Jumat, Juni 26, 2015

A Travel to You



Perjalanan menyenangkan.
Jujur sampai saat ini aku sama sekali belum menemukan definisi tentang hal itu. Belum sedikit pun. Entah mungkin karena aku bukan tipe manusia petualang, atau memang sampai saat ini aku belum pernah berada di dalam sebuah perjalanan menyenangkan itu sendiri.
Hidupku bisa dibilang monoton, kalau mengutip komentar Sandra, adikku. Eight to five habis dibalik monitor. Tenggelam dibalik catatan-catatan keuangan, hasil audit perusahaan, atau konsep penawaran, yang sejujurnya memang sangat membosankan itu.
“Lo butuh piknik beneran kayanya, Al..”
Ucapan Sandra semalam entah kenapa begitu menggangguku sejak pagi tadi. Bermula dari sebuah pesan singkat dari Kenan, pacarku. Laki-laki itu mengabarkan bahwa pekerjaannya di Bandung sedang menumpuk, membuatnya tak bisa mengunjungiku di Jakarta minggu ini. Tepat satu bulan sejak kunjungan terakhirnya.
Pesan singkat itu kubiarkan tanpa balasan. Dan tentu saja, pelampiasan kesalku adalah Sandra. Satu-satunya adikku yang sekarang ikut menetap bersamaku, meninggalkan kedua orangtuaku di Surabaya.
“Piknik gimana maksud lo? Jalan-jalan? Hang out? Bosen tau!” 
Erangku kesal sembari menelungkupkan badanku di sampingnya. Sedang gadis yang hanya terpaut dua tahun denganku itu terlihat asyik sendiri dengan laptop di depannya.
“Lo butuh kesini, Al. Percaya sama gue. Biar pikiran lo nggak melulu stuck di kerjaan sama cowok lo yang sibuknya kaya’ tiga presiden dijadiin satu itu..”
Kudongakkan kepalaku ke arah laptop yang diangsurkan Sandra kepadaku. Gambar sebuah resort menurutku, dengan sebuah jembatan kayu yang membelah laut biru jernih dibawahnya. Sedang langit diatasnya, menggantungkan sunset yang sempurna. Kali ini aku takjub.
“Bagus banget, San. Dimana ini?”
Hampir kuraih laptop putih itu sebelum akhirnya kembali dikuasi oleh Sandra.
“Lo tertarik? Gue ada kenalan yang bisa bikin lo nyampe situ tanpa kesulitan sama sekali. Mau?”
***
Lalu disinilah aku sekarang. Bandara Soekarno-Hatta, sembari membawa sebuah travel bag sedang dengan peralatan yang hampir semuanya dipersiapkan Sandra. Aku hanya tahu beres, sambil menitipkan beberapa barang yang memang harus kupersiapkan sendiri.
“Lo nggak usah khawatir apa-apa. Begitu nyampe Sepinggan, lo bakalan langsung lupa sama gue. Yakin, deh..”
Sandra yang mengantarku ke bandara lagi-lagi meyakinkan. Bahwa keputusanku mengambil kesuluruhan jatah cutiku di kantor untuk sebuah perjalanan yang aku sendiri masih tak yakin ini, adalah sebuah hal yang benar.
“Lebay, lo! Ya udah jaga diri lo baik-baik, kalo ada butuh apa-apa lo bilang aja..” Kurapikan sekali lagi bawaan di dalam tas kecilku. Ponsel, dompet, tiket, powerbank, headset, dan lagi-lagi sebuah buku.
“Lo nggak bakalan butuh ini lagi selama disana, Alsa.” Sandra tiba-tiba meraih bukuku.
Dan sebelum aku kembali mendapatkannya, gadis itu sudah terlebih dulu mengecup pipiku.
Have a nice travel, Al. Lupain kehidupan Jakarta lo sebaik mungkin disana. Have fun, ya..”
Kali ini aku tersenyum.
***
Perjalanan Jakarta-Balikpapan sama sekali tak terasa melelahkan buatku. Pilihanku pada window seat ternyata membuat keinginanku untuk lelap sepanjang penerbangan, lenyap seketika. Kumpulan awan yang serupa kapas ternyata membuatku takjub tanpa sebab.
Mungkin ini yang disebut Sandra sebagai kurang piknik, pikirku cepat.
Dan lagi-lagi ketika pesawat tiba diatas Kalimantan, takjubku kembali mencatat sesuatu. Paru-paru dunia yang mulai kritis, mengutip sebuah kalimat dari artikel yang pernah kubaca tentang hutan-hutan di Kalimantan yang mulai rusak. Agak sayang sebenarnya, namun perlahan kuhapus komentar itu. Menanti sebuah kejutan yang sudah dipersiapkan pulau itu untukku setelah ini.
Sekitar lima belas menit kemudian aku sudah menginjakkan kakiku di bandara Sepinggan. Masih terlalu pagi untuk ukuran sebuah ramai yang asing menurutku. 
Kuaktifkan kembali ponselku, mencoba menghubungi sebuah nomor yang sedari kemarin diberikan Sandra kepadaku.
“Halo, benar saya sedang bicara dengan Galuh? Saya Alsa, kakaknya Sandra..”
Kemudian telepon singkat itu mengantarku menemui Galuh, seorang gadis seusia Sandra yang ternyata sudah menungguku di luar bandara, sesuai perintahnya.
***
“Hai, Kak. Aku Galuh, temannya Sandra..” Gadis berkulit sawo matang, dengan rambut panjang ekor kudanya itu menyalamiku dengan ramah. Sekilas aku mengamati penampilannya, yang tak jauh beda dengan Sandra. Khas jiwa-jiwa muda yang masih bebas.
“Panggil Alsa aja, Luh. Senang ketemu kamu..”
Aku balas menyalaminya. Dan entah kenapa aku merasa seolah sedang bersama Sandra sekarang. Terlalu banyak kemiripan yang dimiliki Galuh dengan adikku itu. 
Ah, kenapa tiba-tiba aku rindu sosok pecicilan itu, ya?
“Oh iya, Al habis ini kita cari makan aja dulu, ya? Soalnya penerbangan selanjutnya masih tiga jam lagi. Kita jalan-jalan aja dulu..”
Aku mengangguk setuju, dan memulai perjalanan kali ini dengan perasaan yang masih aneh. Hangat dan asing yang bercampur. Perasaan kesukaanku.
***
“Balikpapan ini nggak beda jauh sama Jakarta ya, Luh..” 

Komentarku muncul ketika mobil Galuh mulai membelah jalanan Balikpapan yang tak kalah riuhnya dengan Jakarta.
“Gini kok Sandra bilang aku disuruh ngelupain Jakarta..”
Galuh hanya tertawa menanggapi komentar demi komentarku.
“Tujuan kita kan bukan disini, Al. Ini cuma sebagian dari perjalanan yang sebenernya masih jauh banget..” Lagi-lagi gadis itu bertingkah sok misterius seperti Sandra. Membuatku memutuskan untuk diam, dan lagi-lagi menikmati perjalanan yang dikatakan oleh Galuh.
***
Aku merasa beruntung disambut oleh Galuh, karena selain sifat ramahnya dan seluruh tanggungjawab perjalananku yang ditanggungnya, lagi-lagi kemiripannya dengan Sandra-lah yang membuatku betah berlama-lama mengobrol tak jelas arah dengannya. Mulai dari basa-basi tentang pekerjaan, makanan kesukaan, bahkan sampai tentang Kenan (aku tak menduga akan membahas tentang itu), kubahas seru dengannya.
Flight sekitar satu jam, Al. Dan setelah itu kamu boleh benar-benar lupa sama Jakarta-mu yang sesak..”
Ucapan tegas Galuh lagi-lagi membuatku tertawa.
Dan sepanjang satu jam penerbangan pun habis larut dalam keseruan yang diciptakan oleh Galuh. Tentang cerita-ceritanya mengenai petualangannya di Raja Ampat, pengalaman pertamanya diving di Karimun Jawa, sampai patah hati pertamanya yang ia lebur habis di balik sunset Maratua.
“Aku serasa travelling dengan dua orang sekaligus, Luh. Kamu dan Sandra dibuat satu paket.”
Kali ini Galuh terbahak mendengar pengakuanku.
“Bahkan orangtuaku yang hanya mengenal Sandra lewat Skype juga menyebutnya begitu, Al. Entah dari mana miripnya Sandra yang seputih salju denganku yang gosong tak karuan ini..”
“Mirip kalian bukan dari kulit atau fisik, Luh. Sikap, sifat, cara bicara, bahkan.. Ya ampun, cara kalian menyilangkan kaki aja sama..”
“Mungkin tanpa sadar kita dilahirkan kembar kali, ya?”
“Salah dua diantara tujuh manusia yang katanya mirip itu, mungkin..” timpalku yang lagi-lagi disusul tawa kerasnya.
***
Pukul dua belas lebih kami tiba di bandara Berau. Galuh terlihat menghubungi seseorang sampai pada beberapa menit kemudian, sebuah mobil menghampiri kami berdua. Beberapa kali Galuh mengobrol dengan supir travel kami dengan bahasa yang tak kupahami.
“Tujuan kita setelah ini pelabuhan Tanjung Batu, Al. Lumayan, kita masih punya dua jam untuk merem. Ini travel langgananku tiap kali ke pelabuhan, kok..”
Penjelasan singkat Galuh membuatku lega. Setidaknya ia paham tanpa perlu aku menjelaskan apapun. Dan dua jam perjalanan kami menuju pelabuhan kali ini hanya terisi dengkuran halusku dan Galuh.

***
Welcome to the first vitamin sea, Alsa!!!”
Teriakan lantang Galuh mendadak membuatku ikut terbahak. Kali ini apa yang terhampar di hadapanku hanyalah lautan biru, tak terlalu biru memang, namun cukup mampu membuatku berdecak. Angin yang tak terlalu ribut, dan panas yang cukup membuatku memicingkan mata, menyambut kedatanganku di pelabuhan siang itu.
“Ingat Al, ini masih perjalanan. Belum tujuannya..”
Lagi-lagi ucapan sok misterius Galuh memaksa ingatanku pulang pada Sandra. Mungkin ini yang dinamakan seni perjalanan. Kerinduan akan pulang.
“Al, itu boat-nya..”
Lamunanku tersentak oleh tepukan pelan Galuh. Gadis itu rupanya sudah menawar sebuah boat untuk kami berdua. Dan sekali lagi, perjalanan hangat bercampur asing ini diam-diam kunikmati.
***
Setengah jam yang dikatakan Galuh untuk menempuh jarak Tanjung Batu ke Derawan ternyata sama sekali tak terasa. Laut biru lagi-lagi menghipnotisku untuk tak terlalu banyak berkomentar. Sementara beberapa kali aku terkena percikan air yang biasanya tak begitu kusukai, nyatanya kali ini benar-benar sedang kunikmati.
“Gimana, Al? Masih ingat Jakarta dan segala rumit ribet-nya, nggak?”
Suara Galuh memaksa lamunanku berhenti. Aku tertawa kecil.
“Anehnya, aku memang lupa sama Jakarta dan segala ketidakberaturannya itu. Tapi jujur aku rindu manusia-manusianya, Luh..”
Baiklah, kali ini aku terlalu melankolis. Tapi jujur, aku benar-benar berharap ada Sandra disini. 
Kenan.. Ah, manusia yang satu itu berhasil enyah sejenak dari ingatanku ternyata. Sedang apa ia sekarang? Ah, lagi-lagi pikiran kekananakan itu. 
Mungkin itu yang membuatku selama ini tak tenang. Terlalu mengkhawatirkan hal remeh-temeh yang tidak seharusnya menjadi beban pikiranku. Kenan sudah dewasa, ia pasti paham dengan jadwal makannya sendiri. Tak sepertiku, yang terkadang masih harus diingatkannya karena terlalu sering menunda. Ah, ternyata aku se-kekanakan itu selama ini.
“Al, udah sampe, nih..”
Takjubku terhenti. Pemandangan didepanku kali ini sama persis dengan apa yang kulihat di laptop Sandra. Laut biru (lagi-lagi) lengkap dengan jernihnya yang menampakkan karang-karang di dalamnya. Dan tak tertinggal puluhan ikan kecil yang berkejaran. Dan meski tidak, aku tetap merasa ini sempurna.
A truly heaven on earth ya, Luh..”
Komentarku disambut anggukan dan senyum lebar Galuh. Senyum lebar yang lagi-lagi membawa serta ingatan perihal Sandra. Ah, pasti perjalanan ini lebih lengkap dengannya serta. Keluhku tanpa sadar.
“Itu resort pesanan Sandra, Al. Lengkap dengan sunset dan sunrise yang dia pesan khusus untuk kakak tersayangnya..”
Ucapan Galuh membuat kelopak mataku mendadak hangat. Aku hanya tak menyangka, dibalik sikapnya yang selalu kusebut pecicilan itu ia menyimpan perhatian yang teramat besar untukku.
“Kamu beruntung Alsa masih memiliki saudara perempuan. Aku sebenarnya iri terhadapmu. Awalnya bukan aku yang menyukai travelling, tapi kakakku, Gita. Tapi sayangnya Tuhan lebih menyayangi dia daripada aku dan orangtuaku. Mimpi terbesarnya adalah pulau ini, dan bahkan sampai saat-saat terakhirnya ia sama sekali belum sempat kesini..”
Kali ini aku tercekat. Kali ini kami memilih duduk-duduk di dekat dermaga, membiarkan angin laut menemani obrolan yang tak kusangka sama sekali ini.
“Aku turut berduka, Luh..”
Itu satu-satunya kalimat yang bisa kuucapkan, sembari berusaha merangkul pundaknya yang lebih tinggi dariku itu. Kali ini aku bahkan bisa melihat sosok Galuh yang rapuh, yang sama sekali berbeda dengan yang kucatat sejak pertemuan pertama kami tadi.
“Penyakitnya sama sekali nggak mengizinkan dia pergi kesini. Padahal kamu sendiri tahu kan, berapa lamanya sih jarak tempuh Balikpapan ke sini? Aku nggak habis pikir soal itu, Al. Sama sekali nggak ngerti konsep yang diterapkan takdir di kasus Gita..”
Aku tahu ingatan Galuh sedang kacau kali ini. Dan idenya untuk berdamai dengan mengunjungi tempat ini sekali lagi, ternyata sama sekali tak memberi banyak bantuan. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang telak memukul sadarnya.
“Patah hatiku sembuh disini. Tapi tiap kali kesini, ingatan soal keinginan Gita sama sekali nggak bisa bikin aku tenang, Al..”
Isak Galuh tertahan ocehannya yang tanpa sadar.
“Luh, nggak ada yang bisa kamu salahkan disini. Patah hatimu yang sembuh, dan ingatanmu yang masih belum tenang itu juga nggak bisa kamu salahkan. Kamu mungkin bisa merasa baik-baik aja, merasa tidak bermasalah, tapi selama hati kamu belum berdamai, selamanya kamu akan seperti ini..”
“Berdamai dengan masa lalu nggak selamanya harus dengan cara melupakan. Bahkan terkadang, dengan belajar menerima apapun itu pahit atau manisnya, sudah bisa disebut dengan berdamai, Luh..”
Aku tak tahu darimana semua kata-kata yang meluncur keluar itu berasal. Entah dari buku-buku yang pernah kubaca, artikel yang ku simpan, ataukah justru dari Sandra.
Ya, aku baru ingat. Sandra pernah mengatakan hal yang sama tepat ketika aku memrotes masa lalu Kenan. Masa lalu yang dulu pernah beberapa kali kumaklumi, namun tanpa sadar membuatku berkeluh beberapa kali.
“Apa dengan mengakui bahwa kita tidak sedang baik-baik saja itu juga sudah termasuk berdamai, Al?”
Kali ini aku ikut diam.
Aku tak tahu atas jawabanku sendiri. Mungkin selama ini aku terlalu sering mengeluh. Aku belajar berdamai tetapi dengan cara yang salah. Terlalu jujur mengeluhkan apapun nyatanya tak membuat semua ikut membaik.
“Ada waktunya sendiri dimana kita harus mengakui kapan kita lemah dan ada waktunya sendiri pula dimana kita harus berpura-pura kuat, Luh. Tidak selamanya bersikap apa adanya akan membawa baik. Karena terkadang kita harus dituntut supaya mau bergerak maju, kan?”
Kali ini Galuh tersenyum. 
“Aku benar-benar menemukan Gita di dalam kamu, Al. Makasih, ya..”
Kali ini Galuh memelukku. Mengalirkan kembali atmosfer hangat dan asing yang sejak awal tadi menggelayuti perasaanku. Namun kali ini rinduku terasa semakin sesak. Akan Sandra, Kenan, Mama, Papa..
Mungkin ini yang disebut-sebut Sandra sebagai piknik yang ku butuhkan. 
Mungkin selama ini sikap kaku seolah membuatku luput dari hal-hal sederhana semacam ini. 
Tentang belajar memahami, belajar bersabar, belajar menunggu, dan yang lebih penting lagi, tentang sebuah tujuan.
Selama ini aku bekerja seolah tanpa tujuan.
Sandra benar, gaji besar yang kuterima nyatanya tak cukup berhasil menutupi lubang hatiku yang menganga. 
Tentang kerinduanku akan diriku sendiri.
Mungkin ini yang disebut Sandra perjalanan besar.
Perjalanan yang mengantarku kepada diriku sendiri. 
Perjalanan yang hampir sama sekali tak pernah kulakukan.
Tak sabar rasanya untuk segera tiba di Jakarta. Menceritakan bagaimana birunya laut Maratua. 
Menceritakan bagaimana sunset dan sunrise-nya yang lebih dari istimewa. 
Menceritakan pertemuan demi pertemuan dan obrolan random-ku dengan beberapa turis asing yang menginap denganku. Menceritakan objek perjalanan impianku setelah kepulauan ini pada liburan kerjaku tahun depan nanti.
Tak sabar juga rasanya setelah ini segera menelepon Kenan. Meminta maaf atas segala tingkah kekanakan dan seribu satu macam keluhanku tentang laki-laki itu. 

Ah, semoga marahnya tak pernah sebesar maafnya, Tuhan..
Tapi jauh dari semua keinginanku setiba di Jakarta nanti, sepertinya memeluk erat-erat Sandra, menempati urutan pertamanya.
***




PS : Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey" Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com