Seharusnya
takdirku hari ini adalah bahagia. Atau paling tidak, tersenyum tanpa prasangka
akan merasakan sakit kembali, apapun alasannya. Tetapi begitulah hidup, sesaat
setelah bertemu dengan takdir, maka ia akan punya seribu satu cara untuk
membuatmu terlempar dari tempat terbaik yang sempat kau miliki. Tak peduli
waktu, siapa, dan segalanya. Ia tetap yang paling berkuasa atasmu, dan segala
sesuatu.
Ingatanku terlempar pada masa delapan tahun lalu, saat
usiaku masih tujuh belas tahun, dimana segalanya masih berwarna putih-abu.
Ingatan liar itu seolah memaksaku untuk membuka satu persatu memori yang ku kunci
rapat-rapat di sudut terjauh hatiku. Menarikku paksa dengan kasar, menjelajahi
satu demi satu kilasan cerita yang sudah ku namai kenangan.
“Jadi itu guru Bahasa Indonesia kita yang baru?” Aku
berbisik pada Ara disampingku. Gadis itu hanya mengangguk cepat lantas
buru-buru mengalihkan pandangannya kembali kearah depan. Dimana seorang
laki-laki muda, berusia dua puluh satu tahun, dengan kulit bersih menarik, dan
dandanan semi formal yang mengesankan kedewasaannya sekalipun tidak bisa
menutupi kesan childish dibalik
wajahnya, sedang berdiri dan memperkenalkan diri sebagai guru Bahasa Indonesia
baru di kelas kami.
“Baiklah, hari ini pelajaran kita adalah musikalisasi
puisi. Saya sudah membawakan satu contoh untuk itu,” Hari berikutnya guru baru
bernama Bara itu mulai menunjukkan kepiawaiannya menyampaikan pelajaran Bahasa
Indonesia yang sebelumnya lebih sering membosankan.
Ia sibuk memasangkan speaker
pada laptop silver miliknya, “ Ini
musikalisasi milik teman kuliah saya dulu, namanya Dita. Siap-siap jatuh cinta
pada gadis ini ya..” Pak Bara sesekali menjelaskan dengan gaya khasnya,
sepatah-patah, dan lebih sering membuat orang menebak apa yang dimaksudkan
dalam tiap-tiap kalimatnya.
Beberapa detik kemudian, sebuah suara lembut, atau
berkesan bening, terdengar membacakan sebuah puisi. Aku mengenali lagu yang
dijadikannya sebagai latar belakang puisinya. Meskipun hanya instrumental,
tetapi aku hafal betul bahwa itu adalah lagu First Love milik Utada Hikaru,
lagu yang paling sering kudengarkan untuk membantuku menyelesaikan
tulisan-tulisanku.
“Beginilah sastra, agak bebas memang, tetapi nilainya ada
pada pesan yang disampaikannya melalui kalimat-kalimat yang menurut beberapa
orang disebut bertele-tele,” Lain kesempatan, ia akan datang dengan membawa
setumpuk print out yang entah dari
mana didapatkannya. Lembar-lembar itu berisi tulisan, yang aku tak tahu apakah
itu bisa disebut puisi ataukah cerita. Hanya saja, pada masing-masing kalimat
yang dituliskan disana seolah terdapat berbagai macam aliran rasa. Yang kata
Pak Bara, tak pernah menemui muaranya.
Aku menyukainya. Namun hanya sebatas pada setiap
tindakan-tindakan tak terduganya yang sering keluar dari aturan kurikulum
pembelajaran di sekolahku. Tetapi inilah yang sejak dulu ku tunggu, dobrakan
pada aturan yang keras mendikte kami hampir selama tiga tahun berada di SMA ini.
“Pak, saya ingin serius menekuni sastra. Menurut Bapak,
apa yang harus saya lakukan dari sekarang?” Ini pertanyaan pertamaku untuk Pak
Bara, sedikit bersifat pribadi memang. Tetapi menurutku, ia bukan orang yang
salah untuk kumintai jawaban mengenai hal ini.
“Baca saja yang banyak. Apapun itu, jangan membatasi diri
kalau memang ingin tahu. Tapi, saya harap kamu melakukan hal ini bukan sekedar
karena ingin memamerkannya di media sosial ya..” Jawaban Pak Bara memukulku
telak, kulihat sekali lagi laki-laki di hadapanku ini. wajahnya masih tenang, tak ada sedikitpun
isyarat ia telah mengatakan hal yang salah.
“Saya tidak bermaksud pamer Pak,” Nada suaraku terdengar
agak keras. Bukan. Bukannya aku tersindir, hanya saja kalimatnya barusan seolah
memberi cap bahwa setiap orang yang belajar sastra itu hanya untuk kepentingan
eksistensi. Tetapi, bukan disitu tujuanku.
“Yah, gadis dibawah usia dua puluh kebanyakan selalu
berfikir begitu, Kalila.. Tetapi yang terjadi sebenarnya, selalu seperti yang
saya katakan tadi,” Sekali lagi ucapannya terdengar tanpa beban. Andai saja ia
bukan guruku, mungkin akan kulanjutkan kalimatku dengan suara yang lebih keras
lagi. Tetapi aku tidak memilih begitu.
Yang kupilih hanya berusaha menghindari orang itu. Kedengarannya
memang kekanakan sekali, tetapi obrolan terakhir kami yang kuharap bernilai
serius itu, masih membuatku tidak bisa dengan mudah menghilangkan kesan
‘mengecewakan’ pada sosok Pak Bara.
Sampai akhirnya tak ada kabar lain lagi yang kudengar
tentang sosok guruku itu selain kepindahannya ke Surabaya. Sedangkan aku,
melanjutkan ceritaku ke Jakarta. Dan lebih banyak menghabiskan waktuku untuk
berkonsentrasi pada kuliahku di Universitas Indonesia.
Yah,
meskipun aku mengambil jurusan Sastra Inggris, tetap saja ada getar aneh yang
menggelitikku tiap kali melewati kelas Sastra Indonesia. Karena pada tempat
itu, selalu ada ingatan yang terbawa tentang Pak Bara.
Aku hampir selalu tersipu tiap kali menuliskan
cerita-cerita baru di dalam blog pribadiku. Cerita yang tanpa sadar selalu
berlatarkan nama Pak Bara di balik alurnya. Meskipun mustahil rasanya bisa
menunjukkan pada orang itu bahwa aku tidak main-main dengan ucapanku. Bahwa aku
akan menekuni sastra, sekalipun untuk itu aku harus mau lebih banyak meluangkan
waktu untuk membaca buku-buku yang tak pernah kubayangkan untuk kubaca.
Suatu kali, aku menemukan nama Bara Aditya pada sebuah
situs pertemanan. Hal itu terjadi setelah tiga tahun aku tidak lagi mendengar
kabar-kabarnya lagi. Dengan berdebar, aku menambahkan nama itu pada daftar
permintaan pertemananku, lantas mengirimkan sebuah pesan opsional untuk
memberitahunya bahwa seharusnya kami saling mengenal.
“Hai Kal, apa kabar?” Pesan balasan itu datang beberapa
menit setelah ia menerima permintaan pertemananku yang baru saja ku ku
kirimkan. Dan entah bagaimana ceritanya, debaran yang dulu sempat kualihkan
tiba-tiba muncul kembali.
“Jangan panggil aku pakai gelar ‘Pak’ lagi ya Kal,
kesannya jadi tua banget.. Lagian kamu kan bukan muridku lagi..” Aku tersenyum
membaca balasannya yang datang lebih cepat dari perkiraanku. Aku hanya
membalasnya singkat, sedikit berharap lebih bahwa akan ada hal lain yang akan
ia lakukan dengan nomor ponselku yang baru saja dimintanya.
Beberapa minggu setelah itu, sebuah pesan singkat dari
Bara mengabarkan bahwa ia sedang berada di Jakarta. Pesan yang membuat
perasaanku membubung sesaat, dan seolah mengerti maksudku, Bara memberitahuku
untuk segera menemuinya di depan kampus. Hari itu ia memang bermaksud menemui
salah seorang rektor kampusku untuk membicarakan masalah yang entah apa itu,
aku kurang begitu memahami hal-hal yang berkaitan erat dengan kurikulum dan
segala hal tentang program pendidikan.
Sejak hari itu kuakui kami memang semakin dekat. Yah,
meskipun aku sendiri masih meraba bagaimana sebenarnya bentuk hubungan kami
saat ini, tetapi tetap saja aku menyukainya. Namun laki-laki itu masih tetap
konsisten dengan sikap diamnya. Ia hanya berada pada tempatnya sendiri, sedikit
membuatku merasa bahwa ia berusaha menunjukkan jarak yang sebenarnya tergambar
jelas diantara kami berdua.
Aku masih saja belum bisa menebak apa yang sebenarnya
laki-laki ini rasakan tiap kali denganku. Aku tahu ia memang selalu
membingungkan karena sikap tak tertebaknya yang sering muncul tanpa permisi.
Namun bodohnya, aku justru menyukai sosok membingungkan ini. Meskipun untuk itu, harus
ada empat tahun waktu tambahan yang kuberikan untuk menunggunya lagi. Lagi, dan
senantiasa lagi.
“Kal, aku di Jakarta sekarang. Ketemu yuk !” Pesan
singkat Bara yang baru saja masuk ke ponselku mendadak membuat siang hariku
kali ini terasa lebih cerah dari biasanya. Aku membalasnya cepat. “Tentu saja.
Tempat biasa ya.” Aku kembali mengantongi ponselku sebelum kembali menyelesaikan
program reportase-ku.
Dan saat menoleh, aku mendapati sepasang mata mengawasiku
lekat. Dan lagi-lagi orang itu adalah Awan.
“Seneng banget Kal?” Laki-laki itu hanya berkomentar
singkat. Dan seperti biasanya pula, ia akan buru-buru berlalu bahkan sebelum
komentarnya sempat kutanggapi. Aku kembali berusaha memakluminya, mungkin ia
hanya sedikit sebal karena tugas reportase-ku harus tertunda sebentar gara-gara
membalas pesan singkat Bara tadi, lengkap dengan perasaan yang berbunga-bunga
tentunya.
Tetapi sikap Awan selalu begitu. Agak sinis kurasa,
padahal program TV yang ia pegang, sama sekali berbeda dengan bagianku. Tetapi
entah bagaimana caranya, aku selalu merasa bahwa Awan selalu bisa menemukan
dimana tempatku berada. Meskipun itu hanya untuk melemparkan komentar-komentar
singkat semacam tadi. Tetapi aku tetap saja merasa, Awan selalu berada di
tempat dimana aku berada. Dan bagiku, itu terlalu berlebihan jika dianggap
sebagai ‘kebetulan’.
Pulang dari kantor sore itu, aku kembali memberikan
waktuku untuk bertemu dengan Bara di kedai kopi kesukaan kami. Begitu masuk
kedai, mataku langsung tertumbuk pada sosok laki-laki yang duduk
membelakangiku, dengan kemeja cokelat muda-nya. Dan aku tahu bahwa itu Bara,
karena sekalipun ia tidak menoleh, tujuh tahun mengenal laki-laki itu bahkan
sudah bisa membuatku menghafali segala macam geraknya.
“Hai, maaf kalau lama..” Aku segera mengambil duduk di
depan laki-laki itu. Ia hanya menyambutku dengan senyum yang tampak tak seperti
biasanya. “Nggak masalah, reportase ya?” Ia hanya bertanya singkat. Seperti
biasanya memang, tetapi ada yang berbeda dari tatapan dan nada suaranya. Yang
meskipun aku masih belum menyadari dimana letak perbedaannya, tetapi aku tahu
ada yang salah disana.
Bara hanya menatapku. Tidak lekat, tetapi mengisyaratkan
ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. “Ada cerita apa Bar?” Aku kembali membuka
suara. Bagaimanapun juga, tetap tidak enak rasanya berada di dalam suasana
secanggung ini dengan orang yang sudah lama kamu kenal.
“Minggu depan aku nikah Kal,”
Kalimat singkat itu diucapkan Bara datar. Tanpa penekanan
ekspresi macam-macam. Namun walaupun begitu, sudah cukup mampu meledakkan
beribu bom atom di dalam jantungku. Membuatku mati rasa, sesaat.
Laki-laki itu kembali mengambil sesuatu di balik jas
hitamnya yang ia letakkan di sisi kursi yang ia duduki. Sebuah undangan
sederhana berwarna putih tulang dengan hiasan pita perak dan emas di
sekelilingnya, memaksa perasaanku kembali berdarah. Aku tercekat, dan hanya
bisa menatap undangan yang Bara letakkan di hadapanku. Tanpa tahu tindakan apa
yang harus kulakukan untuk menanggapinya.
“Datang ya Kal, soalnya besok aku juga harus buru-buru
balik ke Surabaya lagi..” Sekali lagi, Bara dan segala macam ucapan serta
tindakannya membuat otakku lumpuh sejenak. Aku tak tahu bagaimana bentuk hatiku
sekarang, karena satu-satunya hal yang kusadari hanyalah bagaimana panasnya
pelupuk mataku.
“Insya Allah, aku pasti datang Bar, oh ya, kenapa nggak
pernah kamu kenalin?” Aku menguatkan hatiku untuk menanyakan bagian ini. Bagian
yang selama ini mampu Bara tutupi dengan baik, bagian yang tak pernah kusadari
sampai akhirnya membuatku berani menaruh harapan tinggi pada laki-laki itu.
“Aira memang kurang suka dikenal-kenalkan seperti itu
Kal,” Bara menjawab ringan. Ada senyum bahagia tersungging di bibirnya, membuat
hatiku semakin pecah. Dan yang terakhir kurasakan hanyalah pahit yang mulai
menjalar di seluruh permukaan lidahku.
Aku memutuskan untuk segera pamit dari laki-laki itu
dengan alasan ada panggilan mendadak dari kantor. Dan setelah berjanji sekali
lagi pada Bara tentang kepastian kedatanganku pada pernikahannya, aku segera
berbalik badan. Membiarkan setetes airmataku runtuh tanpa perlu Bara ketahui.
Sesampainya di dalam mobil, tangisku kembali pecah. Kali
ini isakanku bercampur perih dan lelah yang selama tujuh tahun ini kuabdikan
untuk penantianku terhadap Bara. Penantian yang akhirnya hanya berujung pada
sepucuk undangan yang sekarang ini masih saja kugenggam.
Aku menepati janjiku dan datang ke pernikahan sederhana
Bara di Surabaya. Kali ini aku tak sendirian, karena ada Awan yang memaksa
untuk turut serta. Aku sama sekali tidak memintanya, hanya saja kebetulan
laki-laki itu sedang mengerjakan salah satu program acaranya yang berada di
kota Malang, maka dari itu ia sama sekali tak terlihat keberatan saat
menawarkan diri untuk menemaniku datang ke pernikahan Bara dan Aira.
Tak ada perasaan sesakit selain saat melihat tangan Aira
dan Bara saling menggenggam erat. Dan karena tak ada lagi yang bisa kulakukan,
maka sejak perjalanan dari Jakarta sampai Surabaya, aku tak berhenti
memanjatkan doa untuk kebahagian mereka, dari dalam hatiku yang masih sesak
oleh luka.
“Kal, aku tahu berat buat kamu terima kenyataan ini, tapi
aku cuma mau menawarkan kamu obat,” Kalimat Awan kali itu, di perjalanan pulang
kami dari Surabaya membuatku sedikit tersentak.
“Maksud kamu?” Aku menatap laki-laki disampingku itu
dengan tatapan menuntut. “Ya, kalau boleh, aku mau menjaga kamu Kal, nggak
peduli sedalam apa rasa sakit kamu karena Bara, yang jelas aku sangat sayang
sama kamu.. ” Kalimat panjang Awan kembali membuatku terpaku. Laki-laki ini
baru saja menyatakan perasaannya padaku, dan saat ini aku sama sekali tak punya
alasan untuk mengelak darinya.
Aku mengangguk, dan Awan hanya balas tersenyum hangat
sambil membelai rambutku. Aku masih tidak mengerti dengan takdir yang kujalani
sekarang. Aku memang merasa tenang setiap kali berada di dekat Awan, meskipun
laki-laki itu kerap membuatku terpojok dengan tatapan tajamnya. Namun, satu
yang kuputuskan saat itu. Aku akan belajar mencintai Awan sepenuh hatiku,
sebisa mungkin.
Dan satu tahun kemudian, dihadapan ayah, ibu, dan Ringga
adikku, Awan menyatakan keinginannya untuk menikahiku. Tiga orang dihadapanku
itu terlihat bahagia dan berkali-kali mengangguk-angguk setuju dengan setiap
ucapan Awan, yang isinya hanyalah janji dan kesanggupannya untuk menjagaku,
selama hidupnya nanti.
Sekali lagi, meskipun masih ada satu sisi hatiku yang tak
terjamah oleh Awan, aku kembali menerima lamaran laki-laki itu. Bagiku,
dicintai oleh laki-laki sebaik ini adalah anugerah Tuhan yang tak boleh
kusia-siakan begitu saja. Dan dengan usaha yang lebih keras daripada setahun
yang lalu, aku tetap berusaha untuk mencintai Awan selayaknya ia memberikan
seluruh perasaannya untukku.
Pesta pernikahan kami tidak begitu mewah, karena aku dan
Awan sama-sama pecinta sederhana dan minimalis. Hal itu juga tampak dari
undangan yang datang dan kebanyakan hanya dari stasiun TV tempatku dan Awan
bekerja. Sisanya baru sahabat dan saudara kami berdua. Dan satu lagi, ada Bara,
Aira, dan Kalya, putri mereka, yang sekarang sedang berfoto bersama kami
berdua.
Bara hanya mengucapkan selamat kepadaku dan Awan, ia juga
mengatakan sudah memberiku kado istimewa yang ia letakkan di resepsionis. Aku
dan Awan hanya tertawa menanggapinya, sekalipun masih ada perasaan yang
berdesir halus tiap kali tatapanku dan Bara bertemu.
Aku bahagia. Dan tak ada yang kuragukan lagi tentang hal
itu. Sekarang, bagaimana kau tidak bahagia jika kau menikah dengan laki-laki
yang sudah berjanji dengan segala kesungguhan yang dimilikinya, untuk
senantiasa menjagamu, tanpa jeda, selamanya?
Kami berdua sedang berada di kamar, duduk bersisian di
tepi tempat tidur beraroma melati segar kesukaanku. Namun kali ini ada sesuatu
di pangkuanku, sebuah kotak berukuran sedang, dibungkus dengan kertas kado
berwarna peach dan maroon. Di dalamnya, ada sebuah buku
sebesar buku tamu, berwarna cokelat tua, tanpa gambar apapun di sampulnya.
Sebenarnya aku tak terlalu ambil pusing dengan kado ini,
namun Awan-lah yang memaksaku untuk berkonsentrasi terlebih dulu pada satu kado
itu. Aku membuka halaman pertamanya, dan untuk pertama kalinya juga, aku
tercekat saat mendapati sebuah foto dengan efek warna cokelat. Fotoku.
Aku ingat sekali dengan foto yang kuambil delapan tahun
yang lalu, saat SMA. Kubuka lembar berikutnya, ada namaku tertulis rapi disana,
dengan tinta berwarna cokelat tua yang seolah diguratkan secara hati-hati oleh
penulisnya, membuatnya terlihat begitu indah sekaligus penuh makna.
Awan hanya duduk disampingku tanpa banyak bicara, seolah
memberiku waktu mencerna isi buku itu. Lembar-lembar berikutnya hanya berisi
dengan kalimat-kalimat tulisanku semasa SMA sampai kuliah dulu, ditulis kembali
dengan rapi, lengkap dengan foto-foto yang selalu kusertakan di tiap-tiap
tulisan yang kupasang di blog pribadi-ku.
Dan pada halaman terakhirnya, ada fotoku dan Awan. Foto
yang sebenarnya terpisah namun disatukan didalam bingkai lukisan berwarna maroon.
Aku mengambil sebuah surat sederhana yang diselipkan di
halaman terakhir itu. Kutatap Awan untuk meminta izinnya, dan sekali lagi
laki-laki itu hanya membelai lembut rambutku, pertanda izin telah diberikannya
dengan senang hati.
Hai Kal,
Maaf
ya kalau selama ini aku banyak melakukan salah sama kamu. Tentunya hal itu sama
sekali bukan maksudku, apalagi sampai membuatmu marah dan tersinggung. Tapi
kurasa, Tuhan memang menciptakanku untuk itu kali ya? Aku sebenernya juga
seneng punya murid eh mantan murid yang suka sok jual mahal, walaupun aslinya
pasti nggak tahan banget pengen nanya-nanya sama guru cakep macam aku :P
Kal,
maaf lagi kalo tulisanku nggak rapi, soalnya aku nulisnya sambil gendong Kalya.
Oh ya Kal, mungkin kalo kamu baca surat ini kamu bakalan mikir gimana aku bisa
nulis seimut ini di dalam surat, padahal aslinya aku hampir selalu sok judes
sama kamu, dulu waktu SMA. Tapi aku punya alasan Kal, yaitu karena aku
bawaannya grogi tiap kali ngobrol sama kamu secara langsung, jadi
spontanitas-nya judes deh..
Gini
deh Kal, kusingkat aja suratku. Sebenarnya, dari dulu aku udah kagum banget
sama kamu. Sederhana juga alasannya, yaitu gara-gara aku pernah nggak sengaja
nemu tulisanmu mampir di jendela Google-ku. Dan jujur aja, baru kali itu aku
baca tulisan sejujur dan seapaadanya punyamu, seolah seluruh perasaanmu lagi
kamu tumpahin disana. Sejak saat itu aku mulai jadi penggemar setia blog-mu.
Diam-diam memang, karena aku gak pernah secara langsung menghubungi kamu. Tapi
aku punya janji bahwa suatu saat aku harus bisa ketemu sama penulis blog
kesayanganku itu.
Sampai
akhirnya aku ditugaskan PKL ke sekolahmu, dan seperti hadiah Tuhan, aku justru
mendapati wajah yang sama dengan wajah di wallpaper HP-ku waktu itu, duduk
manis di bangku depan mejaku. Berkali-kali aku ngeyakinin perasaanku sendiri
bahwa kamu adalah gadis yang sama dengan gadis yang fotonya diam-diam kuambil
dari blog.
Kal,
aku sayang sama kamu. Terlepas dari peranku sebagai mantan guru Bahasa
Indonesia yang pernah kamu benci. Aku sayang sama kamu sebagai diriku sendiri.
Sangat sayang, dan mungkin sampai sekarang. Bodoh ya? Padahal udah lebih dari 8
tahun aku sayang sama kamu, tapi ujungnya tetap bukan aku yang bisa dapatin
kamu.
Kal,
anggap ini obrolan terakhir kita ya? Bagaimanapun juga keadaan kita sekarang
sudah saling berbatas. Lagipula, aku udah janji sama diriku sendiri untuk
ngebiarin kamu bahagia, sama siapapun pilihanmu. Dulu, aku sering banget nolak
pepatah ‘cinta tak harus memiliki’, tapi sekarang aku justru dapat bukti
nyatanya. Sulit terima memang, karena untuk itu aku juga harus menahan diri
dari keinginan untuk membaca lagi tulisan-tulisanmu yang kusimpan rapi di
folder paling rahasia di laptopku.
Kal,
bahagialah..
Bahagialah dengan hidup barumu sebagai seorang istri
bagi Awan. Laki-laki paling beruntung yang berhasil menjadi pendampingmu. Yang
kelak, dan selamanya akan lebih tahu banyak tentang kamu, daripada aku. Surat
ini jadi panjang banget ya? Pasti ini gara-gara aku pingin banget ngobrol
banyak sama kamu.
Oh ya Kal, jangan berhenti nulis ya? Karena kalau
nggak lewat itu, gimana aku bisa tahu kabarmu? Satu lagi Kal, titip buku yang
ada fotomu itu ya? Buku itu kubikin, kujaga, dan berusaha kusempurnakan selama
tujuh tahun ini, yah, biarpun nggak selengkap tulisan-tulisan aslimu.
Kal, aku titip buku itu ya, yang mungkin nggak akan
kuambil lagi. Sama kayak perasaan yang kutitipkan padamu, dan nggak akan pernah
kuambil lagi, apapun alasannya. Karena biarpun sekarang aku tahu bahwa
perasaanku ke kamu hanya bernilai percuma, setidaknya aku pernah mengatakannya
sama kamu Kal..
Kal, jaga diri baik-baik ya.. Biarpun sebenarnya aku
tahu bahwa Awan nggak akan mungkin ngebiarin kamu luka barang sekecil apapun.
Wish unlimited blessing to you..
Cheers,
Bara
Airmata
yang sedari tadi menggenang di pelupuk mataku kembali tumpah. Kali ini bahkan
aku sama sekali tak memiliki kekuatan untuk sedikitpun menahannya agar tak
jatuh. Karena bagaimanapun juga, malam ini seharusnya aku berhak memiliki
takdir bernama bahagia. Namun sekali lagi, hidup dan takdir seolah menunjukkan
bahwa kuasaku tak sampai padanya.
Aku
masih saja terisak, meskipun tangan Awan masih saja membelai lembut rambutku.
Tetapi perasaanku terlanjur sakit, dan luka yang perlahan-lahan disembuhkan
oleh Awan terasa kembali menganga.
Tangan
Awan masih saja mengelus rambutku, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari
bibirnya. Namun yang terakhir kali kusadari hanyalah, Awan yang memelukku
semalaman, membiarkan aku menghabiskan seluruh rasa sakitku sampai tak bersisa.