Sabtu, Desember 22, 2012

Doa Hari Ini.

Kubacakan kembali doa untuk hari ini,
berisikan salam terbaik untuk Allah dan Rasul-Nya, sekaligus sepaket doa terindah untukbapak-ibu-adek-sahabat-teman-guru-dan siapa saja mereka yang pernah ada, meskipun sekarang sudah berpindah tempat.
Sekaligus pada baitnya yang paling akhir, ku selipkan nama kecilmu disana, dengan segenap sisa kesadaran yang kupunya, sekedar untuk memastikan diri bahwa masih pantas kuucapkan permohonan demi permohonan itu untukmu.

Untuk kamu, yang sampai saat ini masih saja menghilang dari peredaran duniaku dan tak terdeteksi radarku.

Aku tak lagi akan banyak mengungkit kenangan masa lalu tentangmu, tentangku, yang belum juga menjadi kita.
Aku juga tak akan memaksakan diri untuk membahas masa depan, atau bahkan lima detik yang akan datang dari sekarang, aku hanya tak ingin terlalu jauh membahasnya denganmu. Yaitu sosok yang belum tentu bisa menepati janjinya untuk datang sebagai masa depanku, nantinya.

Aku hanya akan memikirkan, membahas, dan mengurusi apa apa saja yang saat ini berada di depan mata, yang  seharusnya menjadi satu-satunya fokus utama dari seluruh inderaku.

Kita sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama memilikipikiran dan akal yang cukup untuk menampung masalah sesepele ini. Kita sama sekali tidak perlu bantuan apa-apa dan dari siapa-siapa, selain Allah.
Tidak seharusnya juga kita sama-sama dikuasai keegoisan untuk mempertahankan pendapat diri sebagai hal yang paling benar sepanjang hidup. Kita hanya memerlukan diri yang senantiasa bisa mengalah, bisa merendah, menunduk dan menyerahkan seluruh ketentuan di dalam takdir yang sudah diusahakan.

Kadang aku berfikir, apakah untuk mencapaimu memang benar harus melalui jalan seterjal ini? Harus berjalan sejauh ini, dan yang paling penting, haruskah menunggu selama ini?
Aku tidak pernah bermaksud memaksa, hanya saja aku selalu ingin tahu, selalu penasaran pada setiap apa-apa yang kamu alami disana. Selalu ingin tahu kabarmu, sekalipun hanya berupa pemberitahuan tanpa makna. Itu saja, sudah cukup buatku.

Kadang, pada masa-masa dimana kamu selalu berfikir bahwa aku selalu menujumu, selalu memusatkan seluruh semesta-ku pada sosokmu. Maka ketika saat itu tiba, mungkin aku benar-benar sedang lupa denganmu. Ataukah mungkin aku mulai sibuk mengurusi urusanku sendiri, sehingga membuat pikiran tentangmu makin lama mengabur dan menghilang.
kadang, saat aku benar-benar sudah sangat lelah terus menerus mengejar langkahmu yang semakin lama semakin mengabur.
Tetapi, entah karena akal sehat dari bagian mana,
aku tetap saja memiliki alasan yang baik untuk menghadiahkan doa-doa untukmu,
menghadiahkan panjatan doa terbaik yang pernah kuminta untuk seorang laki-laki,
entah karena dorongan apa, yang sampai saat ini masih saja memberiku kekuatan untuk mencintai, dan bahkan sekedar menunggumu kembali pulang.

Aku, bahkan sudah hampir lupa bagaimana caranya menyukai dan bagaimana rasanya mencintai,
karena yang sudah terlamjur terekam di dalam ingatanku adalah bagaimana dan usaha apa saja yang pernah aku lakukan untuk membuat ingatan tentangmu menghilang.

Aku,
yang meskipun dalam tiap shalat dan tengadahan tangannya selalu mengucapkan sebaris doa untuk namamu, masih saja berada di dalam posisi kita seperti awal dulu.
Sama-sama berada di gerbang hati, dan sama sekali tidak punya keberanian utuk saling memasuki ruangan di dalamnya, dan hanya mengucapkan salam dan sapaan klise yang tak bermakna apa-apa.
Aku masih saja tidak bosa untuk itu,
meskipun ada beberapa waktu yang membuatku khawatir juga, mengenai tentang lamanya kurun waktu yang kugunakan untuk menunggu kamu berbalik arah, dan kamu gunakan untuk berlari menembus batas dan jarak yang sudah kutentukan untuk tidak kamu langgar.

Aku memang tidak memiliki cukup kekuatan untuk menghentikan langkah di belakangmu itu, tidak cukup punya keberanian mengungkap semua rasa yang selama ini kudera, dan juga,tidak punya cukup kesanggupan untuk berhenti menuliskan sajak cinta berisi rindu dan doa.

Aku, yang hanya mempercayai Allah dan segala ketentuannya, sebagai teman, sahabat, serta tuntunan yang sudah berjanji untuk tidak akan melepaskanku sendirian berjalan tanpa pegangan.
Aku, yang entah sampai kapan, tetap bermaksud untuk selalu menunggumu.
Menunggumu berbalik arah,
menunggumu berubah pikiran,
dengan segala sisa doa berbalut kebisuan yang tak lagi diungkap kemana-mana selain kepada sang Maha Pencipta.

Aku dan Adel :"D


Hari ini kami berhasil melanjutkan obrolan panjang yang hampir dua tahun enam bulan ini terjeda oleh perbedaan kelas dan banyaknya teman serta tugas. Obrolan yang biasanya terjadi tiap hari, entah pagi, siang, ataupun sore menjelang malam, di sekolah, ataupun di tempat les, saat kami masih SMP dulu

Obrolan aneh yang biasanya dipandang oleh orang lain sebagai obrolan dua orang yang sangat dekat. Atau biasa disebut ; sahabat.

 Hari ini, ya, malam ini lebih tepatnya,

Aku dan Adel berhasil memiliki waktu untuk itu, untuk kembali memutar kaset berisi cerita yang masing-masing kami simpan untuk ditunjukkan nanti ketika bertemu kembali.

Aku kembali menceritakan tentang kamu, dan Adel kembali menceritakan tentang dia.

Kami seolah sama-sama tahu, bahwa cerita-cerita itu hanya bisa selesai jika kami berdua yang menceritakannya satu sama lain, seolah memberikan ketegasan bahwa hanya kami lah yang bisa memahami cerita-cerita aneh itu.

Tentang aku yang masih selalu membawamu serta ke dalam pikiran dan jutaan cerita setiap harinya. Tentang aku yang tidak kunjung bisa menebakmu dan memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya terlebih dulu. Tentang aku yang tiba-tiba saja meragu, dan mulai berfikir untuk berhenti dari usaha mencarimu, dan mulai memikirkan sosok lain yang bisa saja menggantikanmu.

Tentang Adel yang juga mulai berfikir tentang bagaimana harusnya ia bisa membatasi diri terhadap perasaannya sendiri. Tentang ia yang sudah bisa membatasi perasaannya sendiri, sehingga mencegah adanya perasaan disakiti oleh harapan. Tentang ia yang saat ini memandang semua laki-laki di dekatnya dengan cara yang sama pula.

Dan tentang kami, dua orang yang bahkan masih bingung, mengapa sampai saat ini kami masih saja bisa saling memahami. Juga tentang kami berdua, yang sama-sama belajar mengerti, bahwa semua rasa diciptakan Tuhan ke dunia bukan untuk tujuan yang sia-sia

(Makasih banyak buat kamu, Del, yang hari ini dengan sabar mau denger cerita macam kaset rusak yang terus-menerus kuceritakan sejak enam tahun yang lalu, tentang Mas-mu dan tentu saja, Tetanggaku, hehe)

Kamis, Desember 20, 2012

Kita ; pasir yang habis digenggam waktu.

Selalu ada saat, yang meskipun beberapa detik,
yang pernah ku sempatkan untuk menoleh ke arahmu,
dimana kau selalu duduk,
sendirian, dan mengerjakan seluruh urusanmu tanpa membutuhkan bantuan,
kupandangi kamu sekali lagi,
yang saat itu sedang sibuk dengan secarik kertas dan sebuah pensil.



Kuperhatikan guratan demi guratan yang kamu buat dengan dua benda itu,
tak jelas rupanya,
entah kamu sedang menulis apa, ataukah sedang menggambar apa,

aku hanya mengamatinya,

melihat detil wajah seriusmu yang bercampur keacuhan,
sekaligus mengabaikan kegaduhan yang kuciptakan bersama beberapa teman,
aku selalu mengamatimu, meskipun dengan diam-diam,
dan hanya dengan melalui ekor mata sebagai perantaranya,

dan tetap saja,
aku hanya mendapatimu yang sedang sibuk, tetap saja mendapatimu yang sedang tidak sadar bahwa kamu sedang diperhatikan diam-diam oleh seorang gadis,
sampai akhirnya,
entah karena keajaiban dan takdir Tuhan yang tidak bisa kusebutkan namanya,
kesempatan untuk mengenalmu pun datang, membawaku kepada satu posisi dimana aku mulai bisa mengerti apa saja kebiasaan yang kamu lakukan ketika duduk serius menghadap kertas,
mulai mengerti apa-apa yang kamu sukai, dan apa-apa yang tidak kamu sukai,
mulai merasa aneh tiap kali mendapati kebersamaan yang sebenarnya juga tidak pernah kita minta,



hingga tanpa sadar, kita terlibat pada suatu kedekatan yang sebenarnya tidak seharusnya ada,
dimana kamu mulai dengan mudah mengetahui apa yang sedang kupikirkan, karena dengan mudahnya aku mulai membiarkan tempat yang sebenarnya sudah dimiliki orang lain, untuk kamu datangi dan kamu isi,
dimana dengan tanpa sadar, aku mulai sering kamu buat tertawa, entah itu karena cerita lucumu ataukah karena sikap konyolmu,
dimana dengan anehnya, aku mulai merasa kehilangan, apabila tidak mendapatimu ada,

tetapi,
kembali kepada prinsip pasir yang semakin digenggam maka akan semakin berhamburan dan bisa saja habis,
begitulah kita,
setelah sama-sama terlihat saling memiliki rasa, kita justru semakin jauh,
kita ibarat pasir, dan waktu lah yang menggenggam kita sampai kita benar-berhamburan,
sampai kita benar-benar terpisah satu sama lain, dan justru terdampar di dalam tempat asing,
dimana ,
disitu tidak ada aku,
dan disini tidak ada kamu,
dimana,
disitu kamu melanjutkan hidupmu dengan sangat baik,
dan disini aku melanjutkan hidupku dengan sama baiknya,


entah bagaimana nanti Tuhan akan kembali mempertemukan kita,
entah bagaimana nanti takdir akan kembali mengajak kita untuk kembali bertatap muka,
bertatap pandangan yang pernah kita tunda,
sekaligus melanjutkan cerita sederhana kita,
yang saat ini sedang terjeda dengan kehadiran pemuda itu didalam hidupku,
dan gadis itu, di dalam hidup barumu..

[dariku, seseorang yang masih suka mengkhayal. Sesuatu yang selalu kamu olok namun juga selalu kamu minta ceritanya tiap kali khayalan itu usai]


Cerita (yang seharusnya) Berakhir

Cerita ini memang sebaiknya berakhir
Cerita tentang kamu dan aku yang tak kunjung menjadi kita
Tentang perbedaan rasa yang kian hari tak juga menjadi sama,

mungkin kita sudah sama-sama lelah,
sama-sama kehilangan minat dan niat untuk bisa berjalan bersisian
kita yang sudah sama-sama lelah untuk mensejajarkan pikiran,
meski tahu bahwa mereka tak akan mungkin bertemu di titik yang sama,

lelahkah kamu?
terus menerus memaksakan tawa,
meski di dalam hati sama-sama merasa hampa,
lelahkah kamu dengan setiap kepura-puraan itu?
dengan setiap topeng yang kita kenakan untuk menutupi yang sebenarnya?
kamu,
sama lelahnya denganku,
yang selalu menutupi gurat ketidaksetujuan dibalik anggukan
yang selalu membentengi luka dengan sejuta tawa
yang selalu ada meskipun diam-diam melihatmu menyelinap keluar,

aku juga lelah,
selalu melihatmu yang tidak melihatku
selalu menyediakan diri meski tahu telah ditinggalkan
yang tidak juga berganti hati,
meski tahu bahwa takdir kita tidak pantas dipersatukan,

ku tanyakan sekali lagi padamu,
lelahkah kamu dengan kita yang tak kunjung berakhir?
dengan kita yang tidak juga duduk bersanding?
menyamakan rasa,
menyelaraskan pikiran,
mensejajarkan langkah,
dan menyerahkan perbedaan menjadi sebuah kata ; cinta

Senin, Desember 17, 2012

Cerita (yang sebaiknya) Bersambung

Masalah utama kita sebenarnya bukan ratusan kilometer yang membentang panjang dan menimbulkan jarak tak tersentuh itu, melainkan,
bagaimana saat aku berada disini, dan ketika kamu berada disana.
Ah, selalu begini ceritanya jika kita tidak saling memberi kabar, tidak saling bertukar sapa, dan tidak sering berbagi cerita, dimana kamu selalu memilih menjadi sosok angkuh yang tidak begitu suka mengumbar cerita, dan aku, yang awalnya selalu menyiapkan diri untuk menjadi tempatmu kembali, namun pada akhirnya merasa lelah juga.

Hampir satu minggu sudah yang berlalu semenjak kita kembali pada sikap egois itu. Meninggalkan cerita tentang kita yang dulu selalu tak bosan saling bercanda, sekaligus tak pernah alpa untuk memberi seulas berita, entah itu seputar sekolahku yang tak ada jeda untuk tugas-tugasnya, ataukah tentang sekolahmu yang lebih tak banyak tugas itu.
"Nggak ada kabar tentang Zidan, padahal teman-temannya masih sering terlihat muncul di timeline.." Ku keluhkan cerita yang biasanya kusimpan sendiri itu pada Alin, lagipula hanya ia yang tahu betapa kompleks dan rumitnya hubungan kami ; aku dan Zidan.

"Udah coba tanya? SMS atau telepon, mungkin?" Alin menatapku sejurus, sepertinya ia memang tahu sekali apa yang sekarang benar-benar sedang mengganggu pikiranku,
"Nomornya juga jarang aktif, entah apa yang sekarang ini sedang ia kerjakan disana, sibuk bangun gedung baru kali..." Jawabku asal, menutupi seribu satu macam prasangka yang tiba-tiba menyelubungi pikiranku.
"Jangan gitu lah kamu, Kil.. Nanti kalau udah nggak sibuk, kamu pasti jadi orang pertama yang dia hubungi, percaya deh..." Entah apa maksud ucapan Alin yang ini,
apakah ia hanya ingin menyenangkanku, ataukah memang seperti itu nantinya?

Kucerna sekali lagi prasangka mengenai kita,
memikirkan kembali setiap peristiwa-peristiwa lalu yang menjadi cerita demi cerita kita yang tak ada habisnya itu,
yang pada akhirnya, tiap kali konflik kita menyetuh puncaknya, hanya bisa kutuliskan kembali di dalam diary, sembari memikirkan jalan keluarnya yang selalu sulit kita peroleh,

tetapi ada satu lagi yang menambah beban kekompleks-an masalah kita itu,
hal yang sebenarnya selalu kita hindari, selalu kita jauhi seperti apapun itu bentuknya, tetapi entah bagaimana caranya bisa dengan mudah menyelinap, memberi kenyamanan baru yang sulit kutemui dari sosokmu.

dimana ada langkah lain yang memasuki hidupku yang kamu tinggalkan,
dimana ada tatap mata lain yang dengan senang hati tersenyum disampingku, dalam segala keadaanku yang tidak juga kau tahu,
dimana ada tangan lain yang sigap memberikan bantuannya, sekedar mengulurkan saputangan disaat aku mengeluh kelelahan,
dimana ada ruang kosong yang dulu pernah kamu tinggali dan sekarang kamu biarkan berisi debu-debu bermakna kesendirian,
dimana,
aku mulai belajar mengisi kekosongan tanpa kepastian itu,
dengan sesuatu lain yang amat sangat berbeda darimu...


(mungkin ada baiknya jika cerita ini bersambung terlebih dulu, karena tetap ada baiknya jika suatu cerita, entah panjang atau sependek apa, tetap memiliki jeda sebelum dilanjutkan kedalam bab berikutnya, sampai suatu saat nanti ia memang benar-benar sudah pantas untuk diakhiri....)

Minggu, Desember 16, 2012

That Fifth was END

Dunia mimpiku hampir habis,

itulah satu-satunya yang tercatat di benak begitu muncul pernyataan dari banyak teman dan guru tentang semester lima kami yang hampir selesai (saat ini UAS dan remidi sudah hampir selesai),

sebenarnya kabar bagus untukku karena dengan berakhirnya masa semester lima ini, maka akan semakin cepat pula masa sekolah di SMA ini berakhir,
tetapi apakah ini pokok pembicaraan kita hari ini?

tentu saja bukan,
ini bukan tentang masa SMA-ku yang semakin pendek,
tetapi tentang masa penuh rasa ini akan segera berakhir,
bahwa masa berisi kesungguhan sekaligus kecerobohan yang berjalan beriringan ini akan segera mencapai garis finalnya, kurang lebih lima bulan ke depan,
sekali lagi,
tidak ada maksud sama sekali menyayangkan hal ini,
hanya saja, bagiku, hal ini seperti dan sama halnya dengan kita mengakhiri masa penuh peluh karena kelelahan,
sekaligus menutup semua cerita, dan segeintir kisah lalu yang pernah menjadi bagian hidup, entah cerita itu sebenarnya menyenangkan ataukah tidak sama sekali,
sekarang aku tahu apakah yang dimaksud dengan kenyataan itu,
bukan hanya sebagai suatu hal yang bisa kita pegang, yang bisa kita kecap rasanya, ataukah yang bisa kita cium baunya, bukan hanya sebagai hal tersebut,
juga,
sebagai rasa,
rasa yang sekalipun pernah kita tolak mentah-mentah kedatangannya, ataupun yang pernah kita harap-harap kemunculannya,
kenyataan lebih mirip dengan apa yang bisa kita visualisasikan sebagai sesuatu yang pada akhirnya menjadi sebuah jalan yang harus kita jalani, dan takdir yang harus kita terima,
bisa atau tidak bisa,
mau atau tidak mau,

entah perasaan macam apa yang kurasakan saat ini,
semacam perasaan sangat bahagia karena sebentar lagi arah hidupku akan mulai terlihat, akan mulai jelas bagaimana bentuk sebenarnya, tidak hanya samar dan kurang jelas akibat arahnya yang tak bisa kubawa sendiri,
melainkan akan semakin menggurat garis-garisnya secara lebih tegas, menunjukkan warna-warna yang selama ini hanya kami sembunyikan dibalik keseragaman dan kesamaan yang (mungkin terpaksa) harus kami lewati,
duduk secara teratur mulai pukul 07:00 sampai pukul 13:15, berada di bangku yang sama setiap harinya, atau yang mungkin baru akan berpindah jika rolling mulai diterapkan, mencatat hal yang mungkin juga tidak kami pahami sepenuhnya, dan menyukai hal-hal yang mungkin sebenarnya masuk ke dalam daftar hal yang tidak kami sukai,

tetapi kami bertahan disana,
bersikap hangat seolah semua tidak akan berakhir dan seolah semua akan menjadi sama selamanya,
seolah saling memiliki satu sama lain sehingga merasa tak pantas jika sampai menyukai salah satu diantaranya,
namun anehnya sekali lagi,
adalah munculnya rasa takut bercampur khawatir ini,
seolah merasa bahwa tidak seharusnya waktu ikut serta dalam mengambil bagian sebagai penyebab perpisahan kami nanti, seolah menyalahkan kenapa keadaan pertemanan kami justru membaik disaat kami sudah memiliki rencana studi kami selanjutnya nanti,
seolah menyayangkan, kenapa harus mengakhiri sesuatu yang bahkan baru kami mulai, yang bahkan juga tidak terlalu kami nikmati rasanya,
semester lima yang hampir berakhir ini seolah ingin menjadi alarm yang suatu saat berbunyi, dan kembali membuat kami kehilangan, meskipun kami juga memiliki keyakinan bahwa perasaan kehilangan itu juga lambat laun  akan terobati juga,
semester lima yang beberapa hari ke depan ini akan segera selesai, seolah ikut memberi tanda,
bahwa ia juga bukan menjadi mimpi terakhir yang boleh diwujudkan..

This picture has taken at December, 14th  2012 @Nindya's

We know it ; that we have missed it, even when we're still face each other

Sabtu, Desember 08, 2012

Aku dan Sekolah

Ada banyak hal yang bisa ku sebut sebagai alasan kenapa aku mencintai sekolah, dan kenapa sekolah mencintai aku (?)

(entah ini karena faktor aku hampir lulus SMA sampai akhirnya baru sadar bahwa selama hampir dua belas tahun ini, eh bukan, tapi lima belas tahun ini, aku punya hidup lain selain hidupku yang habis bersama bapak, ibu, adik, dan saudara, yaitu sekolah..)

dari TK, 
aku nggak begitu ingat kapan tepatnya aku masuk TK, yang jelas dari umur tiga tahun aku udah masuk playgroup, baru kemudian di TK-in di Perwanida, sampai lulus dua tahun kemudian dan umurku masih lima tahun. jelas itu bukan usia yang tepat untuk masuk SD sampai akhirnya aku TK lagi di TK Batik selama satu tahun, jadi total masa TK-ku itu lebih panjang dari masa TK anak normal.

Sampai akhirnya aku lulus TK dengan usia yang juga masih teramat minim untuk masuk SD, tapi masa iya harus TK sampai empat tahun??
singkat kata singkat cerita, aku masuk SD Kampungdalem I, dan disitulah aku mulai benar-benar merasa bahwa sekolah itu istimewa,

di SD,
nggak banyak sebenarnya yang bisa kuingat sampai sekarang, selain bagaimana wajah teman-teman sekelas, guru-guru, dan penjaga sekolah yang baiiiiiik sekali (klise)
bagaimana saat itu lebih terasa seperti dunia penuh dengan permainan, seperti patil lele, engklek, sampai tom jerry,
saat itu, seperti dunia mimpi dimana di dalamnya ada banyak orang yang bisa kunikmati tawa dan senyumnya, yang tidak pernah ingin kusudahi meskipun waktu memaksa untuk menyudahinya lantas memuarakan bentuk pertemanan lucu kami ke tempat lain yang menurut orang, adalah lebih baik, 

yaitu SMP,
dimana aku kembali beradaptasi dengan suasana asing, dimana aku kehilangan teman-teman cowok yang biasanya tidak bosan-bosan saling mengganggu, kehilangan banyak senyum yang selama enam tahun akrab di ingatan, 
tetapi bukankah kehilangan itu temannya menemukan?

jadi, disitulah aku,
kembali menemukan,
kembali memiliki meskipun tidak sama bentuknya, kembali mendapati meskipun sempat kupikir sebagai hal yang tidak lebih baik,
namun benar kata pepatah, "cinta ada karena terbiasa",
sampai akhirnya dimana saat itu datang, benar-benar datang karena aku akhirnya mencintai masa SMP-ku juga, meskipun sebenarnya terlambat sekali aku menyadarinya, 
dimana diam-diam aku mulai menikmati percikan rasa hangat tiap kali mendapati senyum teman-teman sekelasku, mulai mengakrabkan diri dengan kecanggungan, dan mulai bersahabat dengan keasingan,
disitulah aku,
dimana mulai sangat menikmati setiap bentuk candaan maupun olokan ala siswa SMP, dan tentu saja, 
mulai menikmati bagaimana itu jatuh cinta,

tetapi kali ini berbeda, dimana aku mulai menyukai, menikmati bentuk pertemanan baru yang belum pernah kualami, maka masa SMA membuatku kembali terpisah dengan jutaan percikan hangat tadi,

masa SMA,
yang kujalani hampir tiga tahun ini, dimana pada kelas sepuluhnya kuhabiskan di X-3, kelas dengan atmosfer baru yang membungkus keakraban dengan lebih dewasa, menunjukkan perasaan baru yang kuanggap asing namun menyamankan, membius perasaan dengan berbagai macam kelucuan, kepolosan, keanehan, kepintaran, dan kebodohan yang memang sengaja kami ciptakan untuk dikenang suatu harinya,
dan memang benar,
semenjak naik ke kelas XI dan masuk di XI IPA 5, masih sering sebenarnya, tanpa sadar bibir mengucap kata rindu untuk kelas sebelumnya, mengucap kemarahan karena kelas yang baru tak bisa menyamai baiknya kelas yang lama, tetapi,
bukankah Tuhan memang selalu menciptakan kebaikan dibalik semua yang suah berlalu?
sampai akhirnya, aku kembali terlambat untuk sadar,
bahwa tenyata aku benar-benar sudah dibuat jatuh cinta (lagi),
oleh kelas yang pernah tidak kusukai, dan yang pernah kuabaikan kehangatannya, 

aku kembali dibuat jatuh cinta, dan kembali dibuat menyesal karena menyadari bahwa aku jatuh cinta, disaat enam bulan lagi kami harus kembali dibuat berpisah,
aku tahu aku sudah mulai rindu,
rindu bahkan ketika perpisahan saja belum dikumandangkan,
tetapi aku tahu betul, bahwa aku pasti rindu,
akan sangat rindu pada tiap waktu yang kami gunakan untuk tertawa, untuk saling menjahili, untuk saling mengolok, untuk saling mencontek, mengerjakan tugas di pagi hari sebelum bel berbunyi,
semakin akan rindu pada waktu dimana kami pernah mengunci Uka yang tertidur di kelas, rindu kepada saat buka bersama di rumah Ines, ataupun sangat rindu saat menyiram Wenny dan Novan yang sedang ulang tahun, dengan air kolam yang sudah hijau dicampur dengan pasir dan kapur tulis yang dilembutkan,
aku tahu sekali, bahwa akan banyak yang bisa kurindukan tujuh bulan lagi,
apalagi satu tahun lagi, ataukah dua tahun lagi, atau mungkin sepuluh tahun lagi? entahlah,
kujawab saja lain kali,

yang jelas, 
aku hanya ingin menegaskan bahwa apapun alasannya, sekolah itu indah,
sekalipun harimu tidak bisa terlepas dari remidi, ataukah guru istimewa semacam Pak Sulani,
kau akan selalu punya alasan untuk merindukan masa-masa penuh keseragaman itu,
masa-masa penuh peluh karena permainan, dan masa-masa penuh mimpi serta pengharapan,
serta, masa-masa penuh cerita yang hari ini seolah menuntut untuk diingat sebelum ia menjadi kenangan,

cintai saja masa sekolahmu,
karena ketika hal itu berakhir, maka tak ada hal lain yang bisa kau lakukan lagi selain memutarnya di dalam ingatan, dan menyesapi rasanya yang tak akan bisa kau gantikan, 
sekeras apapun kau mengusahakan..


dariku, yang (semoga) mencintai dan dicintai oleh sekolah :"D

Jumat, Desember 07, 2012

Tulungagung, 26 November 2012

(surat ini sudah lama dibuat, tapi belum sempat diketik)
(dibuat di meja belajarku,  jam 21:51 WIB)



Sepucuk surat tanpa maksud, sekaligus tanpa keberanian untuk disampaikan ini ku alamatkan kembali padamu ; Tuan Bertopi yang senyumnya selalu asimetris.

satu kata yang ingin ku ucapkan padamu sekarang ; hebat.
Hebat karena telah membuatku sebegitu kehilangannya sampai harus merelakan tinta dan berlembar-lembar kertas untuk menulis surat-surat yang pada akhirnya ku simpan di dalam box kecil polkadot-ku.

Untukmu, Tuan yang pasti sedang sibuk sekarang,

aku tak lagi ingin merecoki hidupmu dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting-ku mengenai duniamu, hanya saja aku sudah memutuskan juga untuk tidak berhenti menulis surat untukmu. Surat sepihak yang hanya kubaca sendiri dan bahkan mungkin tak kau sadari bahwa aku membuatnya.

Untukmu, Tuan yang hampir satu bulan ini menghilang dari orbit-ku. 

Aku tak lagi akan menanyakan kabarmu, karena yang kumiliki sekarang hanyalah doa tak putus berisi kebaikan sekaligus kebahagiaan untukmu. Doa yang hanya berani kuucapkan diam, kebisuan, dan keheningan malamku bersama Tuhan. Doa yang kukarang dan kurapalkan sendiri, yang tak jarang membuatku menangis pelan saat kuadukan pada Sang Maha Segala.

Disini sekarang sudah musim hujan, dan mungkin saja kotamu juga sudah hujan. Jadi ku harap, kau bisa bersikap dewasa dengan selalu menjaga kesehatanmu, makan tepat waktu, tidur secukupnya, dan satu lagi, jangan lupa minum obat untuk mencegah datangnya alergi-mu.

Maaf kalau aku kedengaran menyebalkan, tetapi mungkin itulah yang akan ku katakan pula kalau saja sekarang kau ada di depanku, 
bukan hanya sebagai Tuan Bertopi yang kucintai diam-diam, 
melainkan sebagai seseorang yang memang benar-benar berhak untuk ku perhatikan lebih daripada yang lain.
Kau,
tak ada lagi pesan yang bisa kutuliskan selain harapan supaya kau senantiasa hidup dengan baik disana, dan juga,
bahagialah...


Aku (tidak) Menunggu Sendirian.

Banyak hal yang belum sempat kita obrolkan ketika kemarin kita bertemu. Kalau hanya sekedar salam, sapa, dan pertanyaan seputar kabar, ya, kita memang membagi semua itu. Namun sebenarnya masih ada hal-hal diluar itu-yang sebenarnya lebih penting dari kabar dan sapa-yang kita abaikan, yang kita kesampingkan, seolah menganggapnya tidak ada dan kita tetap baik-baik saja.

Tapi benarkah kita sedemikian baiknya?
Benarkah kita sudah merasa cukup, meskipun hanya tiga ribu enam ratus detik saja yang mempertemukan kita?
Jika bagimu cukup, tidak bagiku.
Aku selalu membutuhkan waktu lebih dari tiga ribu enam ratus detik itu, apalagi jika untuk bertemu dan berbicara banyak denganmu. Karena bagiku, cerita-cerita yang ingin kuperdengarkan padamu seperti tidak pernah mau habis.

Cerita tentang bagaimana 'istimewanya' guru Matematika-ku,
cerita tentang bagaimana sulitnya pelajaran Fisika bagiku, dan cerita tentang apapun yang selalu ku ceritakan padamu melalui pesan-pesan singkat-ku padamu tiap pukul sembilan malam.
Sedangkan kau,
tak banyak yang bisa kau ceritakan padaku, tak banyak juga nama-nama yang kau sebutkan untuk melengkapi kronologi demi kronologi ceritamu, seolah membatasi pengetahuanku tentang dunia baru yang sedang kau jejaki disana, seolah menutupi pandanganku pada setiap kejadian yang kau alami ditempat itu, tanpaku.

Kupandangi sekali lagi wajahmu yang terlihat lebih putih sekarang, ada gurat kelelahan yang terpancar sekilas disana, namun kentara sekali bahwa justru kelelahan itulah yang sekarang sedang kau nikmati. Kelelahan yang tak pernah ku inginkan untuk ada sebagai bagian hidupmu, namun sangat kau inginkan di dalam hidupmu. Membuat pikiran dan pendapat kita saling berseberangan dan tidak berujung pada satu pemikiran yang sama dan sejalan.

"seharusnya kamu nggak perlu sekeras itu disana, toh biasanya aku lihat kamu santai," Kau menatapku sekilas, lantas kembali tersenyum simpul.

"sekarang aku udah nggak bisa santai lagi kayak dulu, disana keras, dan menuntut untuk dikerasin, " kau menjawabnya sambil tersenyum jahil,

"berarti nanti kalau aku kesana, aku juga bakalan seperti kamu? bakalan jadi sosok sekeras kamu, gitu?" Aku bertanya sekali lagi dan kau kembali tertawa,

"tergantung, kamu maunya begitu atau nggak.." jawabanmu klise, membuatku semakin ingin cerewet bertanya,

tapi aku memutuskan untuk diam, tidak balas bertanya dan menganggap semua jawabanmu sudah cukup sempurna, meskipun sebenarnya tidak.

"kenapa? marah?" kau menyenggol siku-ku, membuatku kembali memusatkan pandangan kearahmu,

"untuk apa? aku cuma berfikir, tentang bagaimana kita setelah hari ini, bagaimana kita setelah percakapan ini diselesaikan, dan entahlah, banyak hal aneh yang kupikirkan sekarang," Aku menolak menjelaskannya padamu, biar nanti kau baca sendiri maksudku,

 "jangan membuat perkiraan sembarangan, jangan suka menyimpulkan apapun tanpa alasan yang jelas, ingat itu?"

Tentu saja aku ingat ucapanmu yang itu, ucapan yang kau tegaskan ketika satu bulan yang lalu aku mendiamkanmu, marah-marah tak jelas karena kehilangan kabarmu, dan uring-uringan setiap hari karena kesibukan yang menenggelamkanmu.

"Terakhir yang ingin aku tegaskan sama kamu, jangan pernah menenggelamkan diri di dalam pikiran buruk, dan jangan sekali-sekali kamu merasa bahwa hanya kamu yang bisa menunggu,"

Kau berkata tegas sambil menatapku sekilas, namun sedetik kemudian kau kembali menyibukkan diri di depan modul-modul yang tak ku mengerti isinya.

"Jadi maksudmu?" Aku sungguh ingin tahu pernyataan apa yang sebenarnya tersirat dibalik pesanmu tadi, namun kau kembali menyunggingkan senyum asimetrismu itu. Membuatku mengerti bahwa itu adalah cara ampuhmu untuk mengakhiri perdebatan kita.

"ku tunggu kamu di depan gerbangnya, nanti kulanjutkan kalimatku yang tadi !! "

kamu sedikit berteriak sesaat sebelum sosokmu menghilang dari pandanganku, kembali mengayuh sepeda putih kesayanganmu itu, dan berlalu dengan senyum yang selalu membuatku kembali percaya padamu,
bahwa sebenarnya,
kau tidak pernah membiarkanku menunggu sendirian :)

Bukan sekedar tentang Perasaan, tetapi Pemahaman.

mungkin kau pernah, merasa bahwa seseorang yang biasanya memanggilmu dengan suara yang tak mengesankan apa-apa, tiba-tiba saja mulai sering memperhatikanmu di balik diamnya,
mulai sering mencuri curi pandang ke arahmu saat kau sedang sibuk dengan tugas-tugasmu, ataupun saat kau sedang bercanda dengan teman lain, atau juga, saat kau sedang tidak sengaja tertidur di kelas,
mungkin kau pernah merasakan pula, bahwa seseorang yang biasanya tersenyum dengan cara yang teramat sederhana,
tiba-tiba saja berubah menjadi mudah menyunggingkan senyumnya hanya karena melihat tingkah polahmu yang sebenarnya biasa,
ia menjadi tidak biasa bahkan ketika kau masih saja menganggapnya biasa,

mungkin kau tidak pernah tahu bahwa aku menulis ini untukmu, mewakilkan sebuah ungkapan dari seorang teman, yang tiba-tiba saja menyukaimu,

kau seharusnya juga bisa mengendalikan diri, menjaga sikapmu untuk tidak terlalu mudah mengumbar keramahan,
yang pada akhirnya membuatnya menyalahartikan sikap itu, membuatnya diam-diam melamunkanmu, dan memikirkanmu sepanjang waktu,
seharusnya kau bisa menjaga diri, dari sikap dan mulut manis, yang pada akhirnya membuatnya menyanyikan lagu-lagu berlirik cinta untukmu,
sebenarnya tidak pantas juga aku mengatakan hal ini, mengingat bahwa tidak ada juga yang bisa kulakukan kepadamu, sekedar memperingatkanmu untuk tidak berjalan terlalu dekat kedalam hidupnya,
memperingatkanmu untuk menjaga jarak, supaya ia tak lagi merenungi nasibnya yang tak berubah disisimu,

ini bukan sekedar tentang sebuah perasaan,
yang bisa kau artikan secara sederhana tanpa terlebih dulu mencernanya,
bukan juga sekedar tentang merasakan,
yang mungkin saja kau sebut dengan mudah, semudah kau membuatnya menyukai dan semudah kau membuatnya sangat patah hati,
melainkan ini juga tentang pemahaman, bahwa tidak semudah itu ia bisa mencerna maksud 'bukan apa-apa' yang kau katakan,
ini juga tentang bagaimana caranya memahami, sekaligus menyadari,
bahwa  kau juga salah satu alasan kenapa aku menulis hal ini...

Memahami Ketidakpahaman

(hari ini UAS Fisika, dan aku lelah sekali, 
terus menerus membohongi diri bahwa tak ada lagi yang kuingat tentangmu..)

mungkin ini yang kau sebut kebodohan, 
yang kau sebut ketololan, 
dimana masih saja kusediakan waktuku secara sukarela hanya untuk diabaikan, 
menyediakan waktu dengan senang hati, hanya untuk dibiarkan menunggu,
mungkin ini yang kau katakan sebagai ketidakberdayaan,
dimana hanya mempercayai sesuatu yang tidak pernah meminta untuk dipercaya,
mungkin saja ini yang kau sebut kesetiaan, yang hanya menyimpan satu nama di hatinya, sejak awal ia mengenal rasa suka sampai semuanya tidak lagi sama,
mungkin juga ini yang kau sebut pengharapan, dimana hanya ada satu doa untuknya, semoga ia bahagia, semoga ia baik-baik saja, dan semoga harinya senantiasa menyenangkannya, sekalipun kau tak pernah ada disana, sekalipun kau tak pernah melihatnya secara langsung,
dimana kau selalu mau  dan menyediakan diri untuk disinggahi, mau dan secara sukarela menghapus semua rasa lelahnya, sekalipun setelah itu ia kembali pergi dan mungkin akan kembali lupa padamu,

ceritakan padaku bagaimana rasanya 'merasakan', sekedar tahu bahwa garam itu asin, sekedar tahu bahwa gula itu manis, ataukah cabe itu pedas?
begitukah definisimu untuk merasakan?
hanya sebatas kau bisa mengecap lantas kemudian hanya menghafalkan?

jika memang hanya seperti itu, mungkin memang benar jika aku disebut bodoh,
benar juga jika aku disebut tolol, benar jika aku disebut tidak berdaya,
karena aku masih saja memberimu waktu, sekedar hanya untuk menunggumu mengingat-ingat bagaimana bentuk pertemuaan awal kita, serta bagaimana caraku menyapa,
karena aku masih saja memberimu waktu untuk mencari-cari, apa yang sebenarnya sedang kusembunyikan rapat-rapat di dalam hati, walaupun sebenarnya kau berulangkali mengatakan bahwa kau tak bisa mengerti,
aku hanya belum lelah memaksamu untuk tahu,

sekalipun beberapa mengatakan bahwa ini hanyalah bentuk kesetiaan dan pengharapanku, 
yang semestinya layak juga untuk dipuji dan disetujui, 
hatiku juga bisa berteriak,
menyuruhku untuk menghentikan langkah, yang selalu kau tinggalkan,
menyuruhku untuk berbalik arah, dan mulai memperjuangkan selain dirimu,
menyuruhku untuk menyudahi pengejaran, yang selalu bermuara pada kelelahan dan ketidakpastian,
menyuruhku untuk mengakhiri,
setiap caraku untuk senantiasa memahami semua ketidakpahamanmu terhadapku.

Minggu, Desember 02, 2012

Bukan karena tak berhijab lantas kau bisa menempelkan label 'dosa' di keningnya..

adakah ini disebut kesalahan, 
ketika hatimu belum tergerak untuk melakukan apa yang banyak dilakukan gadis-gadis sekarang?
ketika hatimu hanya berangan-angan untuk bisa juga ikut merasakan betapa cantiknya berjilbab?
adakah ini disebut dosa tak terampuni,
ketika hatimu yang paling dalam sering merasa haru ketika melihat perempuan-perempuan lain berjilbab,
namun dirinya sendiri merasa masih belum sanggup ikut melakukannya?
adakah ini disebut celaka parah,
ketika kau belum juga mengikuti anjuranNya untuk menutupkan hijab kepada tubuhmu?
bisakah, kau belajar mengkaji terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menghakimi?

aku memang dilahirkan sebagai gadis Muslim, yang sebenarnya memiliki kodrat untuk menutup auratnya,
yang juga memiliki kewajiban untuk berkerudung, dan berhijab,
aku tahu benar soal itu,
bukan juga menjadi maksudku menunda-nunda waktu untuk mulai mengenakannya,
sama sekali tidak pernah aku memiliki kehendak untuk menolak berhijab, hanya saja, aku tak berkuasa atas segalanya, aku tak berkuasa atas gerak hati, sekalipun sudah menjadi seharusnya aku mengendalikannya,
kau mau tahu benar apa alasanku tiba-tiba menuliskan topik ini sekarang?
sejujurnya aku tak benar-benar butuh jawaban 'ya' ataupun 'tidak' darimu, karena tanpa kau minta sekalipun, aku tetap bersikeras untuk menjelaskannya,
hal ini bermula dari perkataanmu yang jika kutafsirkan sekilas, bermakna demikian ;
gadis yang tidak baik adalah gadis tanpa jilbab

adilkah perkataanmu itu?
kau berkata seolah aku ini adalah seorang pendosa yang pantas diasingkan hanya karena aku bersekolah di sekolah umum, dimana teman-teman sekelasku terdiri dari laki-laki dan perempuan yang seolah melupakan batas,
dan yang palig parah menurutmu adalah karena aku gadis yang tidak berjilbab,
seolah dengan gelar itu kau pantas mengata-ngataiku sebagai seseorang yang tak memiliki prinsip hidup,
kau seolah memberi cap pada setiap gadis yang tak berjilbab, bahwa berteman dengan mereka hanya akan membawamu ke dalam keadaan yang setiap detiknya akan bernilai maksiat ; keburukan akhlak dan kebobrokan mental yang tak mampu diperbaiki,
perkataanmu tadi seperti menyudutkan,
sekaligus melemparkanku ke dalam kesalahan yang tak mampu diampuni sampai kapanpun, 
masih ku ingat jelas bagaimana kata-katamu tadi, yang membuatku hampir saja kalap dan mencekikmu,

"kalau hanya berteman dengannya satu atau hari, itu tidak masalah,
tetapi kalau sampai bertemannya lebih dari satu minggu atau bahkan satu bulan, itu hanya akan membuatmu ikut terpengaruh mereka.."
itu ucapmu, kala kau berbicara dengan salah seorang temanku di telepon, malam kemarin,
dan masih kuingat detilnya ketika dengan berbisik, temanku itu berkata bahwa kau tidak menyukaiku,
kau tidak menyukai temanku itu berteman denganku, karena kau menganggapku gadis yang tak berprinsip, 
tetapi saat itu aku hanya balas menyeringai lebar, menyembunyikan kemarahan sekaligus ketersinggungan yang hampir saja meledakkan isi kepalaku,

aku tahu bahwa mungkin ke-Islamanku sama sekali belum menyentuh titik sempurna, 
tahu bahwa sebagai seorang gadis Muslim, tak sepantasnya rambutku masih saja terlihat,
tetapi dibalik semua alasan penundaanku mengenakan kain suci itu, apakah kau tahu tentang prinsip hidup yang selama ini kupegang?
prinsip untuk meletakkan kebahagiaan keluargaku diatas kebahagiaanku sendiri, sekarang,
prinsip yang akhirnya membuat sosokku menjadi kaku, datar, atau bahkan berkesan dingin.
pernahkah kau tahu bahwa mengenakan jilbab juga merupakan tugas yang berat,
berat karena banyak yang sudah mengenakannya, namun tak pernah benar-benar menginginkannya,
pernahkah kau menyadari bahwa tak semua gadis yang tubuhnya terbalut hijab sempurna, hati dan tingkah lakunya sesempurna hijabnya yang berwarna keemasan?
pernahkah kau menyadari, bahwa tak hanya satu, gadis berjilbab yang masih saja menunda melakukan shalatnya?

ataukah mungkin kau juga belum pernah tahu bahwa masih banyak gadis yang memutuskan untuk belum mengenakan hijab, namun lakunya teramat lembut, laksana sutra yang digunakan sebagai kerudung terindah?
ataukah mungkin kau belum pernah menemui, gadis-gadis tanpa jilbab, yang amat sangat menjaga shalatnya dari lalai, menjaga segala ibadahnya, sebaik seorang ibu yang menjaga putri cantiknya?
ataukah bahkan kau belum pernah menemui,
gadis tanpa jilbab yang senantiasa merindukan hijab untuk melekat manis di lekuknya, melupakan segala macam keinginan dunianya, dan bahkan senantiasa menjaga gerik hatinya?

maka aku hanya menyimpulkan satu,
kau belum pernah bertemu dengan gadis berhijab yang lakunya hanya bernilai penghinaan besar-besaran terhadap kerudung di kepalanya...


dariku, yang teramat kecewa dan tersinggung dengan kata-katamu tadi malam

Sabtu, Desember 01, 2012

Untuk Si Suara Bagus :)

aku lelah,
dimana setiap kali kuputuskan untuk berhenti dari upaya memperdulikan,
di saat itu pula lah, apa yang ingin kualihkan kembali meminta untuk diperhatikan,
sangat lelah,
dimana setiap kali kuputuskan untuk terus berjalan, meneruskan langkah setengah berlari ini,
maka ia berjalan menjauh, meninggalkan jarakku yang masih tertinggal dibelakangnya,
rasanya tak pantas,
masih saja mengais sisa rasa, yang sejujurnya tak pernah kau anggap ada,
yang sebenarnya masih saja ku akui secara sepihak, diam-diam maupun secara terang-terangan dihadapan teman dan sahabat.
rasa yang kuciptakan sendiri, rasa yang berjalan dibelakang peristiwa 'melihatmu kembali',
yang masih juga tidak bosan mengganggu setiap detik yang berusaha ku abaikan, yang juga mengganggu waktu-waktu yang seharusnya kugunakan untuk makan, mengerjakan tugas Fisika 45 nomor itu, dan juga tidur,
tetapi aku memilih untuk menggunakan waktu itu untuk menghadirkanmu disini,
di ruang yang seharusnya tak pantas ku singgahi, apalagi mengingat status-mu yang sekarang telah menjadi pengantin pria-nya..
aku, yang sampai saat ini masih saja suka melihatmu dari batas yang tak bisa ku tembus,
menikmati lembut suaramu membacakan cerita siang, membingkai wajah lucu-mu dari kejauhan dengan jemari yang tak bisa bersinggungan dengan kulit-mu,
aku, yang secara bodoh mengaku telah jatuh cinta padamu,
padamu,
ya, padamu, sosok yang jelas-jelas tak mengenalku,
padamu, yang wajahnya mampu mengukir senyum gila-ku.
padamu, yang jelas-jelas telah dimiliki, namun masih juga kulamuni tanpa henti,
aku jelas terlalu bodoh,
terlalu naif karena mempercayai cerita roman novel-novel picisan yang jelas-jelas memiliki label 'fiksi' di sampulnya,
terlalu polos karena dengan bangganya mengucap janji untuk memiliki hatimu di suatu hari nanti, hari dimana janji itu hanya akan menjadi uap tak berarti, terbuang sia-sia dan tertutup alunan indah biola milik istrimu,
maaf jika aku terlalu berlebihan menuliskan ini,
hanya saja, apalagi yang bisa kulakukan untuk mengungkapkan perasaanku?
mengingat kita yang tak pernah saling mengenal, kita yang bahkan tak pernah membagi sapa ataupun seulas senyum tanpa makna sekalipun,
karena satu-satunya yang kutahu hanyalah,
aku penggemarmu,

sebatas penggemar yang hanya bisa menitipkan salam-salam sayangnya melalui fantasi, ilusi, dan halusinasi,
sebatas penggemar yang mungkin hanya bisa mendapat sepatah terima kasih dari mulutmu, karena doa yang kuucapkan di hari sakralmu beberapa waktu yang lalu,
maaf jika ini semakin panjang,
namun aku hanya ingin merasa lega, merasa lebih baik sehingga tak lagi memiliki perasaan sesak esok paginya,
aku hanya ingin memberi penghiburan terhadap patahnya hatiku hari ini,
hanya ingin memberi penegasan pada diri, untuk segera bangun dari mimpi, mencoba menghadapi pagi, dan hari-hari yang pasti berbeda dari sebelumnya--saat dimana kau masih belum dimiliki.
aku tak pernah mendoa setulus ini untuk sebuah pernikahan, mengingat bagaimana selama tujuh belas tahun ini, belum pernah sekalipun aku jatuh cinta pada seorang pengantin sepertimu,
namun khusus untukmu dan dia,
aku secara sadar, telah mengucapkan sebaris doa yang ku ulang-ulang di dalam hati,
doa terbaik yang mungkin pernah kau miliki sepanjang dua puluh tahun umurmu,
doa supaya kau selalu bahagia,
doa supaya kau selalu bahagia,
apapun alasannya,
dimanapun kau berada,
dan betapapun aku tahu, bahwa kau tak mungkin mendengar doa ini..

untukmu, seseorang dengan suara sebening embun, tatapan sehangat matahari pagi, dan senyum sebaik sahabat yang tak pernah ingkar janji,

salam (kenal) hangat dariku,
yang beberapa tahun dari sekarang, berharap untuk bisa berada di tempatmu, sekalipun bukan untuk memilikimu

Jumat, November 30, 2012

Berhenti Mencintai by Morra Quatro


Berhenti Mencintai
Jadi, katakan padaku,
bagaimana rasanya berhenti mencintai?
Melihat kehadiran dia
kemudian segalanya tiba-tiba terasa amat biasa,
 atau bahkan membuatmu jengah.
Saat-saat ketika kamu mungkin amat ingin memberi seulas sapa,
tapi menarik diri karena tahu,
tak akan lagi ada yang istimewa.
Bukan tentang daya tarik diri yang sedang aku bicarakan,
bukan saat-saat ketika dia mungkin salah potongan rambut
atau sedang kelebihan berat badan.
Karena, bahkan di saat-saat terburuk itu
kamu pernah mendengarku berkata,
aku tidak suka apa-apa yang datar,
kecuali saat kamu bercanda.
I saw you at your worst, and I still think you’re the best.
Aku pernah menulisnya di sini.
Kataku, aku amat takut akan tiba suatu hari,
 ketika aku tidak menginginkan kamu lagi.
Satu dari monolog-monolog
yang ada kalanya aku ingin kamu membacanya.
Aku tak tahu
pernahkah kamu benar-benar membacanya,
 sebagaimana halnya aku tak tahu
pernahkah kamu
benar-benar membaca surat-surat yang kukirim itu.
Benar-benar merasakan
bahwa aku memiliki energi sebesar itu untuk mencintaimu,
 mengerahkan seluruh hati untuk tetap menerima
di saat-saat terburukmu,
dan terus bertahan meski diabaikan.
Kamu juga telah membuktikannya.
Aku sudah pernah, Sayang.
Aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya.
Bertahan dalam pasungan bodoh
melewati tahun-tahun
yang tak akan sanggup dilewati siapapun
tanpa cinta yang yang setia.
Memberi segala yang mampu kuberi,
dan tidak menerima apa-apa.
Dan terus mencintai—hingga pada akhirnya kutemukan cinta lain
yang di sana hatiku terlindungi.
 Kemudian menjadi sungguh-sungguh lupa,
bahwa sebelumnya,
aku pernah mencintai dia.
Ketika dia datang kembali,
aku sudah benar-benar tidak menginginkannya lagi.
Aku berhenti mencintai.
Betapapun dia kemudian
mengiba mengharapkannya.

***

Mereka bilang aku tidak punya kecerdasan itu.
Kecerdasan untuk mengurangi jumlah cintaku
ketika hatiku telah jatuh,
yang kemudian membuat dia berpikir
 bahwa aku akan terus berada di sana,
menanti dengan setia.
Kecerdasan yang mungkin
 akan mampu menyelamatkanku
dari kehancuran hati berkali-kali.
Kecerdasan yang melindungiku
dari dimanfaatkan keadaan—aku tak punya.
Aku terlalu tulus.
Tapi aku menyukai diriku yang terlalu tulus.
Aku menyukai
saat ketika hatiku serta merta jatuh.
Saat-saat ketika
aku tak perlu bersusah payah untuk menahannya,
 dan perasaan menyenangkan
ketika seluruh cinta itu tumpah.
Seperti yang kurasakan padamu.
Tapi mungkin mereka benar.
Itulah yang kemudian
membuat diriku selalu dimanfaatkan.
Tak pernah jera karena diabaikan,
dan tetap menyediakan diri untuk terus disakiti.
Tapi, Kekasihku…,
saat ini sudah bukan itu yang kutakutkan lagi.
Saat ini, aku takut hari itu benar-benar tiba.
Hari ketika kamu pada akhirnya menginginkanku.
 Setengah mati ingin aku mencintaimu,
namun di saat yang sama,
aku sudah tak punya sedikitpun lagi yang tersisa.
Karena meski aku tidak memperlihatkannya…,
di saat-saat itu,
hatiku sungguh terasa perih.
Sakit ketika diabaikan.
Cemburu ketika kamu tidak tahu,
rindu namun tak yakin
haruskah mengungkapkannya padamu.
Dan ada saat-saat ketika aku sungguh lelah.
Maka, barangkali kamu ingin mengantisipasi ini.
Mungkin saja,
kelak, pada suatu hari nanti…,
aku benar-benar tidak menginginkan kamu lagi.

***