Berhenti
Mencintai
Jadi, katakan padaku,
bagaimana rasanya berhenti
mencintai?
Melihat kehadiran dia
kemudian segalanya tiba-tiba terasa
amat biasa,
atau bahkan membuatmu jengah.
Saat-saat ketika kamu mungkin amat
ingin memberi seulas sapa,
tapi menarik diri karena tahu,
tak akan lagi ada yang istimewa.
Bukan tentang daya tarik diri yang
sedang aku bicarakan,
bukan saat-saat ketika dia mungkin
salah potongan rambut
atau sedang kelebihan berat badan.
Karena, bahkan di saat-saat terburuk
itu
kamu pernah mendengarku berkata,
aku tidak suka apa-apa yang datar,
kecuali saat kamu bercanda.
I saw you at your worst, and I still
think you’re the best.
Aku pernah menulisnya di sini.
Kataku, aku amat takut akan tiba
suatu hari,
ketika aku tidak menginginkan kamu lagi.
Satu dari monolog-monolog
yang ada kalanya aku ingin kamu
membacanya.
Aku tak tahu
pernahkah kamu benar-benar
membacanya,
sebagaimana halnya aku tak tahu
pernahkah kamu
benar-benar membaca surat-surat yang
kukirim itu.
Benar-benar merasakan
bahwa aku memiliki energi sebesar
itu untuk mencintaimu,
mengerahkan seluruh hati untuk tetap menerima
di saat-saat terburukmu,
dan terus bertahan meski diabaikan.
Kamu juga telah membuktikannya.
Aku sudah pernah, Sayang.
Aku sudah pernah melakukan ini
sebelumnya.
Bertahan dalam pasungan bodoh
melewati tahun-tahun
yang tak akan sanggup dilewati
siapapun
tanpa cinta yang yang setia.
Memberi segala yang mampu kuberi,
dan tidak menerima apa-apa.
Dan terus mencintai—hingga pada
akhirnya kutemukan cinta lain
yang di sana hatiku terlindungi.
Kemudian menjadi sungguh-sungguh lupa,
bahwa sebelumnya,
aku pernah mencintai dia.
Ketika dia datang kembali,
aku sudah benar-benar tidak
menginginkannya lagi.
Aku berhenti mencintai.
Betapapun dia kemudian
mengiba mengharapkannya.
***
Mereka bilang aku tidak punya
kecerdasan itu.
Kecerdasan untuk mengurangi jumlah
cintaku
ketika hatiku telah jatuh,
yang kemudian membuat dia berpikir
bahwa aku akan terus berada di sana,
menanti dengan setia.
Kecerdasan yang mungkin
akan mampu menyelamatkanku
dari kehancuran hati berkali-kali.
Kecerdasan yang melindungiku
dari dimanfaatkan keadaan—aku tak
punya.
Aku terlalu tulus.
Tapi aku menyukai diriku yang
terlalu tulus.
Aku menyukai
saat ketika hatiku serta merta
jatuh.
Saat-saat ketika
aku tak perlu bersusah payah untuk
menahannya,
dan perasaan menyenangkan
ketika seluruh cinta itu tumpah.
Seperti yang kurasakan padamu.
Tapi mungkin mereka benar.
Itulah yang kemudian
membuat diriku selalu dimanfaatkan.
Tak pernah jera karena diabaikan,
dan tetap menyediakan diri untuk
terus disakiti.
Tapi, Kekasihku…,
saat ini sudah bukan itu yang
kutakutkan lagi.
Saat ini, aku takut hari itu
benar-benar tiba.
Hari ketika kamu pada akhirnya
menginginkanku.
Setengah mati ingin aku mencintaimu,
namun di saat yang sama,
aku sudah tak punya sedikitpun lagi
yang tersisa.
Karena meski aku tidak
memperlihatkannya…,
di saat-saat itu,
hatiku sungguh terasa perih.
Sakit ketika diabaikan.
Cemburu ketika kamu tidak tahu,
rindu namun tak yakin
haruskah mengungkapkannya padamu.
Dan ada saat-saat ketika aku sungguh
lelah.
Maka, barangkali kamu ingin
mengantisipasi ini.
Mungkin saja,
kelak, pada suatu hari nanti…,
aku benar-benar tidak menginginkan
kamu lagi.
***