Senin, Februari 24, 2014

someday

Someday i feel like i have no strenght at all to stand and wait for your coming
Someday i feel like i can spend all the time just just to stand here, for you too
Someday i feel like you will come and erase all of my tiredness
Someday i feel like you won't come at all, no matter how loud i scream your name

Someday i'll know that i'm really in love with your stupidity
Someday i'll know that i'm the one who gets wrong
Someday i'll know that the one and only way to have you is just let you go

We have known about it

About me, who always wait for your answer
And about you, who has no answer to give

We have known but still want to try

We just know that trying is a way to know how the feeling is
We just know that no one is being hurted here
We just try, no matter how hard it was

You said that you want to know how's the feeling of being loved
And i said that i will show you

You said that neither of us could do that
But i've proved that i can

You say sorry
But i always say, don't worry..


We have known that to love and be loved are not as easy as we thought
But we also knew, that the one and only way to be loved is just to love the love itself

We have known and have proved that

And about the answer...
It goes to the time :)


Pare, 24 Feb 2014
12:48 WIB

Rabu, Februari 12, 2014

bahagia(ku) ; kita

Entah ini sudah hari ke berapa.
Hari yang ku hitung dalam diam.
Yang ku hitung di tengah riuh suara sekitar.
Dalam hati.
Dalam pelan.

Hari ini aku bahagia. Sebahagia kamu yang berteman keberhasilan. Sebahagia kamu yang mendapat keberuntungan.

Pekerjaan.

Selalu itu yang kamu jadikan alasan. Satu-satunya yang kamu jadikan pelarian, ketika bahkan rumah pun tak mampu jadi teman.

Studi.

Selalu itu yang menjadikanmu pura-pura tuli
Yang menjadikanmu pura-pura tak lagi punya peduli

Aku bahagia.

Teramat bahagia bahkan ketika melihatmu sedang tertawa disana.
Yang diam-diam memperhatikanmu, bergaya di depan sebuah kamera

Aku selalu bahagia

Bahkan meski harus mendengar setiap kabarmu, tak langsung dari dirimu
Yang bahkan, tahu dimana keberadaanmu, tanpa mau menujumu

Sekali lagi, aku selalu bahagia

Pada apa-apa yang membahagiakanmu
Pada siapa-siapa yang berhasil mengukir tawa pada wajahmu
Pada segala, yang kamu bilang sebagai semestamu..

"Aku bahagia untuk dan karenamu.."

Sama seperti ucapmu, pada balasan surat yang kutulis, dan khusus kuhadiahkan untuk namamu.

Satu-satunya.



Pare, 12 Februari 2014

Jumat, Februari 07, 2014

Pernah jatuh cinta?

Pernah jatuh cinta, tidak?

Sekali lagi kubaca tulisan di salah satu lembar notesku itu. Tulisan yang bahkan aku sendiri tak sadar, kapan aku pernah menulisnya.
Namun yang jelas, aku masih ingat tentang alasan kenapa aku menulisnya.

Ini lagi-lagi tentangmu. Yang selalu berbeda pendapat denganku.
Yang selalu mengajakku berdebat, lalu menutupnya dengan diam.

Aku pernah jatuh cinta.

Kamu pun juga.

Namun kita selalu berbeda. Bahkan meski sama-sama sedang jatuh cinta.

Ketika jatuh cinta, aku belajar menjaga.
Kamu tidak.

Ketika jatuh cinta, aku belajar merendahkan ego.
Kamu tidak.

Dan ketika jatuh cinta, aku lebih suka menatap dari dekat.
Dan kamu masih saja tidak.

Aku bosan terus-menerus berbeda.
Bosan, terus-menerus tak sama dengan apa-apa yang ada dalam pikirmu.

"Kalau bisa beda, kenapa harus sama, sih?"
Ucapmu ringan waktu itu. Terhalang seratus lima puluh kilo meter, saat itu.

"Terserah kamu, lah.."
Ucapku sebagai jawabannya.
Menyerah.

Aku heran, entah padamu, atau pada besarnya egomu.
Namun lebih heran lagi, karena kamu bilang itu akibat egoku.
Bagaimana bisa?

Kamu yang tak pernah mau menemuiku lama-lama.
Kamu yang hampir tak pernah mengirimkan pesan selamat pagi, selamat makan, atau bahkan selamat tidur.
Kamu yang bahkan hampir tak pernah mengucap cinta. Sekali pun.

Kamu yang lebih suka mengajariku hal-hal yang tak kutahu.
Lebih suka menyuruhku belajar memasak.
Memarahiku tiap kali penyakit manjaku kambuh.
Yang semena-mena menyuruhku tak sampai terlambat makan.
Dan selalu mengingatkan untuk tak lupa minum vitamin agar alergiku tak mudah muncul.

Kamu yang kaku.
Namun hampir tak pernah lupa bagaimana cara membuatku tertawa hingga sakit perut.

Yang jarang memberi kabar.
Namun lebih suka muncul langsung dan memperlihatkan bahwa kamu lebih dari sekadar "baik-baik saja"

Kamu, yang selalu mengganti pertanyaan "sudah makan?", dengan kalimat "cepet turun dari kantor, kita makan dulu.."
Yang hampir tidak pernah menelepon di malam hari sebelum tidur, dengan alasan sederhana, namun konyol menurut telingaku.
"Biar kamu cepet tidur dan nggak usah ngelamunin macam-macam sebelumnya.."

Alasan apa itu?

Berkali-kali aku memprotes sikap kaku-mu.
Menuntut lebih, walau tak satupun ocehanku benar-benar kamu perhatikan.

"Aku capek.."
Ucapku pada akhirnya. Waktu itu kamu memaksaku untuk ikut makan rawon kesukaanmu.
Padahal jelas-jelas kamu tahu, aku tak pernah suka makanan itu.
Ibuku saja tak pernah memaksaku memakannya. Tapi kamu?

"Namanya juga kerja. Kalau mau nggak capek ya di rumah aja.."
Jawabanmu sekali lagi membuatku mendelik kesal.
Tak ada romantisnya sama sekali. Heran..

"Kamu ya.."

Sekali lagi kamu menoleh. Dan sebalnya, wajahmu benar-benar menunjukkan ketidaktahuan sama sekali.

"Lho, gimana sih, Rin?"

"Aku capeknya sama kamu, Bintang. Bukan sama kerjaanku.."

Kamu menghentikan kunyahanmu.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihatmu benar-benar serius menanggapi mauku.

"Aku kenapa?"

"Kamu kaku. Nggak bisa luwes. Nggak bisa ngertiin mauku. Nggak mau denger pendapat-pendapatku.."

Tawamu lepas. Lalu kamu buru-buru menyudahinya tepat ketika delikan mataku semakin lebar.

"Lalu maunya kamu apa?"

"Mauku? Mauku itu kamu belajar ngertiin aku. Mau belajar toleransi sama pendapat-pendapatku. Mau belajar bersikap layaknya orang yang sayang gitu lah.. Bukannya justru maksa-maksa aku makan rawon kaya' gini.."

Ucapku semakin sebal. Yang bahkan justru membuat garis tawa di wajahmu semakin terlihat.

"Jadi kamu marah karena aku minta kamu makan rawon?"

"Bukan cuma itu. Aku marah karena kamu nggak pernah kirim ucapan selamat pagi, selamat makan, sama selamat tidur. Karena kamu selalu nyuruh aku belajar masak. Karena kamu nggak pernah telepon aku lebih dari lima menit. Karena kamu.. Ah, nggak tau lagi, saking banyaknya!"

Kamu masih terlihat tenang, bahkan meski sudah melihat wajahku yang memerah menahan tangis.

"Oh.."
Cuma itu jawabanmu?

"Sekarang aku tanya, yang selalu ngajak makan duluan siapa? Yang selalu telepon duluan tiap hari siapa? Yang lebih ingat soal alergimu siapa?"

Hanya dari tiga pertanyaan itu, aku sudah mampu menyimpulkan jawabannya.

"Kamu.."

"Lagi, siapa yang selalu bilang terserah tiap kali ditanyain mau makan apa? Siapa yang bilang kalau pekerjaannya sebagai seorang reporter nggak memungkinkan untuk bisa telepon tiap waktu? Satu lagi, siapa yang hampir selalu ngeyel makan telur walaupun udah tau punya alergi?"

Kali ini aku diam.
Tahu bahwa jawabannya adalah namaku sendiri.

"Kita bukan ABG lagi, Rin. Bukan remaja kemarin sore yang harus dikit-dikit pamer kabar ke pasangan. Kita juga nggak perlu saling tunjuk tangan buat bilang cinta atau sayang. Aku sayang sama kamu, cukup. Selebihnya biar cara kita masing-masing yang menunjukkan. Kita nggak cukup bodoh untuk tahu soal itu, kok.."

Sekali lagi kamu tersenyum singkat.

Namun kali ini, seperti biasa perdebatan menang di tanganmu.

Namun kali ini juga, aku menerima semua pendapatmu tanpa punya penyangkalan lagi.

Kamu benar.

Kita boleh berbeda bahkan meski punya perasaan yang sama.

Karena apa guna diciptakan kata sempurna, jika tak muncul dari melengkapi apa-apa yang alpa?

Pare, 6 Februari 2014

Rabu, Februari 05, 2014

Desember, untuk kesekian kali.

25 Desember.

Kulingkari sekali lagi tanggal warna merah itu. Ini sudah ketiga kalinya aku membeli kalender.
Pertanda tiga tahun sudah kebiasaan melingkari tanggal yang juga merupakan hari natal itu kulakukan.
Kebiasaan yang tanpa permintaan.
Tanpa suruhan, dan dengan senang hati kulakukan.
Sekali lagi,
Tak ada yang ku rayakan secara khusus pada hari itu. Sama sekali tak ada, karena, yah.. aku Muslim.
Namun lagi-lagi aku berdebar.

Telepon berdering. Dan dengan lancangnya aku menebak, pasti kamu.
Maka sedikit terburu-buru aku mengangkatnya,
Dan benar saja, nama lengkap beserta foto penuh tawamu berkedip-kedip di layar ponselku.

"Hai, selamat tanggal 25 ya.."

Ucapmu datar. Yang bahkan membuatku bisa membayangkan bagaimana rupa wajahmu saat ini.
Pasti tanpa senyum. Seperti robot pada umumnya. Hehe, itu julukanku untukmu, memang.

"Belajar suara orang riang apa ceria gitu dong.."
Protesku yang langsung mendapatkan dengusan ketusmu.

"Apa kabarmu hari ini? Jangan bilang belum sarapan.."

Seketika tawaku lepas.

"Helloooooo.. Mana ada di kamusku sarapan jam 8 pagi, Tuan Robot.."

"Nah kan, manggil robot lagi.. Ubah dong kamusmu. Sarapan jam 7 pagi, minum susu kalau bisa, tambah vitamin lebih bagus.."

Aku merengut kecil. Biar, toh kamu tak tahu.

"Iyaaaaaaa.. Mentang-mentang tinggal bareng dokter jadi ketularan deh.."

Kali ini kamu yang tertawa.
Membuat hatiku menghangat tanpa sebab.
Aku selalu menyukai suara tawamu yang sumbang dan sedikit menggelegar itu.
Lebih menyukai jika tawamu itu muncul akibat ucapan atau tingkahku.
Aku menyukainya. Sangat.

"Pulang nggak?"

Tanyaku lagi-lagi membentur diammu.

"Kok diam, Ngga?"

"Maaf, Kai.."

Kali ini aku diam. Sudah tahu kemana arah pembicaraan ini akan dibawa.

"Betah banget ya di Belanda?"

"Udahlah Kaila, jangan mancing pertengkaran lagi.."

"Angga, aku nggak mancing. Kamu yang dikit-dikit kepancing!"

Lagi-lagi obrolan hangat kita tercemar oleh pertengkaran macam itu.
Dan untuknya, aku hanya mampu menyalahkan satu hal.

Jarak.
Dan tentu saja,
Rinduku yang tak pernah mau tahu.
Entah kamu.

"Studi-ku masih perlu banyak perhatian, Kai.. Kamu bilang kamu bisa ngerti itu, kan?"

Kamu selalu begitu, Ngga. Memaksaku mengingat janjiku sendiri.
Yang bahkan aku sendiri tak yakin mampu menepatinya atau tidak.

"Aku tahu kok.. Bukan sekali ini juga kamu nagih janjiku untuk ngertiin kamu.."

Ketusku mulai muncul.

"Ah, udahlah Kai.. I'll talk to you later. I have something to do.."

Dan tak seperti biasanya. Kamu menutup telepon dalam keadaan kita yang belum membaik.

Sekali lagi kulirik tanggal 25 Desember itu.

Hari ini, tiga tahun lalu kamu kembali, Ngga.

Setelah 8 tahun kamu meyakinkan diri untuk mencariku. Yang jelas-jelas masih selalu menunggumu, bahkan sejak sebelum aku tahu bagaimana itu menunggu.

Hari ini, tiga tahun lalu kamu memintaku untuk tak lagi menunggu.

Memintaku untuk berhenti mengharapkan kamu.

Karena kamu tak mau lagi ditunggu.
Kamu tak mau lagi jadi harapku.
Karena kamu benar-benar datang.
Dan benar-benar ada untuk menjadikan seluruh harap itu nyata.

"Aku sayang kamu, Kaila.."

Ucapmu lirih tiga tahun lalu. Di depan fakultasmu.
Tepat setelah kamu lulus dari perguruan tinggi itu.

"Jangan menungguku lagi karena aku akan datang. Dan jangan mengharapkanku karena aku akan mewujudkan.."

Aku tersenyum lebar.
Kamu tertawa.
Aku pelan menganggukkan kepala.
Dan sambil malu setengah ragu, kamu menggenggam dua belah tanganku.
Hangat.

"Aku mau ambil studi di Belanda ya, Kai.."

Ucapmu Desember berikutnya.

"Tapi kerjaanmu di Jakarta gimana?"

Ucapku setengah khawatir.
Setengah pada pekerjaanmu.
Setengah pada perasaanku.

"Terpaksa ditinggal dulu. Kan cuma 3 tahun.."

Ucapmu pelan.
Dan aku tahu maksudmu.

"Kamu lebih tahu mana yang baik buatmu, Angga.. Silakan kalau itu maumu.."

Setelah itu kamu menghamburkan peluk untukku.
Kulihat kamu bahagia.
Dan aku (mencoba ikut terlihat) bahagia.

"Mbaaaaaaaak.."

Lamunanku terhenti tepat ketika suara cempreng Rega, adikku memanggil.
"Apa sih?"

Aku kembali merengut ketika kulihat anak itu sudah berada di kamarku. Dandanannya sudah rapi, mungkin akan berangkat kuliah.

"Ada mas Angga tuh diluar.."

Aku pura-pura tuli. Anak itu memang selalu bertingkah menyebalkan seperti itu tiap kali tahu jika Angga tak jadi pulang pada liburannya.

"Bodo amat!"
Sahutku galak.

"Oh jadi sekarang aku di bodo amat-in gini..."

Seketika jantungku mempercepat detaknya.
Refleks aku menoleh dan mendapati pemilik suara sumbang datar itu tersenyum simpul sambil menyandarkan sebelah bahunya di pintu kamarku.

Tuhan, itu benar Angga?

"Iya, Angga Putra Pratama, pacarmu yang nyebelin dan kaku kaya' robot dan nggak pulang-pulang dari Belanda itu lho.."

Kamu kembali bersuara. Seolah mampu membaca pikiranku.

Seketika kuhamburkan peluk untuk Angga.
Ia membalasnya sama.

"Aku juga kangen kamu, Cilik.."

Hatiku penuh.
Tuhan, ini sudah cukup.

Ya, cukup Angga. Dan aku tak lagi minta siapa-siapa yang lebih apa-apa lagi.


"Buruan siap-siap, nanti malam keluargaku mau lamaran kesini, Kai.."

Bisikmu pelan ketika peluk itu merenggang.

Aku kembali tersenyum.

Kali ini tanpa ragu. Tanpa memalu.
Sedang kamu masih menggenggam dua tanganku.

Masih hangat.

Aku mengangguk.

Menerima.



Sepertinya, setelah ini lingkaran pada tanggal 25 Desember akan terus berlanjut.
Dan meski sebenarnya tidak,
Aku merasa ini sempurna.


*fiksi*
Pare, 5 Feb 2014
23 : 33 WIB