Ini tidak semudah awalnya. Tidak pula
segampang apa-apa yang pernah mereka katakan. Entah tentang pertemuan, pun
perpisahan yang menurutku hanya datang bergiliran. Menunggu antrian.
Hingga pada akhirnya namamu
terpanggil takdir. Menjadi salah satu manusia yang dikirim Tuhan untuk kukenali
wajahnya, untuk kuhafal lekat nama lengkapnya, untuk kuingat tanggal ulangtahun
dan makanan kesukaannya, untuk kucatat garis tawanya, dan tentu saja,
kurindukan keberadaannya.
Aku bahkan tak terlalu mengingat
pertemuan pertamamu dan aku. Tak begitu mengingat jelas warna baju apa yang kau
kenakan kala itu, entah biru, atau abu-abu. Aku bahkan tak begitu menyukai
caramu diam, dan tak begitu menaruh simpati pada caramu yang tenang menghadapi
apapun.
Namun Tuhan memang selalu punya cara
untuk membuat hamba-hambaNya yang sok tahu, menjadi tahu bahwa ia sok tahu.
“Apa alasanmu ikut grup menulis ini?”
Pertanyaan pertamamu ketika ternyata
kita dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi yang anggotanya hanya tiga
orang itu. Aku, kamu, dan seorang lagi perempuan ceriwis bernama Anne.
“Tentu saja karena aku ingin belajar
menulis..” jawabku asal. Bahkan tak begitu memperdulikan tatapanmu yang masih
terlihat ingin tahu.
“Tapi kulihat kamu sudah bisa
menulis..” kali ini kamu hanya menanggapi sembari menunjuk notesku dengan dagu.
“Mungkin maksudmu, menuliskan isi
pikiran, Nad?”
Anne ikut menyumbang suara. Mungkin setelah melihatku terlihat
tak begitu ingin menjawab. Yah, memang ada baiknya jika gadis itu ikut bicara,
jadi aku tak perlu terlibat obrolan garing dengan laki-laki berkacamata ini.
Aku mengangguk pelan sebagai
jawabnya.
“Oke. Sudah pernah buat kerangka
tulisan, Nad?”
Anne kembali mengambil alih
pembicaraan. Mungkin mencegah obrolan tak bermutu tercipta antara aku dan
laki-laki bernama Saka itu. Oya, aku bahkan sampai lupa memperkenalkan namanya.
***
Ingatanku berputar seolah video yang
menampilkan ingatan-ingatan sepotongku tentang laki-laki bernama Saka tadi.
Padahal aku sudah berusaha menutupnya rapat-rapat, berusaha melupa, bahkan
meski itu hanya terdengar sebagai sesuatu yang sia-sia. Ya, aku memang tak
bisa.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada
sebuah novel bersampul biru langit di hadapanku. Tercetak jelas di bagian
sampulnya, namaku di bawah judulnya.
Itu memang novel pertamaku. Novel
yang bahkan baru terbit disaat usiaku sudah dua puluh empat. Usia yang
terlambat, menurut Saka, mengingat bahwa aku sudah mulai menulis sejak masih
enam belas tahun. Namun lagi-lagi kutepis kenyataan itu, semua yang
mengantarkan ingatan tentang Saka memang tak pernah gagal membuat salah satu
bagian hatiku terasa nyeri.
Tak kupungkiri memang, novel itu
mungkin tak akan ada jika saja aku tak menuruti kata-katanya.
“Buat kerangkanya dulu, Nad. Jangan
terpaku pada hasil, pelan-pelan saja asal janjilah untuk menyelesaikan..”
Ucapnya di telepon, ketika
malam-malam aku menceritakan betapa mampetnya otakku. Entah kenapa, satu-satunya
nama yang terlintas saat itu memang hanya ia, dan kebetulan pula Saka tak
sedang sibuk.
“Sudah, Ka. Tapi bagaimana kalau membuat
kerangka saja aku sudah buntu?” keluhku sekali lagi.
“Mau liburan sejenak, nggak?”
Keningku berkerut. Tak mengerti pada
apa yang dimaksud Saka dengan liburan itu. Mungkinkah ia akan mengajakku
travelling? Mendadak pipiku mengahangat, membayangkan bagaimana jika hanya ada
aku dan Saka berdua. Karena selama ini yang terjadi adalah, kami hanya dekat
melalui telepon.
Tak sama dengan yang terjadi jika bertemu langsung.
“Liburan?”
“Ya, liburan. Travelling kemana,
gitu..”
Dan sejak saat itu, tak ada lagi canggung
yang sama antara aku dan Saka, bahkan meski kami harus bertemu langsung dan
bahkan mengerjakan tulisan kami bersama. Ya, bersama dan hanya berdua. Tanpa
Anne, pun anggota milis lain.
***
“Sakaaaaaaaaaa!!!”
Teriakku tanpa peduli sekitar, bahkan
meski saat itu Saka hanya berjarak dua meter dari hadapku.
“Kenapa teriak-teriak sih?”
Seperti
biasa Saka selalu tenang. Namun kali ini tak kulihat ia sibuk dengan laptop,
dan justru terlihat berkonsentrasi penuh pada ponsel hitam ditangannya.
“Minggu depan novelku
terbiiiiiiiiit!!!”
Aku menangis. Mungkin terlalu senang
karena akhirnya novel yang kukerjakan selama dua bulan itu terbit minggu depan.
Novel yang naskahnya sudah berdiam di laptopku selama hampir kurang lebih lima
tahun. Naskah tidur, itu julukan yang Saka buat tiap kali rasa malas
menghampiriku untuk tak buru-buru menyelesaikannya.
Dan tanpa aba-aba, Saka memelukku.
Cepat memang, namun apa yang diperbuatnya mendadak membuat aliran darahku
berhenti. Pipiku memanas tanpa sebab, sedang Saka, seperti biasa kembali
terlihat tenang seolah tak baru saja melakukan apa-apa.
“Selamat ya.. Tapi ingat, kamu nggak
selesai disini. Pe-er sesungguhnya adalah novel kedua dan berikut-berikutnya..”
Ucapnya sekali lagi.
Dan setelah itu, entah kenapa, aku
tak lagi antusias pada kabar-kabar mengenainya.
***
“Nad, ini kamu foto sama Saka
Canandra?”
Pertanyaan Pia yang tiba-tiba,
membuatku kembali terperanjat. Aku menoleh kearah gadis itu, dan baru ingat
bahwa ia sudah meminta izin untuk membuka-buka folder fotoku dengan anggota
milis menulisku beberapa tahun lalu itu.
“Yup..”
Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku.
Nama Saka memang tak lagi mampu menarik perhatianku. Tak lagi mampu membuat
darahku mempercepat alirannya, pun tak lagi membuatku berdebar sama seperti
sebelumnya.
Teramat sakit, terkadang memang
membuat kita menjadi terbiasa.
“Kok nggak bilang sih kalau dulu satu
milis sama dia? Kan aku bisa nitip salam.. Terus, sekarang kalian masih saling
kontak, nggak?”
Pia masih menyerocos. Bahkan seolah
tak memberiku kesempatan untuk sekadar mengenang nama penulis yang satu itu.
“Udah nggak..”
“Dih, judes amat sih? Orang cuma
nanya..”
Aku tak lagi mau ambil pusing dengan
omelan Pia. Ini juga bukan kali pertama atau kedua aku mendapat omelan sama
tiap kali aku bereaksi datar pada komentar-komentar temanku soal foto-fotoku
dengan Saka.
Aku pun tak lagi ingin membuka
cerita. Tak lagi ingin mengingat-ingat, bahkan meski sebenarnya aku juga tak
pernah lupa.
Karena bagiku, mengetahui bahwa Saka
sebenarnya adalah tunangan Anne, sudah cukup memberi penjelasan. Tak ada lagi
yang perlu diteruskan, apalagi dikenang tentang laki-laki berkacamata itu.
Dan soal rindu yang tiap waktu muncul
seolah candu itu... cukuplah ia jadi rahasiaku.