Ungkapan tanpa maksud yang kedua
kutuliskan untukmu, Tuan Mata Sipit yang Jahil.
Untukmu, tak
banyak juga yang bisa ku ungkapkan. Selain bagaimana begitu berpengaruhnya
keberadaanmu pada masa itu—tujuh tahun yang lalu juga.
Kedengarannya
agak kurang ajar memang, menyukai dua orang laki-laki dalam waktu yang hampir
bersamaan, namun sekali lagi kutegaskan. Bahwa saat itu perasaanku yang
terbentuk sama sekali tidak memiliki makna apapun selain sederhana. Sesederhana
setiap pertemuan demi pertemuan kita, kebetulan-demi kebetulan yang kunikmati
sendiri, dan berbagai kesempatan yang diam-diam kubawa mimpi, menembus batas
angan dan khayal seorang gadis kecil berusia dua belas tahun yang belum
mengenal dunia seutuhnya.
Saat itu aku tak
mengingat macam-macam sekaligus bagaimana rincinya tiap-tiap kebersamaan kita.
Yang kuingat hanya bagaimana jahilnya kau saat itu. Kau yang selalu banyak
bicara, sekaligus menggoda untuk sekedar memancing tawa, entah itu tawa
teman-teman kita sekelas ataukah khusus tawaku saja.
Aku tak banyak
mengenang tentangmu memang, hanya saja aku masih suka mengingatnya sampai
sekarang. Entah itu tentang kau yang suka mengolokku menggunakan nama ayahku,
ataukah tentangku yang saat itu kau tahu sedang menyukai laki-laki di tempat
kursus kita. Aku bahkan masih ingat bagaimana kesalnya aku saat kita masih
kelas empat, entah ucapan dan olokan macam apa yang kau ciptakan saat itu, yang
sampai membuatku benar-benar marah dan harus melemparkan buku diktat
Matematika-mu ke lantai kasar kelas kita, dan membuatnya rusak.
Mungkin saja kau
tak ingat lagi, tetapi aku masih.
Aku ingat juga
saat-saat yang membuatku berdebar tiap kali kau ada. Yakni saat sore hari,
dimana kita terlibat dalam satu kegiatan ekstrakurikuler yang sama (tak perlu
juga kusebutkan apa, tanyakan saja langsung padaku) saat itu. Dimana kau selalu
memilih tempat duduk yang dekat dengan tempat duduk ku, sekaligus meleluasakan
naluri jahilmu yang tak pernah habis.
Bahkan sampai
saat pertama, secara tak sengaja pipiku bersinggungan langsung dengan telapak
tanganmu, mengalirkan sebuah percikan yang tak ubahnya kembang api mendadak di
jantungku. Mengalirkan getaran aneh yang saat itu tak bisa kudefinisikan
bagaimana rasanya. Membuatku kelu mendadak.
Saat dimana kau
pernah menyanyikan lagu Dealova sambil (menurutku) menunjuk kearahku. Membuat kupu-kupu
liar di perutku mendadak beterbangan kemana-mana, mengalirkan rasa yang luar
biasa tak tersangkanya, oleh usiaku yang bahkan belum genap dua belas tahun
saat itu.
Tuan Mata Sipit
yang Jahil,
Aku tahu
sekarang bentuk hubungan kita telah mengalami perubahan yang aneh. Hanya saja,
ada hal yang sampai sekarang masih saja mengganjal di dalam pikirku,
menggantung di sangkaku yang masih saja membutuhkan jawabmu.
Kenapa kau
selalu terkesan menghindariku?
Seolah aku ini
musuh lamamu yang patut untuk kau hindari secara terang-terangan. Bagiku, kau
selalu menghindar, dan terkesan menganggap bahwa kita tidak pernah memiliki
sedikitpun kenangan manis masa kecil.
Kau tahu aku
sedih dengan sikapmu yang sekarang? Pasti tidak kan?
Aku hanya sedih,
karena kupikir kita masih bisa bersahabat layaknya dulu. Masih bisa saling
meledek saat bertemu, bukannya saling membuang tatapan mata.
Aku sedih karena
kupikir kau masih memandangku dengan cara yang sama seperti dulu, yaitu dengan
tatapan polos bercampur jahil yang membuat sekolah terasa lebih menyenangkan
dan hangat. Bukannya tatapan dingin yang menusuk tajam, seolah memberi doktrin
“bersalah” di tiap sorotnya.
Tuan Mata Sipit
yang Jahil,
Aku tak ingin
lagi berharap banyak padamu, ataupun pada bentuk hubungan timbal-balik kita yang
sekarang merumit. Karena kau juga perlu tahu, saat ini, atau lebih tepatnya
semenjak kelas tujuh SMP, aku sudah mempunyai seseorang lain di dalam hatiku,
yang kuberi perasaan yang juga berbeda dari perasaan yang kuberikan padamu kala
itu.
Aku hanya ingin
memastikan padamu bahwa kau tidak salah sangka. Aku hanya tak ingin membuatmu
membuat prasangka yang tidak-tidak dengan setiap tatapan mata yang kuberikan
padamu akhir-akhir ini. Aku ingin membuatmu mengerti, bahwa tatapan itu hanya
berarti persahabatan. Tidak lebih lagi.
Aku ingin
memberi tahumu lagi, bahwa semenjak lulus SD, aku bahkan tak lagi banyak-banyak
memikirkanmu. Maaf, aku tak bermaksud sombong. Aku hanya ingin menjelaskan
perbedaan antara menyombongkan diri dengan menjelaskan secara jujur padamu.
Tuan Mata Sipit
yang Jahil,
Aku sadar bahwa
kau bertumbuh dengan baik. Kau yang dulu hanya kupandang biasa—selain sebagai
seorang teman sebangku yang menyebalkan sekaligus paling kurindukan saat itu,
sekarang menjelma sebagai seorang pria yang lebih baik. Atau setidaknya, kau
memiliki karakter yang konsisten—mengutip komentar dari pelatih teaterku.
Saat ini, tak
banyak lagi yang bisa kuharapkan dari kita yang semakin dewasa. Tak banyak pula
yang bisa kuinginkan dari bentuk hubungan kita yang makin hari tak mengalami
perubahan yang berarti. Hubungan yang sebenarnya lebih kuinginkan sebagai
hubungan dua teman baik yang tidak pernah berfikir untuk saling membenci satu
sama lain. Hubungan dua orang teman baik yang senantiasa merasa bahwa mereka
membutuhkan satu sama lain—sekalipun masing-masing telah memiliki seseorang
yang sangat istimewa di hatinya.
Karena bagiku,
kau adalah satu-satunya teman laki-laki yang bisa membuatku merasakan perasaan
hangat dan segan dalam waktu yang bersamaan.
Sosok teman
laki-laki yang pernah kuanggap sebagai kakak laki-laki yang melindungi,
sekaligus tidak hentinya menjahili.
Kau juga
satu-satunya teman laki-laki yang ucapannya pernah kuturuti, yang candaannya
pernah kuingat-ingat, yang kemarahannya pernah kutakuti, dan bahkan yang
cerita-ceritanya pernah kudengar dengan senang hati.
Kuharap kau
mengerti benar maksudku kali ini. Karena aku benar-benar tak ingin
mengulanginya lagi. Aku hanya mengharapkan hubungan kita membaik pada hari
berikutnya setelah ini. Bukan sebagai sepasang kekasih memang, hanya saja
sebagai sepasang sabahat. Yang tidak pernah ingin membenci satu sama lain,
karena alasan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar