Kamis, Januari 30, 2014

Kita ; hanya butuh jarak untuk saling mengaku cinta.

Boleh aku terkejut?
Bukan apa-apa, ini hanya tentang sebuah pesan singkatmu yang mampir di inbox ponselku.
"Apa kabar?"
Tanyamu ringan. Seolah lupa bahwa ini sudah memasuki tahun ketiga semenjak aku tak lagi pernah mendapati kabarmu.
Tahun ketiga semenjak kamu mengatakan bahwa beasiswa Belanda itu harus kamu ambil.

Aku mengiyakan saat itu.
Aku hanya tahu, kamu benar-benar menginginkan beasiswa itu, dan aku, tak punya alasan sama sekali untuk menahanmu.
Jangankan menahan. Membuatmu berfikir barang sekali atau dua kali saja aku tak punya kuasa.

"Rin, ini Raga. Masih ingat, kan?"
Pesan kedua datang.

Tentu saja aku masih mengingatmu, Ga.
Bahkan setelah kamu pergi pun, aku masih mengingat wangi musk kesukaanmu.
Masih mengingat bahwa tiap tanggal 20 Januari kamu berulang tahun.
Masih ingat, bahwa kamu paling suka makan nasi goreng tanpa saus dan tanpa pedas.
Masih ingat, entah apa lagi.
Terlalu banyak, Ga.
Terlalu banyak hal yang masih kuingat tentangmu.
Dan kamu tak pernah tahu itu.

Aku masih diam.
Mematung bodoh dengan hanya memandangi pesan singkatmu, tanpa tahu harus membalas apa.

Semua tentang kamu selalu berhasil membuat otakku berkabut, Ga.
Selalu. Tak pernah tidak.

Pada menit ke sepuluh diamku, ponsel putih itu berdering.
Nomor tanpa identitas.
Namun hatiku lebih dulu berdebar.
Membuat otakku menyusul tahu, itu pasti kamu.

"Assalamualaikum, Rin.."

"Waalaikumsalam, Ga.."

Kebisuan kembali jadi pemenang.
Aku diam.
Kamu lebih diam.

"Masih ingat aku, kan?"
Ucapmu pada akhirnya.

Seketika aku tertawa.
Bahagia. Sekaligus sesak.

Tuhan, aku rindu sekali suara ini..
Jeritku tertahan, dalam hati.

"Aku masih terlalu muda buat pikun, Ga.. Apa kabar?"

Kali ini ia tertawa.

"Pertanyaanku di sms aja belum dijawab, udah nanya duluan.."

"Aku baik, Ga.."

"Aku juga lebih baik, Rin.."

"Baguslah.."

"Aku kangen kamu, Rin.."

Seketika aku tercekat. Sesak itu semakin menjadi. Memeluk erat hatiku yang mungkin sudah biru.
Mungkin karena terlalu lama menahan rindu.

Sekali lagi aku tertawa. Tanpa berusaha mencari jawaban yang tepat bagi kalimat Raga barusan.

"Masih di Belanda, atau udah di Indonesia?"

"Aku kangen kamu, Rin.."

"Di Belanda enak nggak?"

"Airin, cukup !"

Aku tercekat untuk kedua kalinya. Raga membentakku. Dan itu sama sekali tak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Aku kangen kamu. Aku mau ketemu kamu sekarang.."

"Kamu gila.."
Desisku pelan.
Hatiku semakin sakit. Entah apalagi mau anak itu.

Datang dan pergi. Meninggalkan dan kembali semau hati.

"Aku beneran. Aku di bandara."

"Lalu?"

"Aku mau balik ke Belanda lagi. Nggak ada salam perpisahan kah?"

"Untuk apa? Untuk datang dan pergimu yang tanpa aturan itu?"

Emosiku tersulut seketika. Bagaimana bisa manusia itu berkata sedemikian gampangnya?

Seolah tidak ingat tentang kepergiannya tiga tahun lalu.
Seolah melupa pada apa yang membuatku teramat benci, benci karena aku masih saja tidak bisa lupa padanya, bahkan meski ia sudah memintaku untuk lupa.

"Aku mau ambil beasiswa Belanda itu, Rin.."
Ucapnya tiba-tiba ketika suatu saat kami sedang mengerjakan laporan praktikum.

"Kok?"

"Kenapa? Mendadak ya? Aku daftarnya udah dari lama, kok.. Cuma nggak cerita aja.."

"Berapa lama?"

"Tiga tahun. Tapi nggak tahu balik atau nggak.."

Aku seolah tertampar.

"Kenapa?"

"Ayah ibu mungkin ikut pindah tahun depan. Saudaraku kan pada di luar Jawa, lagian Mas Galih juga di Belanda.."

"Jadi ceritanya kamu mau pindah kesana?"

Aku segera memotong ceritanya. Berharap untuk segera tiba pada bagian-bagian yang tak membuatku sesak seperti sekarang.

"Ibu minta aku segera tunangan sama Dea.."

Aku tertampar sekali lagi.
Aku tahu Raga tak pernah main-main dengan ucapannya.
Ia pernah cerita soal Dea. Gadis puteri teman ibunya, yang sejak kecil dijodoh-jodohkan dengan Raga.
Gadis cantik calon dokter anak yang memang sedari kecil menetap di Belanda itu memang sangat diharapkan oleh orang tua Raga.

"Oh.."

Sejak saat itu Raga tak lagi banyak cerita.
Tak lagi sering menemuiku di kampus.
Tak lagi sering memintaku mengajarinya Bahasa Inggris.
Lalu kabar terakhir yang ku tahu, ia sudah berangkat ke Belanda.
Dan sejak itu, nomor ponsel maupun e-mailnya tak lagi bisa ku hubungi.

Raga seolah hilang.
Seolah minta dilupakan.
Seolah memintaku untuk tak lagi terlalu sering memikirkannya.
Raga masih kontak dengan teman-teman kampus kami.
Kecuali denganku.

Tak ada satupun pesanku yang dibalas.
Tak ada satupun panggilanku yang dijawab.
Sampai pada akhirnya aku lelah.
Lalu memutuskan kalah.

Satu tahun.
Dua tahun.

Aku tahu, Raga pulang ke Indonesia tiap bulan April.
Aku tahu, Raga selalu mengunjungi Jogja tiap kali ke Indonesia.
Selalu meluangkan waktunya untuk sekadar berkumpul dengan teman kuliah kami dulu.
Tanpa aku.
Itu pintanya, tiap kali ku tanyakan pada beberapa teman kenapa aku tak pernah diberitahu tentang kepulangannya.

Tiga tahun.
Aku cukup tahu. Cukup mengerti bahwa memang itu yang Raga mau. Juga cukup tahu diri untuk tak lagi memikirkan manusia yang satu itu.
Pura-pura tak peduli, bahkan  meski harus sesak tiap kali mendengar kabar kepulangannya.

"Aku minta maaf, Rin.. Aku memang salah.."

"Ya, kamu emang salah dari awal, Ga. Dan buat apa kamu minta maaf?"

"Aku tahu kamu marah, Rin. Tahu kalau kamu pasti kecewa.."

"Kalau sudah tahu, kenapa masih berusaha? Bukannya lebih baik kamu tutup teleponnya dan buru-buru berangkat ke Belanda?"

Tuhan, aku mau bertemu Raga. Tetapi bukan begini caranya..

"Aku mau kamu tahu, Rin. Aku akan pulang lagi, dan itu untuk kamu.."

"Jangan janji kalau kamu sendiri tidak yahu bisa menepati atau tidak, Ga.."

"Aku akan menepatinya, Rin. Asal kamu masih disitu.."

"Aku nggak bisa janji, Ga. Kalau memang Tuhan mau, kita pasti dipertemukan, kok.."

"Paling nggak kamu masih disitu kan, Rin?"

"Aku udah bilang, aku nggak bisa janji, lagipula ini nggak adil. Kamu pergi, dan aku menunggu bahkan tanpa kamu meminta lebih dulu.
Lalu sekarang? Aku nggak pernah kemana-mana dan kamu minta aku untuk nggak pergi..
Maumu apa, Ga?"

Aku sudah tidak tahan terus menerus diam dengan hatiku yang sesak.
Terlalu banyak yang ingin ku katakan pada Raga, sampai-sampai aku sendiri tak tahu harus memulainya darimana.

"Jadi, kamu nggak akan kemana-mana kan, Rin?"

"Kamu berdoa saja, semoga Tuhan masih mengabulkannya.."

"Pasti.."

Telepon ditutup.
Menyisakanku yang masih diam. Entah harus bahagia atau apa. Aku hanya terlalu terkejut.
Tuhan masih mengabulkan doaku.

Dan masih dalam diam yang sama.
Aku mengulang doa.
Semoga kali ini Tuhan mengabulkan doamu.
Doa yang juga ku aminkan atas nama kita.

Soal Dea?
Entahlah, kita bicarakan saja nanti setibamu di Indonesia.


*fiksi*

Pare, 30 Januari 2014
22 : 16 WIB



Jumat, Januari 24, 2014

tentang menyetia pada yang tak bisa dipercaya.

"Pernah merindukan seseorang dengan sangat?"

Pertanyaan ini membuka pagiku hari ini. Maka ku anggukkan kepala dengan cepat sebagai jawaban. Kemudian ia justru menanggapinya dengan tertawa.
Setelah itu kami mengobrol banyak. Bertukar cerita satu sama lain selama berjam-jam. Sampai akhirnya ia tiba pada kisah cintanya.
Kisah yang ia sendiri tak tahu bagaimana prolog-nya. Tak tahu, bagaimana pula cara menuliskan epilog-nya, kelak.

Ia hanya mengatakan, bahwa ia lakon yang sedang berusaha setia.
Gantian aku yang tertawa.
"Pada apa kamu menyetia?"
Tanyaku pada akhirnya.

"Pada apa, yang janjinya untuk menyetia tak begitu mampu ku percaya.."
Lagi-lagi jawabannya membuat keningku berkerut. Sungguh, aku tak tahu seperti apa jalan pikir orang ini.
Menyetia, tapi pada orang yang tak bisa ia percaya.
Lalu buat apa?

Ia tak banyak menjelaskan sosok yang dimaksudnya tadi. Hanya saja ia menceritakan bahwa justru ketidakpercayaannya itulah yang membuatnya mau setia.
Aku masih tak paham.

"Kalau kamu merindukan seseorang, dan satu-satunya hal yang kamu bisa adalah cukup dengan merindukannya, apa kamu masih mau melakukannya?"
Tanyanya sekali lagi.

"Tentu saja. Kadang, sudah mampu merindukan saja rasanya lebih dari cukup.."
Jawabku.

"Nah, sama halnya dengan ketika kamu hanya bisa menyetia. Bahkan pada apa-apa yang janjinya tak lagi bisa kamu percaya --bukan karena dia tak lagi setia, bukan itu, tapi lebih karena kalian sendiri sama-sama tak tahu tentang apa yang harus kalian miliki selain setia pada apa-apa yang tak nyata itu.."

"Tidak semua yang bisa kita percaya itu setia. Sama halnya dengan apa yang tidak bisa kita percaya, yang justru menjadi satu-satunya alasan dan kekuatan kita untuk tetap setia.."

"Jadi soal akhirnya, kalian hanya mempercayai semesta?"
Tanyaku sekali lagi. Masih teramat penasaran pada jalan pikiran orang ini.

"Justru semesta yang sedang mempercayai kami. Karena pada suatu saatnya nanti, ia pasti akan menagih janji. Apakah kami mampu menemukan jalan kembali atau tidak.."

"Kalau tidak?"
Ucapku cepat.

"Kalau tidak, ya biar saja, toh setidaknya kami sudah mencoba, kan?"
Jawabannya masih saja tenang.

"Ku doakan kalian mampu memenuhi kepercayaan semesta itu dan saling menemukan..
Aku percaya, kalian dipilih semesta untuk dipersulit bukannya tanpa tujuan."

Kami berdua mengakhiri obrolan tadi dengan secangkir kopi.
Sekilas aku melihatnya tertawa pada langit. Seolah sedang berterima kasih dengan caranya sendiri.
Dan tanpa sadar aku mengikutinya.
"Jika memang semua harus tepat pada tempatnya, tentu Tuhan punya cara sendiri untuk mempertemukanku kembali dengan Saga. Entah suatu hari nanti.."

Kami berdua saling menoleh dan mendapati diri masing-masing sedang tertawa.
Kami, dua wanita yang sedang dipercaya semesta, berusaha saling melempar tawa, meski tahu. Apa yang tersimpan, tak sebaik kelihatannya.


Pare, 24 Januari 2014
22 : 18 WIB

Jumat, Januari 10, 2014

"Aku pun, begitu.." Ucapmu,

Aku sampai pada hari ini
Lelahku mengumpul
Lalu menyimpul jadi satu
Ku periksa sekali lagi,
Masih namamu, ternyata, yang bercokol di ulu hati
Bersikeras tak mau pergi, bertahan tak ingin diganti

Hari ini,
Ku pikir akan ada waktu istirahat
Barang sejam, dua jam, atau kalau boleh sehari saja
Untuk membiarkanku melepas diri dari ketergantungan terhadap sosokmu
Untuk memberiku sebentar saja,
Kesempatan untuk merasakan, bahwa masih ada sosok lain selainmu, yang bisa saja tak membuatku menunggu..

Tapi lagi-lagi ku dapati 'tidak' darimu
Dari sosokmu yang bahkan entah harus kusebut sedang berada dimana
Dari cemburumu yang teramat egois
Yang menuntutku tetap menyetia
Dan menuntunku tetap berada di tempat yang sama
Juga dari kesanmu,
Yang bahkan hanya lamat-lamat kudapati dari beribu macam isyarat..

Lagi-lagi,
Aku sampai pada hari ini
Hari dimana maksudku untuk melepaskan hati darimu, muncul
Juga hari, dimana rindu yang mencandu itu,
Berebut tempat untuk saling bertemu,
Dengan rindumu,
Hari yang selalu sama,
Dengan datangnya perasaan kuat
Untuk tak lagi melepasmu,
Entah sampai kapan itu..

"Aku pun, begitu.."
Ucapmu, dua menit yang lalu.


Pare, 10 Januari 2014

Rabu, Januari 08, 2014

entah bagaimana cara melupa

Aku hampir lupa bagaimana rasanya bosan
Hampir tak lagi mampu mengingat bagaimana bentuk lupa
Entah siapa yang mengajariku demikian
Entah apa yang membuatku menjadi demikian
Aku hanya pernah mengenalmu
Pada sebuah waktu bernama pertemuan,
Yang lantas menjalar sebagai perkenalan
Aku hanya pernah tahu namamu
Pernah tahu kapan tepatnya tanggal ulangtahunmu
Pernah benar-benar tahu, apa saja makanan kesukaanmu
Meski tak pernah memberitahumu tentang apa-apa yang kutahu tentangmu itu..

Aku hanya tak pernah benar-benar melupa
Entah pada lengkung tawamu
Kerucut cemberut marahmu
Dan sumbang suaramu
Aku tak pernah sadar bahwa aku selalu mengingatnya
Menulisnya diam-diam saat kamu lelap
Atau melukisnya secara acak saat kamu tak sedang menoleh kearahku

Aku hanya tak pandai melupa
Tentang getar rasa yang kualamatkan khusus untuk namamu
Tentang pendar bahagia yang muncul akibat hadirmu
Dan tentang apa-apa yang terasa sempurna,
Tepat ketika aku tahu,
Kamu selalu ada

Entah pada apa yang sempat pergi
Atau pada apa yang pernah berpamit untuk tak ingin kembali

Aku hanya tahu
Aku dan kamu
Tak pernah benar-benar melupa tentang itu

Ini cuma soal waktu,
Katamu kemarin
Ya, tentu saja..
Kita tahu, karena kita sama-sama sedang menunggu..
Aku,
Dan kamu,


Pare, 8 Januari 2014

Selasa, Januari 07, 2014

Kupikir semua sudah selesai..

Kupikir setelah hari itu, semua selesai
Hari dimana kamu memutuskan untuk berjalan lurus, dan berbelok ke kiri
Sedangkan aku, memilih diam, dan masih terus menimbang tentang kanan atau kiri kah yang sebaiknya kupilih..

Kamu diam, memilih untuk tak bicara bahkan meski aku tahu ; matamu menangkap bayanganku
Kubiarkan kamu terus melangkah
Kubentangkan seluruh jalan, membuka semua kesempatan untukmu pergi,
Entah inginmu kemana..

Ku pikir semua sudah selesai, sejak hari itu
Kita memutuskan untuk tak lagi berjalan beriringan
Lelah, katamu saat menjajariku
Bosan, ucapmu sekali lagi saat duduk disampingku
Aku terlalu kekanakan, ulangmu sambil melepas pegangan tanganku

Kuputuskan untuk diam
Menganggap semua sudah selesai, lalu membiarkanmu mencari jalan lain yang katamu 'lebih baik' itu..

Sehari, aku baik..
Dua hari, aku masih baik..
Tiga hari, aku (berusaha) masih baik..
Seminggu, aku (mulai berpura-pura) masih baik..
Ingin sebenarnya ku panggil namamu agar menoleh kembali,
Entah sekadar menjawab panggilanku,
Atau lebih baik jika menjawab keingintahuanku,
"Mana yang kamu bilang lebih baik?"

Kupikir semua sudah selesai, saat satu tahun berjalan, dan aku masih mampu tertawa bahagia tanpa perlu berpura-pura
Kupikir semua sudah selesai, ketika kamu tiba-tiba datang kembali,
Menatapku sama seperti sebelum kamu pergi
Memanggilku sama, seperti saat kamu memutuskan untuk tak lagi ingin saling bersisi
"Ini yang kamu bilang selesai?"
Tanyaku getas pada sosokmu yang tertunduk.
"Kupikir begitu, tapi nyatanya aku kehilangan.."
Ucapmu pelan.

"Kehilangan? Kehilangan sosok yang membuatmu lelah? Sosok yang membuatmu bosan? Atau sosok yang kamu bilang masih kekanakan?"
Tanyaku sekali lagi. Kulihat kamu semakin dalam menunduk.

Tuhan, demiMu, aku rindu makhluk menyebalkan ini..
Jeritku tertahan, dalam diam, dan nyerinya hati.

"Semuanya.. Aku kehilangan seluruhnya..
Kurasa, aku lebih memilih terus-menerus lelah, bosan, dan mengurusimu yang kekanakan.."
Jawabmu ringan, dengan kepala yang tak lagi menunduk seperti tadi.

"Kupikir semua sudah selesai.."
Ucapku pada akhirnya.

"Ya. Selesai sudah semuanya. Padamu, akhirnya sempurna."
Jawabmu tegas.
Kali ini dengan tatap mata yang sama, senyum yang sama, dan genggaman tangan yang sama.

Bodohnya, aku mengangguk.
Percaya.
Begitu saja.

Tuhan, jika memang ini ujung mimpiku. Biarkan aku hidup didalamnya.
Kekal, entah sampai kapan.
Asal bersamanya.
PadaMu, kusimpulkan doa.

(Pare, 7 Januari 2014)

Senin, Januari 06, 2014

Semua yang berumah, pasti pulang dan kembali.

"Cinta selalu pulang sekalipun ia pernah pergi. Karena apa-apa yang berumah ditakdirkan untuk menemukan jalannya kembali. Sekali lagi.."

Aku memegang buku bersampul hitam biru itu, lalu mulai membuka halaman demi halamannya.
Ada namamu.
Tercetak rapi di bagian tengah buku. Kecil-kecil, namun mengisyaratkan jelas jika itu milikmu. Milik hatimu.
Ku balik sekali lagi halamannya, kali ini aku terperanjat.
Namaku kau tulis disana.
Di tengah-tengah goresan lembut ceritamu, namaku berkuasa. Menjadi seorang tokoh utama, yang diam-diam kau cintai sendiri.

"Pada setiap apa-apa yang pernah hadir. Aku melihatmu. Dan pada apa-apa yang belum pernah hadir, aku mengharapkanmu.."

Kali ini aku sampai pada halaman tengah. Yang sama penuhnya dengan halaman-halaman sebelumnnya.
Masih namaku.
Juga namamu.
Ada disana. Berkuasa sebagai tokoh utama yang ditakdirkan bersama.
Seketika aku mencari-cari sosokmu, tak ada.
Mungkin ada baiknya jika ini kulanjutkan, tanpa perlu menunggumu datang, juga tanpa harus bertanya ini-itu.

"Akan selalu ada waktu, entah dari sisimu, atau dari sisiku. Yang diam-diam merindu. Yang perlahan merapal ragu, dalam kelu, semu, dan cinta yang tanpa saling tahu.
Kau tahu? Aku percaya itu."

Aku juga.
Ku jawab sendiri setiap tulisanmu tanpa sadar. Ku biarkan inginku mengudara bebas, seolah rasamu yang selama ini meminta diperjuangkan.

"Tak peduli kapan. Entah nanti, atau suatu hari lagi, tak ada yang lelah dari rasaku.
Semua selalu meminta kembali.
Padamu ; tuan dan rumah terbaiknya.."

Kali ini aku tersipu.
Kau terlalu pandai menyembunyikan rindumu yang mencandu.
Terlalu rapi menyimpan cintamu yang semakin menjadi.

"Suatu saat nanti.
Tak peduli lagi pada apa-apa yang ada padaku, juga padamu.
Aku mau kau kembali.
Disini ; hati, dimana kau boleh melelah tanpa batas.
Dimana kau boleh berakhir.
Entah menjadi bintang yang padam saat siang,
Atau juga,
Sebagai matahari yang tak pernah ingkar untuk pulang ketika malam menjelang.
Kau boleh jadi siapapun.
Asal disini ; disampingku.."

Buru-buru ku tutup buku bertulis namamu dan namaku itu.
Segera mataku mencarimu,
Ada.
Aku menemukanmu.
Duduk sendirian sembari menghabiskan secangkir espresso kesukaanmu.

Kulihat kau begitu terkejut dengan kedatanganku.
Begitu terkesiap bahkan hanya untuk melihat pantulan wajahmu sendiri, dari balik mataku.

"Darimana aja kamu?"
Tanyamu pelan setelah mampu menguasai keterkejutanmu sendiri.

"Dari hatimu, dan berencana untuk kembali dan menetap disitu.."
Jawabku cepat.

Seketika pipi bersihmu memerah. Menghangat serupa perasaanku yang bersambut sama.
"Dengan senang hati.."
Ucapmu lembut.

Demi apapun, kau benar.
Apa yang seharusnya kembali, tak akan pernah tersesat untuk pulang.
Termasuk kamu, hatiku.