Jumat, Oktober 26, 2012

menurutmu, aku harus gimana ?


menurutmu, aku harus gimana supaya kamu tau kalo aku masih inget sama kamu,
sama caramu bicara,
caramu ketawa,
caramu marah,
caramu diam,
caramu jalan,

menurutmu, gimana caranya supaya kamu tau kalo aku masih sering sesak tiap ingat kamu,
masih sering senyum tiap liat namamu di timeline,
masih ngecek accountmu, sekedar liat statusmu, tanpa ngapa-ngapain,

menurutmu, gimana cara supaya kamu tau kalo aku sering boong sama diri sendiri?
ngaku baik-baik aja, walaupun sebenarnya butuh bantuan,
bilang oke, walaupun masih ingin berpendapat,
mengangguk walaupun pingin menggeleng keras,
ketawa gila-gilaan walaupun sebenarnya masih pengen nangis,
bilang kalo udah lupa sama kamu,
walaupun sebenarnya, nggak pernah lupa sama kamu,

menurutmu aku harus gimana supaya kamu tau,
aku masih pingin bicara banyak sama kamu,
masih mau menjelaskan banyak sama kamu,
masih pingin ketawa bareng sama kamu,

menurutmu aku harus gimana,
supaya kamu tau,
kalo aku,
cuma, dan masih kepingin ketemu kamu..

Rabu, Oktober 24, 2012

LET GO


Every time I found the words to say
What I thought would make things okay
I kept it all inside
Slowly drowning in my pride
I never could admit my own mistakes
Some how I thought things would fall into place
And I made a change too late

Here, past all the lights
Where everything's clear
Nothing seems to change
How I love you and now
You're gonna leave
I'm just slowly dying here inside
Trying to let go

Maybe I just thought I had you here
I thought that you would not go anywhere
I abused my position and I didn't care
And now that you no longer turn to me
And it seems that you got over me
I can hardly breathe
You no longer need me

I'm just sorry I found out late but all the choices I made 
I thought of me
And not how it'd be to watch you walk away
I know I'll never make it right but everyday I try
In hopes you might come back you're where my heart's at
I have to find a way

Here, past all the lights
Where everything's clear
Nothing seems to change
How I love you and now
You're gonna leave
I'm just slowly dying here inside
Trying to let go

And everytime I think of you
It's hard for me to think of what I can do
I used to have you here beside me
I just want you here beside me baby
How can the sun keep shinin'
When my whole body's cryin
I know I never told you why
I need you in my life


Here, past all the lights
Where everything's clear
Nothing seems to change
How I love you and now
You're gonna leave
I'm just slowly dying here inside
Trying to let go


(it's Kristine Mirelle's song that I liked too much. as simple as that )

Hujan dan Teduh



Kepadamu, 

aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.
Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka.
Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.
Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. 
Ya, jalanmu dan jalanku.
 Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.
Aku dan kamu,
 seperti hujan dan teduh.
Pernahkah kau mendengar kisah mereka?
Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.
Seperti itulah cinta kita.
Seperti menebak langit abu- abu.
Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…

Sepotong Puisi

 Aku hanya sedang tidak ingin merindukanmu,
berharap bahwa dengan cara itu akhirnya kau tahu,
disitulah aku sedang tidak berkata jujur



Kuharap sore mau datang lebih awal nanti,
sembari menemaniku menunggumu yang belum pulang,
entah dari mana, entah kapan, dan bersama siapa



 Ku katakan bahwa aku ingin bertemu,
tentu saja denganmu,
berharap bisa membicarakan percakapan penting kita yang tertunda kepergianmu


 Aku hanya meyakini satu hal saat tak dipertemukan Tuhan denganmu,
mungkin itu hanya cara untuk membuatku lebih banyak menulis sajak rindu,
untukmu



 Siapa bilang aku tak bahagia meski sepihak memiliki rasa untukmu?
aku tetap bahagia, karena menyukaimu
karena sekali lagi, bahagia bagiku itu amat sangat sederhana

Percaya Saja


 Aku mendongak,
Kamu sudah datang rupanya. Siang ini kemeja krem lengan panjangmu sengaja kamu gulung lengannya, tanpa dasi, yang memang biasanya langsung kamu lepas begitu keluar kantor. 
Kamu segera menarik kursi di depanku lantas duduk disana sambil menghela nafas panjang.
“Panas banget kan?” Ingin sekali sebenarnya menghapus peluh yang sedikit menetes di samping telingamu, tapi jelas ku urungkan, mengingat dimana kami sedang berada sekarang. Sebagai gantinya, ku ulurkan tisu basah yang tak pernah absen sebagai barang bawaan di tasku. Kamu menerimanya sambil tersenyum singkat, lantas mengusapkannya ke sisi-sisi wajahmu.
“Ya. Kamu dari tadi?” Jawabanmu selalu singkat, meskipun aku juga tahu bahwa sebenarnya kamu sama sekali tidak pernah bermaksud demikian. 
“Nggak juga, mungkin sepuluh menitan lah.. Pesan apa?” Sebenarnya pertanyaan itu pasti hanya akan bernilai percuma, karena aku hafal benar jawabanmu, “Seperti biasa aja..” Nah, apa ku bilang, itu sudah mutlak jadi jawabanmu tiap kali kutanya dengan pertanyaan macam tadi.
Setelah lima menit, aku kembali sambil membawa semangkuk sup milikmu dan sepiring spaghetti milikku. Kamu menerimanya tanpa protes sedikit pun, lantas mulai menyeruput kuahnya pelan.
“Harusnya kamu nggak terlalu sering makan disini..” Aku kembali mengingatkan, sekalipun kamu adalah golongan orang yang kurang peduli nasehat. Kamu hanya menatapku sekilas, “Kan ini sup,” Jawaban singkat lagi. Ah, dasar !
Aku memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing dengan jawaban-jawaban hematmu, walaupun sesekali ingin juga berdebat denganmu, sama seperti dengan pasangan sebaya kita yang kali itu terlihat hangat sekali dengan obrolan ringan berbumbu debat di depan kita.
Kulirik kamu sekilas. Matamu ternyata sedang terarah padaku juga, namun mungkin karena gengsi tertangkap basah olehku, kamu memilih mengalihkan padangan.
Selalu saja begitu, kamu sama sekali tidak pernah sekalipun mengucapkan apapun untuk memberi ketegasan pada nama hubungan yang kita jalani sekarang. Kamu hanya selalu menelepon tiap jam empat pagi, sekedar menyuruhku bangun dengan sapaan datar khas-mu.
Kamu hanya lebih sering menyuruhku mengirim pesan singkat padamu, sekedar mengabarkan hal apa yang sedang kulakukan saat itu, namun sangat jarang mengetikkan balasan kabar yang sama. Kamu yang hampir satu tahun ini selalu memaksa untuk mengantarku pulang, dan tidak beranjak pergi sebelum aku mnengunci pintu apartemenku.
Tetapi kamu tak pernah banyak bicara, tak pernah banyak memberitahu, tak pernah menjelaskan sebanyak penjelasan yang biasa kuberikan. Kamu yang tak pernah menelepon lebih dari lima menit. Kamu yang tak pernah mengirimkan pesan berupa ucapan selamat malam atau semacamnya, seperti yang biasa ku kirimkan, namun juga sangat jarang kamu balas.
Ku lirik lagi sosokmu yang masih lahap menikmati sup di depanmu, mencoba mencari apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sikap tenang, datar, dan acuhmu. Kadang lelah juga menunggumu berisyarat lebih banyak, karena yang lebih sering kamu lakukan adalah diam. Sambil memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatku sering lupa pada rasa lelah itu.

“Kamu sudah selesai?” Kamu terlihat sudah membersihkan mulut, lantas mendongak kearahku, seperti ayah yang sedang menunggu anaknya selesai makan. Bukan mirip sikap seorang laki-laki terhadap kekasihnya.
Eh bukan, kita kan tidak pernah benar-benar menjadi sepasang kekasih? Bukankah untuk menjadi sepasang kekasih, harus ada satu pihak yang mengucapkan “Kamu mau jadi pacarku?” , dan pihak lainnya menjawab “Ya, aku bersedia menjadi pacarmu..”, bukankah begitu sewajarnya?
Tapi tidak dengan kita. Kamu hanya menjanjikan rasa tanpa banyak bicara. Menunjukkan cinta, sekalipun tak pernah memberikan kata, atau pernyataan, apapun bentuknya.
Tapi yang lebih mengherankan lagi, bagaimana aku bisa begitu percayanya padamu. Begitu percayanya sampai berani mempertaruhkan segenap rasa yang selama ini tak memiliki wujud di matamu, dan di mataku.
Hanya saja, sebuah suara lirih dari dalam hatiku menjawabnya dengan begitu meyakinkan, “Airin, percaya saja pada Brian. Cukup itu saja, percaya bahwa ia menyayangimu dengan sangat di dalam diamnya. Bukankah bahasa diam adalah bahasa dengan makna terindah? Percaya saja. Ya, kau hanya perlu percaya..” Suara itulah yang beribu dan bahkan jutaan kali bergema mengingatkan, tiap kali keraguanku padamu datang tiba-tiba,
“Ya, balik yuk..” Aku menjawabmu sambil tersenyum,
Kamu dan aku melangkah bersisian keluar dari restoran fast food siang itu. Agak tidak rela rasanya harus kembali berpisah dengan wajah tenangmu, walaupun sebenarnya jam lima nanti akan kembali kulihat, saat menjemputku di kantor.
Ah, kita sama-sama sibuk. Padahal gedung kantor kita hanya terpisah sepuluh meter jauhnya. Aku di gedung stasiun televisi itu, dan kamu, di gedung perusahaan advertising dekatnya. Tapi tetap kan…
Kita berdua masih saja menyeberang jalan sambil bersisian. Ramai sekali siang ini..
Terpikir olehku untuk melangkah sendirian, sampai tiba-tiba aku kembali dikejutkan dengan genggaman tanganmu yang hangat meraih telapakku.
“Jangan menyeberang jalan sembarangan kalau nggak sama aku, ” Ucapmu cepat,
Kutatap tanganku yang tenggelam di balik eratnya genggamanmu, sambil mengangguk ku biarkan kamu menggenggamnya, membawaku sampai ke seberang jalan sambil terus menggenggamnya,
Dan sekali lagi, masih kubiarkan kamu menggenggamnya sekalipun kita sudah sampai di depan gedung kantorku. Aku sama sekali tidak ragu.
Karena, laki-laki mana lagi yang akan kubiarkan menggenggam tanganku se-erat itu, dan membimbingku menyeberang jalan karena tahu bahwa aku takut menyeberang jalan, jika bukan kamu?


Laki-laki yang kemarin malam memaksa untuk menemui ayah-ibu, dan mengajukan diri untuk menjadi suamiku..

Selasa, Oktober 16, 2012

Perhaps You


Tak tahukah kau seperih apa perasaan hati yang tak berbalas? 

Menanti sesuatu yang tak kunjung datang?

Hari berganti hari, tapi arah hatiku tak pernah berubah—selalu tertuju padamu. 

Aku tak pernah jenuh menunggu... 

menunggu untuk kau cintai. 

Tapi kau hanya menganggapku lalu. 

Seperti tak kasat mata aku di matamu.

Terkadang lelah menyuruhku menyerah, 

memintaku berhenti melakukan perbuatan sia-sia dan mulai mencari cinta baru. 

Tapi bagaimana mungkin aku sanggup melakukannya, 

kalau semua tentangmu mengikuti seperti bayangan menempel di bawah kakiku? 

Dan bagaimana pula caranya membakar habis semua rindu yang bertahun-tahun mengendap di hatiku?

Aku berharap mendapatkan jawaban darimu. 

Tapi kau tetap membisu, 

membuatku lebih lama menunggu.


Tembok hidup yang punya nama = Kau


Pada satu diantara jutaan detik yang ku miliki, aku memilih kembali untuk mengajakmu. 
Menyusuri kenangan satu demi satu. 
Lantas pelan-pelan merapikannya, biarpun hanya berbentuk kepingan.
Dan sekali lagi, kau hanya membiarkanku berjalan sendiri. 
Membiarkanku merapikan kenangan itu tanpa bantuanmu sedikitpun.
Aku memanggilmu satu kali, menunggu sampai kau menoleh, dan tak ada jawaban. 
Dua kali aku memanggilmu, kau masih saja meneruskan langkah panjangmu, seperti tidak mendengar pantulan suaraku,
Aku kembali memanggilmu sampai aku sendiri lupa, sudah berapa kali ku gaungkan namamu, yang lagi-lagi tanpa balas jawab,


Lantas, aku harus memanggilmu dengan cara bagaimana lagi? 
Harus dengan panggilan apa lagi? 
Harus dengan alasan apa lagi untuk membuatmu tahu bahwa kau sedang ku panggil?



“aku sibuk,” 
itu pesan  terakhirmu, yang kau tinggalkan  setelah makan siang kemarin ,

Aku berusaha keras untuk memahami maksudnya, mencerna dua kata itu berulang kali, sambil terus mengulang-ulang percakapan akrab kita di dalam ingatan. 

Sibuk.

Hanya itu penjelasanmu, sibuk dengan diammu, dan  dengan  segala urusanmu yang tidak pernah bisa ku 
 pahami.

Lantas bagaimana denganku? 
Apa menurutmu aku juga tidak sibuk? 
Sampai-sampai kau berkata seolah hanya kau satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh sibuk? 
Apakah kesibukanmu itu juga mengajarkanmu untuk tidak memperdulikan kesibukan orang lain juga?


Sekali lagi, kau hanya tersenyum mendengar serentetan pertanyaanku tadi,

 “aku juga tahu bahwa kau sibuk, aku juga bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh sibuk, dan kesibukanku juga tidak pernah mengajarkanku untuk tidak peduli pada kesibukan orang lain. Tetapi, kesibukanku kali ini telah menciptakan dunia baru untukku, dunia yang mungkin akan  menjadi asing bagimu, kau paham?”

Kalimatmu mengalir begitu lancar, tetapi senyummu kembali mengguratkan isyarat.

“aku selalu berusaha untuk paham” 
kau hanya tersenyum lebar mendengar jawabanku. 

Aku kembali tertegun, seolah mencari kejujuran  di kedua matamu , dan  aku tidak mendapati apa-apa disana. 
 Matamu selalu menjadi sungai rahasia yang tak pernah usai ku selami.

“denganmu, aku selalu merasa seperti bicara dengan tembok”
 kalimat getas yang ku ucapkan padamu ternyata sama sekali tidak bisa menyentuhmu, kau hanya tertawa, 

“berarti aku adalah tembok tertampan di dunia,” kau kembali bercanda, membuatku enggan untuk bicara kembali.

Sampai akhirnya kali itu pembicaraan kita kembali terhenti begitu saja, tanpa pernah ada akhir yang jelas.

Dasar tembok.
Tak mengerti juga kau rupanya.
Kau bisa mendengar, tetapi tidak pernah mau menjawab. 
Kau bisa melihat, tetapi tak pernah sekalipun kau memberikan pendapat. 
Kau punya perasaan, namun untuk yang satu itu, aku ragu bahwa kau bisa menggunakannya.
Kau,                                                                        
Aku seperti bicara dengan tembok hidup tiap kali berhadapan denganmu. 
Tembok yang punya nama, 
tembok yang bisa berjalan, 
tembok yang sering mengantuk, 
tembok yang suka dan pandai melukis, 
tembok yang tak pernah basa-basi,

Kau,
Seperti tembok yang bisa mendengar, melihat, dan bahkan merasakan.

Tetapi tembok, sekalipun diteriaki macam-macam, 
sekalipun dibisiki dengan suara sekeras apapun, 
tetap saja sebuah tembok, 
yang entah sampai kapan tidak pernah mau menjawab.

Tembok yang tetap berdiri pada tempatnya didirikan, 
yang hanya akan mendengar tanpa balas meneriakkan jawabannya, 
yang melihat tanpa balas menunjukkan maunya, 
yang merasakan tanpa pernah tahu, 
bagaimana caranya untuk belajar memahami..


Untukmu, tembok hidup yang namanya selalu ku sembunyikan.
Oktober, 16, 2012 00:25 WIB