Rabu, Februari 05, 2014

Desember, untuk kesekian kali.

25 Desember.

Kulingkari sekali lagi tanggal warna merah itu. Ini sudah ketiga kalinya aku membeli kalender.
Pertanda tiga tahun sudah kebiasaan melingkari tanggal yang juga merupakan hari natal itu kulakukan.
Kebiasaan yang tanpa permintaan.
Tanpa suruhan, dan dengan senang hati kulakukan.
Sekali lagi,
Tak ada yang ku rayakan secara khusus pada hari itu. Sama sekali tak ada, karena, yah.. aku Muslim.
Namun lagi-lagi aku berdebar.

Telepon berdering. Dan dengan lancangnya aku menebak, pasti kamu.
Maka sedikit terburu-buru aku mengangkatnya,
Dan benar saja, nama lengkap beserta foto penuh tawamu berkedip-kedip di layar ponselku.

"Hai, selamat tanggal 25 ya.."

Ucapmu datar. Yang bahkan membuatku bisa membayangkan bagaimana rupa wajahmu saat ini.
Pasti tanpa senyum. Seperti robot pada umumnya. Hehe, itu julukanku untukmu, memang.

"Belajar suara orang riang apa ceria gitu dong.."
Protesku yang langsung mendapatkan dengusan ketusmu.

"Apa kabarmu hari ini? Jangan bilang belum sarapan.."

Seketika tawaku lepas.

"Helloooooo.. Mana ada di kamusku sarapan jam 8 pagi, Tuan Robot.."

"Nah kan, manggil robot lagi.. Ubah dong kamusmu. Sarapan jam 7 pagi, minum susu kalau bisa, tambah vitamin lebih bagus.."

Aku merengut kecil. Biar, toh kamu tak tahu.

"Iyaaaaaaa.. Mentang-mentang tinggal bareng dokter jadi ketularan deh.."

Kali ini kamu yang tertawa.
Membuat hatiku menghangat tanpa sebab.
Aku selalu menyukai suara tawamu yang sumbang dan sedikit menggelegar itu.
Lebih menyukai jika tawamu itu muncul akibat ucapan atau tingkahku.
Aku menyukainya. Sangat.

"Pulang nggak?"

Tanyaku lagi-lagi membentur diammu.

"Kok diam, Ngga?"

"Maaf, Kai.."

Kali ini aku diam. Sudah tahu kemana arah pembicaraan ini akan dibawa.

"Betah banget ya di Belanda?"

"Udahlah Kaila, jangan mancing pertengkaran lagi.."

"Angga, aku nggak mancing. Kamu yang dikit-dikit kepancing!"

Lagi-lagi obrolan hangat kita tercemar oleh pertengkaran macam itu.
Dan untuknya, aku hanya mampu menyalahkan satu hal.

Jarak.
Dan tentu saja,
Rinduku yang tak pernah mau tahu.
Entah kamu.

"Studi-ku masih perlu banyak perhatian, Kai.. Kamu bilang kamu bisa ngerti itu, kan?"

Kamu selalu begitu, Ngga. Memaksaku mengingat janjiku sendiri.
Yang bahkan aku sendiri tak yakin mampu menepatinya atau tidak.

"Aku tahu kok.. Bukan sekali ini juga kamu nagih janjiku untuk ngertiin kamu.."

Ketusku mulai muncul.

"Ah, udahlah Kai.. I'll talk to you later. I have something to do.."

Dan tak seperti biasanya. Kamu menutup telepon dalam keadaan kita yang belum membaik.

Sekali lagi kulirik tanggal 25 Desember itu.

Hari ini, tiga tahun lalu kamu kembali, Ngga.

Setelah 8 tahun kamu meyakinkan diri untuk mencariku. Yang jelas-jelas masih selalu menunggumu, bahkan sejak sebelum aku tahu bagaimana itu menunggu.

Hari ini, tiga tahun lalu kamu memintaku untuk tak lagi menunggu.

Memintaku untuk berhenti mengharapkan kamu.

Karena kamu tak mau lagi ditunggu.
Kamu tak mau lagi jadi harapku.
Karena kamu benar-benar datang.
Dan benar-benar ada untuk menjadikan seluruh harap itu nyata.

"Aku sayang kamu, Kaila.."

Ucapmu lirih tiga tahun lalu. Di depan fakultasmu.
Tepat setelah kamu lulus dari perguruan tinggi itu.

"Jangan menungguku lagi karena aku akan datang. Dan jangan mengharapkanku karena aku akan mewujudkan.."

Aku tersenyum lebar.
Kamu tertawa.
Aku pelan menganggukkan kepala.
Dan sambil malu setengah ragu, kamu menggenggam dua belah tanganku.
Hangat.

"Aku mau ambil studi di Belanda ya, Kai.."

Ucapmu Desember berikutnya.

"Tapi kerjaanmu di Jakarta gimana?"

Ucapku setengah khawatir.
Setengah pada pekerjaanmu.
Setengah pada perasaanku.

"Terpaksa ditinggal dulu. Kan cuma 3 tahun.."

Ucapmu pelan.
Dan aku tahu maksudmu.

"Kamu lebih tahu mana yang baik buatmu, Angga.. Silakan kalau itu maumu.."

Setelah itu kamu menghamburkan peluk untukku.
Kulihat kamu bahagia.
Dan aku (mencoba ikut terlihat) bahagia.

"Mbaaaaaaaak.."

Lamunanku terhenti tepat ketika suara cempreng Rega, adikku memanggil.
"Apa sih?"

Aku kembali merengut ketika kulihat anak itu sudah berada di kamarku. Dandanannya sudah rapi, mungkin akan berangkat kuliah.

"Ada mas Angga tuh diluar.."

Aku pura-pura tuli. Anak itu memang selalu bertingkah menyebalkan seperti itu tiap kali tahu jika Angga tak jadi pulang pada liburannya.

"Bodo amat!"
Sahutku galak.

"Oh jadi sekarang aku di bodo amat-in gini..."

Seketika jantungku mempercepat detaknya.
Refleks aku menoleh dan mendapati pemilik suara sumbang datar itu tersenyum simpul sambil menyandarkan sebelah bahunya di pintu kamarku.

Tuhan, itu benar Angga?

"Iya, Angga Putra Pratama, pacarmu yang nyebelin dan kaku kaya' robot dan nggak pulang-pulang dari Belanda itu lho.."

Kamu kembali bersuara. Seolah mampu membaca pikiranku.

Seketika kuhamburkan peluk untuk Angga.
Ia membalasnya sama.

"Aku juga kangen kamu, Cilik.."

Hatiku penuh.
Tuhan, ini sudah cukup.

Ya, cukup Angga. Dan aku tak lagi minta siapa-siapa yang lebih apa-apa lagi.


"Buruan siap-siap, nanti malam keluargaku mau lamaran kesini, Kai.."

Bisikmu pelan ketika peluk itu merenggang.

Aku kembali tersenyum.

Kali ini tanpa ragu. Tanpa memalu.
Sedang kamu masih menggenggam dua tanganku.

Masih hangat.

Aku mengangguk.

Menerima.



Sepertinya, setelah ini lingkaran pada tanggal 25 Desember akan terus berlanjut.
Dan meski sebenarnya tidak,
Aku merasa ini sempurna.


*fiksi*
Pare, 5 Feb 2014
23 : 33 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar