Minggu, April 13, 2014

Cukup


Ini tidak semudah awalnya. Tidak pula segampang apa-apa yang pernah mereka katakan. Entah tentang pertemuan, pun perpisahan yang menurutku hanya datang bergiliran. Menunggu antrian.

Hingga pada akhirnya namamu terpanggil takdir. Menjadi salah satu manusia yang dikirim Tuhan untuk kukenali wajahnya, untuk kuhafal lekat nama lengkapnya, untuk kuingat tanggal ulangtahun dan makanan kesukaannya, untuk kucatat garis tawanya, dan tentu saja, kurindukan keberadaannya.

Aku bahkan tak terlalu mengingat pertemuan pertamamu dan aku. Tak begitu mengingat jelas warna baju apa yang kau kenakan kala itu, entah biru, atau abu-abu. Aku bahkan tak begitu menyukai caramu diam, dan tak begitu menaruh simpati pada caramu yang tenang menghadapi apapun. 

Namun Tuhan memang selalu punya cara untuk membuat hamba-hambaNya yang sok tahu, menjadi tahu bahwa ia sok tahu.

“Apa alasanmu ikut grup menulis ini?”
Pertanyaan pertamamu ketika ternyata kita dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi yang anggotanya hanya tiga orang itu. Aku, kamu, dan seorang lagi perempuan ceriwis bernama Anne.

“Tentu saja karena aku ingin belajar menulis..” jawabku asal. Bahkan tak begitu memperdulikan tatapanmu yang masih terlihat ingin tahu.

“Tapi kulihat kamu sudah bisa menulis..” kali ini kamu hanya menanggapi sembari menunjuk notesku dengan dagu.

“Mungkin maksudmu, menuliskan isi pikiran, Nad?” 
Anne ikut menyumbang suara. Mungkin setelah melihatku terlihat tak begitu ingin menjawab. Yah, memang ada baiknya jika gadis itu ikut bicara, jadi aku tak perlu terlibat obrolan garing dengan laki-laki berkacamata ini.

Aku mengangguk pelan sebagai jawabnya.

“Oke. Sudah pernah buat kerangka tulisan, Nad?” 

Anne kembali mengambil alih pembicaraan. Mungkin mencegah obrolan tak bermutu tercipta antara aku dan laki-laki bernama Saka itu. Oya, aku bahkan sampai lupa memperkenalkan namanya.

***

Ingatanku berputar seolah video yang menampilkan ingatan-ingatan sepotongku tentang laki-laki bernama Saka tadi. Padahal aku sudah berusaha menutupnya rapat-rapat, berusaha melupa, bahkan meski itu hanya terdengar sebagai sesuatu yang sia-sia. Ya, aku memang tak bisa.

Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah novel bersampul biru langit di hadapanku. Tercetak jelas di bagian sampulnya, namaku di bawah judulnya.

Itu memang novel pertamaku. Novel yang bahkan baru terbit disaat usiaku sudah dua puluh empat. Usia yang terlambat, menurut Saka, mengingat bahwa aku sudah mulai menulis sejak masih enam belas tahun. Namun lagi-lagi kutepis kenyataan itu, semua yang mengantarkan ingatan tentang Saka memang tak pernah gagal membuat salah satu bagian hatiku terasa nyeri.

Tak kupungkiri memang, novel itu mungkin tak akan ada jika saja aku tak menuruti kata-katanya.

“Buat kerangkanya dulu, Nad. Jangan terpaku pada hasil, pelan-pelan saja asal janjilah untuk menyelesaikan..”

Ucapnya di telepon, ketika malam-malam aku menceritakan betapa mampetnya otakku. Entah kenapa, satu-satunya nama yang terlintas saat itu memang hanya ia, dan kebetulan pula Saka tak sedang sibuk.

“Sudah, Ka. Tapi bagaimana kalau membuat kerangka saja aku sudah buntu?” keluhku sekali lagi.

“Mau liburan sejenak, nggak?”

Keningku berkerut. Tak mengerti pada apa yang dimaksud Saka dengan liburan itu. Mungkinkah ia akan mengajakku travelling? Mendadak pipiku mengahangat, membayangkan bagaimana jika hanya ada aku dan Saka berdua. Karena selama ini yang terjadi adalah, kami hanya dekat melalui telepon. 

Tak sama dengan yang terjadi jika bertemu langsung.

“Liburan?”

“Ya, liburan. Travelling kemana, gitu..”

Dan sejak saat itu, tak ada lagi canggung yang sama antara aku dan Saka, bahkan meski kami harus bertemu langsung dan bahkan mengerjakan tulisan kami bersama. Ya, bersama dan hanya berdua. Tanpa Anne, pun anggota milis lain.
 
***

“Sakaaaaaaaaaa!!!”

Teriakku tanpa peduli sekitar, bahkan meski saat itu Saka hanya berjarak dua meter dari hadapku.

“Kenapa teriak-teriak sih?”  
Seperti biasa Saka selalu tenang. Namun kali ini tak kulihat ia sibuk dengan laptop, dan justru terlihat berkonsentrasi penuh pada ponsel hitam ditangannya.

“Minggu depan novelku terbiiiiiiiiit!!!”

Aku menangis. Mungkin terlalu senang karena akhirnya novel yang kukerjakan selama dua bulan itu terbit minggu depan. Novel yang naskahnya sudah berdiam di laptopku selama hampir kurang lebih lima tahun. Naskah tidur, itu julukan yang Saka buat tiap kali rasa malas menghampiriku untuk tak buru-buru menyelesaikannya.

Dan tanpa aba-aba, Saka memelukku. Cepat memang, namun apa yang diperbuatnya mendadak membuat aliran darahku berhenti. Pipiku memanas tanpa sebab, sedang Saka, seperti biasa kembali terlihat tenang seolah tak baru saja melakukan apa-apa.

“Selamat ya.. Tapi ingat, kamu nggak selesai disini. Pe-er sesungguhnya adalah novel kedua dan berikut-berikutnya..”

Ucapnya sekali lagi.

Dan setelah itu, entah kenapa, aku tak lagi antusias pada kabar-kabar mengenainya.

***

“Nad, ini kamu foto sama Saka Canandra?”
 
Pertanyaan Pia yang tiba-tiba, membuatku kembali terperanjat. Aku menoleh kearah gadis itu, dan baru ingat bahwa ia sudah meminta izin untuk membuka-buka folder fotoku dengan anggota milis menulisku beberapa tahun lalu itu.

“Yup..”

Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Nama Saka memang tak lagi mampu menarik perhatianku. Tak lagi mampu membuat darahku mempercepat alirannya, pun tak lagi membuatku berdebar sama seperti sebelumnya.

Teramat sakit, terkadang memang membuat kita menjadi terbiasa.

“Kok nggak bilang sih kalau dulu satu milis sama dia? Kan aku bisa nitip salam.. Terus, sekarang kalian masih saling kontak, nggak?”

Pia masih menyerocos. Bahkan seolah tak memberiku kesempatan untuk sekadar mengenang nama penulis yang satu itu.

“Udah nggak..”
 
“Dih, judes amat sih? Orang cuma nanya..”

Aku tak lagi mau ambil pusing dengan omelan Pia. Ini juga bukan kali pertama atau kedua aku mendapat omelan sama tiap kali aku bereaksi datar pada komentar-komentar temanku soal foto-fotoku dengan Saka.

Aku pun tak lagi ingin membuka cerita. Tak lagi ingin mengingat-ingat, bahkan meski sebenarnya aku juga tak pernah lupa.

Karena bagiku, mengetahui bahwa Saka sebenarnya adalah tunangan Anne, sudah cukup memberi penjelasan. Tak ada lagi yang perlu diteruskan, apalagi dikenang tentang laki-laki berkacamata itu.


Dan soal rindu yang tiap waktu muncul seolah candu itu... cukuplah ia jadi rahasiaku.