Kamis, Januari 31, 2013

N Sync :"D


When the visions around you,
Bring tears to your eyes
And all that surround you,
Are secrets and lies

I'll be your strength,
I'll give you hope,
Keeping your faith when it's gone
The one you should call,
Was standing here all along..

And I will take
You in my arms
And hold you right where you belong
Till the day my life is through
This I promise you
This I promise you

I've loved you forever,
In lifetimes before
And I promise you never...
Will you hurt anymore
I give you my word
I give you my heart
This is a battle we've won
And with this vow,
Forever has now begun...

Just close your eyes
Each loving day
I know this feeling won't go away
Till the day my life is through
This I promise you..
This I promise you..

Over and over I fall
When I hear you call
Without you in my life baby
I just wouldn't be living at all...

And I will take
You in my arms
And hold you right where you belong
Till the day my life is through
This I promise you baby

Just close your eyes
Each loving day
I know this feeling won't go away
Every word I say is true
This I promise you

Every word I say is true
This I promise you
I promise you... 
  

(Sing it, please !)

We were both young when I first saw you..


We were both young when I first saw you.
I close my eyes and the flashback starts:
I'm standing there on a balcony in summer air.

See the lights, see the party, the ball gowns.
See you make your way through the crowd
And say, "Hello,"
Little did I know...

That you were Romeo, you were throwing pebbles,
And my daddy said, "Stay away from Juliet"
And I was crying on the staircase
Begging you, "Please don't go"
And I said...

Romeo, take me somewhere we can be alone.
I'll be waiting; all that's left to do is run.
You'll be the prince and I'll be the princess,
It's a love story, baby, just say, "Yes".

So I sneak out to the garden to see you.
We keep quiet 'cause we're dead if they knew
So close your eyes... escape this town for a little while.


'cause you were Romeo - I was a scarlet letter,
And my daddy said, "Stay away from Juliet"
But you were everything to me,
I was begging you, "Please don't go"
And I said...

Romeo, take me somewhere we can be alone.
I'll be waiting; all that's left to do is run.
You'll be the prince and I'll be the princess.
It's a love story, baby, just say, "Yes".

Romeo, save me, they're trying to tell me how to feel.
This love is difficult but it's real.
Don't be afraid, we'll make it out of this mess.
It's a love story, baby, just say, "Yes".



I got tired of waiting
Wondering if you were ever coming around.
My faith in you was fading
When I met you on the outskirts of town.
And I said...

Romeo, save me, I've been feeling so alone.
I keep waiting for you but you never come.
Is this in my head? I don't know what to think.
He knelt to the ground and pulled out a ring and said...

Marry me, Juliet, you'll never have to be alone.
I love you, and that's all I really know.
I talked to your dad ‒ go pick out a white dress
It's a love story, baby, just say, "Yes".



'cause we were both young when I first saw you

(Love Story)

:"D

Pretty Boy !

I lie awake at night
See things in black and white
I've only got you inside my mind
You know you have made me blind

I lie awake and pray
That you will look my way
I have all this longing in my heart
I knew it right from the start


Oh my pretty pretty boy I love you
Like I never ever love no one before you
Pretty pretty boy of mine
Just tell me you love me too

Oh my pretty pretty boy
I need you
Oh my pretty pretty boy I do
Let me inside
Make me stay right beside you

I used to write your name
And put it in a frame
And sometime I think I hear you call
Right from my bedroom wall

You stay a little while
And touch me with your smile
And what can I say to make you mine
To reach out for you in time



Oh pretty boy
Say you love me too

(\^^/)

Selca ; Memory

Nama : Dimas Anggara (?), boneka, baik, tidak sombong, pengertian.



Ma Lovely SMARIDUTA, selca, jam setengah enam pagi, dari XII A5.

Kubah Emas, #udahgituaja
Ma kucing, named Freak, or also called Ciyus, with sandal #abaikan

Tetangga, Istiqlal, malam hari, #nofeelingatall

Kubah Emas, subuh hari, hujan, keren.
Kubah Emas, #keren, #licin

Istiqlal, Ba'da Isya', lantai dasar, Seseorang penerima surat dari sebuah perahu :")



Aku dan Jilbab :"D

@shelterbus


@sharkpool   


@lupaapanamanya (?)



@Istiqlal



@KubahEmas

Sabtu, Januari 26, 2013

Batas



Seharusnya takdirku hari ini adalah bahagia. Atau paling tidak, tersenyum tanpa prasangka akan merasakan sakit kembali, apapun alasannya. Tetapi begitulah hidup, sesaat setelah bertemu dengan takdir, maka ia akan punya seribu satu cara untuk membuatmu terlempar dari tempat terbaik yang sempat kau miliki. Tak peduli waktu, siapa, dan segalanya. Ia tetap yang paling berkuasa atasmu, dan segala sesuatu.
            Ingatanku terlempar pada masa delapan tahun lalu, saat usiaku masih tujuh belas tahun, dimana segalanya masih berwarna putih-abu. Ingatan liar itu seolah memaksaku untuk membuka satu persatu memori yang ku kunci rapat-rapat di sudut terjauh hatiku. Menarikku paksa dengan kasar, menjelajahi satu demi satu kilasan cerita yang sudah ku namai kenangan.
            “Jadi itu guru Bahasa Indonesia kita yang baru?” Aku berbisik pada Ara disampingku. Gadis itu hanya mengangguk cepat lantas buru-buru mengalihkan pandangannya kembali kearah depan. Dimana seorang laki-laki muda, berusia dua puluh satu tahun, dengan kulit bersih menarik, dan dandanan semi formal yang mengesankan kedewasaannya sekalipun tidak bisa menutupi kesan childish dibalik wajahnya, sedang berdiri dan memperkenalkan diri sebagai guru Bahasa Indonesia baru di kelas kami.
            “Baiklah, hari ini pelajaran kita adalah musikalisasi puisi. Saya sudah membawakan satu contoh untuk itu,” Hari berikutnya guru baru bernama Bara itu mulai menunjukkan kepiawaiannya menyampaikan pelajaran Bahasa Indonesia yang sebelumnya lebih sering membosankan.
            Ia sibuk memasangkan speaker pada laptop silver miliknya, “ Ini musikalisasi milik teman kuliah saya dulu, namanya Dita. Siap-siap jatuh cinta pada gadis ini ya..” Pak Bara sesekali menjelaskan dengan gaya khasnya, sepatah-patah, dan lebih sering membuat orang menebak apa yang dimaksudkan dalam tiap-tiap kalimatnya.
            Beberapa detik kemudian, sebuah suara lembut, atau berkesan bening, terdengar membacakan sebuah puisi. Aku mengenali lagu yang dijadikannya sebagai latar belakang puisinya. Meskipun hanya instrumental, tetapi aku hafal betul bahwa itu adalah lagu First Love milik Utada Hikaru, lagu yang paling sering kudengarkan untuk membantuku menyelesaikan tulisan-tulisanku.
            “Beginilah sastra, agak bebas memang, tetapi nilainya ada pada pesan yang disampaikannya melalui kalimat-kalimat yang menurut beberapa orang disebut bertele-tele,” Lain kesempatan, ia akan datang dengan membawa setumpuk print out yang entah dari mana didapatkannya. Lembar-lembar itu berisi tulisan, yang aku tak tahu apakah itu bisa disebut puisi ataukah cerita. Hanya saja, pada masing-masing kalimat yang dituliskan disana seolah terdapat berbagai macam aliran rasa. Yang kata Pak Bara, tak pernah menemui muaranya.
            Aku menyukainya. Namun hanya sebatas pada setiap tindakan-tindakan tak terduganya yang sering keluar dari aturan kurikulum pembelajaran di sekolahku. Tetapi inilah yang sejak dulu ku tunggu, dobrakan pada aturan yang keras mendikte kami hampir selama tiga tahun berada di SMA ini.
            “Pak, saya ingin serius menekuni sastra. Menurut Bapak, apa yang harus saya lakukan dari sekarang?” Ini pertanyaan pertamaku untuk Pak Bara, sedikit bersifat pribadi memang. Tetapi menurutku, ia bukan orang yang salah untuk kumintai jawaban mengenai hal ini.
            “Baca saja yang banyak. Apapun itu, jangan membatasi diri kalau memang ingin tahu. Tapi, saya harap kamu melakukan hal ini bukan sekedar karena ingin memamerkannya di media sosial ya..” Jawaban Pak Bara memukulku telak, kulihat sekali lagi laki-laki di hadapanku ini.  wajahnya masih tenang, tak ada sedikitpun isyarat ia telah mengatakan hal yang salah.
            “Saya tidak bermaksud pamer Pak,” Nada suaraku terdengar agak keras. Bukan. Bukannya aku tersindir, hanya saja kalimatnya barusan seolah memberi cap bahwa setiap orang yang belajar sastra itu hanya untuk kepentingan eksistensi. Tetapi, bukan disitu tujuanku.
            “Yah, gadis dibawah usia dua puluh kebanyakan selalu berfikir begitu, Kalila.. Tetapi yang terjadi sebenarnya, selalu seperti yang saya katakan tadi,” Sekali lagi ucapannya terdengar tanpa beban. Andai saja ia bukan guruku, mungkin akan kulanjutkan kalimatku dengan suara yang lebih keras lagi. Tetapi aku tidak memilih begitu.
            Yang kupilih hanya berusaha menghindari orang itu. Kedengarannya memang kekanakan sekali, tetapi obrolan terakhir kami yang kuharap bernilai serius itu, masih membuatku tidak bisa dengan mudah menghilangkan kesan ‘mengecewakan’ pada sosok Pak Bara.
            Sampai akhirnya tak ada kabar lain lagi yang kudengar tentang sosok guruku itu selain kepindahannya ke Surabaya. Sedangkan aku, melanjutkan ceritaku ke Jakarta. Dan lebih banyak menghabiskan waktuku untuk berkonsentrasi pada kuliahku di Universitas Indonesia.
Yah, meskipun aku mengambil jurusan Sastra Inggris, tetap saja ada getar aneh yang menggelitikku tiap kali melewati kelas Sastra Indonesia. Karena pada tempat itu, selalu ada ingatan yang terbawa tentang Pak Bara.      
            Aku hampir selalu tersipu tiap kali menuliskan cerita-cerita baru di dalam blog pribadiku. Cerita yang tanpa sadar selalu berlatarkan nama Pak Bara di balik alurnya. Meskipun mustahil rasanya bisa menunjukkan pada orang itu bahwa aku tidak main-main dengan ucapanku. Bahwa aku akan menekuni sastra, sekalipun untuk itu aku harus mau lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca buku-buku yang tak pernah kubayangkan untuk kubaca.
            Suatu kali, aku menemukan nama Bara Aditya pada sebuah situs pertemanan. Hal itu terjadi setelah tiga tahun aku tidak lagi mendengar kabar-kabarnya lagi. Dengan berdebar, aku menambahkan nama itu pada daftar permintaan pertemananku, lantas mengirimkan sebuah pesan opsional untuk memberitahunya bahwa seharusnya kami saling mengenal.
            “Hai Kal, apa kabar?” Pesan balasan itu datang beberapa menit setelah ia menerima permintaan pertemananku yang baru saja ku ku kirimkan. Dan entah bagaimana ceritanya, debaran yang dulu sempat kualihkan tiba-tiba muncul kembali.
            “Jangan panggil aku pakai gelar ‘Pak’ lagi ya Kal, kesannya jadi tua banget.. Lagian kamu kan bukan muridku lagi..” Aku tersenyum membaca balasannya yang datang lebih cepat dari perkiraanku. Aku hanya membalasnya singkat, sedikit berharap lebih bahwa akan ada hal lain yang akan ia lakukan dengan nomor ponselku yang baru saja dimintanya.
            Beberapa minggu setelah itu, sebuah pesan singkat dari Bara mengabarkan bahwa ia sedang berada di Jakarta. Pesan yang membuat perasaanku membubung sesaat, dan seolah mengerti maksudku, Bara memberitahuku untuk segera menemuinya di depan kampus. Hari itu ia memang bermaksud menemui salah seorang rektor kampusku untuk membicarakan masalah yang entah apa itu, aku kurang begitu memahami hal-hal yang berkaitan erat dengan kurikulum dan segala hal tentang program pendidikan.
            Sejak hari itu kuakui kami memang semakin dekat. Yah, meskipun aku sendiri masih meraba bagaimana sebenarnya bentuk hubungan kami saat ini, tetapi tetap saja aku menyukainya. Namun laki-laki itu masih tetap konsisten dengan sikap diamnya. Ia hanya berada pada tempatnya sendiri, sedikit membuatku merasa bahwa ia berusaha menunjukkan jarak yang sebenarnya tergambar jelas diantara kami berdua.
            Aku masih saja belum bisa menebak apa yang sebenarnya laki-laki ini rasakan tiap kali denganku. Aku tahu ia memang selalu membingungkan karena sikap tak tertebaknya yang sering muncul tanpa permisi. Namun bodohnya, aku justru menyukai sosok  membingungkan ini. Meskipun untuk itu, harus ada empat tahun waktu tambahan yang kuberikan untuk menunggunya lagi. Lagi, dan senantiasa lagi.
            “Kal, aku di Jakarta sekarang. Ketemu yuk !” Pesan singkat Bara yang baru saja masuk ke ponselku mendadak membuat siang hariku kali ini terasa lebih cerah dari biasanya. Aku membalasnya cepat. “Tentu saja. Tempat biasa ya.” Aku kembali mengantongi ponselku sebelum kembali menyelesaikan program reportase-ku.
            Dan saat menoleh, aku mendapati sepasang mata mengawasiku lekat. Dan lagi-lagi orang itu adalah Awan.
            “Seneng banget Kal?” Laki-laki itu hanya berkomentar singkat. Dan seperti biasanya pula, ia akan buru-buru berlalu bahkan sebelum komentarnya sempat kutanggapi. Aku kembali berusaha memakluminya, mungkin ia hanya sedikit sebal karena tugas reportase-ku harus tertunda sebentar gara-gara membalas pesan singkat Bara tadi, lengkap dengan perasaan yang berbunga-bunga tentunya.
            Tetapi sikap Awan selalu begitu. Agak sinis kurasa, padahal program TV yang ia pegang, sama sekali berbeda dengan bagianku. Tetapi entah bagaimana caranya, aku selalu merasa bahwa Awan selalu bisa menemukan dimana tempatku berada. Meskipun itu hanya untuk melemparkan komentar-komentar singkat semacam tadi. Tetapi aku tetap saja merasa, Awan selalu berada di tempat dimana aku berada. Dan bagiku, itu terlalu berlebihan jika dianggap sebagai ‘kebetulan’.
            Pulang dari kantor sore itu, aku kembali memberikan waktuku untuk bertemu dengan Bara di kedai kopi kesukaan kami. Begitu masuk kedai, mataku langsung tertumbuk pada sosok laki-laki yang duduk membelakangiku, dengan kemeja cokelat muda-nya. Dan aku tahu bahwa itu Bara, karena sekalipun ia tidak menoleh, tujuh tahun mengenal laki-laki itu bahkan sudah bisa membuatku menghafali segala macam geraknya.
            “Hai, maaf kalau lama..” Aku segera mengambil duduk di depan laki-laki itu. Ia hanya menyambutku dengan senyum yang tampak tak seperti biasanya. “Nggak masalah, reportase ya?” Ia hanya bertanya singkat. Seperti biasanya memang, tetapi ada yang berbeda dari tatapan dan nada suaranya. Yang meskipun aku masih belum menyadari dimana letak perbedaannya, tetapi aku tahu ada yang salah disana.
            Bara hanya menatapku. Tidak lekat, tetapi mengisyaratkan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. “Ada cerita apa Bar?” Aku kembali membuka suara. Bagaimanapun juga, tetap tidak enak rasanya berada di dalam suasana secanggung ini dengan orang yang sudah lama kamu kenal.
            “Minggu depan aku nikah Kal,”
            Kalimat singkat itu diucapkan Bara datar. Tanpa penekanan ekspresi macam-macam. Namun walaupun begitu, sudah cukup mampu meledakkan beribu bom atom di dalam jantungku. Membuatku mati rasa, sesaat.
            Laki-laki itu kembali mengambil sesuatu di balik jas hitamnya yang ia letakkan di sisi kursi yang ia duduki. Sebuah undangan sederhana berwarna putih tulang dengan hiasan pita perak dan emas di sekelilingnya, memaksa perasaanku kembali berdarah. Aku tercekat, dan hanya bisa menatap undangan yang Bara letakkan di hadapanku. Tanpa tahu tindakan apa yang harus kulakukan untuk menanggapinya.
            “Datang ya Kal, soalnya besok aku juga harus buru-buru balik ke Surabaya lagi..” Sekali lagi, Bara dan segala macam ucapan serta tindakannya membuat otakku lumpuh sejenak. Aku tak tahu bagaimana bentuk hatiku sekarang, karena satu-satunya hal yang kusadari hanyalah bagaimana panasnya pelupuk mataku.
            “Insya Allah, aku pasti datang Bar, oh ya, kenapa nggak pernah kamu kenalin?” Aku menguatkan hatiku untuk menanyakan bagian ini. Bagian yang selama ini mampu Bara tutupi dengan baik, bagian yang tak pernah kusadari sampai akhirnya membuatku berani menaruh harapan tinggi pada laki-laki itu.
            “Aira memang kurang suka dikenal-kenalkan seperti itu Kal,” Bara menjawab ringan. Ada senyum bahagia tersungging di bibirnya, membuat hatiku semakin pecah. Dan yang terakhir kurasakan hanyalah pahit yang mulai menjalar di seluruh permukaan lidahku.
            Aku memutuskan untuk segera pamit dari laki-laki itu dengan alasan ada panggilan mendadak dari kantor. Dan setelah berjanji sekali lagi pada Bara tentang kepastian kedatanganku pada pernikahannya, aku segera berbalik badan. Membiarkan setetes airmataku runtuh tanpa perlu Bara ketahui.
            Sesampainya di dalam mobil, tangisku kembali pecah. Kali ini isakanku bercampur perih dan lelah yang selama tujuh tahun ini kuabdikan untuk penantianku terhadap Bara. Penantian yang akhirnya hanya berujung pada sepucuk undangan yang sekarang ini masih saja kugenggam.
            Aku menepati janjiku dan datang ke pernikahan sederhana Bara di Surabaya. Kali ini aku tak sendirian, karena ada Awan yang memaksa untuk turut serta. Aku sama sekali tidak memintanya, hanya saja kebetulan laki-laki itu sedang mengerjakan salah satu program acaranya yang berada di kota Malang, maka dari itu ia sama sekali tak terlihat keberatan saat menawarkan diri untuk menemaniku datang ke pernikahan Bara dan Aira.
            Tak ada perasaan sesakit selain saat melihat tangan Aira dan Bara saling menggenggam erat. Dan karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, maka sejak perjalanan dari Jakarta sampai Surabaya, aku tak berhenti memanjatkan doa untuk kebahagian mereka, dari dalam hatiku yang masih sesak oleh luka.
            “Kal, aku tahu berat buat kamu terima kenyataan ini, tapi aku cuma mau menawarkan kamu obat,” Kalimat Awan kali itu, di perjalanan pulang kami dari Surabaya membuatku sedikit tersentak.
            “Maksud kamu?” Aku menatap laki-laki disampingku itu dengan tatapan menuntut. “Ya, kalau boleh, aku mau menjaga kamu Kal, nggak peduli sedalam apa rasa sakit kamu karena Bara, yang jelas aku sangat sayang sama kamu.. ” Kalimat panjang Awan kembali membuatku terpaku. Laki-laki ini baru saja menyatakan perasaannya padaku, dan saat ini aku sama sekali tak punya alasan untuk mengelak darinya.
            Aku mengangguk, dan Awan hanya balas tersenyum hangat sambil membelai rambutku. Aku masih tidak mengerti dengan takdir yang kujalani sekarang. Aku memang merasa tenang setiap kali berada di dekat Awan, meskipun laki-laki itu kerap membuatku terpojok dengan tatapan tajamnya. Namun, satu yang kuputuskan saat itu. Aku akan belajar mencintai Awan sepenuh hatiku, sebisa mungkin.
            Dan satu tahun kemudian, dihadapan ayah, ibu, dan Ringga adikku, Awan menyatakan keinginannya untuk menikahiku. Tiga orang dihadapanku itu terlihat bahagia dan berkali-kali mengangguk-angguk setuju dengan setiap ucapan Awan, yang isinya hanyalah janji dan kesanggupannya untuk menjagaku, selama hidupnya nanti.
            Sekali lagi, meskipun masih ada satu sisi hatiku yang tak terjamah oleh Awan, aku kembali menerima lamaran laki-laki itu. Bagiku, dicintai oleh laki-laki sebaik ini adalah anugerah Tuhan yang tak boleh kusia-siakan begitu saja. Dan dengan usaha yang lebih keras daripada setahun yang lalu, aku tetap berusaha untuk mencintai Awan selayaknya ia memberikan seluruh perasaannya untukku.
            Pesta pernikahan kami tidak begitu mewah, karena aku dan Awan sama-sama pecinta sederhana dan minimalis. Hal itu juga tampak dari undangan yang datang dan kebanyakan hanya dari stasiun TV tempatku dan Awan bekerja. Sisanya baru sahabat dan saudara kami berdua. Dan satu lagi, ada Bara, Aira, dan Kalya, putri mereka, yang sekarang sedang berfoto bersama kami berdua.
            Bara hanya mengucapkan selamat kepadaku dan Awan, ia juga mengatakan sudah memberiku kado istimewa yang ia letakkan di resepsionis. Aku dan Awan hanya tertawa menanggapinya, sekalipun masih ada perasaan yang berdesir halus tiap kali tatapanku dan Bara bertemu.
            Aku bahagia. Dan tak ada yang kuragukan lagi tentang hal itu. Sekarang, bagaimana kau tidak bahagia jika kau menikah dengan laki-laki yang sudah berjanji dengan segala kesungguhan yang dimilikinya, untuk senantiasa menjagamu, tanpa jeda, selamanya?
            Kami berdua sedang berada di kamar, duduk bersisian di tepi tempat tidur beraroma melati segar kesukaanku. Namun kali ini ada sesuatu di pangkuanku, sebuah kotak berukuran sedang, dibungkus dengan kertas kado berwarna peach dan maroon. Di dalamnya, ada sebuah buku sebesar buku tamu, berwarna cokelat tua, tanpa gambar apapun di sampulnya.
            Sebenarnya aku tak terlalu ambil pusing dengan kado ini, namun Awan-lah yang memaksaku untuk berkonsentrasi terlebih dulu pada satu kado itu. Aku membuka halaman pertamanya, dan untuk pertama kalinya juga, aku tercekat saat mendapati sebuah foto dengan efek warna cokelat. Fotoku.
            Aku ingat sekali dengan foto yang kuambil delapan tahun yang lalu, saat SMA. Kubuka lembar berikutnya, ada namaku tertulis rapi disana, dengan tinta berwarna cokelat tua yang seolah diguratkan secara hati-hati oleh penulisnya, membuatnya terlihat begitu indah sekaligus penuh makna.
            Awan hanya duduk disampingku tanpa banyak bicara, seolah memberiku waktu mencerna isi buku itu. Lembar-lembar berikutnya hanya berisi dengan kalimat-kalimat tulisanku semasa SMA sampai kuliah dulu, ditulis kembali dengan rapi, lengkap dengan foto-foto yang selalu kusertakan di tiap-tiap tulisan yang kupasang di blog pribadi-ku.
            Dan pada halaman terakhirnya, ada fotoku dan Awan. Foto yang sebenarnya terpisah namun disatukan didalam bingkai lukisan berwarna maroon.
            Aku mengambil sebuah surat sederhana yang diselipkan di halaman terakhir itu. Kutatap Awan untuk meminta izinnya, dan sekali lagi laki-laki itu hanya membelai lembut rambutku, pertanda izin telah diberikannya dengan senang hati.
            Hai Kal,
            Maaf ya kalau selama ini aku banyak melakukan salah sama kamu. Tentunya hal itu sama sekali bukan maksudku, apalagi sampai membuatmu marah dan tersinggung. Tapi kurasa, Tuhan memang menciptakanku untuk itu kali ya? Aku sebenernya juga seneng punya murid eh mantan murid yang suka sok jual mahal, walaupun aslinya pasti nggak tahan banget pengen nanya-nanya sama guru cakep macam aku :P
            Kal, maaf lagi kalo tulisanku nggak rapi, soalnya aku nulisnya sambil gendong Kalya. Oh ya Kal, mungkin kalo kamu baca surat ini kamu bakalan mikir gimana aku bisa nulis seimut ini di dalam surat, padahal aslinya aku hampir selalu sok judes sama kamu, dulu waktu SMA. Tapi aku punya alasan Kal, yaitu karena aku bawaannya grogi tiap kali ngobrol sama kamu secara langsung, jadi spontanitas-nya judes deh..
            Gini deh Kal, kusingkat aja suratku. Sebenarnya, dari dulu aku udah kagum banget sama kamu. Sederhana juga alasannya, yaitu gara-gara aku pernah nggak sengaja nemu tulisanmu mampir di jendela Google-ku. Dan jujur aja, baru kali itu aku baca tulisan sejujur dan seapaadanya punyamu, seolah seluruh perasaanmu lagi kamu tumpahin disana. Sejak saat itu aku mulai jadi penggemar setia blog-mu. Diam-diam memang, karena aku gak pernah secara langsung menghubungi kamu. Tapi aku punya janji bahwa suatu saat aku harus bisa ketemu sama penulis blog kesayanganku itu.
            Sampai akhirnya aku ditugaskan PKL ke sekolahmu, dan seperti hadiah Tuhan, aku justru mendapati wajah yang sama dengan wajah di wallpaper HP-ku waktu itu, duduk manis di bangku depan mejaku. Berkali-kali aku ngeyakinin perasaanku sendiri bahwa kamu adalah gadis yang sama dengan gadis yang fotonya diam-diam kuambil dari blog.
            Kal, aku sayang sama kamu. Terlepas dari peranku sebagai mantan guru Bahasa Indonesia yang pernah kamu benci. Aku sayang sama kamu sebagai diriku sendiri. Sangat sayang, dan mungkin sampai sekarang. Bodoh ya? Padahal udah lebih dari 8 tahun aku sayang sama kamu, tapi ujungnya tetap bukan aku yang bisa dapatin kamu.
            Kal, anggap ini obrolan terakhir kita ya? Bagaimanapun juga keadaan kita sekarang sudah saling berbatas. Lagipula, aku udah janji sama diriku sendiri untuk ngebiarin kamu bahagia, sama siapapun pilihanmu. Dulu, aku sering banget nolak pepatah ‘cinta tak harus memiliki’, tapi sekarang aku justru dapat bukti nyatanya. Sulit terima memang, karena untuk itu aku juga harus menahan diri dari keinginan untuk membaca lagi tulisan-tulisanmu yang kusimpan rapi di folder paling rahasia di laptopku.
            Kal, bahagialah..
Bahagialah dengan hidup barumu sebagai seorang istri bagi Awan. Laki-laki paling beruntung yang berhasil menjadi pendampingmu. Yang kelak, dan selamanya akan lebih tahu banyak tentang kamu, daripada aku. Surat ini jadi panjang banget ya? Pasti ini gara-gara aku pingin banget ngobrol banyak sama kamu.
Oh ya Kal, jangan berhenti nulis ya? Karena kalau nggak lewat itu, gimana aku bisa tahu kabarmu? Satu lagi Kal, titip buku yang ada fotomu itu ya? Buku itu kubikin, kujaga, dan berusaha kusempurnakan selama tujuh tahun ini, yah, biarpun nggak selengkap tulisan-tulisan aslimu.
Kal, aku titip buku itu ya, yang mungkin nggak akan kuambil lagi. Sama kayak perasaan yang kutitipkan padamu, dan nggak akan pernah kuambil lagi, apapun alasannya. Karena biarpun sekarang aku tahu bahwa perasaanku ke kamu hanya bernilai percuma, setidaknya aku pernah mengatakannya sama kamu Kal..
Kal, jaga diri baik-baik ya.. Biarpun sebenarnya aku tahu bahwa Awan nggak akan mungkin ngebiarin kamu luka barang sekecil apapun.
Wish unlimited blessing to you..
Cheers,
Bara
Airmata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mataku kembali tumpah. Kali ini bahkan aku sama sekali tak memiliki kekuatan untuk sedikitpun menahannya agar tak jatuh. Karena bagaimanapun juga, malam ini seharusnya aku berhak memiliki takdir bernama bahagia. Namun sekali lagi, hidup dan takdir seolah menunjukkan bahwa kuasaku tak sampai padanya.
Aku masih saja terisak, meskipun tangan Awan masih saja membelai lembut rambutku. Tetapi perasaanku terlanjur sakit, dan luka yang perlahan-lahan disembuhkan oleh Awan terasa kembali menganga.
Tangan Awan masih saja mengelus rambutku, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Namun yang terakhir kali kusadari hanyalah, Awan yang memelukku semalaman, membiarkan aku menghabiskan seluruh rasa sakitku sampai tak bersisa.