Sabtu, Mei 24, 2014

Sore itu..

Ada yang bertanya, bagaimana rasanya sakit tanpa ada yang benar-benar menyakiti?

Mungkin letaknya sama dengan kehilangan apa-apa yang tidak pernah kita miliki.

Sama halnya saat melihatnya. Yang datang, tanpa kabar, lalu yang kemudian memutuskan tinggal barang sejenak. Untuk kemudian memberi isyarat, bahwa ia bukan satu-satunya yang bisa tinggal disana.

Di sebuah cerita bernama takdir dari Tuhan.

Menyenangkan melihatnya,
Menenangkan mendengarkan suara tawanya,

Tak pernah ada pengingkaran untuk itu

Untuk kedatangannya, untuk tinggalnya, dan bahkan untuk perginya yang bahkan tanpa aba-aba.
Jika semua hanya isyarat, maka boleh aku bertanya,

Untuk apa debar itu hadir demi namanya?

Aku tak lagi tahu, tak lagi pula mengerti kenapa pertemuan dengannya harus meletakkanku pada tempat ini. Tempat yang kulihat tak lagi sama seperti semula. Tempat dimana aku masih bisa melihatnya, mendengar suara tawanya, pun masih sanggup sekadar bicara beberapa kata dengannya.

Tempat yang kutahu, meski aku mengharapnya, perpisahan tak juga mampu terelakkan.

Boleh aku membencinya?

Membenci waktu yang seolah mengejek.
Mempertemukan untuk kemudian memisahkan tanpa ampun.

Membenci, kenyataan bahwa aku tak lagi mampu melakukan apa-apa selain membiarkan.

Tak lagi mampu apa-apa selain mempersilakan, bahkan untuk kepergiannya, yang kulihat tak juga mampu kutepiskan.

Aku tak lagi tahu,
Entah bentuk hatiku
Entah semua rasa yang kubiarkan redam disana.

Aku tak lagi ingin memberi waktu

Pada kedatangannya yang seolah memberitahu

Aku tak diperbolehkan banyak berharap.
Sekalipun padanya, yang bahkan tak kupahami benar apa warna matanya..


Pare, 24 Mei 2014 jam lima lebih lima belas menit.

Kamis, Mei 08, 2014

mungkin, itu alasannya..

Ada beberapa saat yang kupunya tanpa benar-benar ingat, apa-apa yang sebenarnya sedang kucari. Juga, apa-apa yang bisa namun tak kunjung ku temukan.
Aku mencoba memberinya nama.
Mungkin boleh kupinjam namamu?

Menjadi apa-apa yang kucari itu.
Yang tak juga ku pahami, kenapa harus aku yang melakukannya, dan kenapa, harus kau yang menjadi jawabnya.

Sekali lagi, kupinjam namamu.
Sebagai apa-apa yang tak kunjung kutemukan.
Sedang aku tak lagi tahu. Pun tak lagi paham, kenapa pula harus aku yang mengusahakannya, dan kenapa, harus namamu yang menjadi tokoh utamanya.

Namamu.
Aku menyebutnya sederhana.
Beberapa teman pun mengatakannya sebagai hal yang biasa.

Ah, mungkin mereka hanya belum tahu.
Tentang kemampuanmu membuatku tertawa.
Bahkan pada kali pertama saling menyebut nama.

Mungkin, itu alasannya.

Kenapa harus aku yang menceritakannya.
Tentang namamu, yang harus menjadi tokoh utamanya.


Pare, 8 Mei 2014 - 23:45 WIB