Ceritakan padaku
tentang apakah hal yang lebih menyesakkan jika dibandingkan dengan
keterasingan.
Benar-benar dikesampingkan, sendirian, dan sama sekali tidak tahu
bagaimana caranya menutupi kekosongan yang tanpa sadar muncul ke permukaan.
Sama sekali
kehilangan. Tanpa arah, begitu pun dengan tujuannya.
Aku tak sedang
membicarakan sebuah keluhan, ataupun paksaan pengertian pada siapapun.
Tidak tanpa
pengecualian.
Aku hanya sedang mencari tahu, kemana arah yang harusnya kuikuti.
Aku sangat ingin tahu, kemanakah aku sedang dilimbungkan.
Pada apakah aku
sedang dialurkan.
Aku benar-benar ingin tahu, sekaligus benar-benar tidak tahu.
Disini semua
masih sama. Bentuk, warna, rasa, semuanya masih sama.
Tetapi aku merasa tidak.
Aku
merasa semua perlahan membeda, perlahan berubah satu sama lain, dan akhirnya
tak lagi sama.
Salahkah pandanganku?
Mereka tersenyum.
Menghibur.
Menjaga.
Mengasihi.
Melindungi.
Tapi aku tetap merasa semua tidak
seperti itu.
Semua terasa
berbeda di mataku.
Semua terasa asing bagi penglihatanku.
Aku ketakutan.
Menggigil.
Kedinginan.
Dan aku tetap sendirian.
Orang-orang
bijak itu menasehatiku.
Mengatakan padaku tentang apa yang mereka ketahui
tentang masalahku.
Memberitahuku tentang hidup yang punya dua sisi. Susah dan
senang.
Tapi aku tahu itu.
Aku tahu, meskipun dengan malu kuakui juga, aku tak
pernah benar-benar memahaminya.
Tak pernah benar-benar bisa menelaah maksudnya.
Mereka tersenyum.
Saling pandang satu sama lain, seolah menyepakati sebuah jawaban untuk
diberikannya padaku.
“Kalau saja
masalahmu ini memberikan jalan keluar yang sesuai dengan harapanmu, kau mau
apa?” Salah satu dari mereka menanyakan ini padaku.
Aku diam sesaat.
Pikirku mulai meracik jawaban. Sediplomatis mungkin.
“Aku akan lebih
bersyukur dibandingkan detik ini..” Kuakhirkan sebuah senyum untuk jawabanku.
“Kalau ternyata
masalah ini, jalan keluarnya adalah hal yang paling tidak kau ingini, masihkah
kau mau bersyukur untuk itu?”
Aku diam. Benar-benar
diam. Otakku sama sekali tak sedang meracik jawaban.
“Kau tak tahu
jawabnya? Boleh kubantu menjawabnya?”
Seseorang lain
diantara mereka ikut bersuara.
“Kalau kau mau
mencari buku mana yang memuat jawabanku ini, aku sangat yakin bahwa kau akan
seribu kali lebih bersyukur, sekalipun jalan keluar masalahmu adalah kebencian
dan ketidaksukaanmu..”
“Maksud Anda?”
Aku benar-benar dibuat bingung dengan jawaban orang ini.
“Kau boleh
percaya, boleh juga tidak. Bahwa semua masalah, semua beban, yang akan, yang
telah, ataupun yang sedang ditimpakan kepadamu, sebenarnya telah sepaket dengan
jalan keluarnya. Hanya saja, sangat sedikit orang yang bisa melihat itu. Sangat
sedikit orang yang mau mencari jalan keluar itu. Mereka terlalu cepat takut,
terlalu cepat kecewa, pada apa-apa yang bahkan sebenarnya tidak mereka ketahui
sedikitpun..”
Aku tercengang. Perkataan
itu mulai menyentuh bibir pemahamanku.
“Banyak orang
yang terlebih dulu mendoktrin ketidaksukaan mereka pada istilah kemalangan. Dan
lebih banyak lagi, orang yang menyimpulkan bahwa apa-apa yang menyenangkan hati
mereka adalah sebuah keberuntungan. Padahal, apakah mereka benar-benar tahu, bahwa
itu memang sebuah kemalangan ataukah sebuah keberuntungan?”
Pemahamanku terbuka.
Meski tak sepenuhnya semua bisa kuterima tanpa sanggahan kecil.
Aku mulai
memikirkan racikan jawaban lain.
Tak peduli lagi apakah itu akan terdengar
diplomatis atau tidak.
“Ku jawab
pertanyaan Anda yang tadi. Bahwa sekalipun masalahku satu paket dengan jalan
keluar yang pernah kupanggil sebagai sebuah kemalangan, maka aku memutuskan
untuk lebih bersyukur lagi dibandingkan detik yang membisikkanku jawaban yang
kusukai tadi..”
Aku tersenyum.
Sekaligus
menangis.
Mengutuki kesendirian yang mengalamatkanku pada sebuah keegoisan pikir.
Yang hampir menjerumuskanku di dalam kebutaan arah.
Lagi-lagi aku diberi
pemahaman.
“Bukankah
Tuhan-ku lebih besar daripada apapun di semesta ini?”