Pagi belum sepenuhnya
habis, matahari saja masih dengan angkuhnya bergerak naik, seolah ingin
memberitahu pada seluruh dunia bahwa ialah yang merajai hari ini.
Membuatku diam-diam
berfikir, pernahkah matahari membutuhkan teman untuk berada diatas sana?
Sedangkan aku,
aku masih saja berada
disini, di tempat ini, duduk tegak seperti patung. Sembari menunggu pagi agar
segera habis. Di salah satu bangku putih taman kota, aku menunggu kamu datang.
Ah, tapi kamu belum datang juga..
Padahal sudah bukan
sekali aku mengirimkan pesan singkat ke ponselmu, sekedar mengabarkan bahwa aku
sudah lebih dulu sampai di taman kota. Tapi kamu tidak membalasnya juga,
padahal aku berharap sekali kamu mau membalasnya, yah, supaya ada obrolan
singkat yang bisa terjalin antara kamu dan aku sekalipun hanya melalui pesan.
Lima belas menitku
sudah habis, namun pagi masih saja tersisa, membuatku kembali melambungkan
angan dengan tinggi. Tentang pagi kemarin, dan segala macam rutinitasnya yang
tak pernah berhenti. Ralat, tak pernah bisa kuhentikan.
Anganku tentang pagi
masih saja meninggi, menuntut untuk diselesaikan dengan benar. Mendadak meliar
tanpa bisa kukendalikan. Dan lagi-lagi ia melayangkan ingatan tentangmu,
tentangku, dan tentu saja tentang kita.
Tentang setangkup roti
berselai cokelat milikku, dan setangkup lain yang berisi telur mata sapi
kesukaanmu. Juga tentang kopi-mu yang belum habis, dan teh hijau milikku yang
mulai mendingin.
Ah, begitulah aku,
selalu saja merindukan pagi kita.
Setengah jam sudah,
merambat pelan menguliti sepi yang makin lama makin menjadi pula. Aku kembali
mengecek ponsel putih-ku, sekaligus memuaskan harapan yang menuntut jawaban,
tentang namamu yang mungkin saja muncul disana, dengan sebuah pesan balasan.
Ah, tak ada juga..
Kamu dimana sih?
Kenapa pesanku tidak
kamu balas juga?
Sedang apa sih?
Tanyaku hanya menguap
menjadi keinginan yang hanya bisa ku telan bulat-bulat. Tanpa ada satu pun
pemenuhan. Ingin sekali rasanya meneleponmu, menyuruhmu agar segera datang.
Yang walaupun sebenarnya, itu karena aku hanya ingin mendengarkan suaramu.
Sedikit memberi jalan keluar bagi rinduku yang sejak kemarin menganggu.
Tapi aku ingat, juga
hafal betul, bahwa kamu tidak pernah suka jika harus diganggu saat menyetir.
Maka sekali lagi, ku tepiskan keinginanku. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa
memutuskan untuk menunggu lagi.
Sekarang sudah empat
puluh menit yang habis. Dan akhirnya telingaku mulai menangkap suara langkah
berat yang berjalan mendekat dengan sedikit terburu.
Aku iseng menebak.
Nah, benar kan? Aku
mendapati mata hitammu begitu kudongakkan kepala. Aku tersenyum, menyambutmu
yang berhenti sebentar di depanku, sekedar untuk mengatur nafasmu yang agak
memburu.
Ah, kamu pasti berlari
ya?
“Maaf Rin, aku
terlambat..” Ucapmu pelan. Ada sedikit nada menyesal yang tersirat jelas
disana. Kamu menggeser dudukku, dan kemudian bersandar di bangku untuk melepas
lelah. Ada peluh menetes di sisi wajahmu, membuat tanganku ingin tergerak
menghapusnya, yang akhirnya ku urungkan lagi.
“Aku tahu..” Aku
tersenyum singkat menanggapi ucapanmu. Lagipula, kamu kan memang selalu begitu.
Bukan sekali ini juga aku harus menunggu agak lama, menunggu kamu yang selalu
datang terlambat.
Aku melirikmu sekali
lagi, sepertinya kamu kelihatan kegerahan. Wajah bersihmu juga memerah. Ah, itu
pasti karena jas hitam yang kamu kenakan itu. Aku menyentuh ujungnya, menyuruhmu
dengan isyarat agar kamu melepaskannya.
“Oh iya..” Kamu tertawa
kecil sambil balas menatapku. Membuatku jatuh cinta sekali lagi pada sosokmu.
Kamu melepaskan jas
hitam itu lantas menaruhnya di sampingmu. Sambil tak lupa melemparkan tatapan,
yang jika ku artikan maka menjadi begini, “Nih, sudah ku lepas kan?”. Membuatku
tersenyum sekali lagi.
Kamu masih ingat rupanya,
tentangku yang selalu benci gerah, sekaligus tidak suka melihat orang yang
kegerahan.
Hal kecil semacam
itulah yang membuatku tak pernah berfikir barang sedikitpun untuk berhenti
mencintaimu.
Namun tak seperti
biasanya, pertemuan kita kali ini tak diwarnai dengan banyak cerita. Tak banyak
dengan ungkapan-ungkapan rasa sekaligus perdebatan berujung tawa. Kali ini kita
memilih untuk lebih banyak diam. Aku larut di dalam pikiranku, dan kamu sibuk
sendiri dengan pikiranmu. Membuatku diam-diam berharap, semoga apa yang kita
pikirkan kali itu sedang sama, sehingga kita bisa tak sengaja bertemu disana.
Bodoh sekali jalan
pikiranku ya?
“Bagaimana sekarang
Rin?” Aku sedikit terkejut saat kamu membuka suara lebih dulu. Rupanya kali ini
kamu tak tahan berdiam ya?
Aku menoleh ke arahmu,
mencoba membalas sama tatapanmu. Namun untuk yang satu ini, aku mengaku kalah,
aku selalu tak bisa.
“Seperti berhadapan
dengan lingkaran setan. Apapun yang dipilih nanti, perlahan sama-sama membuat
mati juga..”
Kulihat kamu sedikit tersentak
dengan ucapanku. Maafkan aku ya jika hari ini bicaraku agak melantur.
Kamu memandangiku, ada
sebersit rasa kalah, bersalah, dan kecewa bercampur satu disana. Namun seolah
memaksaku untuk tetap mengartikannya, satu demi satu.
“Seharusnya memang bukan
ini yang boleh kita ambil. Tapi sejujurnya, aku sama sekali tak menyesal sudah
mengambilnya,” Kamu menanggapi ucapanku.
Apa itu pertanda kamu
mulai mengerti maksudku?
“Jangan membuatnya
terlihat sebagai sebuah kesalahan. Aku manusia, kamu juga. Kita berhak memilih
apa saja yang ingin kita pilih. Bahkan sekalipun pada akhirnya tidak memiliki
pilihan itu, setidaknya pernah memilih saja, rasanya sudah merupakan sebuah
keberuntungan..” Aku tak tahan lagi untuk tidak menyuarakan pikiranku.
Sekalian saja, biar
semua orang disini tahu. Sekalipun sekarang kita duduk saling bersanding
disini, hubungan yang kita miliki memang sangat rumit.
“Apakah itu berarti
besok kita tidak bisa bertemu kembali?” Kamu masih saja memaksa untuk membuat
hubungan kita tetap berada di titik aman.
Ayolah, sampai kapan
kita harus saling membohongi diri? Menciptakan keadaan yang lambat laun, nanti
atau sekarang, akan tetap menimbulkan luka dan sakit tanpa obat.
“Siapa yang berhak
menyatakan bahwa kita tidak bisa bertemu lagi? Kalau pernyataannya diganti,
kita tidak boleh bertemu lagi, nah itu baru betul..” Aku mempertegas uacapanku.
Memberimu keyakinan tentang kita yang seharusnya mulai bergerak untuk saling
menjauh, sekalipun pelan.
Ayolah Yan, pahami
ucapanku. Apa yang seperti itu masih kurang jelas? Bukankah biasanya kamu
bahkan bisa memahami diamku? Kenapa untuk ucapan sejelas ini kamu masih harus
mengajak berdebat dengan kalimat yang tak jelas? Menimbulkan keraguan saja..
“Tapi Rin..”
Nah, kamu menyangkal
lagi kan?
“Yan, bukannya kamu
sendiri yang mengajariku untuk menerima kenyataan? Kalau sekarang aku sudah
bisa menerima kenyataan kita dengan penerimaan yang baik, kenapa harus kamu
buat ragu lagi? Lagipula, seharusnya Rania-lah yang berhak bahagia hari ini..”
Aku membubuhinya dengan senyum getir. Senyum yang kuharap tidak kamu pahami
maksudnya.
Tapi, coba kamu tahu
perasaanku sebenarnya Yan.. Sakit sekali perasaanku..
Sakit….
“Jangan mengingatkanku
dengan pernikahan itu lagi Rin,”
Kamu kembali menolak
kenyataan kita. Seolah masih merasa bahwa besok kita masih berhak menikmati
pagi, dengan roti selai cokelat ku, roti isi telur mata sapi milikmu, serta dua
gelas kertas berisi kopi dan teh hijau kesukaan kita. Masih disini, di tempat
kita lagi.
Aku berusaha mengabaikan egoku yang mendadak
muncul. Yang sebenarnya masih ingin menahanmu agar lebih lama disini, yang
membuatku tiba-tiba beharap agar pagi tak jadi habis. Ya, tentu saja supaya
kamu tak jadi pergi. Supaya aku tak perlu disadarkan oleh kenyataan Namun akal
sehatku menolak.
Ku angsurkan sekotak lunch box abu-abu ke arahmu, tak lupa
gelas kertas putih yang isinya tak lagi mengepulkan asap.
Kamu menatapnya lekat,
kemudian tersenyum lagi. Kali ini senyummu tanpa definisi.
Kamu menerima
pemberianku.
“Ini roti telur mata
sapi dan kopi terenak di dunia,”
Kamu berucap singkat,
sedangkan mulutmu mulai mengunyah roti itu, menyesap kopinya pelan. Memegang
gelas kertas yang biasanya kamu buang setelah habis isinya itu, dengan sangat
takzim. Membuat hatiku semakin perih, sesak oleh atmosfer haru yang mendadak
kamu ciptakan.
Kamu tak sadar,
pujianmu kali ini, yang biasanya ku tanggapi dengan tawa bahagia, kali ini
mendadak seperti pisau tajam. Yang menoreh sehingga berdampak kenangan dan luka
yang membaur secara sempurna di ulu hatiku. Mematikan rasaku untuk beberapa
saat.
“Aku pulang dulu ya..
Jaga dirimu baik-baik..” Agak bergetar suaraku ketika kalimat itu berhasil ku
ucapkan. Semoga kamu tak sampai menyadarinya. Aku hanya takut tertahan. Itu
saja.
“Pulang kemana Rin?”
Tanyamu hanya menjadi uap di sanggurdi-ku. Ku tatap matamu sekilas, memberimu
kesempatan terakhir untuk memahami makna terdalam yang tak bisa ku ungkapkan
melalui kata.
Apa kamu benar-benar
butuh jawabanku, Sayang?
Tapi kali ini aku tak
mau menjawabnya, kita sudah terlalu dewasa untuk sekedar menjawab pertanyaan
semacam itu.
Maka aku memilih
mencium pipimu sekilas, sepertinya kamu agak terkejut dengan apa yang baru saja
ku lakukan. Hal yang selalu pantang untukku, namun entah karena apa, aku ingin
menghalalkannya untukmu. Kali ini saja.
Lagipula, kamu juga
harus tahu, inilah caraku untuk mengucap perpisahan.
Aku berjalan menjauh,
berusaha tak menoleh lagi, sekalipun mataku menangkap cairan bening terkumpul
di sudut-sudut matamu. Seperti intan rapuh yang tak tahan untuk jatuh.
Ku kuatkan lagi
perasaanku, meninggalkanmu yang menghabiskan roti dan kopi-mu tanpa banyak
bicara. Matamu masih saja berkaca-kaca.
Sekilas, saat ku
tolehkan lagi kepalaku untuk sekedar menatapmu, sebelum benar-benar pergi. Aku
melihatmu menangis dalam diam, membuat langkahku semakin berat.
“Brian Sayang, aku
harus pulang ke rumah. Semua orang pasti sedang sibuk mempersiapkan
pertunanganku nanti malam. Dan kamu, pulanglah pada Rania, ia wanita yang tepat
untuk kamu bahagiakan. Lagipula, tak pernah ada ceritanya mempelai laki-laki
yang menghilang setelah mengucap ijab kabul..”
Hatiku meratap tanpa
suara.
Menyesali rasa yang tak
pernah semestinya ada. Rasa yang pernah kita perjuangkan agar tetap ada, seolah
tidak menghiraukan datangnya hari ini.
Di mobil, ku nikmati
roti selai cokelat dari lunch box
abu-abu milik ku, dengan gelas plastik lain berisi teh hijau di dekatku. Ku
sesapi semua rasanya. Aku tahu, ada yang berbeda.
Aneh, biasanya rasanya
selalu lezat. Tapi kenapa kali ini hambar..
Tidak, ini bukan rasa
hambar. Ini pahit yang teramat sangat, sampai membuat lidahku ikut mati rasa.
Kamu tahu? Aku juga
menangis, Sayang..
Karena, sama sepertimu,
aku juga tahu bahwa setelah ini, besok, besoknya lagi, atau bahkan sampai batas
waktu yang tak bisa ku sebutkan, yang lebih dari selamanya.
Aku pasti akan
merindukanmu. Juga merindukan pagi yang selalu kita habiskan berdua.
Brian Sayang, kamu
tenang saja, besok kita masih bisa, dan masih boleh kok menghabiskan waktu pagi
berdua lagi. Ya, tentu saja masih dengan roti selai cokelatku, roti telur mata
sapi-mu, kopi, dan teh hijau kita.
Tapi, di tempat lain
ya?
Di rumah kita,
Rumahmu dan Rania,
Rumahku dan Reza,
tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar