Aku mendongak,
Kamu sudah datang rupanya. Siang ini kemeja krem lengan
panjangmu sengaja kamu gulung lengannya, tanpa dasi, yang memang biasanya
langsung kamu lepas begitu keluar kantor.
Kamu segera menarik kursi di depanku
lantas duduk disana sambil menghela nafas panjang.
“Panas banget kan?” Ingin sekali sebenarnya menghapus
peluh yang sedikit menetes di samping telingamu, tapi jelas ku urungkan,
mengingat dimana kami sedang berada sekarang. Sebagai gantinya, ku ulurkan tisu
basah yang tak pernah absen sebagai barang bawaan di tasku. Kamu menerimanya
sambil tersenyum singkat, lantas mengusapkannya ke sisi-sisi wajahmu.
“Ya. Kamu dari tadi?” Jawabanmu selalu singkat, meskipun
aku juga tahu bahwa sebenarnya kamu sama sekali tidak pernah bermaksud
demikian.
“Nggak juga, mungkin sepuluh menitan lah.. Pesan apa?” Sebenarnya
pertanyaan itu pasti hanya akan bernilai percuma, karena aku hafal benar
jawabanmu, “Seperti biasa aja..” Nah, apa ku bilang, itu sudah mutlak jadi
jawabanmu tiap kali kutanya dengan pertanyaan macam tadi.
Setelah lima menit, aku kembali sambil membawa semangkuk
sup milikmu dan sepiring spaghetti milikku. Kamu menerimanya tanpa protes
sedikit pun, lantas mulai menyeruput kuahnya pelan.
“Harusnya kamu nggak terlalu sering makan disini..” Aku
kembali mengingatkan, sekalipun kamu adalah golongan orang yang kurang peduli
nasehat. Kamu hanya menatapku sekilas, “Kan ini sup,” Jawaban singkat lagi. Ah,
dasar !
Aku memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing dengan
jawaban-jawaban hematmu, walaupun sesekali ingin juga berdebat denganmu, sama
seperti dengan pasangan sebaya kita yang kali itu terlihat hangat sekali dengan
obrolan ringan berbumbu debat di depan kita.
Kulirik kamu sekilas. Matamu ternyata sedang terarah
padaku juga, namun mungkin karena gengsi tertangkap basah olehku, kamu memilih
mengalihkan padangan.
Selalu saja begitu, kamu sama sekali tidak pernah
sekalipun mengucapkan apapun untuk memberi ketegasan pada nama hubungan yang
kita jalani sekarang. Kamu hanya selalu menelepon tiap jam empat pagi, sekedar
menyuruhku bangun dengan sapaan datar khas-mu.
Kamu hanya lebih sering menyuruhku mengirim pesan
singkat padamu, sekedar mengabarkan hal apa yang sedang kulakukan saat itu,
namun sangat jarang mengetikkan balasan kabar yang sama. Kamu yang hampir satu
tahun ini selalu memaksa untuk mengantarku pulang, dan tidak beranjak pergi
sebelum aku mnengunci pintu apartemenku.
Tetapi kamu tak pernah banyak bicara, tak pernah banyak
memberitahu, tak pernah menjelaskan sebanyak penjelasan yang biasa kuberikan.
Kamu yang tak pernah menelepon lebih dari lima menit. Kamu yang tak pernah
mengirimkan pesan berupa ucapan selamat malam atau semacamnya, seperti yang
biasa ku kirimkan, namun juga sangat jarang kamu balas.
Ku lirik lagi sosokmu yang masih lahap menikmati sup di
depanmu, mencoba mencari apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sikap tenang,
datar, dan acuhmu. Kadang lelah juga menunggumu berisyarat lebih banyak, karena
yang lebih sering kamu lakukan adalah diam. Sambil memberikan
perhatian-perhatian kecil yang membuatku sering lupa pada rasa lelah itu.
“Kamu sudah selesai?” Kamu terlihat sudah membersihkan mulut, lantas mendongak kearahku, seperti ayah yang sedang menunggu anaknya selesai makan. Bukan mirip sikap seorang laki-laki terhadap kekasihnya.
Eh bukan, kita kan tidak pernah benar-benar menjadi
sepasang kekasih? Bukankah untuk menjadi sepasang kekasih, harus ada satu pihak
yang mengucapkan “Kamu mau jadi pacarku?” , dan pihak lainnya menjawab “Ya, aku
bersedia menjadi pacarmu..”, bukankah begitu sewajarnya?
Tapi tidak dengan kita. Kamu hanya menjanjikan rasa
tanpa banyak bicara. Menunjukkan cinta, sekalipun tak pernah memberikan kata,
atau pernyataan, apapun bentuknya.
Tapi yang lebih mengherankan lagi, bagaimana aku bisa begitu
percayanya padamu. Begitu percayanya sampai berani mempertaruhkan segenap rasa
yang selama ini tak memiliki wujud di matamu, dan di mataku.
Hanya saja, sebuah suara lirih dari dalam hatiku
menjawabnya dengan begitu meyakinkan, “Airin, percaya saja pada Brian. Cukup
itu saja, percaya bahwa ia menyayangimu dengan sangat di dalam diamnya.
Bukankah bahasa diam adalah bahasa dengan makna terindah? Percaya saja. Ya, kau
hanya perlu percaya..” Suara itulah yang beribu dan bahkan jutaan kali bergema
mengingatkan, tiap kali keraguanku padamu datang tiba-tiba,
“Ya, balik yuk..” Aku menjawabmu sambil tersenyum,
Kamu dan aku melangkah bersisian keluar dari restoran
fast food siang itu. Agak tidak rela rasanya harus kembali berpisah dengan
wajah tenangmu, walaupun sebenarnya jam lima nanti akan kembali kulihat, saat
menjemputku di kantor.
Ah, kita sama-sama sibuk. Padahal gedung kantor kita
hanya terpisah sepuluh meter jauhnya. Aku di gedung stasiun televisi itu, dan
kamu, di gedung perusahaan advertising dekatnya. Tapi tetap kan…
Kita berdua masih saja menyeberang jalan sambil
bersisian. Ramai sekali siang ini..
Terpikir olehku untuk melangkah sendirian, sampai
tiba-tiba aku kembali dikejutkan dengan genggaman tanganmu yang hangat meraih
telapakku.
“Jangan menyeberang jalan sembarangan kalau nggak sama
aku, ” Ucapmu cepat,
Kutatap tanganku yang tenggelam di balik eratnya
genggamanmu, sambil mengangguk ku biarkan kamu menggenggamnya, membawaku sampai
ke seberang jalan sambil terus menggenggamnya,
Dan sekali lagi, masih kubiarkan kamu menggenggamnya
sekalipun kita sudah sampai di depan gedung kantorku. Aku sama sekali tidak
ragu.
Karena, laki-laki mana lagi yang akan kubiarkan
menggenggam tanganku se-erat itu, dan membimbingku menyeberang jalan karena
tahu bahwa aku takut menyeberang jalan, jika bukan kamu?
Laki-laki yang kemarin malam memaksa untuk menemui
ayah-ibu, dan mengajukan diri untuk menjadi suamiku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar