Pada satu diantara jutaan detik
yang ku miliki, aku memilih kembali untuk mengajakmu.
Menyusuri kenangan satu
demi satu.
Lantas pelan-pelan merapikannya, biarpun hanya berbentuk kepingan.
Dan sekali lagi, kau hanya
membiarkanku berjalan sendiri.
Membiarkanku merapikan kenangan itu tanpa
bantuanmu sedikitpun.
Aku memanggilmu satu kali, menunggu
sampai kau menoleh, dan tak ada jawaban.
Dua kali aku memanggilmu, kau masih
saja meneruskan langkah panjangmu, seperti tidak mendengar pantulan suaraku,
Aku kembali memanggilmu sampai aku
sendiri lupa, sudah berapa kali ku gaungkan namamu, yang lagi-lagi tanpa balas jawab,
Lantas, aku harus memanggilmu
dengan cara bagaimana lagi?
Harus dengan panggilan apa lagi?
Harus dengan
alasan apa lagi untuk membuatmu tahu bahwa kau sedang ku panggil?
“aku sibuk,”
itu pesan terakhirmu, yang kau tinggalkan setelah makan siang kemarin ,
Aku berusaha keras untuk memahami
maksudnya, mencerna dua kata itu berulang kali, sambil terus mengulang-ulang
percakapan akrab kita di dalam ingatan.
Sibuk.
Hanya itu penjelasanmu, sibuk
dengan diammu, dan dengan segala urusanmu yang tidak pernah bisa ku
pahami.
Lantas bagaimana denganku?
Apa menurutmu aku juga tidak sibuk?
Sampai-sampai kau berkata seolah hanya kau satu-satunya manusia di dunia ini
yang boleh sibuk?
Apakah kesibukanmu itu juga mengajarkanmu untuk tidak
memperdulikan kesibukan orang lain juga?
Sekali lagi, kau hanya tersenyum
mendengar serentetan pertanyaanku tadi,
“aku juga tahu bahwa kau sibuk, aku
juga bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh sibuk, dan kesibukanku
juga tidak pernah mengajarkanku untuk tidak peduli pada kesibukan orang lain.
Tetapi, kesibukanku kali ini telah menciptakan dunia baru untukku, dunia yang
mungkin akan menjadi asing bagimu, kau
paham?”
Kalimatmu mengalir begitu lancar,
tetapi senyummu kembali mengguratkan isyarat.
“aku selalu berusaha untuk paham”
kau hanya tersenyum lebar mendengar jawabanku.
Aku kembali tertegun, seolah
mencari kejujuran di kedua matamu ,
dan aku tidak mendapati apa-apa disana.
Matamu selalu menjadi sungai rahasia yang tak pernah usai ku selami.
“denganmu, aku selalu merasa
seperti bicara dengan tembok”
kalimat getas yang ku ucapkan padamu ternyata
sama sekali tidak bisa menyentuhmu, kau hanya tertawa,
“berarti aku adalah tembok
tertampan di dunia,” kau kembali bercanda, membuatku enggan untuk bicara
kembali.
Sampai akhirnya kali itu
pembicaraan kita kembali terhenti begitu saja, tanpa pernah ada akhir yang
jelas.
Dasar tembok.
Tak mengerti juga kau rupanya.
Kau
bisa mendengar, tetapi tidak pernah mau menjawab.
Kau bisa melihat, tetapi tak
pernah sekalipun kau memberikan pendapat.
Kau punya perasaan, namun untuk yang
satu itu, aku ragu bahwa kau bisa menggunakannya.
Kau,
Aku seperti bicara dengan tembok
hidup tiap kali berhadapan denganmu.
Tembok yang punya nama,
tembok yang bisa
berjalan,
tembok yang sering mengantuk,
tembok yang suka dan pandai melukis,
tembok yang tak pernah basa-basi,
Kau,
Seperti tembok yang bisa mendengar,
melihat, dan bahkan merasakan.
Tetapi tembok, sekalipun diteriaki
macam-macam,
sekalipun dibisiki dengan suara sekeras apapun,
tetap saja sebuah
tembok,
yang entah sampai kapan tidak pernah mau menjawab.
Tembok yang tetap berdiri pada
tempatnya didirikan,
yang hanya akan mendengar tanpa balas meneriakkan
jawabannya,
yang melihat tanpa balas menunjukkan maunya,
yang merasakan tanpa
pernah tahu,
bagaimana caranya untuk belajar memahami..
Untukmu, tembok hidup yang namanya
selalu ku sembunyikan.
Oktober, 16, 2012 00:25 WIB