Jumat, Februari 07, 2014

Pernah jatuh cinta?

Pernah jatuh cinta, tidak?

Sekali lagi kubaca tulisan di salah satu lembar notesku itu. Tulisan yang bahkan aku sendiri tak sadar, kapan aku pernah menulisnya.
Namun yang jelas, aku masih ingat tentang alasan kenapa aku menulisnya.

Ini lagi-lagi tentangmu. Yang selalu berbeda pendapat denganku.
Yang selalu mengajakku berdebat, lalu menutupnya dengan diam.

Aku pernah jatuh cinta.

Kamu pun juga.

Namun kita selalu berbeda. Bahkan meski sama-sama sedang jatuh cinta.

Ketika jatuh cinta, aku belajar menjaga.
Kamu tidak.

Ketika jatuh cinta, aku belajar merendahkan ego.
Kamu tidak.

Dan ketika jatuh cinta, aku lebih suka menatap dari dekat.
Dan kamu masih saja tidak.

Aku bosan terus-menerus berbeda.
Bosan, terus-menerus tak sama dengan apa-apa yang ada dalam pikirmu.

"Kalau bisa beda, kenapa harus sama, sih?"
Ucapmu ringan waktu itu. Terhalang seratus lima puluh kilo meter, saat itu.

"Terserah kamu, lah.."
Ucapku sebagai jawabannya.
Menyerah.

Aku heran, entah padamu, atau pada besarnya egomu.
Namun lebih heran lagi, karena kamu bilang itu akibat egoku.
Bagaimana bisa?

Kamu yang tak pernah mau menemuiku lama-lama.
Kamu yang hampir tak pernah mengirimkan pesan selamat pagi, selamat makan, atau bahkan selamat tidur.
Kamu yang bahkan hampir tak pernah mengucap cinta. Sekali pun.

Kamu yang lebih suka mengajariku hal-hal yang tak kutahu.
Lebih suka menyuruhku belajar memasak.
Memarahiku tiap kali penyakit manjaku kambuh.
Yang semena-mena menyuruhku tak sampai terlambat makan.
Dan selalu mengingatkan untuk tak lupa minum vitamin agar alergiku tak mudah muncul.

Kamu yang kaku.
Namun hampir tak pernah lupa bagaimana cara membuatku tertawa hingga sakit perut.

Yang jarang memberi kabar.
Namun lebih suka muncul langsung dan memperlihatkan bahwa kamu lebih dari sekadar "baik-baik saja"

Kamu, yang selalu mengganti pertanyaan "sudah makan?", dengan kalimat "cepet turun dari kantor, kita makan dulu.."
Yang hampir tidak pernah menelepon di malam hari sebelum tidur, dengan alasan sederhana, namun konyol menurut telingaku.
"Biar kamu cepet tidur dan nggak usah ngelamunin macam-macam sebelumnya.."

Alasan apa itu?

Berkali-kali aku memprotes sikap kaku-mu.
Menuntut lebih, walau tak satupun ocehanku benar-benar kamu perhatikan.

"Aku capek.."
Ucapku pada akhirnya. Waktu itu kamu memaksaku untuk ikut makan rawon kesukaanmu.
Padahal jelas-jelas kamu tahu, aku tak pernah suka makanan itu.
Ibuku saja tak pernah memaksaku memakannya. Tapi kamu?

"Namanya juga kerja. Kalau mau nggak capek ya di rumah aja.."
Jawabanmu sekali lagi membuatku mendelik kesal.
Tak ada romantisnya sama sekali. Heran..

"Kamu ya.."

Sekali lagi kamu menoleh. Dan sebalnya, wajahmu benar-benar menunjukkan ketidaktahuan sama sekali.

"Lho, gimana sih, Rin?"

"Aku capeknya sama kamu, Bintang. Bukan sama kerjaanku.."

Kamu menghentikan kunyahanmu.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihatmu benar-benar serius menanggapi mauku.

"Aku kenapa?"

"Kamu kaku. Nggak bisa luwes. Nggak bisa ngertiin mauku. Nggak mau denger pendapat-pendapatku.."

Tawamu lepas. Lalu kamu buru-buru menyudahinya tepat ketika delikan mataku semakin lebar.

"Lalu maunya kamu apa?"

"Mauku? Mauku itu kamu belajar ngertiin aku. Mau belajar toleransi sama pendapat-pendapatku. Mau belajar bersikap layaknya orang yang sayang gitu lah.. Bukannya justru maksa-maksa aku makan rawon kaya' gini.."

Ucapku semakin sebal. Yang bahkan justru membuat garis tawa di wajahmu semakin terlihat.

"Jadi kamu marah karena aku minta kamu makan rawon?"

"Bukan cuma itu. Aku marah karena kamu nggak pernah kirim ucapan selamat pagi, selamat makan, sama selamat tidur. Karena kamu selalu nyuruh aku belajar masak. Karena kamu nggak pernah telepon aku lebih dari lima menit. Karena kamu.. Ah, nggak tau lagi, saking banyaknya!"

Kamu masih terlihat tenang, bahkan meski sudah melihat wajahku yang memerah menahan tangis.

"Oh.."
Cuma itu jawabanmu?

"Sekarang aku tanya, yang selalu ngajak makan duluan siapa? Yang selalu telepon duluan tiap hari siapa? Yang lebih ingat soal alergimu siapa?"

Hanya dari tiga pertanyaan itu, aku sudah mampu menyimpulkan jawabannya.

"Kamu.."

"Lagi, siapa yang selalu bilang terserah tiap kali ditanyain mau makan apa? Siapa yang bilang kalau pekerjaannya sebagai seorang reporter nggak memungkinkan untuk bisa telepon tiap waktu? Satu lagi, siapa yang hampir selalu ngeyel makan telur walaupun udah tau punya alergi?"

Kali ini aku diam.
Tahu bahwa jawabannya adalah namaku sendiri.

"Kita bukan ABG lagi, Rin. Bukan remaja kemarin sore yang harus dikit-dikit pamer kabar ke pasangan. Kita juga nggak perlu saling tunjuk tangan buat bilang cinta atau sayang. Aku sayang sama kamu, cukup. Selebihnya biar cara kita masing-masing yang menunjukkan. Kita nggak cukup bodoh untuk tahu soal itu, kok.."

Sekali lagi kamu tersenyum singkat.

Namun kali ini, seperti biasa perdebatan menang di tanganmu.

Namun kali ini juga, aku menerima semua pendapatmu tanpa punya penyangkalan lagi.

Kamu benar.

Kita boleh berbeda bahkan meski punya perasaan yang sama.

Karena apa guna diciptakan kata sempurna, jika tak muncul dari melengkapi apa-apa yang alpa?

Pare, 6 Februari 2014

1 komentar: