Kamis, November 29, 2012

Sebut tulisan ini sebagai surat (yang ku pastikan tak akan kau baca).


                Ungkapan tanpa maksud yang kedua kutuliskan untukmu, Tuan Mata Sipit yang Jahil.
Untukmu, tak banyak juga yang bisa ku ungkapkan. Selain bagaimana begitu berpengaruhnya keberadaanmu pada masa itu—tujuh tahun yang lalu juga. 

Kedengarannya agak kurang ajar memang, menyukai dua orang laki-laki dalam waktu yang hampir bersamaan, namun sekali lagi kutegaskan. Bahwa saat itu perasaanku yang terbentuk sama sekali tidak memiliki makna apapun selain sederhana. Sesederhana setiap pertemuan demi pertemuan kita, kebetulan-demi kebetulan yang kunikmati sendiri, dan berbagai kesempatan yang diam-diam kubawa mimpi, menembus batas angan dan khayal seorang gadis kecil berusia dua belas tahun yang belum mengenal dunia seutuhnya.

Saat itu aku tak mengingat macam-macam sekaligus bagaimana rincinya tiap-tiap kebersamaan kita. Yang kuingat hanya bagaimana jahilnya kau saat itu. Kau yang selalu banyak bicara, sekaligus menggoda untuk sekedar memancing tawa, entah itu tawa teman-teman kita sekelas ataukah khusus tawaku saja. 

Aku tak banyak mengenang tentangmu memang, hanya saja aku masih suka mengingatnya sampai sekarang. Entah itu tentang kau yang suka mengolokku menggunakan nama ayahku, ataukah tentangku yang saat itu kau tahu sedang menyukai laki-laki di tempat kursus kita. Aku bahkan masih ingat bagaimana kesalnya aku saat kita masih kelas empat, entah ucapan dan olokan macam apa yang kau ciptakan saat itu, yang sampai membuatku benar-benar marah dan harus melemparkan buku diktat Matematika-mu ke lantai kasar kelas kita, dan membuatnya rusak.

Mungkin saja kau tak ingat lagi, tetapi aku masih.

Aku ingat juga saat-saat yang membuatku berdebar tiap kali kau ada. Yakni saat sore hari, dimana kita terlibat dalam satu kegiatan ekstrakurikuler yang sama (tak perlu juga kusebutkan apa, tanyakan saja langsung padaku) saat itu. Dimana kau selalu memilih tempat duduk yang dekat dengan tempat duduk ku, sekaligus meleluasakan naluri jahilmu yang tak pernah habis.

Bahkan sampai saat pertama, secara tak sengaja pipiku bersinggungan langsung dengan telapak tanganmu, mengalirkan sebuah percikan yang tak ubahnya kembang api mendadak di jantungku. Mengalirkan getaran aneh yang saat itu tak bisa kudefinisikan bagaimana rasanya. Membuatku kelu mendadak.

Saat dimana kau pernah menyanyikan lagu Dealova sambil (menurutku) menunjuk kearahku. Membuat kupu-kupu liar di perutku mendadak beterbangan kemana-mana, mengalirkan rasa yang luar biasa tak tersangkanya, oleh usiaku yang bahkan belum genap dua belas tahun saat itu.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku tahu sekarang bentuk hubungan kita telah mengalami perubahan yang aneh. Hanya saja, ada hal yang sampai sekarang masih saja mengganjal di dalam pikirku, menggantung di sangkaku yang masih saja membutuhkan jawabmu. 

Kenapa kau selalu terkesan menghindariku?

Seolah aku ini musuh lamamu yang patut untuk kau hindari secara terang-terangan. Bagiku, kau selalu menghindar, dan terkesan menganggap bahwa kita tidak pernah memiliki sedikitpun kenangan manis masa kecil. 

Kau tahu aku sedih dengan sikapmu yang sekarang? Pasti tidak kan?

Aku hanya sedih, karena kupikir kita masih bisa bersahabat layaknya dulu. Masih bisa saling meledek saat bertemu, bukannya saling membuang tatapan mata. 

Aku sedih karena kupikir kau masih memandangku dengan cara yang sama seperti dulu, yaitu dengan tatapan polos bercampur jahil yang membuat sekolah terasa lebih menyenangkan dan hangat. Bukannya tatapan dingin yang menusuk tajam, seolah memberi doktrin “bersalah” di tiap sorotnya.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku tak ingin lagi berharap banyak padamu, ataupun pada bentuk hubungan timbal-balik kita yang sekarang merumit. Karena kau juga perlu tahu, saat ini, atau lebih tepatnya semenjak kelas tujuh SMP, aku sudah mempunyai seseorang lain di dalam hatiku, yang kuberi perasaan yang juga berbeda dari perasaan yang kuberikan padamu kala itu.

Aku hanya ingin memastikan padamu bahwa kau tidak salah sangka. Aku hanya tak ingin membuatmu membuat prasangka yang tidak-tidak dengan setiap tatapan mata yang kuberikan padamu akhir-akhir ini. Aku ingin membuatmu mengerti, bahwa tatapan itu hanya berarti persahabatan. Tidak lebih lagi.

Aku ingin memberi tahumu lagi, bahwa semenjak lulus SD, aku bahkan tak lagi banyak-banyak memikirkanmu. Maaf, aku tak bermaksud sombong. Aku hanya ingin menjelaskan perbedaan antara menyombongkan diri dengan menjelaskan secara jujur padamu.

Tuan Mata Sipit yang Jahil,
Aku sadar bahwa kau bertumbuh dengan baik. Kau yang dulu hanya kupandang biasa—selain sebagai seorang teman sebangku yang menyebalkan sekaligus paling kurindukan saat itu, sekarang menjelma sebagai seorang pria yang lebih baik. Atau setidaknya, kau memiliki karakter yang konsisten—mengutip komentar dari pelatih teaterku.

Saat ini, tak banyak lagi yang bisa kuharapkan dari kita yang semakin dewasa. Tak banyak pula yang bisa kuinginkan dari bentuk hubungan kita yang makin hari tak mengalami perubahan yang berarti. Hubungan yang sebenarnya lebih kuinginkan sebagai hubungan dua teman baik yang tidak pernah berfikir untuk saling membenci satu sama lain. Hubungan dua orang teman baik yang senantiasa merasa bahwa mereka membutuhkan satu sama lain—sekalipun masing-masing telah memiliki seseorang yang sangat istimewa di hatinya.

Karena bagiku, kau adalah satu-satunya teman laki-laki yang bisa membuatku merasakan perasaan hangat dan segan dalam waktu yang bersamaan.

Sosok teman laki-laki yang pernah kuanggap sebagai kakak laki-laki yang melindungi, sekaligus tidak hentinya menjahili.

Kau juga satu-satunya teman laki-laki yang ucapannya pernah kuturuti, yang candaannya pernah kuingat-ingat, yang kemarahannya pernah kutakuti, dan bahkan yang cerita-ceritanya pernah kudengar dengan senang hati.

Kuharap kau mengerti benar maksudku kali ini. Karena aku benar-benar tak ingin mengulanginya lagi. Aku hanya mengharapkan hubungan kita membaik pada hari berikutnya setelah ini. Bukan sebagai sepasang kekasih memang, hanya saja sebagai sepasang sabahat. Yang tidak pernah ingin membenci satu sama lain, karena alasan apapun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar