Sabtu, Januari 26, 2013

Roti dan Kopi Terenak di Dunia



Pagi belum sepenuhnya habis, matahari saja masih dengan angkuhnya bergerak naik, seolah ingin memberitahu pada seluruh dunia bahwa ialah yang merajai hari ini.
Membuatku diam-diam berfikir, pernahkah matahari membutuhkan teman untuk berada diatas sana?
Sedangkan aku,
aku masih saja berada disini, di tempat ini, duduk tegak seperti patung. Sembari menunggu pagi agar segera habis. Di salah satu bangku putih taman kota, aku menunggu kamu datang. Ah, tapi kamu belum datang juga..
Padahal sudah bukan sekali aku mengirimkan pesan singkat ke ponselmu, sekedar mengabarkan bahwa aku sudah lebih dulu sampai di taman kota. Tapi kamu tidak membalasnya juga, padahal aku berharap sekali kamu mau membalasnya, yah, supaya ada obrolan singkat yang bisa terjalin antara kamu dan aku sekalipun hanya melalui pesan.
Lima belas menitku sudah habis, namun pagi masih saja tersisa, membuatku kembali melambungkan angan dengan tinggi. Tentang pagi kemarin, dan segala macam rutinitasnya yang tak pernah berhenti. Ralat, tak pernah bisa kuhentikan.
Anganku tentang pagi masih saja meninggi, menuntut untuk diselesaikan dengan benar. Mendadak meliar tanpa bisa kukendalikan. Dan lagi-lagi ia melayangkan ingatan tentangmu, tentangku, dan tentu saja tentang kita.
Tentang setangkup roti berselai cokelat milikku, dan setangkup lain yang berisi telur mata sapi kesukaanmu. Juga tentang kopi-mu yang belum habis, dan teh hijau milikku yang mulai mendingin.
Ah, begitulah aku, selalu saja merindukan pagi kita.
Setengah jam sudah, merambat pelan menguliti sepi yang makin lama makin menjadi pula. Aku kembali mengecek ponsel putih-ku, sekaligus memuaskan harapan yang menuntut jawaban, tentang namamu yang mungkin saja muncul disana, dengan sebuah pesan balasan. Ah, tak ada juga..
Kamu dimana sih?
Kenapa pesanku tidak kamu balas juga?
Sedang apa sih?

Tanyaku hanya menguap menjadi keinginan yang hanya bisa ku telan bulat-bulat. Tanpa ada satu pun pemenuhan. Ingin sekali rasanya meneleponmu, menyuruhmu agar segera datang. Yang walaupun sebenarnya, itu karena aku hanya ingin mendengarkan suaramu. Sedikit memberi jalan keluar bagi rinduku yang sejak kemarin menganggu.
Tapi aku ingat, juga hafal betul, bahwa kamu tidak pernah suka jika harus diganggu saat menyetir. Maka sekali lagi, ku tepiskan keinginanku. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa memutuskan untuk menunggu lagi.
Sekarang sudah empat puluh menit yang habis. Dan akhirnya telingaku mulai menangkap suara langkah berat yang berjalan mendekat dengan sedikit terburu.
Aku iseng menebak.
Nah, benar kan? Aku mendapati mata hitammu begitu kudongakkan kepala. Aku tersenyum, menyambutmu yang berhenti sebentar di depanku, sekedar untuk mengatur nafasmu yang agak memburu.
Ah, kamu pasti berlari ya?
“Maaf Rin, aku terlambat..” Ucapmu pelan. Ada sedikit nada menyesal yang tersirat jelas disana. Kamu menggeser dudukku, dan kemudian bersandar di bangku untuk melepas lelah. Ada peluh menetes di sisi wajahmu, membuat tanganku ingin tergerak menghapusnya, yang akhirnya ku urungkan lagi.
“Aku tahu..” Aku tersenyum singkat menanggapi ucapanmu. Lagipula, kamu kan memang selalu begitu. Bukan sekali ini juga aku harus menunggu agak lama, menunggu kamu yang selalu datang terlambat.
Aku melirikmu sekali lagi, sepertinya kamu kelihatan kegerahan. Wajah bersihmu juga memerah. Ah, itu pasti karena jas hitam yang kamu kenakan itu. Aku menyentuh ujungnya, menyuruhmu dengan isyarat agar kamu melepaskannya.
“Oh iya..” Kamu tertawa kecil sambil balas menatapku. Membuatku jatuh cinta sekali lagi pada sosokmu.
Kamu melepaskan jas hitam itu lantas menaruhnya di sampingmu. Sambil tak lupa melemparkan tatapan, yang jika ku artikan maka menjadi begini, “Nih, sudah ku lepas kan?”. Membuatku tersenyum sekali lagi.
Kamu masih ingat rupanya, tentangku yang selalu benci gerah, sekaligus tidak suka melihat orang yang kegerahan.
Hal kecil semacam itulah yang membuatku tak pernah berfikir barang sedikitpun untuk berhenti mencintaimu.
Namun tak seperti biasanya, pertemuan kita kali ini tak diwarnai dengan banyak cerita. Tak banyak dengan ungkapan-ungkapan rasa sekaligus perdebatan berujung tawa. Kali ini kita memilih untuk lebih banyak diam. Aku larut di dalam pikiranku, dan kamu sibuk sendiri dengan pikiranmu. Membuatku diam-diam berharap, semoga apa yang kita pikirkan kali itu sedang sama, sehingga kita bisa tak sengaja bertemu disana.
Bodoh sekali jalan pikiranku ya?
“Bagaimana sekarang Rin?” Aku sedikit terkejut saat kamu membuka suara lebih dulu. Rupanya kali ini kamu tak tahan berdiam ya?
Aku menoleh ke arahmu, mencoba membalas sama tatapanmu. Namun untuk yang satu ini, aku mengaku kalah, aku selalu tak bisa.
“Seperti berhadapan dengan lingkaran setan. Apapun yang dipilih nanti, perlahan sama-sama membuat mati juga..”
Kulihat kamu sedikit tersentak dengan ucapanku. Maafkan aku ya jika hari ini bicaraku agak melantur.
Kamu memandangiku, ada sebersit rasa kalah, bersalah, dan kecewa bercampur satu disana. Namun seolah memaksaku untuk tetap mengartikannya, satu demi satu.
“Seharusnya memang bukan ini yang boleh kita ambil. Tapi sejujurnya, aku sama sekali tak menyesal sudah mengambilnya,” Kamu menanggapi ucapanku.
Apa itu pertanda kamu mulai mengerti maksudku?
“Jangan membuatnya terlihat sebagai sebuah kesalahan. Aku manusia, kamu juga. Kita berhak memilih apa saja yang ingin kita pilih. Bahkan sekalipun pada akhirnya tidak memiliki pilihan itu, setidaknya pernah memilih saja, rasanya sudah merupakan sebuah keberuntungan..” Aku tak tahan lagi untuk tidak menyuarakan pikiranku.
Sekalian saja, biar semua orang disini tahu. Sekalipun sekarang kita duduk saling bersanding disini, hubungan yang kita miliki memang sangat rumit.
“Apakah itu berarti besok kita tidak bisa bertemu kembali?” Kamu masih saja memaksa untuk membuat hubungan kita tetap berada di titik aman.
Ayolah, sampai kapan kita harus saling membohongi diri? Menciptakan keadaan yang lambat laun, nanti atau sekarang, akan tetap menimbulkan luka dan sakit tanpa obat.
“Siapa yang berhak menyatakan bahwa kita tidak bisa bertemu lagi? Kalau pernyataannya diganti, kita tidak boleh bertemu lagi, nah itu baru betul..” Aku mempertegas uacapanku. Memberimu keyakinan tentang kita yang seharusnya mulai bergerak untuk saling menjauh, sekalipun pelan.
Ayolah Yan, pahami ucapanku. Apa yang seperti itu masih kurang jelas? Bukankah biasanya kamu bahkan bisa memahami diamku? Kenapa untuk ucapan sejelas ini kamu masih harus mengajak berdebat dengan kalimat yang tak jelas? Menimbulkan keraguan saja..
“Tapi Rin..”
Nah, kamu menyangkal lagi kan?
“Yan, bukannya kamu sendiri yang mengajariku untuk menerima kenyataan? Kalau sekarang aku sudah bisa menerima kenyataan kita dengan penerimaan yang baik, kenapa harus kamu buat ragu lagi? Lagipula, seharusnya Rania-lah yang berhak bahagia hari ini..” Aku membubuhinya dengan senyum getir. Senyum yang kuharap tidak kamu pahami maksudnya.
Tapi, coba kamu tahu perasaanku sebenarnya Yan.. Sakit sekali perasaanku..
Sakit….
“Jangan mengingatkanku dengan pernikahan itu lagi Rin,”
Kamu kembali menolak kenyataan kita. Seolah masih merasa bahwa besok kita masih berhak menikmati pagi, dengan roti selai cokelat ku, roti isi telur mata sapi milikmu, serta dua gelas kertas berisi kopi dan teh hijau kesukaan kita. Masih disini, di tempat kita lagi.
 Aku berusaha mengabaikan egoku yang mendadak muncul. Yang sebenarnya masih ingin menahanmu agar lebih lama disini, yang membuatku tiba-tiba beharap agar pagi tak jadi habis. Ya, tentu saja supaya kamu tak jadi pergi. Supaya aku tak perlu disadarkan oleh kenyataan Namun akal sehatku menolak.
Ku angsurkan sekotak lunch box abu-abu ke arahmu, tak lupa gelas kertas putih yang isinya tak lagi mengepulkan asap.
Kamu menatapnya lekat, kemudian tersenyum lagi. Kali ini senyummu tanpa definisi.
Kamu menerima pemberianku.
“Ini roti telur mata sapi dan kopi terenak di dunia,”
Kamu berucap singkat, sedangkan mulutmu mulai mengunyah roti itu, menyesap kopinya pelan. Memegang gelas kertas yang biasanya kamu buang setelah habis isinya itu, dengan sangat takzim. Membuat hatiku semakin perih, sesak oleh atmosfer haru yang mendadak kamu ciptakan.
Kamu tak sadar, pujianmu kali ini, yang biasanya ku tanggapi dengan tawa bahagia, kali ini mendadak seperti pisau tajam. Yang menoreh sehingga berdampak kenangan dan luka yang membaur secara sempurna di ulu hatiku. Mematikan rasaku untuk beberapa saat.
“Aku pulang dulu ya.. Jaga dirimu baik-baik..” Agak bergetar suaraku ketika kalimat itu berhasil ku ucapkan. Semoga kamu tak sampai menyadarinya. Aku hanya takut tertahan. Itu saja.
“Pulang kemana Rin?” Tanyamu hanya menjadi uap di sanggurdi-ku. Ku tatap matamu sekilas, memberimu kesempatan terakhir untuk memahami makna terdalam yang tak bisa ku ungkapkan melalui kata.
Apa kamu benar-benar butuh jawabanku, Sayang?
Tapi kali ini aku tak mau menjawabnya, kita sudah terlalu dewasa untuk sekedar menjawab pertanyaan semacam itu.
Maka aku memilih mencium pipimu sekilas, sepertinya kamu agak terkejut dengan apa yang baru saja ku lakukan. Hal yang selalu pantang untukku, namun entah karena apa, aku ingin menghalalkannya untukmu. Kali ini saja.
Lagipula, kamu juga harus tahu, inilah caraku untuk mengucap perpisahan.
Aku berjalan menjauh, berusaha tak menoleh lagi, sekalipun mataku menangkap cairan bening terkumpul di sudut-sudut matamu. Seperti intan rapuh yang tak tahan untuk jatuh.
Ku kuatkan lagi perasaanku, meninggalkanmu yang menghabiskan roti dan kopi-mu tanpa banyak bicara. Matamu masih saja berkaca-kaca.
Sekilas, saat ku tolehkan lagi kepalaku untuk sekedar menatapmu, sebelum benar-benar pergi. Aku melihatmu menangis dalam diam, membuat langkahku semakin berat.
“Brian Sayang, aku harus pulang ke rumah. Semua orang pasti sedang sibuk mempersiapkan pertunanganku nanti malam. Dan kamu, pulanglah pada Rania, ia wanita yang tepat untuk kamu bahagiakan. Lagipula, tak pernah ada ceritanya mempelai laki-laki yang menghilang setelah mengucap ijab kabul..”
Hatiku meratap tanpa suara.
Menyesali rasa yang tak pernah semestinya ada. Rasa yang pernah kita perjuangkan agar tetap ada, seolah tidak menghiraukan datangnya hari ini.
Di mobil, ku nikmati roti selai cokelat dari lunch box abu-abu milik ku, dengan gelas plastik lain berisi teh hijau di dekatku. Ku sesapi semua rasanya. Aku tahu, ada yang berbeda.
Aneh, biasanya rasanya selalu lezat. Tapi kenapa kali ini hambar..
Tidak, ini bukan rasa hambar. Ini pahit yang teramat sangat, sampai membuat lidahku ikut mati rasa.
Kamu tahu? Aku juga menangis, Sayang..
Karena, sama sepertimu, aku juga tahu bahwa setelah ini, besok, besoknya lagi, atau bahkan sampai batas waktu yang tak bisa ku sebutkan, yang lebih dari selamanya.
Aku pasti akan merindukanmu. Juga merindukan pagi yang selalu kita habiskan berdua.
Brian Sayang, kamu tenang saja, besok kita masih bisa, dan masih boleh kok menghabiskan waktu pagi berdua lagi. Ya, tentu saja masih dengan roti selai cokelatku, roti telur mata sapi-mu, kopi, dan teh hijau kita.
Tapi, di tempat lain ya?
Di rumah kita,
Rumahmu dan Rania,
Rumahku dan Reza, tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar