku kali ini sama persis dengan apa yang kulihat di
laptop Sandra. Laut biru (lagi-lagi) lengkap dengan jernihnya yang menampakkan
karang-karang di dalamnya. Dan tak tertinggal puluhan ikan kecil yang
berkejaran. Dan meski tidak, aku tetap merasa ini sempurna.
“A truly heaven on earth ya, Luh..”
Komentarku
disambut anggukan dan senyum lebar Galuh. Senyum lebar yang lagi-lagi membawa
serta ingatan perihal Sandra. Ah, pasti perjalanan ini lebih lengkap dengannya
serta. Keluhku tanpa sadar.
“Itu
resort pesanan Sandra, Al. Lengkap
dengan sunset dan sunrise yang dia pesan khusus untuk
kakak tersayangnya..”
Ucapan
Galuh membuat kelopak mataku mendadak hangat. Aku hanya tak menyangka, dibalik
sikapnya yang selalu kusebut pecicilan itu ia menyimpan perhatian yang teramat
besar untukku.
“Kamu
beruntung Alsa masih memiliki saudara perempuan. Aku sebenarnya iri terhadapmu.
Awalnya bukan aku yang menyukai travelling,
tapi kakakku, Gita. Tapi sayangnya Tuhan lebih menyayangi dia daripada aku dan
orangtuaku. Mimpi terbesarnya adalah pulau ini, dan bahkan sampai saat-saat
terakhirnya ia sama sekali belum sempat kesini..”
Kali
ini aku tercekat. Kali ini kami memilih duduk-duduk di dekat dermaga,
membiarkan angin laut menemani obrolan yang tak kusangka sama sekali ini.
“Aku
turut berduka, Luh..”
Itu
satu-satunya kalimat yang bisa kuucapkan, sembari berusaha merangkul pundaknya
yang lebih tinggi dariku itu. Kali ini aku bahkan bisa melihat sosok Galuh yang
rapuh, yang sama sekali berbeda dengan yang kucatat sejak pertemuan pertama
kami tadi.
“Penyakitnya
sama sekali nggak mengizinkan dia pergi kesini. Padahal kamu sendiri tahu kan,
berapa lamanya sih jarak tempuh Balikpapan ke sini? Aku nggak habis pikir soal
itu, Al. Sama sekali nggak ngerti konsep yang diterapkan takdir di kasus
Gita..”
Aku
tahu ingatan Galuh sedang kacau kali ini. Dan idenya untuk berdamai dengan
mengunjungi tempat ini sekali lagi, ternyata sama sekali tak memberi banyak
bantuan. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang telak memukul sadarnya.
“Patah
hatiku sembuh disini. Tapi tiap kali kesini, ingatan soal keinginan Gita sama
sekali nggak bisa bikin aku tenang, Al..”
Isak
Galuh tertahan ocehannya yang tanpa sadar.
“Luh,
nggak ada yang bisa kamu salahkan disini. Patah hatimu yang sembuh, dan
ingatanmu yang masih belum tenang itu juga nggak bisa kamu salahkan. Kamu mungkin
bisa merasa baik-baik aja, merasa tidak bermasalah, tapi selama hati kamu belum
berdamai, selamanya kamu akan seperti ini..”
“Berdamai
dengan masa lalu nggak selamanya harus dengan cara melupakan. Bahkan terkadang,
dengan belajar menerima apapun itu pahit atau manisnya, sudah bisa disebut
dengan berdamai, Luh..”
Aku
tak tahu darimana semua kata-kata yang meluncur keluar itu berasal. Entah dari
buku-buku yang pernah kubaca, artikel yang ku simpan, ataukah justru dari
Sandra.
Ya,
aku baru ingat. Sandra pernah mengatakan hal yang sama tepat ketika aku
memrotes masa lalu Kenan. Masa lalu yang dulu pernah beberapa kali kumaklumi,
namun tanpa sadar membuatku berkeluh beberapa kali.
“Apa
dengan mengakui bahwa kita tidak sedang baik-baik saja itu juga sudah termasuk
berdamai, Al?”
Kali
ini aku ikut diam.
Aku
tak tahu atas jawabanku sendiri. Mungkin selama ini aku terlalu sering
mengeluh. Aku belajar berdamai tetapi dengan cara yang salah. Terlalu jujur
mengeluhkan apapun nyatanya tak membuat semua ikut membaik.
“Ada
waktunya sendiri dimana kita harus mengakui kapan kita lemah dan ada waktunya
sendiri pula dimana kita harus berpura-pura kuat, Luh. Tidak selamanya bersikap
apa adanya akan membawa baik. Karena terkadang kita harus dituntut supaya mau
bergerak maju, kan?”
Kali
ini Galuh tersenyum.
“Aku
benar-benar menemukan Gita di dalam kamu, Al. Makasih, ya..”
Kali
ini Galuh memelukku. Mengalirkan kembali atmosfer hangat dan asing yang sejak
awal tadi menggelayuti perasaanku. Namun kali ini rinduku terasa semakin sesak.
Akan Sandra, Kenan, Mama, Papa..
Mungkin
ini yang disebut-sebut Sandra sebagai piknik yang ku butuhkan.
Mungkin
selama ini sikap kaku seolah membuatku luput dari hal-hal sederhana semacam
ini.
Tentang belajar memahami, belajar bersabar, belajar menunggu, dan yang lebih penting lagi, tentang sebuah tujuan.
Tentang belajar memahami, belajar bersabar, belajar menunggu, dan yang lebih penting lagi, tentang sebuah tujuan.
Selama
ini aku bekerja seolah tanpa tujuan.
Sandra
benar, gaji besar yang kuterima nyatanya tak cukup berhasil menutupi lubang
hatiku yang menganga.
Tentang
kerinduanku akan diriku sendiri.
Mungkin
ini yang disebut Sandra perjalanan besar.
Perjalanan
yang mengantarku kepada diriku sendiri.
Perjalanan yang hampir sama sekali tak pernah kulakukan.
Perjalanan yang hampir sama sekali tak pernah kulakukan.
Tak
sabar rasanya untuk segera tiba di Jakarta. Menceritakan bagaimana birunya laut
Maratua.
Menceritakan bagaimana sunset dan sunrise-nya yang lebih dari istimewa.
Menceritakan pertemuan demi pertemuan dan obrolan random-ku dengan beberapa turis asing yang menginap denganku. Menceritakan objek perjalanan impianku setelah kepulauan ini pada liburan kerjaku tahun depan nanti.
Menceritakan bagaimana sunset dan sunrise-nya yang lebih dari istimewa.
Menceritakan pertemuan demi pertemuan dan obrolan random-ku dengan beberapa turis asing yang menginap denganku. Menceritakan objek perjalanan impianku setelah kepulauan ini pada liburan kerjaku tahun depan nanti.
Tak
sabar juga rasanya setelah ini segera menelepon Kenan. Meminta maaf atas segala
tingkah kekanakan dan seribu satu macam keluhanku tentang laki-laki itu.
Ah, semoga marahnya tak pernah sebesar maafnya, Tuhan..
Ah, semoga marahnya tak pernah sebesar maafnya, Tuhan..
Tapi
jauh dari semua keinginanku setiba di Jakarta nanti, sepertinya memeluk
erat-erat Sandra, menempati urutan pertamanya.
***
PS : Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey" Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com