Jumat, Mei 15, 2015

Mungkin, Dia hanya sedang cemburu

Mungkin ada yang sedang cemburu karena melihat cintamu yang terlalu.
Padanya,
yang kau sebut sesama makhluk,
namun nyata-nyatanya,
justru lebih kau cintai sampai hatimu ikut membiru.

Mungkin ada yang sedang cemburu,
sehingga mencarimu dengan tak menyegerakan apa-apa yang menjadi maumu.

Mungkin ada yang sedang cemburu,
lalu membiarkanmu memohon-mohon padaNya
menemuiNya pada sujud panjangmu
meratap hingga lelah pada tiap tangkupan tangan yang berisi doa hingga penuh

Mungkin ada yang sedang cemburu,
ingin pula mengajakmu bicara banyak,
sedang kamu,
terlalu sibuk pada kemauan-kemauan yang masih ditangguhkanNya

Mungkin,
Dia hanya sedang cemburu

Padamu,
yang mungkin hanya terlalu lebih sering mengingatnya.







Tulungagung, 15 Mei 2015
00:00 WIB


(terima kasih tanpa sudah untuk seorang teman asing yang baik yang saya temui di twitter. semoga tiap baik dan lembut kata yang kau tuturkan menjadikan alasan untuk penuhnya cinta Tuhan bagimu. terima kasih, dan seluruh cinta saya sampaikan)

Kamis, Mei 14, 2015

(mungkin) Tuhan (hanya sedang) mengajak bercanda



Pada apa-apa yang semula dekat lalu menjauh pelan
Pada apa-apa yang semula ada lalu mendadak alpa
Aku diberitahunya, Tuhan hanya sedang mengajakku bercanda


Aku tak cukup mau tahu
Masih pula aku memburu jawab,
“lalu, apakah pada yang biasanya tak lupa lalu diam-diam melupa, itu juga bagian dari candaan Tuhan?”


Aku tak mendapat jawaban yang ku mau, sebenarnya
Namun tak urung kuanggukkan kepala, menganggap semua akan segera baik-baik saja


“Tanya padaNya. Kau tak akan pernah tahu sampai kau benar-benar bertanya langsung, bukan?”

Ia benar
Mungkin aku hanya belum benar-benar bertanya padaNya
Yang beberapa hari ini mungkin hanya sedang mengajakku bercanda
Memberitahuku, bagaimana cintaNya bekerja





Tulungagung, 14 Mei 2015
23:30 WIB

Kita ; sesederhana itu



Kita mungkin adalah sesuatu yang awalnya sesederhana warna putih pada nasi, atau hitam pada manik mata. Tetapi beberapa hal yang menjadi perasaan kita perlahan mengajaknya merumit. Menunjukkan kita pada apa-apa yang tak seharusnya kita tahu. Membawa kita pada tempat-tempat yang tak seharusnya kita tuju.

Kita bukannya bodoh. Sebut saja naluri ingin tahu kita yang terlampau besar. Yang menghendaki segala sesuatu yang tak selayaknya ada menjadi ada, pun menginginkan segala sesuatu yang harusnya tak terjadi untuk terjadi.


Aku.

Berkali-kali kau menyebutku tak tahu diri. Hanya karena aku sering melakukan apa-apa yang tak masuk dalam pahammu, lalu sepihak kau melakukan penghakiman pada tiap ucap dan perbuatanku.

Aku tak menolaknya. Kau benar, aku mungkin hanya perkara kejadian-kejadian diluar nalar yang seringkali membuatmu berdecak. Bukan kagum, tetapi decak tak mengerti. Decak tak paham, yang pada akhirnya membuatmu perlahan tak ingin lagi bersijajar denganku.

Aku paham. Pun mengerti benar pada maumu yang berkali-kali tak mampu tersampaikan langsung padaku itu. Aku janji tak akan menyerah padamu, karena memang pada kenyataannya, sampai pada huruf kesekian dari tulisan ini pun ; tak ada satu bagian pun dariku yang ingin beranjak meninggalkanmu.
Entah kau memilih percaya atau tidak. Itu sama sekali bukan tugasku untuk mencari tahu.


Kau.

Entah apa dan bagaimana aku menerjemahkan tiga huruf yang merujuk pada namamu itu. Bukannya aku malas menjelaskannya satu-persatu, bukan pula aku terlampau silau hanya karena terlalu merindukanmu. Sama sekali bukan karena itu.

Berkali pula aku menyebutmu sebagai sesuatu yang tak masuk dalam pemahamanku. Pada tiap-tiap alasan dan takdir yang pada akhirnya mempertemukan kedua mataku dengan milikmu, aku hanya tak pernah benar-benar mau mencari tahu.

Bagiku, kau mungkin hanya perkara kumpulan ketidaktahuan yang diam-diam kunikmati sendirian. Terdengar bodoh mungkin bagimu ucapku ini, hanya saja aku tak ingin bosan memberitahumu. Bahwa bagiku, kau mungkin hanyalah apa-apa yang yang sampai saat ini tak ingin berhenti untuk kupahami.





Tulungagung, 14 Mei 2015
23:25 WIB

Selasa, Mei 12, 2015

Ada yang masih bertahan hari ini

Ada yang masih bertahan hari ini
Entah karena kesanggupannya menunggu
Atau saja karena ketidaksanggupannya meninggalkan

Ia hanya tak pernah benar-benar tahu, apakah keputusannya untuk menjadi diam adalah terbaik atau bukan. Ia diam, bukan.. bukan karena ia tak punya daya melawan. Namun sebut saja ini adalah salah satu kebodohannya sebagai yang mencintai.

Ia yang mendadak tak punya kekuatan apa-apa selain membiarkan apa yang harus terjadi untuk terjadi. Sekaligus memberi ruang bagi hati dan pikirnya menyimpul jawab yang satu.

Ia tahu bahwa ia tak cukup punya nyali untuk memprotes ketidaksanggupannya bertahan pada sesuatu. Ia hanya tahu bahwa ia sedang mencukupkan penerimaannya atas apa-apa yang dulu diagungkannya dengan terlalu.

Dan atas apa-apa yang tak cukup sanggup diungkapkannya, ia memintaku menolongnya.
Memintaku menuliskan maunya.
Berharap pada suatu saat ia tak perlu lagi merasa kesakitan.
Sendirian.





Tulungagung, 12 Mei 2015
pukul 12 malam kurang satu menit.

Rabu, Mei 06, 2015

Perempuan Pada Pukul Satu Pagi

Sudah hampir pukul satu pagi saat matanya tak juga bisa terpejam
Seolah sedang melamuni apa-apa yang luput dari genggam

Baginya, ia hanya perempuan biasa
Yang hatinya tak seluas samudera
Yang sabarnya, tak sebesar ucapnya

Jarum jam nyatanya tak juga urung bergerak
Melawan satu-persatu detik yang berserak

Perempuan itu hanya takut terlambat
Kalau-kalau ucap selamat paginya akan kalah dari kokok ayam saat fajar mencegat

Baginya, ia hanya perempuan biasa
Yang tertawa dan menangis pada waktunya

Ia memang benar-benar hanya perempuan biasa
Yang seolah melupa pada jarum jam yang semakin bergerak meninggalkan angka satu
Perempuan biasa yang masih saja membiarkan kantuknya marah karena menunggu

"Kabarnya pasti tiba sebentar lagi.."
Hiburnya pelan bagi hatinya sendiri

Jarum jam tak juga melambat
Membiarkan petang merambat

Perempuan itu hanya perempuan biasa
Yang pada akhirnya membiarkan dirinya berkali-kali ditertawakan rasa kecewa

"Sudah pukul satu lebih, lalu mana kabarnya?"
Jerit separuh hatinya, yang tak dihuni rasa sabar sebesar separuh hati lainnya

"Sepuluh menit lagi, aku akan menurutimu.."
Lemah ia menjawab hatinya sendiri
Mengalah pada sisi lain dalam jiwa perempuannya

Jiwa bebas yang tak takut lepas

"Aku menang lagi. Ia baik-baik saja. Kabarnya baru saja tiba.."
Kali ini jiwa lembut perempuan biasa itu berteriak bahagia

Ia menang sekali lagi
Berteman sabar dan sedikit payah pada separuh hati

Ia tersenyum hangat
Pada jiwa perempuannya yang lain, yang bebas tadi, yang selalu ingin lepas kendali tadi,
yang kalah, entah untuk ke sekian kali

"Tak ada lelah dan airmata yang tak dihitung Tuhan, Sayang.."
Ucap lembutnya menutup malamnya yang tumpah ruah oleh doa

Ia hanya perempuan biasa, bagi dirinya
Bagi dua jiwanya yang saling berselisih kata

Namun sekali lagi, selepas pukul satu
Aku mengaguminya

Sosok perempuan biasa berhati tak seluas samudera
Yang hanya sedang jatuh cinta,
di dalam seluruh keterbatasannya..






Tulungagung, 6 Mei 2015
00:26 WIB

- untuk seluruh perempuan yang seharusnya tahu bahwa tak perlu jadi perempuan yang kuat untuk memastikan segala akan baik-baik saja. cukup dan semoga kita menjadi perempuan biasa, yang tahu waktu ; kapan ia harus bisa menghadapi segala, kapan ia harus tunduk lembut demi memperindah lakunya.


Senin, Mei 04, 2015

Beberapa Hal


Ada beberapa hal yang sebenarnya lama ingin kusampaikan padamu
Tentangmu yang jauh
Dan tentangku, yang kau minta untuk selalu percaya
Sebenarnya, jauh sebelum kau minta pun
Aku sudah percaya padamu
Bukan hanya sudah, aku bahkan selalu percaya padamu
Padamu yang kedatangannya serupa bintang
Sekejap ada, lalu menghilang tepat ketika aku mengedipkan mata

Ada beberapa hal yang sebenarnya lama ingin kusampaikan padamu
Tentangmu yang tak kudapati dengan mudah
Tuan,
Ada jarak yang harus kita sadari
Yang awalnya kukira sesederhana satu tambah satu sama dengan dua
Jarak yang kukira
Akan luluh seketika hanya karena kita saling mengucap cinta

Tuan,
Kenyataan nyata-nyatanya tak pernah sesederhana itu
Tak pernah semudah kita mengucap rindu
Yang meskipun saling, namun tetap saja mencipta kelu

Tuan, ada beberapa hal yang sebenarnya lama ingin kusampaikan padamu
Berteman secangkir kopi dan sepotong kenangan
Bahwa hanya selalu tentang sosokmu
Seluruh yang ganjil mampu tergenapkan




Tulungagung, 4 Mei 2015

Berjarak



Terkadang aku hanya tak cukup terima pada kenyataan. 
Pada tiap-tiap kejadian yang membuatku sampai pada bagian-bagiannya yang tak begitu kusukai.

Berjarak denganmu, contohnya.

Jujur, aku tak pernah benar-benar menyukai konsep berjarak itu sendiri. 
Konsep yang hanya indah untuk dibuat tulisan. 
Konsep yang hanya manis untuk dipakai sebuah cerita penuh kiasan. 
Karena sekali lagi, berjarak denganmu bukanlah hal yang seindah dan semanis itu buatku.

Katakan saja aku tak cukup dewasa dengan protes sepihakku ini. 
Sebut saja aku masih kekanakan karena masih saja sering merindukanmu yang jauh. Merindukanmu yang bahkan suara tawanya hanya mampu kureka-reka. 
Merindukanmu yang tatap matanya hanya sampai ingatanku saja.

Berjarak sama sekali bukan konsep yang adil. 
Sama sekali bukan konsep yang menghibur, bahkan meski sebuah pesan singkat saja menjadi sebegitu berartinya. 

Berjarak hanya serupa umpama yang membuatmu betah berlama-berlama menatap layar ponsel. Berharap pesan singkatnya muncul, berharap segera membalasnya, berharap ia segera membacanya, berharap ia segera mengetikkan balasan yang sama. 
Begitu saja. 
Berulang entah untuk hitungan hari yang sampai berapa.

Anggap aku tak cukup bisa menerima keberjarakan kita hanya karena protes manjaku pada kebiasaanmu yang membalas pesanku lebih lama. 
Namun sungguh, jauh dibalik sikap itu, aku tak pernah menuntut muluk-muluk. 
Tak pernah memintamu melakukan yang sekiranya berat untuk kau lakukan. 
Karena sungguh, jauh dibalik sikap menggangguku itu, aku hanya ingin memastikan satu hal.

Baikmu.

Hanya itu.

Karena sungguh, kalau aku boleh jujur dan berkomentar banyak tentang jarak kita. 
Aku yakin, seberapa banyak pun kertas tak akan muat menampung seluruh mauku.

Anggap aku munafik hanya karena aku menyetujui keberjarakan kita. 
Memasrahkan segala yang kau lakukan disana pada kehendakmu. 
Membiarkanmu menemui siapa saja yang ingin kau temui tanpa repot-repot meminta ijinku. 
Membebaskanmu melakukan apa saja, sepanjang kau tahu, itu untuk baikmu. Memercayai seluruh ucapmu tanpa perlu repot-repot mengeceknya satu-persatu. 

Dan membiarkan diriku sendiri menunggu kembalimu.

Sungguh, aku masih belum bisa menyetujui konsep berjarak itu. 
Belum sepenuhnya bisa menerima bahwa untuk memandangmu langsung saja, aku perlu menunggu waktu. 
Belum sepenuhnya bisa menerima, bahwa hanya untuk menggenggam tanganmu saja, aku perlu menunggu jarak kita melipat dirinya terlebih dulu. 
Belum pula sepenuhnya menerima, bahwa rinduku terkadang hanya mampu terbayar kelu.

Namun sekali lagi, tenanglah Sayang.

Aku masih bisa dengan pasti meyakinkan yakinku sendiri. 
Bahwa hati ini masih bersedia menunggu kepulanganmu. 
Pun rindu yang membiru ini hanya akan utuh menjadi milikmu.
Karena sungguh, kalau saja tak ingat ada bahagiamu yang menjadi bahagiaku. 
Tentu tak akan kuiyakan dengan mudah keberjarakan kita saat ini.



Tulungagung, 27 April 2015 - 23:34 WIB