Senin, Agustus 26, 2013

(titik - titik)


"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..." (Kahlil Gibran)

Senin, Agustus 19, 2013

Setidaknya, semut masih menggigit..


Kuperhatikan sekali lagi semut yang sedang berbaris di dekat kaki, yang meneruskan langkah seolah tanpa dosa karena beberapa dari mereka baru saja menggigit tumit sampai pergelangan kaki-ku. Sedangkan dua lainnya baru saja ku enyahkan dari sela-sela jari, sambil sedikit meringis karena panas yang ditimbulkan akibat gigitan makhluk mungil itu.

Beberapa menit kemudian pikiranku kembali melantur. Semut itu pasti terusik karena aku menghalangi barisan rapi mereka menuju remah roti yang berceceran akibat keponakan kecil-ku tadi. Seketika aku tersenyum. Entah hangat, ataukah justru miris. Sedikit menahan nyeri yang justru baru terasa setelah bermenit-menit sejak digigit semut tadi. 

Dan itu jelas bukan karena gigitan semut. Aku yakin sekali

***

Ia melewatiku begitu saja, tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun, juga tanpa mengalihkan tatapannya dari buku tebal yang sedari tadi menutup sebagian pandangnya. Hatiku mencelos. 

Sekecil apakah aku hingga tak tampak di kedua matanya, yang bahkan sudah tertutup kacamata minus dua itu. Ataukah, sebegitu transparannya penampakan-ku sampai ia bisa melewati dudukku tanpa mau meluangkan sejenak tatapannya, bahkan meski hanya untuk mencatatkan keberadaanku.

Sekali lagi, kutelan kecewaku dalam-dalam. Keleburkan sekali lagi harapan yang sempat timbul, tentang sapa ramahnya yang dulu pernah menjadi milikku. Entah seutuhnya, ataukah hanya sebagian kecilnya. Aku tak lagi peduli soal itu.
Aku hanya ingin ia melihatku. Lagi. Sekali lagi.

***

Kali ini kuputuskan untuk beristirahat sejenak di perpustakaan sekolah. Tempat yang paling disukainya diantara tempat-tempat lain yang juga disukainya disini. Tak munafik memang, aku berharap bisa menemukan sosoknya disitu. Dengan wajah tenangnya, menghadap sebuah buku, atau mungkin sedang menulisi buku jurnal pribadinya, atau bahkan mungkin sedang melamun sambil menatap jendela. Kebiasaan-kebiasaannya yang hampir selalu kucatat tiap kali kami berdua menghabiskan waktu di tempat tenang itu.

Dan aku beruntung.
Ia sedang duduk sendirian, seperti biasa. Kali ini sambil menghadap laptop putihnya dan dengan jari-jari nya yang sibuk mengetik diatas keyboard. Ia kelihatan tak terusik dengan kedatanganku, juga tak terusik dengan keributan yang ditimbulkan kelas di depan perpustakaan. 

Ia selalu punya dunia sendiri. Dan dulu, aku-lah satu-satunya orang yang bisa menemaninya di dunia itu.

Kuputuskan untuk tak lagi mengganggu tenang dunianya, bahkan meski hatiku meronta dan begitu merindukan sapa manis sekaligus senyum tipis bibirnya.
Tepat pada menit kelima aku memandanginya, ia menolehkan wajah dan menjatuhkan tatapan matanya di kedua mataku. 

Tatap itu masih saja datar, seolah melupakan bahwa ia pernah benar-benar menatapku dengan begitu hangat. Sedetik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya. Membuat kesadaranku terkumpul kembali. Bahwa ia bukan lagi yang memiliki tatapan sehangat matahari pagi, dan senyum yang se-ramah sahabat yang tak pernah ingkar janji.

Ia menciptakan perbedaan, dan aku-lah alasan atas perbedaan yang dibuatnya itu.

***

Jangan berharap apapun dari bentuk pertemanan kita!

Ia menatapku tanpa berkedip. Itu bentakan pertamaku padanya bahkan sejak tiga tahun kami saling mengenal dan memutuskan untuk berteman baik.

Aku.. Aku hanya senang-- bisa memiliki teman sepertimu.. Itu saja,” ia berkata sambil terbata-bata. Kuperhatikan sekali lagi manik matanya, ada kristal bening yang mengumpul di sudut-sudutnya, yang seolah akan pecah jika saja aku membuka mulutku sekali lagi.

Dan jangan pernah menulis tentangku..” itu ucapanku lagi. Yang akhirnya membuat pipinya memerah, dan satu hal yang kudapati setelah itu. 

Ia tak lagi menemuiku dengan senyum. Sedikitpun. Sampai sekarang.

***

Kali ini, entah mendapatkan perintah macam apa otakku. Kuputuskan untuk mengakhiri segala macam bentuk pengacuhannya terhadapku, dan kemudian memberanikan diri untuk menghampirinya. Terlebih dulu menyapanya mungkin adalah salah satu jalan yang terbaik untuk itu.

Sibuk?
Ia mendongak menatapku. Masih datar, dan seolah masih tak menganggapku benar-benar ada.

Tidak” 
 Jawaban yang tak pernah ia berikan pada siapapun setahuku. Ia tipe gadis ramah yang suka bicara. Yang selalu banyak bertanya, bahkan meski tahu tak semua pertanyaannya akan terjawab.

Bisa ngobrol sebentar nggak?” aku masih tak ingin melepaskannya kali ini. Karena entah karena apa, tiba-tiba saja ada sebentuk kebahagiaan baru yang timbul karena mendengar suaranya. 

Maaf, tapi aku terlanjur ada janji. Permisi..
Segera kuhalangi jalannya. Ia tak boleh terus menerus mengacuhkanku semau hatinya seperti ini.

Kamu bisa minggir nggak? Aku ada urusan penting !
Kali ini ia membentakku. Satu-satunya hal yang selalu tabu dilakukannya, apalagi terhadapku. Bahkan aku masih ingat perkataannya beberapa waktu lalu, tentang ketidakmampuannya untuk membenciku, sekalipun aku berkali-kali membuatnya berdecak kesal ataupun melotot sebal.

Ia menepis lenganku, dan menghindar dari hadapanku secepat yang ia bisa. Kali ini aku maklum, dan diam-diam menghentikan usahaku. Tatapan datarnya masih tak mampu membohongiku. Sekarang ia boleh menjauhiku sampai jarak terjauh sekalipun, karena meskipun demikian, tatapan matanya telah terlebih dulu memaafkanku.

***

Aku menggenggam erat-erat laptop di kedua tanganku, sangat takut jika benda itu sampai terjatuh hanya karena tanganku tak begitu kuat menahannya. Kuputuskan untuk telebih dulu duduk di teras kelas, sembari mengatur ritme nafas sekaligus mengumpulkan kekuatan setelah baru saja menghamburkannya karena hal yang teramat sederhana.

Bertemu Arga.

Entah sejak kapan pertemuan dengan anak itu bisa menghabiskan jatah kekuatan, yang seharusnya masih bisa kugunakan untuk menghadapi apapun di sekolah. Hal berharga diluar bertemu dan menghabiskan waktu untuk mengingat-ingat bentuk pertemanan kami, yang beberapa waktu lalu harus berlalu sia-sia bahkan sebelum perpisahan sekolah benar-benar membuat kami jauh satu sama lain.

Dan kalaupun boleh kuulang ceritanya sekali lagi, hal itu memang murni kesalahanku. Murni kebodohan yang terang-terangan kulakukan, bahkan meski sudah tahu konsekuensi apa yang akan kuterima jika saja berani melakukannya. Tetapi, siapa yang bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta?

Jawabnya memang ada. Tetapi, sepertinya jawaban itu sama sekali tidak merujuk pada kenyataan yang kuhadapi saat itu ; jatuh cinta pada Arga.

Kalau saja aku boleh memilih, maka aku tidak akan memilih untuk bertemu Arga. Tidak akan memilih untuk berkenalan dan membentuk pertemanan dengan anak itu. Memilih untuk tidak peduli sekalipun ia dihukum guru karena tidak mengerjakan tugas. Memilih untuk tidak memapahnya ke UKS saat ia pura-pura sakit. Memilih untuk tidak memperdulikan apapun yang terjadi padanya ketika aku tidak sedang bersamanya. Memilih untuk tidak mengajaknya masuk ke dalam dunia yang pada awalnya kunikmati sendirian. 

Apapun itu, jika berkaitan dengannya. Aku berharap bisa memilih untuk tidak memilihnya sebagai laki-laki pertama yang bisa membuatku sebegitu jatuh cintanya.
Aku masih ingat bagaimana ia menolakku dengan caranya sendiri. Penolakan yang dilakukannya setelah tahu bahwa selama kami berteman, secara diam-diam aku sering menulis surat untuknya. Menuliskan cerita tentangnya, juga tentang kami, lantas menaruhnya di dalam sebuah kotak yang hanya kubiarkan berdiam rapi di dalam almari meja belajar-ku.

Penolakan yang kemudian berujung pada pengacuhan demi pengacuhannya pada keberadaanku. Pada setiap langkahnya yang melewatiku, dan pada setiap tatapan matanya yang tak sengaja menangkap bayanganku. 

Ia mengacuhkanku begitu saja. Menganggapku tidak ada, dan membiarkanku melihatnya ketika ia tak sedang melihat kearahku. 

Arga tiba-tiba saja membuat jarak yang teramat jauh. Teramat jauhnya bahkan sampai aku sendiri tak tahu, apakah ada bedanya antara ia ada ataukah tidak. Karena satu-satunya yang terjadi ketika ia dan aku tak sengaja bertemu adalah ; kedua matanya yang tak lagi menatapku.

Dan bagiku itu sudah lebih dari sekedar penolakan. Lebih dari sebuah penghindaran dan usaha untuk bersembunyi. Maka, sebelum ia menghindar lebih jauh lagi. Kuputuskan untuk memisahkan langkah dari sosoknya, berharap dengan begitu ia bisa tahu. Dunia dan langkah kami tak akan lagi pernah bertemu untuk menyatu. Ia harus tahu itu.

***

“Arga, sebelumnya aku minta maaf kalau selama ini sudah lancang masuk ke dalam hidupmu. Tetapi terima kasih telah menjadi temanku. Karena satu-satunya hal yang paling kusayangkan setelah perpisahan bukan tentang kehilangan sosoknya, melainkan karena tahu bahwa apa yang sudah berlalu tidak mungkin pernah kembali lagi. Begitu pula dengan kita. Bukan karena aku takut tidak lagi bisa berteman denganmu, melainkan aku takut harus kehilangan teman sebaik kamu. Teman yang terlalu banyak memberikan ingatan nanti, yaitu disaat kamu dan aku mungkin tidak akan lagi saling mengingat nama satu sama lain.

Aku hanya ingin memberitahu kamu. Tentang sesuatu yang selama ini paling membuatku merasa menyesal. Aku memang pernah mengharapkan bentuk lain diluar pertemanan diantara kamu dan aku, tapi itu dulu. Dan seperti yang sudah kukatakan tadi, aku hanya takut kehilangan teman sebaik kamu kalau saja aku dengan berani menaruh harapan lain terhadap pertemanan kita. Maka sebelum kamu berfikir macam-macam, aku hanya ingin menegaskan bahwa demi pertemanan kita dan demi teman sebaik kamu, aku sudah mengalahkan harapan itu. 

Aku juga ingin kamu tahu, bahwa mungkin setelah hari ini kita akan segera berbeda langkah. Kita akan segera menemukan dunia kita masing-masing. Dan kita tidak akan pernah menjadi sama seperti kita hari ini ataupun kemarin. Maka kamu jangan khawatir, karena setelah ini, satu-satunya hal yang akan kuingat hanyalah satu ; terima kasih sudah menjadi teman baik-ku. Sampai kapanpun.

Salam,
Arinda
NB : Kamu tahu nggak, Ga? Kemarin aku baru saja digigit semut. Mungkin karena aku mengacaukan barisan mereka kali ya? Tapi nggak tahu kenapa, aku justru seneng karena semut itu gigit aku. Karena setidaknya, aku mampu mereka lihat dan mereka masih memberikan reaksi pada keberadaanku. Yah, meskipun aku cuma dianggap pengganggu sih.. Hehe, maaf kalau ceritaku konyol ya, Ga.. ”


Kulipat kembali kertas yang ternyata masih terbawa di dalam saku jaket-ku. Surat dari Arinda yang sejak satu minggu lalu membuat dunia-ku mendadak jungkir balik tanpa tentu. 

Masih satu minggu bagiku. Dan entah bagaimana gadis itu bisa bertahan diam dengan sikap bodohku saat itu selama hampir lebih dari enam bulan.

Dan tiba-tiba saja, aku merasa begitu ingin semut-semut itu kembali menggigitku.

Rabu, Agustus 14, 2013

Hanya dan Tidak Perlu


Ini hanya tentang ungkapan sederhana. 

Berlandaskan perasaan yang tidak sedikitpun mau mengungkapkan namanya. Yang datang secara serta-merta, tanpa satu atau dua sebagai aba-aba, sekaligus tanpa ada tanda sebagai petunjuk. Semua hanya bernamakan isyarat. Tentang sebuah gerak yang melambat menimbulkan tanya. Sekaligus senyum simpul yang berujung tawa, dan tatap mata sejuta makna.

Ia sebenarnya tidak pernah ingin membicarakan hal ini. Juga tidak pernah suka jika pada suatu kesempatan bicara, harus ada topik ini yang ikut ambil bagian di dalamnya. Tetapi ia sendiri tahu, ia tidak bisa selamanya menutup mata juga menulikan telinga. Apalagi menonaktifkan fungsi rasa, ia tahu benar bahwa hal itu akan bernilai mustahil bagi kemampuannya.

Apalagi ia seorang perempuan.

Yang katanya berperasaan sehalus sutera. Yang berkemampuan menangkap isyarat sehalus udara. Yang memiliki kelembutan, juga kepekaan untuk menerjemahkan rasa dari ketiadaan kedalam bahasa diam.

Awalnya, ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkan oleh hatinya. Tidak juga benar-benar paham mengenai apapun yang bisa saja dikehendaki oleh perasaannya. Semuanya selalu datang secara begitu saja. Tiba-tiba.

Sampai ketika seluruh waktu telah berhasil ditunggu sekaligus dilaluinya. Maka satu-satunya kesimpulan yang bisa ia tarik hanyalah ;
Bagaimana ia hanya ingin jatuh cinta, dan tidak melakukan apa-apa.

Benar. Dan ia memang benar-benar melakukan apa yang diinginkannya itu, dengan cara jatuh cinta lantas bersikap bahwa tidak pernah ada yang benar-benar terjadi—sekaligus, tidak ada yang perlu diusahakan ataupun diperjuangkan lagi.

Bagi pemahamannya kala itu. Tugasnya memang hanya satu, yakni jatuh cinta. Dan itu semua harus dilakukannya dengan benar. Benar-benar harus “benar”.

Maka ketika suatu saat itu datang—yakni ketika ia merasa tugasnya itu terasa berat—maka satu-satunya hal yang harus kembali diingatnya adalah ;

Ia hanya perlu jatuh cinta.

Dan tidak perlu melakukan apa-apa.

Senin, Agustus 05, 2013

Di sebuah ruang tunggu kedap suara. Aku menunggu..


Pada sebuah ruang tunggu aku memilih untuk menjadi salah satu penghuninya. Memasukinya tanpa ragu, dan berharap di dalamnya aku benar-benar akan, dan bisa menemukan apa yang selama ini ku tunggui tanpa bosan.

Satu jam bergulir cepat. Tidak terasa sedikitpun punggung-ku yang sebenarnya mulai nyeri. Entah itu benar-benar nyeri yang diakibatkan oleh lamanya dudukku. Ataukah justru nyeri karena apa yang berada di dalam hatiku merembes sampai kesitu.
Aku masih berada disitu. Di sebuah ruang tunggu yang aku sendiri tidak tahu, sampai kapan akau diperbolehkan duduk disitu.

Menunggu. 

Dua jam-ku habis tanpa benar-benar terasa. Kutolehkan kepalaku, berharap dengan begitu nyeri di leherku akan sedikit berkurang. Waktu menunggu-ku benar-benar mulai sedikit mengganggu. Lantas aku memohon ampun di dalam hati. Menegaskan sekali lagi pada hatiku bahwa saat ini aku sedang menunggu, bukan menghitungi jumlah bilangan di depan jam tadi.
Tetapi masa menungguku mulai terusik. Banyak hal indah yang entah sengaja atau tidak, silih berganti melewati tempat duduk-ku. Seolah sedang mengejekku dan ingin menampakkan dirinya di depan mataku. Mengacaukan waktu tungguku yang mulai memasuki bilangan tiga.

Aku terjeda.

Seseorang memanggilku untuk mendekat. Dan malangnya, kami adalah sahabat akrab sejak dulu, yang akhir-akhir ini harus terpisah jarak karena saling sibuk menenun gulungan mimpinya di lain tempat. Lain dimensi.
Kami mengobrol sebentar. Eh, bukan sebentar, melainkan hampir dua jam penuh. Membuat waktu tunggu-ku bertambah menjadi lima. Ah, aku kembali menghitungi lagi rupanya..
Sekali lagi. Aku memberikan waktu yang sama untuk berada di ruang tunggu itu lebih lama lagi.
Sedangkan sahabatku tadi, memutuskan untuk ikut duduk disampingku. Menemani, sekaligus berharap bisa melanjutkan ceritanya tentang kota-kota di Jawa Timur yang pernah dijelajahinya tanpa ampun itu.

Dan aku, sekali lagi hanya bisa diam sebagai pendengar. Atau sesekali menimpalinya dengan anggukan, atau gelengan. Atau bisa ditambah dengan sedikit ceritaku tentang awal mula keberadaanku di ruang tunggu ini.

“mau sampai berapa jam disini?” kalimatnya terdengar halus, tetapi berkesan mengintimidasi.

“entahlah. Sampai ia datang tentunya..” jawabanku mengalir lancar seperti biasanya. Bukan sekali atau dua kali aku ditanyai semacam ini.

“kamu tahu diluar sedang ada karnaval daerah?” sekali lagi ia bertanya.

“benarkah? Aku suka sekali melihat karnaval, tahu?” mataku membulat sempurna mendengar kalimatnya barusan. Ia harus tahu, aku suka sekali karnaval. Suka sekali melihat keramaian itu beredar sempurna. Penuh warna sekaligus tawa yang seolah tidak sedang ada ujungnya.

“tapi terlambat. Acaranya sudah selesai dua jam yang lalu. Pas ketika aku masuk kesini dan bertemu denganmu..” jawabannya datar, seolah tidak sadar jika jawaban datar itu mengalirkan raut kesedihan yang begitu mendalam. Hanya cermin yang mampu melihatnya dari mataku.

“kamu juga tidak tahu bahwa ruang tunggu ini kedap suara?” tanyanya sekali lagi. Membuat gendang telingaku seolah ditulikan sejenak.

Sejak kapan ruang tunggu kesukaanku ini berubah kedap suara?

“itu yang membuatku tidak pernah suka berada disini. Hal yang baru kutahu sangat kamu sukai..” ia berkata tajam, seolah ingin menyindirku secara halus. Namun tanpa sadar, intonasinya yang sinis itu bahkan sudah berhasil menamparku keras.

Aku menangis dalam diam. Di dalam pelukannya yang sehangat matahari pukul tujuh pagi. Telapak tangannya membungkus tanganku yang menggigil.

“aku akan mengajakmu pulang.. Dan tak akan kubiarkan sekalipun kamu memasuki ruang ini tanpa aku” kata-katanya menegas di ujung kalimat. Membuat tubuhku, kepalaku, jiwaku, terasa ringan meski sesaat.

“bawa aku pulang, dan jangan ajak aku kembali lagi..” mohonku dengan air mata yang masih mengalir. Menganak sungai walaupun ia terus menyekanya tanpa canggung.

“ruang tunggu ini pasti akan kita masuki kembali. Karena tidak akan pernah ada kedatangan, jika kita tidak mau berpisah dan kembali menunggu..” ucapnya pelan. Kali ini dengan senyum malaikatnya.

Lantas pelan-pelan dibimbingnya aku untuk keluar dari ruang tunggu itu. Sekali lagi ia menatap mataku, tepat di kedua bola-nya. Seketika aku tahu, ia tidak berdusta. Dan aku selalu percaya dengannya. 

Selalu begitu, berulang setiap kali tanpa sadar aku menarik tubuhku kembali kesini.
Di sebuah ruang tunggu yang kedap suara. Dimana aku selalu menunggu, tanpa bosan. Tanpa hitungan bilangan. Tanpa kepastian jawaban.