Terkadang
aku hanya tak cukup terima pada kenyataan.
Pada tiap-tiap kejadian yang
membuatku sampai pada bagian-bagiannya yang tak begitu kusukai.
Berjarak
denganmu, contohnya.
Jujur,
aku tak pernah benar-benar menyukai konsep berjarak itu sendiri.
Konsep yang
hanya indah untuk dibuat tulisan.
Konsep yang hanya manis untuk dipakai sebuah
cerita penuh kiasan.
Karena sekali lagi, berjarak denganmu bukanlah hal yang
seindah dan semanis itu buatku.
Katakan
saja aku tak cukup dewasa dengan protes sepihakku ini.
Sebut saja aku masih
kekanakan karena masih saja sering merindukanmu yang jauh. Merindukanmu yang
bahkan suara tawanya hanya mampu kureka-reka.
Merindukanmu yang tatap matanya
hanya sampai ingatanku saja.
Berjarak
sama sekali bukan konsep yang adil.
Sama sekali bukan konsep yang menghibur,
bahkan meski sebuah pesan singkat saja menjadi sebegitu berartinya.
Berjarak
hanya serupa umpama yang membuatmu betah berlama-berlama menatap layar ponsel.
Berharap pesan singkatnya muncul, berharap segera membalasnya, berharap ia
segera membacanya, berharap ia segera mengetikkan balasan yang sama.
Begitu
saja.
Berulang entah untuk hitungan hari yang sampai berapa.
Anggap
aku tak cukup bisa menerima keberjarakan kita hanya karena protes manjaku pada
kebiasaanmu yang membalas pesanku lebih lama.
Namun sungguh, jauh dibalik sikap
itu, aku tak pernah menuntut muluk-muluk.
Tak pernah memintamu melakukan yang
sekiranya berat untuk kau lakukan.
Karena sungguh, jauh dibalik sikap
menggangguku itu, aku hanya ingin memastikan satu hal.
Baikmu.
Hanya
itu.
Karena
sungguh, kalau aku boleh jujur dan berkomentar banyak tentang jarak kita.
Aku
yakin, seberapa banyak pun kertas tak akan muat menampung seluruh mauku.
Anggap
aku munafik hanya karena aku menyetujui keberjarakan kita.
Memasrahkan segala
yang kau lakukan disana pada kehendakmu.
Membiarkanmu menemui siapa saja yang
ingin kau temui tanpa repot-repot meminta ijinku.
Membebaskanmu melakukan apa
saja, sepanjang kau tahu, itu untuk baikmu. Memercayai seluruh ucapmu tanpa
perlu repot-repot mengeceknya satu-persatu.
Dan membiarkan diriku sendiri
menunggu kembalimu.
Sungguh,
aku masih belum bisa menyetujui konsep berjarak itu.
Belum sepenuhnya bisa
menerima bahwa untuk memandangmu langsung saja, aku perlu menunggu waktu.
Belum
sepenuhnya bisa menerima, bahwa hanya untuk menggenggam tanganmu saja, aku
perlu menunggu jarak kita melipat dirinya terlebih dulu.
Belum pula sepenuhnya
menerima, bahwa rinduku terkadang hanya mampu terbayar kelu.
Namun
sekali lagi, tenanglah Sayang.
Aku
masih bisa dengan pasti meyakinkan yakinku sendiri.
Bahwa hati ini masih
bersedia menunggu kepulanganmu.
Pun rindu yang membiru ini hanya akan utuh
menjadi milikmu.
Karena
sungguh, kalau saja tak ingat ada bahagiamu yang menjadi bahagiaku.
Tentu tak
akan kuiyakan dengan mudah keberjarakan kita saat ini.
Tulungagung,
27 April 2015 - 23:34 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar