Jumat, November 30, 2012

Berhenti Mencintai by Morra Quatro


Berhenti Mencintai
Jadi, katakan padaku,
bagaimana rasanya berhenti mencintai?
Melihat kehadiran dia
kemudian segalanya tiba-tiba terasa amat biasa,
 atau bahkan membuatmu jengah.
Saat-saat ketika kamu mungkin amat ingin memberi seulas sapa,
tapi menarik diri karena tahu,
tak akan lagi ada yang istimewa.
Bukan tentang daya tarik diri yang sedang aku bicarakan,
bukan saat-saat ketika dia mungkin salah potongan rambut
atau sedang kelebihan berat badan.
Karena, bahkan di saat-saat terburuk itu
kamu pernah mendengarku berkata,
aku tidak suka apa-apa yang datar,
kecuali saat kamu bercanda.
I saw you at your worst, and I still think you’re the best.
Aku pernah menulisnya di sini.
Kataku, aku amat takut akan tiba suatu hari,
 ketika aku tidak menginginkan kamu lagi.
Satu dari monolog-monolog
yang ada kalanya aku ingin kamu membacanya.
Aku tak tahu
pernahkah kamu benar-benar membacanya,
 sebagaimana halnya aku tak tahu
pernahkah kamu
benar-benar membaca surat-surat yang kukirim itu.
Benar-benar merasakan
bahwa aku memiliki energi sebesar itu untuk mencintaimu,
 mengerahkan seluruh hati untuk tetap menerima
di saat-saat terburukmu,
dan terus bertahan meski diabaikan.
Kamu juga telah membuktikannya.
Aku sudah pernah, Sayang.
Aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya.
Bertahan dalam pasungan bodoh
melewati tahun-tahun
yang tak akan sanggup dilewati siapapun
tanpa cinta yang yang setia.
Memberi segala yang mampu kuberi,
dan tidak menerima apa-apa.
Dan terus mencintai—hingga pada akhirnya kutemukan cinta lain
yang di sana hatiku terlindungi.
 Kemudian menjadi sungguh-sungguh lupa,
bahwa sebelumnya,
aku pernah mencintai dia.
Ketika dia datang kembali,
aku sudah benar-benar tidak menginginkannya lagi.
Aku berhenti mencintai.
Betapapun dia kemudian
mengiba mengharapkannya.

***

Mereka bilang aku tidak punya kecerdasan itu.
Kecerdasan untuk mengurangi jumlah cintaku
ketika hatiku telah jatuh,
yang kemudian membuat dia berpikir
 bahwa aku akan terus berada di sana,
menanti dengan setia.
Kecerdasan yang mungkin
 akan mampu menyelamatkanku
dari kehancuran hati berkali-kali.
Kecerdasan yang melindungiku
dari dimanfaatkan keadaan—aku tak punya.
Aku terlalu tulus.
Tapi aku menyukai diriku yang terlalu tulus.
Aku menyukai
saat ketika hatiku serta merta jatuh.
Saat-saat ketika
aku tak perlu bersusah payah untuk menahannya,
 dan perasaan menyenangkan
ketika seluruh cinta itu tumpah.
Seperti yang kurasakan padamu.
Tapi mungkin mereka benar.
Itulah yang kemudian
membuat diriku selalu dimanfaatkan.
Tak pernah jera karena diabaikan,
dan tetap menyediakan diri untuk terus disakiti.
Tapi, Kekasihku…,
saat ini sudah bukan itu yang kutakutkan lagi.
Saat ini, aku takut hari itu benar-benar tiba.
Hari ketika kamu pada akhirnya menginginkanku.
 Setengah mati ingin aku mencintaimu,
namun di saat yang sama,
aku sudah tak punya sedikitpun lagi yang tersisa.
Karena meski aku tidak memperlihatkannya…,
di saat-saat itu,
hatiku sungguh terasa perih.
Sakit ketika diabaikan.
Cemburu ketika kamu tidak tahu,
rindu namun tak yakin
haruskah mengungkapkannya padamu.
Dan ada saat-saat ketika aku sungguh lelah.
Maka, barangkali kamu ingin mengantisipasi ini.
Mungkin saja,
kelak, pada suatu hari nanti…,
aku benar-benar tidak menginginkan kamu lagi.

***

Kamis, November 29, 2012

Kalaupun ini masih bernilai 'boleh'...


                Ungkapan sepotong yang tak memiliki maksud untukmu, Tuan Kemeja Ungu, yang pernah membuatku suka karena melihat tulisan tangannya yang kecil-kecil, dan sangat rapi. 

Kira-kira bagaimanakah kabarmu sekarang ya? Lama tak berjumpa dengan wajahmu, yang senantiasa terhias senyum jahil kala tujuh tahun yang lalu.

Saat itu aku masih kelas empat SD, dan kau sudah berada di kelas enam SD. Jujur, tak banyak memang hal yang bisa ku ketahui tentangmu, selain namamu yang sama dengan nama salah satu tokoh film Indonesia yang sedang hangat saat itu (tak perlu kusebut judulnya, tanyakan saja secara pribadi padaku). Entah bagaimana awal ceritanya aku bisa tertarik padamu, tertarik pada masa itu hanyalah berarti lebih sering menoleh ke arah kanan—di bangku biasanya kau duduk. Hanya itu.

Tetapi mulai berbeda maknanya saat usiaku bertambah satu tahun kemudian. Aku mulai mengerti cara untuk  menyukaimu dengan lebih baik lagi. Aku menyukaimu, lengkap dengan senyummu. Senyum yang pernah disebut oleh seseorang teman sebagai senyum cowok nakal. Namun itu baginya, bagiku tidak. Senyummu tetap biasa, baik, dan menarik menurut pahamku.

Dan setahun kemudiannya lagi, aku memutuskan untuk berhenti dari kursus itu, menyusul nilai-nilaiku yang jauh tertinggal untuk mengejar ujian akhir-ku. Membuat ingatanku tentangmu perlahan melenyap, sekaligus dengan rasa suka yang sempat kuhembus diam-diam pada bayangmu, dimana saat itu kita masih sama-sama terlalu dini untuk saling mengartikannya.

Tuan Kemeja Ungu yang sekarang tak lagi ku ketahui dimana rimbanya,

Kusampaikan sejuta salam pertemanan yang manis dari tempatku berada sekarang. Sekalipun mungkin sekarang kau tak lagi bisa mengingat detil wajahku lagi, tetapi tetap saja, kau pernah mengambil sepersekian bagian istimewa di dalam hatiku.

Ku ucapkan terima kasih untukmu, untuk kebahagiaan sederhana yang kau berikan tujuh tahun lalu. Sesederhana pertemuan dan perpisahan kita, yang wanginya masih saja kucium hingga sekarang.

Cheers,
Nindya

Sebut tulisan ini sebagai surat (yang ku pastikan tak akan kau baca).


                Ungkapan tanpa maksud yang kedua kutuliskan untukmu, Tuan Mata Sipit yang Jahil.
Untukmu, tak banyak juga yang bisa ku ungkapkan. Selain bagaimana begitu berpengaruhnya keberadaanmu pada masa itu—tujuh tahun yang lalu juga. 

Kedengarannya agak kurang ajar memang, menyukai dua orang laki-laki dalam waktu yang hampir bersamaan, namun sekali lagi kutegaskan. Bahwa saat itu perasaanku yang terbentuk sama sekali tidak memiliki makna apapun selain sederhana. Sesederhana setiap pertemuan demi pertemuan kita, kebetulan-demi kebetulan yang kunikmati sendiri, dan berbagai kesempatan yang diam-diam kubawa mimpi, menembus batas angan dan khayal seorang gadis kecil berusia dua belas tahun yang belum mengenal dunia seutuhnya.

Saat itu aku tak mengingat macam-macam sekaligus bagaimana rincinya tiap-tiap kebersamaan kita. Yang kuingat hanya bagaimana jahilnya kau saat itu. Kau yang selalu banyak bicara, sekaligus menggoda untuk sekedar memancing tawa, entah itu tawa teman-teman kita sekelas ataukah khusus tawaku saja. 

Aku tak banyak mengenang tentangmu memang, hanya saja aku masih suka mengingatnya sampai sekarang. Entah itu tentang kau yang suka mengolokku menggunakan nama ayahku, ataukah tentangku yang saat itu kau tahu sedang menyukai laki-laki di tempat kursus kita. Aku bahkan masih ingat bagaimana kesalnya aku saat kita masih kelas empat, entah ucapan dan olokan macam apa yang kau ciptakan saat itu, yang sampai membuatku benar-benar marah dan harus melemparkan buku diktat Matematika-mu ke lantai kasar kelas kita, dan membuatnya rusak.

Mungkin saja kau tak ingat lagi, tetapi aku masih.

Aku ingat juga saat-saat yang membuatku berdebar tiap kali kau ada. Yakni saat sore hari, dimana kita terlibat dalam satu kegiatan ekstrakurikuler yang sama (tak perlu juga kusebutkan apa, tanyakan saja langsung padaku) saat itu. Dimana kau selalu memilih tempat duduk yang dekat dengan tempat duduk ku, sekaligus meleluasakan naluri jahilmu yang tak pernah habis.

Bahkan sampai saat pertama, secara tak sengaja pipiku bersinggungan langsung dengan telapak tanganmu, mengalirkan sebuah percikan yang tak ubahnya kembang api mendadak di jantungku. Mengalirkan getaran aneh yang saat itu tak bisa kudefinisikan bagaimana rasanya. Membuatku kelu mendadak.

Saat dimana kau pernah menyanyikan lagu Dealova sambil (menurutku) menunjuk kearahku. Membuat kupu-kupu liar di perutku mendadak beterbangan kemana-mana, mengalirkan rasa yang luar biasa tak tersangkanya, oleh usiaku yang bahkan belum genap dua belas tahun saat itu.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku tahu sekarang bentuk hubungan kita telah mengalami perubahan yang aneh. Hanya saja, ada hal yang sampai sekarang masih saja mengganjal di dalam pikirku, menggantung di sangkaku yang masih saja membutuhkan jawabmu. 

Kenapa kau selalu terkesan menghindariku?

Seolah aku ini musuh lamamu yang patut untuk kau hindari secara terang-terangan. Bagiku, kau selalu menghindar, dan terkesan menganggap bahwa kita tidak pernah memiliki sedikitpun kenangan manis masa kecil. 

Kau tahu aku sedih dengan sikapmu yang sekarang? Pasti tidak kan?

Aku hanya sedih, karena kupikir kita masih bisa bersahabat layaknya dulu. Masih bisa saling meledek saat bertemu, bukannya saling membuang tatapan mata. 

Aku sedih karena kupikir kau masih memandangku dengan cara yang sama seperti dulu, yaitu dengan tatapan polos bercampur jahil yang membuat sekolah terasa lebih menyenangkan dan hangat. Bukannya tatapan dingin yang menusuk tajam, seolah memberi doktrin “bersalah” di tiap sorotnya.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku tak ingin lagi berharap banyak padamu, ataupun pada bentuk hubungan timbal-balik kita yang sekarang merumit. Karena kau juga perlu tahu, saat ini, atau lebih tepatnya semenjak kelas tujuh SMP, aku sudah mempunyai seseorang lain di dalam hatiku, yang kuberi perasaan yang juga berbeda dari perasaan yang kuberikan padamu kala itu.

Aku hanya ingin memastikan padamu bahwa kau tidak salah sangka. Aku hanya tak ingin membuatmu membuat prasangka yang tidak-tidak dengan setiap tatapan mata yang kuberikan padamu akhir-akhir ini. Aku ingin membuatmu mengerti, bahwa tatapan itu hanya berarti persahabatan. Tidak lebih lagi.

Aku ingin memberi tahumu lagi, bahwa semenjak lulus SD, aku bahkan tak lagi banyak-banyak memikirkanmu. Maaf, aku tak bermaksud sombong. Aku hanya ingin menjelaskan perbedaan antara menyombongkan diri dengan menjelaskan secara jujur padamu.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku sadar bahwa kau bertumbuh dengan baik. Kau yang dulu hanya kupandang biasa—selain sebagai seorang teman sebangku yang menyebalkan sekaligus paling kurindukan saat itu, sekarang menjelma sebagai seorang pria yang lebih baik. Atau setidaknya, kau memiliki karakter yang konsisten—mengutip komentar dari pelatih teaterku.

Saat ini, tak banyak lagi yang bisa kuharapkan dari kita yang semakin dewasa. Tak banyak pula yang bisa kuinginkan dari bentuk hubungan kita yang makin hari tak mengalami perubahan yang berarti. Hubungan yang sebenarnya lebih kuinginkan sebagai hubungan dua teman baik yang tidak pernah berfikir untuk saling membenci satu sama lain. Hubungan dua orang teman baik yang senantiasa merasa bahwa mereka membutuhkan satu sama lain—sekalipun masing-masing telah memiliki seseorang yang sangat istimewa di hatinya.

Karena bagiku, kau adalah satu-satunya teman laki-laki yang bisa membuatku merasakan perasaan hangat dan segan dalam waktu yang bersamaan.

Sosok teman laki-laki yang pernah kuanggap sebagai kakak laki-laki yang melindungi, sekaligus tidak hentinya menjahili.

Kau juga satu-satunya teman laki-laki yang ucapannya pernah kuturuti, yang candaannya pernah kuingat-ingat, yang kemarahannya pernah kutakuti, dan bahkan yang cerita-ceritanya pernah kudengar dengan senang hati.

Kuharap kau mengerti benar maksudku kali ini. Karena aku benar-benar tak ingin mengulanginya lagi. Aku hanya mengharapkan hubungan kita membaik pada hari berikutnya setelah ini. Bukan sebagai sepasang kekasih memang, hanya saja sebagai sepasang sabahat. Yang tidak pernah ingin membenci satu sama lain, karena alasan apapun.


Ini bukan tentang pengharapan, keinginan, ataupun rengekan. Cukup panggil dia "cerita".


                Mungkin kamu tidak memikirkan apapun tentang yang kurasakan sekarang. Yang kurasakan kemarin, atau kemarinnya lagi. 

Kamu bahkan mungkin mengabaikan apa saja yang sekiranya bisa terjadi nanti, maupun besok. Kamu hanya tahu bagaimana hidupmu, juga hidup orang-orang yang pernah menyinggahi bagian tiap bagian waktumu, yang entah setelah itu tetap berada di dalam hidupmu, ataukah justru berlalu sebagai kenangan yang tak terputar kembali.

            Padahal disini ada aku, 

            Aku yang masih berencana, dan tetap berharap untuk bisa memasuki salah satu bagian dari waktu hidupmu. Aku yang selalu berdoa demi waktu ke depan yang bisa saja mempertemukan kita, entah dalam keadaan yang bagaimana.

            Padahal ingin sekali ku tanyakan padamu, 

            Tentang sesuatu yang berkaitan dengan perasaan aneh yang selalu menjalar pelan, tiap kali namamu disebutkan, ataukah saat tak sengaja rekaman wajahmu berkelebat cepat di ingatanku. Tentang sesuatu tanpa muara, yang selama ini berusaha kuterjemahkan dalam bahasaku sendiri, dengan caraku.

            Ingin sekali kutanyakan padamu,

            Tentang bagaimana pemahamanmu tentang hal yang satu ini, hal yang selama ini kamu anggap absurd, samar, dan mendekati tidak ada.

            Tentang suatu hal yang selama ini lebih sering kamu abaikan, yang pernah kamu tolak keberadaannya di dalam hatimu, sekalipun sebenarnya aku tahu sangat, bahwa kamu mengerti tentang apakah yang sedang kamu rasakan saat itu. Yang selalu kamu tampik dengan tegas.

            Ingin sekali lagi ku tanyakan,

            Tentang pemahamanmu pada sebuah waktu. Waktu yang selama ini kugunakan untuk menunggu, dan kamu gunakan untuk mengabaikan.

            Tentang sebuah waktu yang selama ini kugunakan untuk mencari tahu lebih banyak tentangmu, dan yang kamu gunakan untuk menghindar dengan sempurna.

            Aku ingin juga menanyakan padamu tentang sebuah kemungkinan,

            Tentang hal yang bisa saja datang, tepat disaat kamu tidak pernah mengundangnya sekaligus tidak pernah mengizinkannya menempati se-inci pun bagian dari hatimu, namun ia tetap datang dan tinggal disana.

            Tentang hal yang kelak akan memberitahumu bagaimana rasanya menjadi aku,

            Tentang hal yang kelak akan menunjukkanmu sesuatu yang sekarang bisa kulihat dan kurasakan, namun tidak kamu lihat dan tidak kamu rasakan,

            Tentang hal yang kelak akan membuatmu jauh lebih mengerti tentang hal-hal yang tidak bisa dinalar dengan pemahaman kaku-mu, hal yang selalu lebih bisa kulihat secara sepihak.

            Ingin ku tanyakan padamu kelak, jika saat itu benar-benar tiba padamu,

            “Masih tidak tahukah kamu bagaimana lelahnya menjadi aku saat itu?”

Hanya itu.