layaknya bertandang ke sebuah taman bermain
tempatnya datang, lalu tertawa senang, kemudian pergi
tanpa benar-benar pernah sadar
ada seseorang yang sedang ditinggalkan disini
sekali lagi, pada jarak aku belajar mempercayai
belajar menyerah
bahwa apa-apa yang memang ditakdirkan untuk dimiliki
pasti akan kembali
entah apakah itu akan berlaku sama
pada apa-apa yang hanya kembali
entah itu ditakdirkan untuk dimiliki
atau hanya untuk sekadar pengingat
sekadar isyarat
bahwa tak ada yang benar-benar bisa kita ketahui
selain ketidaktahuan itu sendiri
pun, tak ada sama sekali yang bisa kita pahami
selain ketidakpahaman itu sendiri
aku masih belajar
entah untuk mempercayai, ataupun sedikit demi sedikit meyakini
bahwa setiap sapa sumbang suaramu di telepon itu bukan sebuah kebohongan
bukan pula menjadi hal yang bisa menjadi sebuah alasan keraguan
aku hanya belajar menjaga bahagia
belajar mempertahankan apa-apa yang memang sejujurnya masih ingin kupertahankan
terlepas apakah aku sanggup atau tidak
aku menyerahkannya pada ketidaktahuan
"jangan pernah kemana-mana"
pintamu, entah untuk keberapa kalinya
sekali lagi aku tertawa
"kau yang pergi, bagaimana mungkin aku yang kau minta agar tak kemana-mana?"
"aku hanya tak pernah mau mempelajari perihal kehilangan"
jawabmu, lagi-lagi dengan suara sumbangmu di ujung telepon sore itu
"cukup katakan bahwa kau tak akan kemana-mana, sudah.."
sambungmu sekali lagi
"kalau memang tak ingin mempelajari kehilangan, maka belajarlah menjaga, mungkin itu lebih baik"
tutupku singkat
sekali lagi, jarak memukulku telak
menghadapkanku pada sebuah kenyataan
kalau saja aku sanggup memperingatkan hal itu lebih awal
mungkin kali ini aku tak akan sesulit ini ketika dihadapkan pada sebuah pilihan
tentangmu yang pergi, entah kapan kembali, dan selalu meminta untuk ditunggui
juga tentangnya, yang ada, nyata dan tak pernah beranjak kemana-mana
jika memang benar ini cinta, seharusnya hal ini akan jauh lebih sederhana..
*fiksi*
Sabtu, Juli 19, 2014
Rabu, Juli 16, 2014
Ini bukan pertama kali.
Mungkin
ini bukan pertama kalinya. Ya, tentu saja ini bukan yang pertama kalinya.
Karena usiaku dua puluh dua tahun, dan tentunya akan bohong sekali jika
kukatakan bahwa ini adalah kali pertama aku jatuh cinta.
Aku juga tak
bisa menyebut ini sebagai cinta pertamaku, karena sederhana saja, aku sudah
pernah mencintai seseorang sedalam ini sebelumnya.
Namanya
Satria, dan aku mengenalnya sebagai salah satu teman di redaksi majalah
tempatku magang kerja saat ini. Usianya hanya terpaut dua tahun diatasku, dan,
yah tentu saja ia adalah sosok yang cukup mampu menarik perhatianku.
“Rena,
untuk artikel kesehatan tolong kamu edit dulu ya. Aku sudah lingkari
bagian-bagiannya. Hari ini aku sibuk banget, jadi sepertinya aku nggak ada
waktu untuk mengedit itu..”
Aku
menoleh dan mendapati sosoknya yang penuh senyum, berdiri di sebelah
kubikel-ku. Hari ini, dengan kemeja biru langitnya, dan rambutnya yang masih
basah, aku harus mengakui bahwa ia terlihat sangat tampan.
“Siap,
Mas. Nanti langsung setor, kan?” tanyaku setelah berhasil mengendalikan debaran
yang muncul tanpa aba-aba itu.
“Oh
iya, nanti sore kamu selesai jam berapa?”
Mendadak
debaran liar itu muncul kembali. Kuberanikan membalas tatapan mata cokelatnya,
dan sekali lagi, aku kalah hanya karena senyum simpulnya.
Tuhan..
Kenapa pula Kau harus mempertemukanku dengan makhlukMu yang merusak segala tata
cara bagi tenangku seperti ini?
“Jam
lima aku keluar, Mas. Ada apa?”
“Aku
balik setengah lima, ya? Nanti tunggu aku di lobi depan..”
Sekali
lagi ia mengeluarkan senyumnya. Satu-satunya hal yang membuat akal sehatku
lumpuh hanya dalam hitungan detik.
“Iya,
tapi ada apa, Mas? Aku ada kuliah malam soalnya..”
“Udah
nanti aja. Aku antar sekalian ke kampus..”
Kali
ini aku hanya mengangguk. Seperti biasa, ucapannya selalu serupa hipnotis yang
kuturuti tanpa sadar.
***
Ku
katakan sekali lagi bahwa ia memang bukan cinta pertamaku. Bukan pula sosok
pertama yang mampu membuatku berdebar hanya karena sapaan ramahnya tiap pagi.
Ia bukan pula sosok pertama yang memberitahuku bagaimana rasanya diperhatikan
dengan sangat, bahkan sampai soal jadwal makan dan tidurku.
Tidak.
Satria bukan orang pertama yang dengan sukarela mengantarkanku ke kampus setiap
ada kelas malam, menjemputku dua jam setelahnya, lalu mengantarkanku pulang
kembali.
Ia
memang bukan orang pertama yang menunjukkanku semuanya, semua debar, pun rasa
senang tanpa aturan yang mendadak muncul karena kedatangannya. Ia mungkin hanya
orang yang memperingatkan, orang yang mendadak memunculkan kembali ingatan
bahwa kali ini sudah ada seseorang yang tidak akan membiarkanku sendirian.
Lagi.
Namun
untuk sekian kalinya, aku harus mempercayai kehendak takdir.
Aku
harus kembali mempercayainya, dan untuk kesekian kalinya lagi.
Aku
harus siap kehilangan.
***
“Rena,
kamu dekat sama Satria, ya?”
Aku
tersedak di tengah-tengah makanku. Pertanyaan Mbak Tira editorku ini, merupakan
pertanyaan pertama yang membahas ceritaku dan laki-laki itu.
“Biasa
aja kok, Mbak. Kami nggak lagi ada apa-apa..”
Jawabku
pelan, bahkan tanpa benar-benar menatap kedua mata Mbak Tiar. Aku hanya
khawatir, wanita itu mampu melihat debar yang kusembunyikan.
“Nggak
ada apa-apa, atau belum ada apa-apa?”
Ucapan
Mbak Tiar sama sekali tak terdengar seperti ucapan seseorang yang sedang
menggoda. Bahkan menurutku, ucapan itu lebih terdengar seperti seseorang yang
sedang khawatir.
“Ada
apa, Mbak? Kok kedengarannya kurang bagus buat Mbak Tiar?”
“Dia
Kristiani, Ren..”
Sekali
lagi. Kejutan Tuhan membuatku kembali terdiam.
“Aku
nggak tahu soal itu, Mbak..”
Jawabku
getir. Jujur saja, ucapan Mbak Tiar memang seolah petir di siang bolong, yang
membuat seluruh kuasaku untuk menjawab, atau setidaknya memberikan alasan,
menguap hilang. Habis.
“Dan
kamu memang perlu tahu itu, Rena. Aku bisa lihat, kalian berdua sama-sama
saling menemukan. Sama-sama saling merasa nyaman, tapi akan lebih baik lagi
kalau kalian sejalan. Tahu maksudku, kan?”
“Tapi
kami memang beneran nggak ada apa-apa, Mbak. Mas Satria baik, dan itu cukup.
Aku nggak berharap macam-macam dari hubungan kami..”
Jawabanku
hanya mendapat balasan tawa sinis dari Mbak Tiar.
“Kamu
mungkin nggak. Tapi Satria? Kita nggak tahu itu, kan?”
Sekali
lagi aku dibuat terdiam oleh ucapan Mbak Tiar. Memang benar, tak ada yang tahu
soal perasaan laki-laki itu. Tapi bagiku, perhatian dan segala kebaikannya
selama ini mungkin hanya seolah memperingatkan. Memperingatkanku supaya tak
terlalu banyak berharap pada sosok satu itu.
Lagipula,
dengan cerita-cerita orang kantor yang mengatakan bahwa Satria tak pernah tahan
dengan satu perempuan, membuatku cukup punya keberanian untuk tak lagi menaruh
harapan.
Dan
kali ini, dengan kenyataan bahwa kami tak se-keyakinan, bagiku itu sudah lebih
dari cukup untuk memutuskan bahwa aku dan Satria memang hanya ditakdirkan untuk
saling bertemu. Tak untuk kemungkinan selebihnya.
“Tapi
dia nggak mungkin punya perasaan sama aku, Mbak. Gosip dia di kantor udah bikin
aku berfikir lebih dari sekali untuk percaya sama laki-laki itu..”
Kali
ini aku tersenyum. Memastikan bahwa dengan itu, semua yang kukatakan akan
dipercaya Mbak Tiar dengan mudah.
“Syukurlah
kalau kamu berfikir seperti itu. Aku cuma nggak mau kamu terjebak di dalam apa
yang seharusnya tak sampai menjebakmu. Sekali lagi, agama itu menjebak, Ren..”
Aku
mengangguk, sembari sekali lagi memastikan.
Aku
tak sedang dalam posisi terjebak itu.
***
Aku
tak memungkiri, bahwa penjelasan Mbak Tiar cukup mengganggu pikirku. Membuatku
beberapa kali kedapatan melamun oleh Satria. Namun untuk kesekian kalinya, aku
menjawab bahwa tak ada hal apapun yang mengganggu pikirku.
“Kamu
pasti bohong, Ren. Jelas terlihat kamu sedang melamun..”
Ucapnya
kali itu, membalas gelengan kepalaku dan sanggahanku pada tiap pertanyaannya.
“Ada
masalah apa? Kenapa nggak cerita aja, sih?”
Tanyanya
kembali membuatku berfikir. Benarkah laki-laki ini hanya sedang baik padaku,
ataukah justru memiliki maksud lain selain kebaikan tadi?
“Kenapa
aku harus cerita?”
“Kenapa
harus nggak mau cerita?”
Sekali
lagi aku terjebak didalam pertanyaan dan perdebatan tak berujung dengan Satria.
Hal yang bahkan tak terhitung lagi sudah berapa kalinya kami lakukan berdua.
Mengobrol dengan Satria terkadang memang hanya memunculkan kebingungan, lalu
pertanyaan, tanpa jawaban.
“Bukan
hal penting, kok..”
Elakku
sekali lagi. Sekaligus menghindari tatapan matanya yang menajam.
“Tapi
kamu harusnya tahu, masalahmu bisa jadi masalahku juga, Rena..”
“Sejak
kapan hal itu berlaku?”
“Sejak
pertama kita ketemu. Ya mungkin ini kedengarannya kurang tepat, tapi aku sayang
sama kamu. Kupikir kalau tidak sekarang kukatakan, aku tidak akan punya
kesempatan lagi selain ini..”
Ucapan
mendadak Satria kembali membungkamku. Memaksa segala macam ketakutanku, dan
tentu saja kekhawatiran Mbak Tiar muncul tanpa aba-aba.
Bagaimanapun
juga, kami tak boleh saling punya rasa.
“Kamu
nggak lihat aku berjilbab, Mas?”
Kali
ini ia yang terdiam. Wajahnya yang semula tenang mendadak pias mendengar
pertanyaan singkatku.
“Jadi
kamu sudah tahu soal itu?”
Aku
mengangguk sebagai jawabnya. Tenggorokanku sudah terlalu kering bahkan hanya
untuk menjawab ‘ya’.
“Itu
ketakutanku. Maka dari itu aku selalu menjaga diri agar tak sampai mengucapkan
kata sayang ke kamu, tapi hari ini kelihatannya aku sudah tidak bisa menahan
diri lagi. Apa itu salah, Rena?”
Ucapan
seriusnya kembali memaksaku untuk menoleh dan menatap langsung kedua mata
cokelatnya. Mata yang semula membuatku tak memiliki keberanian bahkan hanya
untuk sekadar membalas tatapannya.
Mata
yang pernah mengundang debar tak terkira. Mata yang pada akhirnya harus
membuatku kembali mengakhiri, apa-apa yang bahkan tidak pernah dimulai. Untuk
kemudian kehilangan, apa-apa yang bahkan tak pernah sempat kumiliki.
“Sama
sekali tidak. Semua rasa, muara dan asalnya juga dari Tuhan. Kita hanya
menyebutnya dengan cara yang berbeda, bahkan walau kita sebenarnya tahu, Tuhan
kita hanya satu..”
Ucapku
kemudian kembali memaksa diamnya untuk muncul.
“Lalu
apa jawabmu?”
Kali
ini aku diam. Sama sekali tak punya jawaban untuk kuberikan, bahkan padanya
yang masih menunggu.
***
Sudah
kukatakan bukan, bahwa ini bukan kali pertama aku jatuh cinta.
Namun jika aku boleh menutup cerita
tadi, maka aku memilih untuk membiarkannya selesai dengan bahagia.
Kalau saja egoisku berarti penting,
maka aku akan berdiri menantang. Lalu menyatakan dengan lantang bahwa aku tak
memiliki ketakutan akan apapun. Bahkan pada benteng bernama agama tadi.
Tapi kali ini aku memilih kalah.
Aku memilih menutup cerita tadi
walau bukan dengan akhir yang kuminta. Aku membiarkannya terus berjalan, namun
tanpa aku dan Satria sebagai tokoh utamanya.
Kami hanya sama-sama saling tahu,
saling mengucap cinta ternyata tak cukup mampu untuk membuat dua orang manusia
bisa saling bersama.
Kami hanya perlu tahu itu.
Tentang rindu yang berbatas, entah apakah itu pantas.
sekali lagi, cerita ini hanya membahas tentang sebuah rindu yang tak tahu entah mana ujung pangkalnya, entah kapan akan dituntaskan, atau entah kapan akan menuai keinginannya ; pertemuan
tak pernah bosan kuceritakan padamu, bahkan meski tak sekali dua kali kau menguap bosan.
tentang rinduku yang tak kunjung tuntas
juga tentang ketiadaanmu yang tak juga menemukan batas
lalu kapan aku bisa mendapati sosokmu lagi?
mendapati tatap teduh, dan senyum lucumu sebagai hadiah
mendapati adamu, serupa anugerah
kau mungkin hanya tak benar-benar tahu, aku telah menamaimu sebagai kehilangan
lalu diam-diam aku menyebutmu sebagai yang tak mampu tergantikan
maaf jika aku lancang
maaf sekali lagi, jika saja kau tak begitu berkenan
aku hanya rindu..
merinduimu yang tak ada
merindui kebiasaanmu yang mendadak alpa
pun sambil menerka-nerka, apa yang sebenarnya sedang kurasa
aku tak pernah meyakini cinta, jika untukmu
tak sedikitpun terbersit menumbuhkan rasa
entah sayang, entah apapun itu namanya
hatiku hanya meminta tidak
jika untuk namamu
namun ketika rindu itu pelan-pelan berkuasa
maka aku menyerah
kalaupun ini yang dinamakan jatuh cinta,
maka untukmu,
kubujuk hatiku agar berkata tak apa
entah apa nanti jawabnya
Tulungagung 10 Juli 2014
Padamu ; entah serupa apa kabarmu.
Aku tak pernah punya alasan tepat, entah dalam hal menahan kepergian, ataupun dalam hal menepiskan keterpisahan.
Aku hanya punya kemauan, tak lebih rasanya.
Melihatnya yang datang seolah semu, yang juga tinggal meski hanya untuk mengajarkan sebuah ragu. Aku tak pernah benar-benar tahu, apalagi paham tentang itu.
Kedatangannya hanya sebagai teman, menawarkan kebahagiaan, dengan cara yang teramat sederhana ; membagi tawa. Berdua.
Lalu mereka mulai bertanya, begitukah sikap yang selayaknya ditunjukkan oleh seorang teman?
Yang mencari-cari dalam ketiadaan
Pun, yang diam-diam merindukan didalam ketidakhadiran
Lalu yang tanpa sadar mengharap pertemuan, setelah datangnya perpisahan.
Sekali lagi pertanyaan itu membuatku tergugu
Diam
Tanpa jawaban.
Semua mendadak semu, menghilang, dan kembali kepada seluruh muasalnya.
Ia yang seharusnya ada, mendadak alpa
Ia yang harusnya tak pernah lupa, mendadak tak lagi pernah ada
Sedang aku?
Ya, dengan bodohnya aku masih menyebutnya sama. Ia seorang teman, tak lebih, meski diam-diam aku merasa kurang.
Mereka kembali bertanya, namun kali ini seolah ingin memojokkan. Memaksaku mengaku lebih banyak, bahkan meski ketika aku tak lagi yakin bahwa aku punya jawaban.
Apa masih benar aku memandangnya sebagai seorang teman?
Entahlah, aku tak lagi tahu
Jika diam-diam aku menyimpan rindu,
Nama apa lagi yang tepat untuk kusematkan.
Padanya,
yang tak lagi ku tahu entah serupa apa kabarnya..
Aku hanya punya kemauan, tak lebih rasanya.
Melihatnya yang datang seolah semu, yang juga tinggal meski hanya untuk mengajarkan sebuah ragu. Aku tak pernah benar-benar tahu, apalagi paham tentang itu.
Kedatangannya hanya sebagai teman, menawarkan kebahagiaan, dengan cara yang teramat sederhana ; membagi tawa. Berdua.
Lalu mereka mulai bertanya, begitukah sikap yang selayaknya ditunjukkan oleh seorang teman?
Yang mencari-cari dalam ketiadaan
Pun, yang diam-diam merindukan didalam ketidakhadiran
Lalu yang tanpa sadar mengharap pertemuan, setelah datangnya perpisahan.
Sekali lagi pertanyaan itu membuatku tergugu
Diam
Tanpa jawaban.
Semua mendadak semu, menghilang, dan kembali kepada seluruh muasalnya.
Ia yang seharusnya ada, mendadak alpa
Ia yang harusnya tak pernah lupa, mendadak tak lagi pernah ada
Sedang aku?
Ya, dengan bodohnya aku masih menyebutnya sama. Ia seorang teman, tak lebih, meski diam-diam aku merasa kurang.
Mereka kembali bertanya, namun kali ini seolah ingin memojokkan. Memaksaku mengaku lebih banyak, bahkan meski ketika aku tak lagi yakin bahwa aku punya jawaban.
Apa masih benar aku memandangnya sebagai seorang teman?
Entahlah, aku tak lagi tahu
Jika diam-diam aku menyimpan rindu,
Nama apa lagi yang tepat untuk kusematkan.
Padanya,
yang tak lagi ku tahu entah serupa apa kabarnya..
Langganan:
Postingan (Atom)