Kata seorang teman di
dalam pesannya “nulis ya nulis aja, nggak usah banyak mikir”. Jadi, baiklah
saya akan menulis saja. Entah bagaimana awal, tengah, dan akhirnya.
Masa putih biru. Saya
tidak perlu menjabarkan bagaimanakah arti sebenarnya dari masa itu. Tidak perlu
juga panjang lebar menuliskan definisinya, karena yang saya tahu ; kamu tentu
lebih tahu tentang itu.
Saya tidak pernah
memikirkan tentang masa itu sebelumnya. Sebelumnya—yakni ketika masa enam tahun
saya terasa lebih indah ketika dentang lonceng perpisahan mulai ancang-ancang
dibunyikan. Masa yang sempat saya sebut keemasan, karena pada saat itu,
satu-satunya hal yang saya ingat adalah ; tawa adalah senjata utama, apapun
keadaannya.
Lantas waktu seolah
tidak terima, dan tanpa ampun melemparkan saya dengan serta merta ke dalam
sebuah masa. Waktu yang bagi saya teramat asing karena beberapa sahabat saya
memutuskan untuk tidak lagi menyamakan langkahnya dengan saya. Seketika saya
menyalahkan perpisahan. Menyalahkan keadaan yang dengan lancangnya membuat saya
kehilangan banyak canda yang selama enam tahun melekat didalam benak saya.
Setelah itu, masa putih
biru itu pun dimulai.
Masa dimana rok saya
tidak lagi berlipit banyak. Masa dimana
setiap mata pelajaran memiliki guru
yang berbeda. Masa dimana saya harus berkenalan dengan orang baru kembali, ikut
ekstrakurikuler, mengenal apa itu ‘OSIS’ dan tentu saja, mempelajari banyak hal
yang masih asing bagi indera pengenalan saya.
Perlahan memang, namun
akhirnya tempat itu mulai mau bersahabat baik dengan saya. Membuat saya tidak
lagi pusing menghafalkan nama-nama teman baru saya. Dan kabar baiknya,
mempertemukan saya dengan seseorang yang saya pikir tidak akan mungkin saya
temukan.
Kamu.
Saya masih ingat, sosok
menjulang tinggi yang namanya teramat asing bagi saya. Sosok asing yang sulit
sekali saya ingat wajahnya, namun teramat hebat dalam menggelitik saraf ingin
tahu. Membuat saya tanpa sadar justru mencari tahu, entah bagaimana dulu cara
saya melakukannya.
Sampai pada suatu waktu,
saya tahu namamu. Lantas kemudian mulai menghafal bagaimana bentuk wajahmu.
Yang kemudian merembet menjadi tahu tentang kebiasaanmu, tahu dimana kelasmu,
tahu nomor absensi-mu, tahu hobimu, tahu (yang mungkin bisa disebut) segalanya.
Tentangmu.
Saya sendiri bingung,
sejak kapan saya jadi menghafal bagaimana bentuk senyummu, yang hampir selalu
tersungging asimetris. Tidak sadar juga menjadi suka mendengarkan setiap
cerita-cerita tentangmu. Tentangmu yang suka makan gula merah, dan yang benci
makanan pedas.
Satu tahun berlalu, dan
saya pikir perasaan saya untuk kamu masih terbilang wajar, maka saya memutuskan
untuk tidak perlu mengambil pusing urusan itu. Hingga dua tahun berlalu
kembali, namun sesuatu mulai janggal. Perasaan takut kehilangan kamu mulai
muncul tanpa permisi, sekaligus diam-diam menetap di dalam hati.
Saya tidak tahu kenapa
itu yang harus terjadi, yakni perasaan khawatir yang muncul tanpa saya ketahui
apa sebab musabab-nya. Perasaan aneh yang diam-diam menjalari hati saya ketika
tanpa sadar senyum kamu melewati pikiran saya tanpa mengetuk pintu terlebih
dulu.
Saya tidak tahu. Dan
tidak pernah saya dapatkan penjelasan yang cukup masuk akal tentang itu.
Entah apa namanya.
Tetapi novel yang saya baca, lagu yang saya dengarkan, dan teman yang saya
beritahu cerita itu hanya menyimpulkan satu hal ; saya sedang jatuh cinta.
Ya. Hanya itu
satu-satunya. Sekaligus jawaban tunggal yang menurut mereka semua masuk akal.
Tentang saya yang mendadak semangat datang ke sekolah, tentang saya yang tidak
mengeluh sekalipun ekstrakurikuler dijadwalkan pada hari Minggu, juga tentang
saya yang memaksa untuk tetap masuk sekolah sekalipun sedang terserang flu.
Mereka bilang saya jatuh
cinta, dan saya hanya bisa mengatakan ; saya tidak tahu alasannya kenapa.
Lambat laun masa putih
biru itu meluntur. Tidak serta merta, karena saya tanpa sadar sedikit
menahannya. Saya kembali tidak bisa menjelaskan apakah alasannya, karena yang
saya tahu, saya hanya masih mengingatnya.
Saya memang membiarkan
kamu pergi saat itu, karena saya sendiri juga tahu, tidak akan ada usaha saya
yang berhasil untuk menahanmu tetap tinggal. Entah untuk sementara, ataukah
untuk jangka waktu yang tidak bisa saya tentukan berapakah lamanya. Saya hanya
terus mengingat kamu.
Mengingat kamu sebagai
salah satu alasan kenapa saya masih saja mengenang masa putih biru itu. Sampai
sekarang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar