Sabtu, Juli 13, 2013

Kamu ; masa putih-biru.

Kata seorang teman di dalam pesannya “nulis ya nulis aja, nggak usah banyak mikir”. Jadi, baiklah saya akan menulis saja. Entah bagaimana awal, tengah, dan akhirnya.
Masa putih biru. Saya tidak perlu menjabarkan bagaimanakah arti sebenarnya dari masa itu. Tidak perlu juga panjang lebar menuliskan definisinya, karena yang saya tahu ; kamu tentu lebih tahu tentang itu.

Saya tidak pernah memikirkan tentang masa itu sebelumnya. Sebelumnya—yakni ketika masa enam tahun saya terasa lebih indah ketika dentang lonceng perpisahan mulai ancang-ancang dibunyikan. Masa yang sempat saya sebut keemasan, karena pada saat itu, satu-satunya hal yang saya ingat adalah ; tawa adalah senjata utama, apapun keadaannya.

Lantas waktu seolah tidak terima, dan tanpa ampun melemparkan saya dengan serta merta ke dalam sebuah masa. Waktu yang bagi saya teramat asing karena beberapa sahabat saya memutuskan untuk tidak lagi menyamakan langkahnya dengan saya. Seketika saya menyalahkan perpisahan. Menyalahkan keadaan yang dengan lancangnya membuat saya kehilangan banyak canda yang selama enam tahun melekat didalam benak saya.

Setelah itu, masa putih biru itu pun dimulai.
Masa dimana rok saya tidak lagi berlipit banyak. Masa dimana
setiap mata pelajaran memiliki guru yang berbeda. Masa dimana saya harus berkenalan dengan orang baru kembali, ikut ekstrakurikuler, mengenal apa itu ‘OSIS’ dan tentu saja, mempelajari banyak hal yang masih asing bagi indera pengenalan saya.

Perlahan memang, namun akhirnya tempat itu mulai mau bersahabat baik dengan saya. Membuat saya tidak lagi pusing menghafalkan nama-nama teman baru saya. Dan kabar baiknya, mempertemukan saya dengan seseorang yang saya pikir tidak akan mungkin saya temukan.

Kamu.
Saya masih ingat, sosok menjulang tinggi yang namanya teramat asing bagi saya. Sosok asing yang sulit sekali saya ingat wajahnya, namun teramat hebat dalam menggelitik saraf ingin tahu. Membuat saya tanpa sadar justru mencari tahu, entah bagaimana dulu cara saya melakukannya.
Sampai pada suatu waktu, saya tahu namamu. Lantas kemudian mulai menghafal bagaimana bentuk wajahmu. Yang kemudian merembet menjadi tahu tentang kebiasaanmu, tahu dimana kelasmu, tahu nomor absensi-mu, tahu hobimu, tahu (yang mungkin bisa disebut) segalanya. Tentangmu.

Saya sendiri bingung, sejak kapan saya jadi menghafal bagaimana bentuk senyummu, yang hampir selalu tersungging asimetris. Tidak sadar juga menjadi suka mendengarkan setiap cerita-cerita tentangmu. Tentangmu yang suka makan gula merah, dan yang benci makanan pedas.

Satu tahun berlalu, dan saya pikir perasaan saya untuk kamu masih terbilang wajar, maka saya memutuskan untuk tidak perlu mengambil pusing urusan itu. Hingga dua tahun berlalu kembali, namun sesuatu mulai janggal. Perasaan takut kehilangan kamu mulai muncul tanpa permisi, sekaligus diam-diam menetap di dalam hati.

Saya tidak tahu kenapa itu yang harus terjadi, yakni perasaan khawatir yang muncul tanpa saya ketahui apa sebab musabab-nya. Perasaan aneh yang diam-diam menjalari hati saya ketika tanpa sadar senyum kamu melewati pikiran saya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
Saya tidak tahu. Dan tidak pernah saya dapatkan penjelasan yang cukup masuk akal tentang itu.

Entah apa namanya. Tetapi novel yang saya baca, lagu yang saya dengarkan, dan teman yang saya beritahu cerita itu hanya menyimpulkan satu hal ; saya sedang jatuh cinta.

Ya. Hanya itu satu-satunya. Sekaligus jawaban tunggal yang menurut mereka semua masuk akal. Tentang saya yang mendadak semangat datang ke sekolah, tentang saya yang tidak mengeluh sekalipun ekstrakurikuler dijadwalkan pada hari Minggu, juga tentang saya yang memaksa untuk tetap masuk sekolah sekalipun sedang terserang flu.

Mereka bilang saya jatuh cinta, dan saya hanya bisa mengatakan ; saya tidak tahu alasannya kenapa.
Lambat laun masa putih biru itu meluntur. Tidak serta merta, karena saya tanpa sadar sedikit menahannya. Saya kembali tidak bisa menjelaskan apakah alasannya, karena yang saya tahu, saya hanya masih mengingatnya.

Saya memang membiarkan kamu pergi saat itu, karena saya sendiri juga tahu, tidak akan ada usaha saya yang berhasil untuk menahanmu tetap tinggal. Entah untuk sementara, ataukah untuk jangka waktu yang tidak bisa saya tentukan berapakah lamanya. Saya hanya terus mengingat kamu.
Mengingat kamu sebagai salah satu alasan kenapa saya masih saja mengenang masa putih biru itu. Sampai sekarang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar