Senin, Juli 29, 2013

mulai berhenti

Beberapa orang, datang ke dalam hidup dan hari saya. Lantas pelan-pelan menjelma dan melukiskan takdir yang berbeda di dalam cerita saya. Menunjukkan, dan sekaligus memberikan sebuah pemahaman dan pengertian kepada saya mengenai konsep "menemukan hal baru". Dan didalam hal ini, mereka berhasil menunjukkan dua cara yang bagi saya saling bertolak belakang itu.

Yakni yang pertama adalah konsep menemukan dengan cara memulai. Entah itu memulai dalam bentuk apapun. Dan sebagai contohnya, kamu tentu tidak akan menemukan teman baru jika kamu tidak mau memulai sebuah pertemanan, bukan?

Lantas pelan-pelan konsep sederhana tentang memulai tadi menyusur ke dalam sebuah jalinan yang membutuhkan pemahaman lebih dari saya.
Dimana kamu yang awalnya menaruhkan rasa ketidakpedulian, mendadak secara sukarela 'mulai' belajar memperdulikan. Belajar melupakan bagaimana itu caranya mengabaikan, apapun, dan dengan detil sekecil apapun. Belajar menyediakan waktu lebih banyak hanya untuk mulai mempelajari bagaimana caranya untuk tahu lebih banyak hal, mengenai apapun itu.

Dan memang benar. Konsep menemukan hal baru tadi berjalan seiring dengan kegiatan memulai yang kamu lakukan tadi.
Kamu akan merasa lebih ringan, atau singkat katanya ; bahagia dengan sederhana. Dan itu hanya karena memulai sesuatu yang membuatmu lebih banyak ingin tahu itu.

Hingga proses menemukan hal baru tadi perlahan merumit. Lantas tanpa sadar mengajak kita--kamu, dan aku--menuju ke dalam jalinan kejenuhan. Dan satu-satunya hal yang bisa kita lakukan didalam kejenuhan itu hanyalah merasa bosan.
Entah kelanjutan apa yang akan kamu lakukan di dalamnya nanti, entah membunuh rasa bosa itu, ataukah justru menikmatinya, meski kamu sendiri tahu ; tak ada kata nikmat di dalam kamus kejenuhan itu sendiri.
Ataukah kamu tetap bertahan, dan berusaha mempertahankan diri untuk tetap tegak didalam kejenuhan tanpa kejelasan itu.

Dan hal itu yang membuat saya memikirkan ulang tentang konsep menemukan itu tadi.
Saya hanya berfikir, jika dengan memulai tadi saya berhasil menemukan. Maka apa yang akan terjadi jika saya menghentikan diri?

Menghentikan.
Hal itu yang membuat saya sedikit lega sekarang. Tentang bagaimana saya yakin, bahwa saya akan kembali menemukan hal baru tadi dengan melakukan apa titik tolak kegiatan memulai yang saya awali sejak lama itu.
Yakni dengan cara menghentikan apa yang telah saya mulai tadi.
Dimana kepedulian yang sejak awal saya bangun secara susah payah itu, pelan demi pelan saya hentikan.
Dimana pembelajaran saya mengenai bagaimana itu caranya melupakan pengabaian, lambat laun ikut saya akhiri.
Dan pada satu titiknya, satu-satunya hal yang berhasil saya lakukan adalah berhenti menyudahi bentuk pencarian itu sendiri.
Menyudahi apa yang saya awali.
Dan menghentikan--benar-benar tidak ingin lagi--melanjutkan apa yang telah saya mulai tadi.

Dan semuanya bukan tanpa tujuan. Karena semata yang saya inginkan hanyalah mendapatkan kembali konsep 'menemukan sesuatu yang baru' tadi.
Dan sekali lagi, mereka benar.
Saya kembali mendapatkan sesuatu yang baru itu sejak menghentikan pencarian saya tadi.
Dimana dengan tidak memperdulikan, saya justru mendapatkan kembali apa yang selama ini saya cari-cari.
atau,
dimana dengan mengabaikan, saya justru merasa lebih tenang.
Tenang. Karena saya tidak perlu mengkhawatirkan apapun.
Tidak perlu membuang-buang rasa ingin tahu saya yang hampir selalu berlebih itu.
Tidak perlu merasa penasaran.
Dan itu semua bukan karena saya tidak lagi punya apa itu yang disebut perasaan, melainkan lebih karena saya tidak lagi mengetahui apapun tentang sesuatu yang awalnya menarik perhatian saya tadi.
Benar-benar tidak tahu lagi.
Apapun itu.

Senin, Juli 22, 2013

Project with Fatur #1



Point of view : Woman

Sekali lagi gadis itu mengecek bajunya, sekadar merapikan cardigan cream yang sebenarnya sudah melekat manis di tubuhnya. Perhatiannya beralih kepada rambut lurus panjangnya, entah harus digerai tanpa pemanis sedikitpun, ataukah harus dikuncir tinggi agar membuatnya terlihat lebih segar.

Ia mengatur nafasnya dengan sedikit susah payah. Hari ini akan ada sebuah momen aneh sekaligus langka yang akan terjadi di dalam sejarah hari-nya. 

Pergi makan malam dengan Brian.

Ya, Brian. Teman kuliahnya yang selama ini mencatat predikat “The most unpredictable person” di kelasnya. Sebenarnya ia bukan golongan laki-laki berandalan atau semacam sosok misterius yang lebih suka duduk di pojokan kelas. Bagi Marsha, Brian hanyalah sosok yang selalu punya dua sisi. Air sekaligus api. Sedikit tengil sekaligus menenangkan dalam sekali waktu. 

Tetapi untuk kali pertama—sejak satu semester mereka kuliah di jurusan dan kelas yang sama—Marsha mendapatkan permintaan langka dari anak itu.

Setelah memastikan bahwa penampilannya malam ini tidak terlihat berlebihan, sekaligus tidak juga terlihat lusuh. Marsha memutuskan untuk segera berangkat ke tempat yang ia janjikan dengan laki-laki itu.

Sepanjang perjalanan, Marsha tidak henti-hentinya merapal doa. Berharap dengan begitu ia tidak perlu tiba dihadapan Brian dalam keadaan gugup. 

Kurang dari setengah jam Marsha sudah menginjakkan kakinya di restoran tempatnya membuat janji dengan Brian. Gadis itu buru-buru masuk dan mencari dimana Brian sudah menunggunya kali itu.

Ia menyusuri hampir seisi ruangan dengan kedua matanya, sampai akhirnya pandangannya jatuh tepat kearah sudut ruangan. Dimana sosok yang dikenalinya (karena ia adalah Brian), sekaligus sosok yang membuatnya pangling—atau lebih tepatnya ; terpesona—sesaat (karena begitu rapinya anak itu berdandan malam ini).

“Bri.. Sudah lama nunggu?” 

Marsha memutuskan untuk menghampiri Brian terlebih dulu karena sepertinya ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Marsha kali itu.

Seketika mata mereka berhenti dalam satu titik. Dan jika boleh mengakui, baru kali ini Marsha melihat mata Brian. Benar-benar melihat mata bulat itu dari jarak yang hampir tidak pernah ia dapati sebelumnya. Cokelat muda. Satu hal yang Marsha catat sebagai warna iris mata laki-laki itu, sebelum ia memutuskan untuk tersenyum dan mengendalikan detak jantungnya yang mempercepat frekuensinya tanpa ijin.

“Belum kok. Duduk dulu aja, Sha..”

Marsha mencatat banyak perbedaan dari penampilan Brian malam ini. Kemejanya. Sepatunya. Wajahnya. Rambutnya, dan jika masih boleh ditambah, Marsha bahkan bisa mencium bau parfum segar yang dikenakan oleh laki-laki itu. Membuat pipinya menghangat seketika.

Mungkin ini terlalu cepat disimpulkan. Sekaligus terlalu cepat untuk memberikan nama pada perasaan yang mendadak menyerbu hatinya kali ini. Perasaan janggal, sekaligus menyenangkan yang bahkan belum pernah dibayangkannya untuk muncul akibat keberadaan sosok Brian.

Tetapi Marsha berkali-kali meyakinkan. Ia tidak mungkin jatuh cinta secepat ini pada sosok Brian. Ya, tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin.. atau, belum mungkin?
Entahlah. Karena pelayan restoran sudah terlebih dulu datang dan mengacaukan segala macam prasangka yang mulai terbangun di dalam benak Marsha. Tentang Brian.





PS : Sip, awal yang bagus Tur buat part-mu. Semoga part-ku ini cukup bisa membantu kelanjutan ceritanya ya. Happy writing too !

Rabu, Juli 17, 2013

Berhenti, lalu Jatuh Cintalah Sekali Lagi.

Aku benci berada disini. Pada udara sejuk dan semilir angin yang menabuh daun-daun jati itu perlahan. Benci pada setiap gemericik air yang mengalir dari pancuran bambu di dekat kakiku saat ini. Benci pada harumnya bau tanah yang baru saja tersiram hujan.
Dan hampir membenci semuanya yang ada disini. Disini, di tempat yang bahkan namanya saja tak ingin kuingat-ingat lagi. Benar-benar ingin kuhapus, walaupun sebenarnya aku sendiri tahu. Tak akan pernah ada yang terhapus dari tempat ini.
Perjalananku dari Jakarta ke tempat ini memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Dimana beberapa jamnya masih harus dibagi lagi sebagai perjalanan dengan pesawat, dan mobil pribadi milik Nabila, sepupuku yang paling antusias menyambut kepulanganku kali ini.
“Mbak Mel harus tahu, Tulungagung sudah berubah banyak setelah Mbak hijrah ke Jakarta.. Nggak ada lagi yang namanya jalan berbatu yang dulu Mbak Mel bilang jalanan penuh perjuangan itu..” Nabila tersenyum lebar, seolah meyakinkan sikapku yang sejak tiba di bandara sudah menunjukkan ketidak-antusiasan sama sekali.
“Tambah macet ya, Bil..” Sengaja kutanggapi sedikit celotehan gadis SMA itu. Aku hanya ingin bersikap sopan, apalagi Nabila juga sudah berbaik hati mau menjemputku di bandara.
“Itu kan baru Panglima Sudirman, Mbak.. Sekarang, malah daerah jalanan favorit Mbak Mel yang kaya’ syuting video klip itu, macetnya nggak kalah sama Sudirman-nya Jakarta, Mbak..” Mulut Nabila masih tak hentinya bercerita. Kulirik sekilas matanya, dan tak ada sedikitpun kebohongan yang bisa kudeteksi disana.
“Nanti sore ajakin aku lewat situ dong..”
Nabila menghentikan ocehannya, lantas menatapku sekali lagi.
“Mbak Mel yakin? Aku pernah kejebak macet dua jam setengah lho disitu..” Ia melebarkan matanya. Sepertinya ia merasa sedang salah dengar begitu mendapati permintaan pertamaku hari ini.
“Yakin. Aku mau memastikan, apa jalanannya masih suka kotor kaya’ dulu apa nggak..” Seketika Nabila tertawa mendengar jawabanku.
“Ada-ada aja Mbak.. Yang jelas, Mbak Mel bakalan pangling deh sama Tulungagung yang sekarang. Aku yakin..”
Alisku tertaut. Entah kenapa, terbersit rasa tidak suka saat mendengar kalimat terakhir Nabila tadi. Seolah ada kesan bahwa aku sudah benar-benar ketinggalan jauh soal perkembangan kota kecil-ku ini.
Apalagi sekarang Bapak, Ibu dan Dimas kakakku, semuanya sudah ikut menetap di Jakarta dan membuka toko barang antik di salah satu gerai di kawasan Mangga Dua. Praktis kami hanya pulang setahun sekali.
Tempat ini. Hampir selalu memiliki dua sisi bagi pengetahuanku. Dimana sisi yang lain menawarkan kemegahan. Sedangkan sisi lainnya, menyisakan atmosfer lawas yang membuatku masih saja mencium aroma masa kecil disitu.
Aroma khas yang menemaniku tumbuh, dan sampai akhirnya memutuskan untuk melepas dua sisi antik itu, dan melenggang jauh ke Jakarta.
Ponsel di saku celanaku bergetar menandakan telepon masuk. Nama Yusa lengkap dengan fotonya yang tersenyum menatap kamera, terlihat berkedip-kedip meminta untuk segera diangkat.
Sebenarnya tidak sabar untuk segera memberi kabar pada laki-laki itu. Tentang tempat yang lebih sering kujanjikan daripada kuceritakan keberadaannya. Tempat yang selalu menggelitik rasa penasarannya, yang juga tanpa alasan itu.
“Pacar Mbak Mel mirip Dimas Aditya deh..” Celetukan ringan Nabila kembali membuatku tergeragap dari lamunan. “Diangkat dong Mbak, keburu senyumnya kering lho..” Aku kembali tertawa dibuatnya.
“Halo, ada apa Sa?” Aku bangkit dari dudukku dan memilih tempat yang agak jauh dari Nabila.
Hampir setengah jam telingaku dibuat panas oleh ocehan Yusa. Juga oleh macam-macam permintaannya yang sering kuanggap aneh. Minta supaya Tulungangung didokumentasikan? Entah apa yang saat itu sedang dipikirkannya.
“Bukan pacarku kok, Bil..”
Nabila yang sedang asyik berfoto tersentak begitu mendapati kedatanganku. Kembali aku duduk disampingnya, lantas membasuhkan kakiku yang terkena lumpur, di air yang masih saja mengalir deras di samping tempat duduk kami.
“Pasti naksir abis deh sama Mbak Mel..” Kembali senyum jahil tersungging jelas di bibir gadis itu.
“Nggak juga. Dia cuma penasaran aja sama aku..”
Kali ini alis Nabila yang tertaut. Gadis itu sepertinya mulai bingung dengan ucapanku. Reaksi yang hampir selalu kutemui tiap kali mendengar alasanku mengenai sikap Yusa.
“Bingung ya?”
Nabila mengangguk jujur.
“Dia itu teman kuliahku. Yang nggak tahu kenapa, paling ikhlas mencari tahu tentang apapun yang berkaitan denganku. Entah tentang keluarga, teman, dan bahkan orang-orang di masa laluku. Aku sendiri nggak pernah paham sama alasannya, dan nggak pernah mau paham sama alasannya melakukan hal itu..”
Penjelasanku menggantung. Perasaan aneh itu kembali muncul, dan aku selalu benci pada reaksi yang ditimbulkan oleh kemunculannya.
“Mas tadi nggak pernah mengatakan perasaannya sama Mbak Mel?”
“Namanya Yusa.. Pernah. Tapi aku nggak pernah mau dengar soal itu. Bagiku itu nggak penting, Bil. Toh diutarakan ataupun nggak, aku juga tahu kalau Yusa cuma sekedar penasaran..” Ucapanku meninggi begitu mendengar pertanyaan Nabila barusan. Perasaan aneh itu kembali terusik.
“Dan Mbak Mel inginnya bukan seperti itu?”
Aku menatap gadis itu cepat. “Dia cuma bikin kepalaku pusing, Bil..”
“Karena apa yang dilakukan Mas Yusa, sama dengan yang dilakukan Mas Rangga ya Mbak?”
Sekali lagi aku tersentak. Gadis itu ternyata jauh lebih memahami maksudku.
Rangga.
Ingatanku mendadak merujuk kepada satu nama itu. Nama seorang teman SMA-ku, yang merangkap teman semasa SD dan SMP-ku. Sekelas, dan hampir selalu duduk bersebelahan.
Rangga. Yang hampir selalu membuatku sebal dengan pertanyaan-pertanyaannya yang lebih mirip dengan penyidik yang sedang menginterogasi seorang tersangka. Seseorang yang hampir selalu ada disetiap kesempatan yang melibatkanku. Yang membuatnya lebih terkenal dibandingkan teman-temanku yang lain dimata keluargaku.
 “Mas Rangga sering nanyain Mbak Mel ke aku, tapi nggak pernah kujawab, Mbak.. Aku memang nggak pernah paham sama apa yang sebenarnya terjadi antara Mbak Mel sama Mas Rangga, tapi aku yakin kalau sebenarnya Mas Rangga nggak hanya penasaran sama Mbak Mel..” Ucapan panjang Nabila kembali membuatku tercenung.
Aku hanya tidak yakin apakah gadis itu masih bisa mengatakan hal semacam tadi, kalau saja dia tahu apa yang pernah dicapkan Rangga. Yang akhirnya membuatku membenci atmosfer nyaman di kota ini. Di tempat ini. Dimana angin semilir menabuh daun jati, air mengalir deras dari pancuran, dan lumpur becek mengotori kaki.
“Rangga itu nggak ubahnya bayangan, yang bisa seenaknya menjelma jadi kenyataan. Tapi tetap maya, dan selamanya semu. Nggak akan pernah lebih dari itu.. ”
Dan sekarang, begitu lepas dari Rangga maka datanglah Yusa. Yang seolah dikirimkan Tuhan sebagai peringatan, bahwa aku masih saja pantas menjadi objek rasa penasaran. Karena begitu rasa penasaran itu habis, maka aku tak akan lagi punya alasan untuk dicari.
“Mbak Mel jangan bilang seperti itu. Kalau memang hanya penasaran dan hanya jadi bayangan, mereka berdua nggak akan mencari Mbak Mel lagi. Mereka pasti membiarkan Mbak Mel pergi.. Tapi kenyataannya, mereka masih ada kan? Masih mencari Mbak kan?”
Nabila sepertinya tidak memahami maksudku kali ini. Dimataku, mendadak ia kembali sama seperti teman-temanku yang lain. Yang hanya memahami alasan kenapa aku dicari, bukan alasan kenapa Rangga dan Yusa harus mencariku.
“Buatku sama saja, Bil. Mereka mencari karena merasa belum menemukan apa yang sebenarnya ingin mereka cari. Mereka belajar memahami jalan pikiranku, tetapi nggak pernah tahu apa yang sebenarnya aku pikirkan. Apa itu namanya kalau bukan rasa penasaran saja?”
 “Mbak Mel mau tahu kan, kenapa Mbak selalu dicari?” Nabila tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuat rasa ingin tahuku muncul ke permukaan. Alisku terangkat, menunggu jawaban gadis itu yang mungkin akan mengejutkanku lagi.
“Karena Mbak Mel selalu memberi kesempatan mereka untuk mencari lebih jauh lagi.. Dan Mbak Mel, sama sekali nggak memberikan kesempatan mereka untuk menghentikan pencarian mereka..”
Obrolanku dan Nabila menggantung. Gerimis mulai muncul, dan untuk hal yang satu itu aku sama sekali tak memiliki penawar atas kebencian yang kumunculkan tanpa alasan itu.
Sore harinya, Nabila benar-benar menepati janjinya untuk mengajakku menyusuri jalanan sepanjang WR. Supratman. Namun kali ini, kami memilih untuk berjalan kaki di sepanjang trotoarnya daripada naik mobil pribadi Nabila seperti bayanganku pada mulanya.
Sekali lagi, gadis itu benar. Jalanan favoritku semasa sekolah dulu itu sekarang menjelma menjadi jalanan yang hampir tak bisa kukenali. Tak ada lagi daun kering tertiup angin yang dulu sering kusebut sebagai setting video klip. Tidak ada lagi jajaran pertokoan yang dulu sering sekali kukunjungi, melainkan beton-beton tinggi penyangga jalanan megah yang arusnya padat merayap itu.
Seketika perasaanku menghangat. Dan aku yakin, bahwa aku sangat mengenali perasaan hangat semacam ini. Namanya rindu. Yang hampir sepuluh tahun ini berhasil kumatikan sementara, tertelan riuhnya Jakarta dan pengapnya udara persaingan keras disana.
Perasaan yang hampir selalu kukenali tiap kali malam merayap datang, dan membungkus keramaian itu sementara. Perasaan yang selalu sama setiap tahunnya. Yang juga selalu kusangkalkan keberadaannya, kali ini tumpah ruah, membanjir diantara kokohnya beton-beton penyangga jalanan padat sore itu.
“Mau mampir kesitu nggak, Mbak?” Nabila menunjuk sebuah toko kecil, yang rolling door-nya hampir menutup sempurna. Namun dengan cat merah batanya, seketika membuat otakku langsung mengenalinya tanpa perlu berfikir dua kali.
“Itu kan somay-nya Bah Acan, Bil !” Aku memekik tanpa sadar. Membuat seorang pejalan kaki didepanku menoleh dan menahan tawa setelahnya.
Langkahku mempercepat dirinya sendiri tanpa sadar. Atmosfer hangat itu mendadak nyata. Tempat itu, satu-satunya hal yang membuatku masih mengenali jalanan WR Supratman hari ini. Juga satu-satunya hal, yang membuatku semakin mengenali perasaan aneh yang ada sejak awal kedatanganku kemari.
Kugandeng tangan Nabila untuk segera memasuki toko yang merangkap rumah itu. Pandanganku seketika menyapu sekelilingnya, dan jatuh tanpa permisi pada sosok laki-laki yang membelakangi kami saat itu. Perasaan aneh itu pun mendadak berubah menjadi debaran dengan frekuensi tinggi.
Dan sebelum laki-laki itu sempat berbalik, bibirku terlebih dulu menyebutkan namanya.
“Yusa..”
Sosok laki-laki itu menoleh cepat. “Melia??”
Debaran itu semakin menjadi. Kutolehkan kembali kepalaku untuk mencari Nabila. Dan seperti yang sudah bisa kuramalkan, gadis itu bahkan tak lagi tercium baunya. “Gadis pintar..”, batinku cepat.
“Sudah kubilang kan, dokumentasikan tempat ini buatku. Coba kamu langsung bilang iya, nggak akan aku nekat mendokumentasikannya sendiri..” Yusa berucap enteng. Seolah pertemuannya denganku kali ini sama dengan pertemuan-pertemuan tanpa sengaja kami di kantor. Entah di kantin, lobby, ataukah lorong toilet.
“Kamu nggak akan menemukan apapun, Sa.. Berhentilah mencari !” Tak tahan juga gertakanku untuk kuucapkan. Sudah lama sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini, hanya saja perasaan aneh tadi yang memaksaku untuk terus menguncinya.
“Kenapa baru sekarang kamu mengatakan itu, Mel? Apa yang kamu tunggu? Kamu menunggu aku lelah dulu? Kamu berhasil, Melia.. Kamu mengatakannya tepat ketika aku sudah tidak lagi punya alasan untuk mencari kamu..” Ucapan Yusa membungkamku lebih dulu.
“Kamu yang memberikan alasan kenapa aku harus mencari, Mel.. Dan ketika kamu bilang bahwa aku nggak akan menemukan apapun, justru saat itu aku sudah menemukan.” Laki-laki itu melanjutkan ucapnnya, membuatku sekali lagi hanya bisa menunduk. Memainkan garpu di tangan, tanpa tahu apa yang bisa kulakukan selain itu.
Sekali lagi. Tundukan kepalaku semakin dalam. Biar Yusa yang mencari tahu artinya. Toh, ia bahkan sudah tahu kemana harus mencariku untuk dibawanya pulang kembali.
***

Mendung dan Gerimis.


            “Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta..”
             Ucapan Vita berkali-kali bergaung di telingaku, lantas kemudian mengudara di kepalaku. Ikut memenuhi pikiranku yang sejak tadi siang memadat tanpa alasan. Eh, bukannya tanpa alasan. Tetapi lebih tepatnya jika aku sendiri yang tidak ingin menganggapnya sebagai sebuah alasan.
            Kalau saja hari ini tidak perlu ada kuliah tambahan. Atau, kalau saja hari ini aku tidak perlu terlibat obrolan dengan Vita dan laki-laki itu, tentu semuanya tidak akan menjadi seaneh dan sejanggal ini. Tetapi, siapa coba yang bisa menghentikan dan mengubah jalannya takdir?

            “Arina !”
            Aku menoleh cepat saat mendengar seseorang memanggilku. Ternyata Vita, gadis itu hanya duduk-duduk di gazebo dekat kelasnya sembari menghadap laptop. Sedangkan di depannya, seorang laki-laki berwajah lonjong yang teramat sangat kukenali itu, sedang sibuk mencatat dari buku diktat tebal di depannya. Seketika laki-laki bernama Gesa itu ikut mendongak, seolah menyambut kedatanganku yang sebenarnya tanpa sengaja.
            “Tumben masuk hari Kamis?” Vita kembali melemparkan tanyanya, disusul dengan suara renyah khasnya, bercampur senyum manis dari gadis yang kebetulan juga tinggal di rumah kost yang sama denganku.
            “Pak Tomo ngasih kuliah tambahan. Lusa beliau absen karena mau ada acara keluarga. Masih ada kuliah lagi, Vit?” Merasa sungkan jika harus mengobrol sambil berdiri, aku segera mengambil duduk di depan Vita. Atau lebih tepatnya, di depan Gesa, karena hanya ada tiga tempat duduk di gazebo kecil itu.
            “Nggak ada sih, kepingin download film, Rin.. Hehehe. Lagian diktat-ku juga masih dipinjem sama si Gesa nih..” Vita menjawabku acuh, karena sekali lagi perhatiannya berhasil tersita penuh oleh laptop di depannya. 

            Alhasil, tinggal aku yang duduk berhadapan dengan Gesa. Dimana keadaannya adalah, aku yang iseng-iseng melihat apa yang dicatat oleh laki-laki itu, dan Gesa yang seolah tak menyadari kehadiranku. Sedikitpun.
            “Anak sastra ya?”
            Suara berat khas laki-laki itu membuatku tersentak sesaat. Aku masih mematung, merasa belum yakin jika ucapan barusan memang keluar dari mulut seorang Gesa, dan ditujukan untuk seorang Arina. Namun setelah menunggu beberapa detik, ditambah dengan Gesa yang saat itu menghentikan kegiatan mencatatnya dan memutuskan untuk duduk tegap menghadapku, membuatku kembali yakin bahwa ucapan tadi memang benar-benar ditujukan untukku.

            “Iya. Inggris.. Sekelas sama Vita?” Ucapanku terdengar samar hingga aku sendiri bahkan tak yakin jika laki-laki itu bisa mendengarnya.
            “Iya, Rin.. Ya si Gesa ini nih yang sering kuceritain sama kamu. Yang suka bikin ulah sama Bu Rosi itu..” Kali ini Vita menyambar obrolan kami. Membuatku membalasnya dengan anggukan dan sedikit senyum sumbang yang samar.
            “Apa sih..” Gesa menanggapi singkat. Lantas sedetik kemudian kembali menghadapkan kepalanya kearah buku di depannya. Sibuk mencatat lagi dan tidak menyadari kehadiranku untuk kedua kalinya.
            “Eh Ges, Arina ini yang nulis prosa favoritmu itu loh..” Vita bersuara sekali lagi. Kali ini laptopnya sedikit ditundukkan, mungkin proses downloadnya terlalu lama sehingga ia berfikir untuk mengobrol terlebih dulu sembari menunggu.

            Alisku tertaut. Tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Vita soal prosa tadi. Prosa.. Favorit Gesa? Seketika perutku serasa dikelilingi jutaan kupu-kupu yang entah darimana datangnya. Ada sekelebat perasaan senang yang juga tidak memiliki alasan.
            “Si penulis mendung?” Pertanyaan Gesa hanya singkat. Namun sekali lagi berhasil membuat perutku serasa diaduk-aduk dengan kencang.
            “Nah.. Itu lho Rin, yang prosa-mu soal mendung dan gerimis.. Yang kamu post di blog kampus.. Itu favorit Gesa loh..”
            Vita masih sibuk bercerita panjang lebar soal kesukaan Gesa pada beberapa tulisan yang memang sengaja ku posting di blog kampus. Yang sebenarnya lebih kutujukan untuk kepentingan pemenuhan literatur yang memang beberapa diantaranya harus hasil karya dari mahasiswa pada jurusan terkait.

            Kulirik sekali lagi laki-laki berambut lurus itu. Poni pendeknya sedikit dibuat jambul keatas, membuat kesan acak-acakan sehingga menambah penilaian plus laki-laki itu dimataku. Yang memang kulakukan diam-diam semenjak beberapa bulan terakhir ini.
            Sedangkan si empunya justru masih acuh dan terus menerus memfokuskan dirinya terhadap catatan yang sedari tadi seolah tidak selesai itu. Yang membuat rasa penasaranku sedikit tergelitik. Bagaimana tidak? Vita bilang bahwa laki-laki itu menyukai beberapa tulisanku, sedangkan saat ini ia masih bisa bertingkah seolah aku ini bukan sosok penulis prosa kesukaannya itu. Bagaimana bisa aku tidak gemas dibuatnya?
            Dan disaat aku masih sibuk menerka-nerka isi pikiran Gesa saat itu. Laki-laki itu mengulurkan sebuah loose leaf ke hadapanku. Membuatku sedikit dibuat kebingungan dengan maksud yang ia mau.

            “Tulis apapun disitu, aku ingin membaca tulisan aslimu..” Ucapnya dengan nada datar yang sama. Seolah memberiku perintah secara otoriter. Namun herannya, aku menurut juga dan mengambil secarik kertas itu. Lantas mulai menuliskan apapun yang sekiranya saat itu sedang melintasi otakku.
            Kali itu Vita hanya menyimak kami berdua. Sedangkan ia, mengawasi setiap coretan tanganku di kertas itu. Seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang akulah yang menjadi penulis beberapa prosa kesukaannya.
            Hampir dua puluh menit aku menulis dikertas tersebut. Dan setelah merasa cukup dengan apa yang kutuliskan, dan membubuhkan titik terakhir di dalam tulisanku, ku serahkan kembali kertas itu ke hadapan Gesa.
            Laki-laki itu menerimanya dengan senyum yang tersungging samar, namun lebar. Seketika aku menciut. Ini kali pertama aku menatap laki-laki itu dari jarak sedekat ini. Selain itu, baru sekali ini juga aku mendapatinya tersenyum seperti tadi. Senyum yang juga membuat sebuah lesung pipi kecil di pipinya terlukis sempurna. Membuatku kembali mencatat satu penemuan baru tentangnya. Tentang lesung pipi kecil di pipi kirinya.

            Vita berkali-kali mengacungkan ibu jarinya kearahku, lantas beralih kepada Gesa dan menjulurkan lidahnya kepada laki-laki itu. Seolah sedang mengejek, atau sekaligus menunjukkan bahwa aku memang yang menulis semua itu.
            Gesa membacanya dengan seksama. Ditelitinya satu-persatu huruf yang kutuliskan di kertas itu, seolah dengan begitu ia bisa menemukan alasan untuk membantahku. Namun ternyata hal itu tak terjadi. Karena satu-satunya hal yang dilakukan Gesa setelah membaca habis tulisanku adalah, memasukkan loose leaf itu kembali ke dalam binder biru-nya. Lantas tersenyum puas kearahku, juga Vita.

            “Gimana Ges? Bagus nggak?” Vita kembali bertanya sebelum aku sempat membuka mulut untuk menanyakan pendapat laki-laki itu.
            “Bagus. Tapi setipe sama tulisan-tulisan kamu di blog kampus..” Gesa hanya berkomentar singkat, dan masih dengan suara bernada datar kesukaannya.
            “Bukannya justru itu yang membuat identitas satu orang penulis bisa berbeda dari penulis lain?” Kali ini Vita yang menanggapi. Sedangkan aku, minatku kali ini hanya sebatas seorang pendengar saja. Tidak ingin lebih lagi.

            “Tapi kesannya monoton. Jadinya mudah ditebak..” Gesa masih mempertahankan suara datarnya. Namun kali ini ia melirikku sekilas, mungkin ingin tahu reaksiku atas sikapnya.
            “Tapi pembaca yang baik akan membaca cerita dari awal hingga selesai, bukannya langsung membuka bagian akhir dan menebak sesuka hati tentang jalan ceritanya..” Ucapku pelan. Dan bagiku itu sudah lebih cukup dari sekedar sebuah reaksi. 

Aku hanya tidak suka ditebak. Dan bagiku, laki-laki ini sudah melakukan hal yang tidak kusukai itu.

***
“Maaf ya Rin, tadi aku sama sekali nggak bermaksud melibatkan kamu di dalam obrolan semacam tadi sama Gesa ..”
Vita duduk didekatku sore itu. Sepertinya ia sedang menyesali apa yang tadi siang ia lakukan. Melibatkan aku dan Gesa di dalam sebuah obrolan, yang pada akhirnya justru berbuntut dengan sikap dingin dari masing-masing kami berdua.

Aku sendiri paham, bahwa Vita sudah pasti tidak akan mungkin bermaksud melakukan hal tadi.
“Gesa itu satu-satunya hal yang paling nggak bisa aku pahami, Rin. Yang sebentar ada, tapi sedetik kemudian hilang lagi..” 

Jantungku berdebar mendahului ritme normalnya. Ucapan Vita barusan, bagiku sudah cukup mengisyaratkan sesuatu.

“Dia nggak pernah keberatan ada buat aku. Nggak pernah membatasi dirinya untuk melakukan sesuatu, untuk siapapun. Tapi, dia nggak pernah ingin jatuh cinta. Sama sekali nggak memiliki keinginan untuk mulai memikirkan bentuk perasaan apa yang mungkin terjadi diantara seorang laki-laki dan perempuan. Dia lebih suka menjadi tak tersentuh. Asing di dalam pemahaman yang dia bangun sendiri..”
Seketika jantungku mencelos. Apa yang sempat menjadi kekhawatiranku ternyata sedang berproses menjadi nyata. Vita juga menyukai Gesa.

“Gesa nggak pernah mau tahu soal perasaanku, Rin. Sampai akhirnya aku tahu kalau dia suka membaca tulisan-tulisan di blog kampus, dan salah satu kesukaannya adalah tulisan kamu itu. Dia bahkan pernah seharian penuh membahas prosa-mu tentang mendung dan gerimis itu. Bukannya itu prosa kesukaan kamu juga kan, Rin?”
Aku menelan ludah dengan susah payah. Udara di sekeliling kami seolah menciut tanpa aba-aba. Mengalirkan kesesakan yang hanya bisa kunikmati sendirian kala itu.

“Kalaupun kamu sudah tahu apa yang mungkin saja kamu hadapi jika terus-menerus menyukai Gesa, maka satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah memberikan penerimaan dengan sebaik mungkin, Vit. Cinta itu selalu bisa bahagia dengan cara-cara yang mungkin teramat sederhana. Tetapi kembali lagi pada dasarnya, bahwa kita hanya perlu menerapkan konsep cukup, pada cinta sekalipun. Karena nggak pernah ada tolok ukur yang tepat untuk cinta, selain kata cukup itu sendiri..”

Ucapanku mengalir seolah memberikan nasehat kepada diriku sendiri. Nasehat untuk melakukan penerimaan sebaik mungkin, pada apa yang telah kupilih, juga pada apa yang ditentukan oleh Gesa sebagai pilihannya. Bahkan meski pilihannya adalah : tidak untuk dijadikan pilihan.

“Tapi, nggak ada yang lebih menyakitkan daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta, Rin. Seolah kita sudah tahu bahwa itu jalan buntu, tetapi apa yang bisa kita lakukan adalah sebatas terus berada di jalan itu, sekaligus mengabaikan pertanda bahwa jalan itu sudah bernilai mustahil untuk ditembus..” Ucapan pelan Vita menuliskan jawaban sekaligus kesimpulan bagi pemikiran dan keinginanku saat itu.


“Tidak ada yang lebih sederhana lagi dari konsep jatuh cinta. Dimana semua terjadi secara serta merta, tanpa pengingkaran, tanpa banyak meminta pilihan, juga tanpa banyak menuliskan keinginan. Semua terjadi begitu saja. Secara sederhana, dan seolah tanpa sadar bahwa segala sesuatu—sekalipun yang sesederhana konsep jatuh cinta tadi—semua akan bergerak untuk tumbuh. Semua akan melalui proses yang dinamakan berkembang, tanpa terkecuali konsep jatuh cinta tadi.
Sedangkan satu-satunya hal yang tidak bisa didefinisikan dengan sederhana, adalah konsep cinta itu sendiri. Dimana kamu hanya bisa menerima perubahan secara serta-merta tadi tanpa bisa memilih bentuknya. Sedangkan kamu, hatimu masih teramat awam untuk bisa mengenali ratusan makna yang tak bisa begitu saja dijabarkan dengan kata itu.
Membuat konsep jatuh cinta yang teramat sederhana tadi, perlahan mulai menunjukkan jalinan kerumitannya. Perlahan.. Lantas kemudian menjelma tanpa makna. Dan setelah itu, lambat laun tidak bisa diungkapkan dengan bahasa yang mungkin kita temui selama ini.
Sama halnya dengan mendung, yang muncul tanpa banyak isyarat—karena justru ia lah sang isyarat tersebut. Dan pada waktu-waktu berikutnya menjelma menjadi tetesan hujan.
Hujan, yang awalnya terbentuk dari kumpulan awan, mendadak jatuh dan memilih turun untuk menjadi gerimis. Yang muncul sebagai akibat dari keberadaan mendung tadi. Yang membuat kita berhenti menebak isyarat. Berhenti, dan benar-benar tidak lagi mencari tahu kenapa gerimis harus turun lagi.”

 Mendung dan gerimis (Arina Hanida)