Ungkapan sepotong yang tak
memiliki maksud untukmu, Tuan Kemeja Ungu, yang pernah membuatku suka karena
melihat tulisan tangannya yang kecil-kecil, dan sangat rapi.
Kira-kira
bagaimanakah kabarmu sekarang ya? Lama tak berjumpa dengan wajahmu, yang senantiasa
terhias senyum jahil kala tujuh tahun yang lalu.
Saat itu aku
masih kelas empat SD, dan kau sudah berada di kelas enam SD. Jujur, tak banyak
memang hal yang bisa ku ketahui tentangmu, selain namamu yang sama dengan nama
salah satu tokoh film Indonesia yang sedang hangat saat itu (tak perlu kusebut
judulnya, tanyakan saja secara pribadi padaku). Entah bagaimana awal ceritanya
aku bisa tertarik padamu, tertarik pada masa itu hanyalah berarti lebih sering
menoleh ke arah kanan—di bangku biasanya kau duduk. Hanya itu.
Tetapi mulai
berbeda maknanya saat usiaku bertambah satu tahun kemudian. Aku mulai mengerti
cara untuk menyukaimu dengan lebih baik
lagi. Aku menyukaimu, lengkap dengan senyummu. Senyum yang pernah disebut oleh
seseorang teman sebagai senyum cowok nakal. Namun itu baginya, bagiku tidak.
Senyummu tetap biasa, baik, dan menarik menurut pahamku.
Dan setahun
kemudiannya lagi, aku memutuskan untuk berhenti dari kursus itu, menyusul
nilai-nilaiku yang jauh tertinggal untuk mengejar ujian akhir-ku. Membuat
ingatanku tentangmu perlahan melenyap, sekaligus dengan rasa suka yang sempat
kuhembus diam-diam pada bayangmu, dimana saat itu kita masih sama-sama terlalu
dini untuk saling mengartikannya.
Tuan Kemeja Ungu
yang sekarang tak lagi ku ketahui dimana rimbanya,
Kusampaikan
sejuta salam pertemanan yang manis dari tempatku berada sekarang. Sekalipun
mungkin sekarang kau tak lagi bisa mengingat detil wajahku lagi, tetapi tetap
saja, kau pernah mengambil sepersekian bagian istimewa di dalam hatiku.
Ku ucapkan
terima kasih untukmu, untuk kebahagiaan sederhana yang kau berikan tujuh tahun
lalu. Sesederhana pertemuan dan perpisahan kita, yang wanginya masih saja
kucium hingga sekarang.
Cheers,
Nindya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar