Kamis, Februari 28, 2013

Portrait ~








edited randomly :-D

Kita ; hari itu..



kita hanya tidak pernah tahu,
bagimana hari itu,
bagaimana kemarin,
atau bagaimana hari ini,
dan alasan apa yang membuat kita bertemu.
tetapi,
terima kasih,
karena pernah ada disini ; di dalam salah satu sudut kenangan yang menciptakan tawa.

Sabtu, Februari 23, 2013

18

Saya sudah delapan belas tahun hari ini,
agak aneh rasanya baru menyadari bahwa usia kita mulai bertambah.
Menyadari bahwa diri kita yang sekarang, bukan lagi menjadi dii kita yang kemarin.
Juga bahwa usia kita yang sekarang harus memberi lebih banyak arti dibandingkan usia kita tahun kemarin.

saya tidak tahu, apa yang telah Tuhan persiapkan untuk saya pada usia baru ini,
entah tentang apa,
entah tentang siapa,
atau entah bagaimana,
saya hanya percaya, bahwa Tuhan selalu baik.
bahwa Tuhan selalu meletakkan ketepatan di setiap hal yang Ia berikan kepada seluruh makhluk-Nya, tanpa ada kecuali..

Saya ingin menemukan banyak hal baru lagi. Apapun itu.
Sama halnya dengan usia tujuh belas tahun saya kemarin yang oleh Tuhan juga telah dimaknai dengan baik.
Mengajarkan saya banyak hal.
Tentang sebuah penerimaan, juga keikhlasan yang memang seharusnya turut serta.


( maaf saya jeda, diusir dari lab nih :D )

Selasa, Februari 19, 2013

Review film "Perahu Kertas 1-2"

hai,
hari Sabtu yang lalu saya berhasil melakukan sesuatu yang saya sukai sekaligus sangat-sangat-sangat saya rindukan,
yap, nonton film :"D

saya bahkan hampir lupa, kapan terakhir kali saya membuka folder film di MASTER F harddisk laptop saya. apalagi sejak saya memasuki semester dua kelas dua belas ini, praktis, nonton film adalah hal yang masuk daftar dengan label "don't" di sampulnya.
tapi, karena saya baru meng-copy film 'Perahu Kertas part 1-2' dari teman saya (Gilang), akhirnya saya mengingkari janji saya sendiri, dan menontonnya mulai dari jam 10 malam.
dan cerita pun dimulai...

layar lebar itu menampilkan gambar lautan luas dengan sebuah perahu kertas kecil berwarna oranye yang berlayar pelan. hati saya berdesir pelan. film ini sudah tayang sejak berbulan-bulan yang lalu, dan saya baru menontonnya sekarang, tapi saya abaikan kenyataan itu.
kembali pada film yang sedang berputar itu..
saya duduk menyimak, dengan patuh, dan teramat patuh malah, saat adegan demi adegan film yang diperankan oleh Maudy Ayunda sebagai Kugy, dan Adipati Dolken sebagai Keenan itu mulai berputar.
saya meresapi,
membiarkan seluruh adegan dan dialog-dialog itu memenuhi ruang dengar dan penglihatan saya.

tiba-tiba saja saya dikuasai emosi.
seperti biasa, ketika menonton film romantis berbau cinta pertama semacam itu, tiba-tiba saja saya seolah dipaksa masuk ke dalam film itu. saya seolah sedang diikutkan di dalam setiap adegan-adegan-nya, sehingga saya bisa dengan leluasa membiarkan perasaan saya ikut memainkan peran-peran disana.
dan untuk film ini, saya memilih menjadi Kugy.

saya tersenyum disaat Kugy tersenyum.
ikut terbahak saat Kugy tertawa.
sekaligus ikut menangis saat Kugy sedih.
dan disitulah masalahnya,
entah karena apa (saya sebenarnya tahu alasan jelasnya, tetapi saya tidak bisa menyebutkannya disini), saya justru merasa lebih emosional dibandingkan Kugy, dan lebih parahnya, saya bahkan menangis ketika seharusnya saat itu Kugy sedang tersenyum.

Sebagai contohnya,
ada adegan yang sampai saat ini masih saya ingat, yakni tentang pertemuan Kugy dan Keenan di pernikahan Noni.
saya menangis tanpa sadar, seolah saat itu saya benar-benar sedang dipertemukan dengan laki-laki yang paling saya rindukan, seolah semua penantian dan waktu tunggu saya melebur habis begitu saja ketika saya melihat senyum-nya hangat menyambut saya.
tapi saya juga tidak bisa memungkiri, bahwa saat itu saya sedang melibatkan perasaan pribadi saya di dalamnya.
tapi saya tidak bisa mencegahnya terjadi...

film pun berlanjut, dimana pada beberapa kelebatan gambarnya terlihat bagaimana salah tingkah-nya Kugy-Keenan ketika sama-sama tak sengaja saling bertemu pandang.
saya menangis lagi,
saya seolah bisa merasakan betapa rasa rindu itu cukup menyesakkan. 
karena rasa rindu itu cukup besar, cukup kuat,
namun ruang penyimpanannya tak cukup besar, dan pada akhirnya rasa rindu itu hanya bisa merembes melalui isyarat mata dan senyum penuh makna dari mereka berdua.
saya kesakitan,
melihat mereka berdua sama-sama sedang menutupi diri dari rasa cinta yang menuntut untuk diselesaikan itu.
saya benar-benar merasakan rasa sakit itu, meski saya sendiri juga tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan cinta itu, jika seandainya saya benar-benar menjadi Kugy dan berada di dalam posisi seperti itu..

cerita terus bergulir,
mempertemukan Kugy dengan sosok Remi yang hampir mendekati kata sempurna itu, meski saya sendiri juga tahu, bahwa perasaan seperti yang dirasakan Kugy itu tidak membutuhkan kesempurnaan,
saya mengerti, bahwa perasaan Kugy hanya membutuhkan ketepatan. Dan ketepatan itu tidak bisa diberikan oleh sosok sesempurna Remi sekalipun.

saya dibuat sesak,
menahan seluruh teriakan dan kata-kata yang tiba-tiba saja memenuhi otak saya.
dibuat sesak juga oleh setiap atmosfer pembawa kenangan yang tanpa sengaja selalu mempertemukan Kugy dan Keenan.
saya marah,
karena saya tahu bawa mereka berdua sebenarnya sama-sama ingin menyatakan cinta, walau keduanya tidak juga mendapat keberanian dan waktu yang tepat untuk melakukannya.
dan saya hanya bisa menyimpan bentuk kemarahan itu dibalik tangis yang tidak bisa berhenti sepanjang malam itu.

film pun terus berlanjut, walau jam dinding kuning milik saya sudah menunjuk angka tiga pagi.

saya sudah terlanjur sesak,
sudah terlanjur sakit,
saya hanya ingin segera membebaskan perasaan saya, yaitu dengan cara meneruskan film itu sampai habis.

saya dibuat geram,
karena mereka berdua membodohi diri sendiri dengan mencari cinta yang lain, yang sebenarnya mereka tahu, bahwa tidak akan mungkin bisa menyamai cinta mereka sebelumnya.

Cinta Kugy pada Keenan.
dan cinta Keenan pada Kugy.

Tetapi sama seperti yang sudah saya percayai sebelumnya.
bahwa dalam keadaan terdesak sekalipun, cinta tetap bisa menggunakan radar-nya dengan baik.
mendeteksi keberadaan cinta lain yang sejak awal dipilihnya diam-diam, dan disimpannya rapat-rapat, di dalam hati.
bahwa dalam keadaan terburuk sekalipun, cinta tetap bisa melihat jalan-nya,
cinta tetap pulang kepada rumah-nya yang tepat,
kepada rumah yang selalu menunggunya,
rumah yang selalu diucapkannya dalam doa, dan rumah yang selalu bisa menerimanya,
dengan peluk yang terbuka..

film karya @deelestari ini membuat saya termanja,
membuat kepercayaan saya yang sempat meluntur kepada istilah 'cinta akan selalu pulang kepada rumahnya', itu kembali terangkat,
membuat mimpi dan cita-cita yang selama ini saya ungkap dalam diam perlahan bisa menemukan celahnya untuk keluar.

saya kembali menulis lagi,
walaupun untuk itu saya masih juga merasa teramat kesulitan,
namun, bukankah perubahan sekecil itu juga sudah baik?

sampai akhirnya saya kembali menemukan,
ya, saya kembali menemukan keyakinan itu,
yaitu tentang cinta yang selalu datang tepat waktu,
sekaligus juga tentang Tuhan yang selalu menyediakan waktu terbaik untuk setiap hal yang terbaik ; setidaknya, untuk KITA

:")



-ditulis pukul 12:23 AM
-tanggal 19 Februari 2013, hari Selasa
-dengan lagu Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda sebagai latar belakang-nya

Jumat, Februari 15, 2013

Pertanyaan (I)

Kenapa kita harus bertatapan dengan cara seperti itu?
Seperti dua orang yang seolah baru saja saling bertemu, 
seolah seperti dua orang yang tidak pernah melihat satu-sama-lain, 
dan pada akhirnya bertemu di dalam sebuah kecanggungan yang tidak terbantahkan.

Kenapa kita harus memanggil nama dengan cara yang seperti itu?
Seperti dua orang yang kesulitan untuk mengatasi rasa malu saat saling bertemu. 
Seperti dua orang yang saling mengasingkan diri di dalam atmosfer tanpa definisi. 
Juga tanpa nama.

Sabtu, Februari 09, 2013

Cerita di Depan Rumah Seorang Dokter Bedah

Beberapa hari ini saya selalu gagal menulis, bukan karena tidak ada ide yang mampir ke otak, tetapi lebih karena ide-ide itu kalah saing dengan beberapa hal yang sejak enam bulan lalu praktis telah menjadi satu-satunya fokus utama saya ; kelulusan SMA

Tetapi kali ini, ditengah perasaan saya yang masih saja berantakan karena pilihan  universitas dan program studi, dan di tengah perut yang teramat lapar karena saya gengsi untuk mengemukakan rasa lapar ini, saya mencoba menulis (LAGI)




Dari kejauhan, mata gadis itu mendapati rumah besar milik salah sorang dokter ahli bedah terkenal di kotanya itu, terlihat sedang riuh oleh orang-orang  yang berlalu lalang. Dengan mobil-mobil mewah berjajar rapi serupa pagar betis yang terparkir rapi di pinggir jalan yang merupakan satu-satunya akses penghubung ke sekolah gadis itu.
Oh ya, nama gadis itu Renata.

Matanya sedari tadi sama sekali tidak lepas mengamati kelebatan orang-orang berpakaian resmi di dalam bangunan klasik rumah dokter itu. Sementara langkah kakinya sengaja ia lambatkan, mengingat bahwa pagi ini sudah menjadi pagi yang teramat terlambat baginya untuk mengikuti tambahan pelajaran Matematika. Maka untuk menunggu bel sekolahnya mengisyaratkan siswa-nya untuk masuk kelas, ia memilih menikmati suasana pernikahan mewah si putri dokter ahli bedah tadi.

Ia hampir sampai di depan zebra cross yang mengubungkan gerbang sekolahnya dengan tempatnya berdiri sekarang, saat matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang berdiri tepat di depan gerbang kokoh berwarna keemasan itu.

Sosok tinggi itu terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya, mengabaikan keramaian di belakangnya, dan tentu saja pandangan mata Renata.

Tetapi Renata masih tidak ingin menyerah mendapati pengabaian jelas yang tergambar di depannya kali itu, gadis itu tetap memusatkan tatapannya ke arah laki-laki jangkung berkemeja abu-abu kecokelatan itu. Sampai akhirnya detik itu datang juga, laki-laki itu menoleh kearah Renata. Membalas seluruh pandangan mata gadis itu dengan sama lekatnya.

Dan satu-satunya hal yang paling diharapkan Renata pada detik itu hanyalah supaya laki-laki itu bisa mengingatnya. Atau setidaknya, ia hanya berharap laki-laki itu merasa bahwa mereka pernah saling bertemu sebelumnya. Meski dengan harapan seperti itu hanya membuat Renata merasa semakin bodoh, tetapi gadis itu tidak peduli.

Ia tetap menikmati pandangannya yang saling terkunci dengan laki-laki jangkung berkulit langsat itu. Sekaligus diam-diam memutar semua kilas balik pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu, satu bulan lebih lima hari yang lalu.

"Ma, tahu anak laki-laki yang barusan turun tadi?" Renata yang sedang berusaha menenangkan gemuruh jantungnya sendiri, memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya. Sesaat setelah seseorang dengan kemeja abu-abu melewati tempat duduknya di bus pariwisata itu.

"Kenapa?"
Ibunya, yang pada dasarnya adalah orang yang cukup cuek dengan sekelilingnya mendadak mengubah perhatiannya kepada anak gadisnya yang pipinya terlihat lebih memerah dari biasanya itu.

"Wajahnya mirip Mas Bara," senyum malu-malu Renata terkembang. Biar saja kali ini ia mengakui perasaannya terlebih dulu pada ibunya.

Ibunya mencibir, "Kamu sih lihat pohon itu mungkin juga bakalan bilang mirip Bara.." Renata terbahak. Ibunya tahu betul ternyata. Dibalik semua aspek mengagumkan pada sosok laki-laki yang baru dibicarakannya tadi, tetap terselip bayangan Bara, laki-laki yang pertama kali menyelinap diam-diam di dalam hatinya. Menjelma sebagai sosok yang diberinya judul ; Cinta Pertama.

Renata kembali memeluk teddy bear merah miliknya. Membenamkan sebagian wajahnya lantas memasang earphone-nya dan membiarkan lagu Perahu Kertas milik Maudy Ayunda mengalun tanpa henti sore itu. Sekaligus memberinya kesempatan untuk kembali mengenang sosok laki-laki berkemeja abu-abu, teman satu rombongannya di pariwisata Jakarta-Bandung awal Januari 2013 itu.

"ku bahagia..kau telah terlahir di dunia..
dan kau ada.. diantara milyaran manusia..
dan ku bisa..
dengan radar-ku,
menemukanmu..."

Tiba-tiba Renata merasakan pipinya basah. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba hatinya merasa perih. Seolah sedang kehilangan. Padahal ia hanya sedang "tidak mendapati sosok laki-laki yang hampir selama tiga hari itu dilihatnya". Ia sendiri kebingungan, bagaimana perasaannya bisa tumbuh secepat itu? Bahkan mengingat bahwa di dalam pertemuan singkat itu ia tak pernah saling menyapa, tak pernah juga saling memberitahu nama, tetapi, bagaimana ia bisa merasa se-kehilangan itu saat laki-laki tadi memutuskan untuk mengakhiri perjalannya dan turun di Purwokerto??

Renata masih terpaku di dalam bening mata laki-laki di depan gerbang rumah dokter ahli bedah itu. Terjebak kembali di dalam pesona magis yang selama satu bulan lebih lima hari ini ia abaikan. 
Ia tahu, kali ini semesta sedang memihakkan keberuntungan di depan matanya, hanya saja ia masih belum tahu bagaimana cara mengambil keberuntungan itu.

Tiba-tiba saja laki-laki itu tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
Laki-laki itu ternyata masih mengingatnya.
Renata balas tersenyum, lantas ikut mengangguk pada laki-laki yang saat iu hanya berjarak kurang lebih satu meter darinya.
Renata semakin mendekat kepada laki-laki itu, namun satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya hanya rasa bahagia. Tak ada judul lain selain itu.

Namun semua pekiraannya runtuh seketika saat laki-laki itu mendadak mencegat langkahnya, lantas dengan cepat mengulurkan secarik kertas berwarna biru ke arahnya.

"Sebenarnya dari dulu aku mau ngasih ini, tapi terserah kamu menanggapi ini seperti apa. Tetapi, aku senang melihatmu lagi, Renata.."
Laki-laki itu kembali mengulaskan senyumnya. Yang selama satu bulan lebih lima hari ini lebih sering mengganggu pikiran sekaligus kerja otaknya. Sekaligus mulai mengalihkannya dari Bara, yang hampir selama enam tahun ini bercokol di dalam ingatan sekaligus lamunannya.

Senyum Renata kembali terkembang. Kali ini ia tahu betul bagaimana rasa bahagia itu sesederhana apa.

Tetapi sedetik kemudian otaknya justru kembali berfungsi dengan baik. Membuatnya kembali ingat bahwa ia harus segera menyeberangi zebra cross di depannya. Sekaligus menyadari bahwa hukuman keliling lapangan sudah menantinya di depan mata, mengingatkan tentang kesengajannya mengabaikan dentang bel sekolah lima menit yang lalu.

Sekilas, Renata menatap kertas biru berisi deret angka-angka asing itu. 
Bibirnya kembali tersenyum.
Hangat.




Ditulis oleh Nindya. 9 Februari 2013 pukul 1:07 AM
Untuk seorang calon dokter bernama Hasan 
:") 

Kamis, Februari 07, 2013

Seseorang dari Masa SMA



Ini tentang perpisahan SMA yang tinggal beberapa hari dari sekarang.
Tentang masa sekolah yang hampir kusempurnakan.
Juga tentang keseragaman yang 'sempat' membosankan, sekaligus mengesankan.

Ini tentang kamu.
Seseorang yang datang dari masa tiga tahun SMA-ku.
Seseorang yang datang tanpa permisi, yang juga sempat tinggal meski akhirnya juga pergi.
Seseorang yang mungkin, tidak akan menyadari bahwa cerita tentangnya kutuliskan disini.

Aku sendiri tidak tahu, sejak kapan aku memiliki cukup keberanian untuk menuliskan tentang kamu disini. Menggeser tempat salah satu orang yang paling sering kujadikan tokoh utama di dalam cerita-ku. Tetapi tak apalah, toh mungkin ini juga akan menjadi yang terakhir kalinya aku menuliskan tentang kamu, juga tentang cerita-mu yang sempat mampir di dalam perputaran nasib dan takdirku.
Aku juga tahu, bahwa tidak akan pantas lagi rasanya menuliskan tentang kamu mengingat bagaimana keadaan kita sekarang. Keadaan yang memungkinkan kita hanya bisa saling melihat jika tidak sengaja berpapasan di koridor atau di tangga kelas. Keadaan yang hanya memungkinkan kita untuk saling menyapa dalam diam.
Aku juga tahu, kamu, bukan lagi sosok kamu yang kulihat pertama kali. Bukan lagi sosok yang masih bisa kucandai dengan lelucon-lelucon konyol-ku, sekaligus bukan lagi sosok yang pernah menyelinap ke dalam beberapa mimpi.
Aku tahu kamu sudah menemukan.
Entah apa itu nama-nya, yang jelas aku sudah mengerti bahwa kamu tidak lagi berjalan sendiri.
Sudah ada seseorang yang langkahnya selalu tidak jauh dari langkahmu, seseorang yang tempatnya juga tidak pernah jauh dari kamu, juga seseorang yang bisa menjadi penghibur bagi seluruh keluh dan kesah-mu.
Lantas, bolehkah aku memprotes jika seseorang itu bukan aku?
Mungkin ini juga terdengar sebagai sebuah keterlambatan kesadaran. Bahwa diam-diam aku mulai sering mencari-cari keberadaanmu saat kamu sudah pergi. Bahwa aku mulai sering mendengar suaramu, bahkan meski tahu bahwa tidak mungkin kamu berada disitu.
Aku tak banyak bisa menuliskan hal tentang kamu. Karena aku sendiri juga belum tahu, bagaimana sebenarnya bentuk perasaanku untuk kamu. Bahwa aku sendiri juga belum bisa memahami dengan pasti, senyata apakah perasaan aneh untuk kamu ini.
Tetapi sebelum aku terlalu banyak menuliskan harap untuk kamu, sekali lagi aku ingin mengingatkan diri sendiri, bahwa kamu tidak boleh lagi sering-sering kulamuni, sekaligus memberi penegasan tentang hubungan antara kamu dan gadis lembut berparas ayu itu.
Aku tidak sedih kok, tidak patah hati juga, hanya saja rasanya tidak mudah membiarkan kebiasaan yang mendadak merenggang menjadi suatu hal yang tidak lagi biasa.
Rasanya sedikit aneh, harus membiarkan kamu dan dia berjalan bersisian, lantas melewatiku yang masih kesulitan membiasakan diri tanpa kamu.
Tetapi aku selalu berharap kalian berdua bahagia.
Aku selalu berharap semoga dia menjadi yang terbaik buat kamu, dan kamu juga menjadi yang terbaik buat dia.
Aku selalu berharap kamu baik-baik saja,
selalu berharap semoga kamu bisa menjaga dia, dan semoga dia bisa mengajarkan kamu lebih banyak kebaikan yang mungkin hanya bisa kutiupkan melalui doa-doa.
Aku tidak lagi mengharapkan sesuatu yang lebih baik lagi daripada keadaan kita sekarang, karena aku sendiri juga khawatir, kalau saja aku tidak bisa seprofesional kelihatannya.
Aku juga khawatir kalau aku masih saja memiliki perasaan tidak rela yang tidak sepantasnya.
Dan sebelum semua kekhawatiran itu menemui kenyataannya, kuharap kamu juga sudah tahu,
supaya kamu juga tidak perlu sering-sering muncul di depanku, supaya nama-mu tidak perlu setiap hari muncul di timeline-ku,
sekaligus supaya kamu tidak perlu lagi bisa kutemui, sekalipun nanti kita dikembalikan pada satu keadaan yang mengharuskan kita untuk berada di satu tempat yang sama lagi...


untuk kamu,
seseorang yang sering menjadi tokoh utama di dalam beberapa mimpi.

Senin, Februari 04, 2013

#DearYou - Moammar Emka


“Tentangmu yang tak mampu kutepikan apalagi kulupakan. Tentangmu yang setia kujaga dan kusimpan rapi di sudut hati terdalam. Inilah kuasa pilihanku. Inilah yang tertulis dihatiku : aku mencintaimu.”

 
Ini sudah benar dari awal. Aku mencintaimu tanpa tanda tanya.




Buku ini dipersembahkan untuk cinta, demi cinta, dan kepada cinta.
Ingat-ingatlah semua pagi yang kau syukuri karena masih bisa terbangun di sisinya,
semua siang yang kau habiskan dengan merindukannya, 
juga malam-malam yang kau tutup dengan doa memohon kebahagiaannya.
Temukan cerita tentang cintamu di buku ini—dan bersiaplah untuk jatuh cinta lagi....

Setelah perpisahan, menunggu kamu itu tak ubahnya putaran nasib. Mungkin, tidak... mungkin... tidak... mungkin. Biarkan saja, setidaknya aku masih bisa menunggu.

TENTANGMU. Melupakan, tak mampu. Menjaga dan menyimpannya rapi di sudut hati, itu kuasa pilihanku.

"Cinta memang sederhana. Tapi aku memilih luar biasa memaknai jatuhnya, jatuh cinta kepadamu."  






(Meskipun terlambat menyukai buku ini, tetap, terima kasih banyak karena membuatku jatuh cinta sekali lagi..)