Sabtu, Februari 09, 2013

Cerita di Depan Rumah Seorang Dokter Bedah

Beberapa hari ini saya selalu gagal menulis, bukan karena tidak ada ide yang mampir ke otak, tetapi lebih karena ide-ide itu kalah saing dengan beberapa hal yang sejak enam bulan lalu praktis telah menjadi satu-satunya fokus utama saya ; kelulusan SMA

Tetapi kali ini, ditengah perasaan saya yang masih saja berantakan karena pilihan  universitas dan program studi, dan di tengah perut yang teramat lapar karena saya gengsi untuk mengemukakan rasa lapar ini, saya mencoba menulis (LAGI)




Dari kejauhan, mata gadis itu mendapati rumah besar milik salah sorang dokter ahli bedah terkenal di kotanya itu, terlihat sedang riuh oleh orang-orang  yang berlalu lalang. Dengan mobil-mobil mewah berjajar rapi serupa pagar betis yang terparkir rapi di pinggir jalan yang merupakan satu-satunya akses penghubung ke sekolah gadis itu.
Oh ya, nama gadis itu Renata.

Matanya sedari tadi sama sekali tidak lepas mengamati kelebatan orang-orang berpakaian resmi di dalam bangunan klasik rumah dokter itu. Sementara langkah kakinya sengaja ia lambatkan, mengingat bahwa pagi ini sudah menjadi pagi yang teramat terlambat baginya untuk mengikuti tambahan pelajaran Matematika. Maka untuk menunggu bel sekolahnya mengisyaratkan siswa-nya untuk masuk kelas, ia memilih menikmati suasana pernikahan mewah si putri dokter ahli bedah tadi.

Ia hampir sampai di depan zebra cross yang mengubungkan gerbang sekolahnya dengan tempatnya berdiri sekarang, saat matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang berdiri tepat di depan gerbang kokoh berwarna keemasan itu.

Sosok tinggi itu terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya, mengabaikan keramaian di belakangnya, dan tentu saja pandangan mata Renata.

Tetapi Renata masih tidak ingin menyerah mendapati pengabaian jelas yang tergambar di depannya kali itu, gadis itu tetap memusatkan tatapannya ke arah laki-laki jangkung berkemeja abu-abu kecokelatan itu. Sampai akhirnya detik itu datang juga, laki-laki itu menoleh kearah Renata. Membalas seluruh pandangan mata gadis itu dengan sama lekatnya.

Dan satu-satunya hal yang paling diharapkan Renata pada detik itu hanyalah supaya laki-laki itu bisa mengingatnya. Atau setidaknya, ia hanya berharap laki-laki itu merasa bahwa mereka pernah saling bertemu sebelumnya. Meski dengan harapan seperti itu hanya membuat Renata merasa semakin bodoh, tetapi gadis itu tidak peduli.

Ia tetap menikmati pandangannya yang saling terkunci dengan laki-laki jangkung berkulit langsat itu. Sekaligus diam-diam memutar semua kilas balik pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu, satu bulan lebih lima hari yang lalu.

"Ma, tahu anak laki-laki yang barusan turun tadi?" Renata yang sedang berusaha menenangkan gemuruh jantungnya sendiri, memberanikan diri untuk bertanya pada ibunya. Sesaat setelah seseorang dengan kemeja abu-abu melewati tempat duduknya di bus pariwisata itu.

"Kenapa?"
Ibunya, yang pada dasarnya adalah orang yang cukup cuek dengan sekelilingnya mendadak mengubah perhatiannya kepada anak gadisnya yang pipinya terlihat lebih memerah dari biasanya itu.

"Wajahnya mirip Mas Bara," senyum malu-malu Renata terkembang. Biar saja kali ini ia mengakui perasaannya terlebih dulu pada ibunya.

Ibunya mencibir, "Kamu sih lihat pohon itu mungkin juga bakalan bilang mirip Bara.." Renata terbahak. Ibunya tahu betul ternyata. Dibalik semua aspek mengagumkan pada sosok laki-laki yang baru dibicarakannya tadi, tetap terselip bayangan Bara, laki-laki yang pertama kali menyelinap diam-diam di dalam hatinya. Menjelma sebagai sosok yang diberinya judul ; Cinta Pertama.

Renata kembali memeluk teddy bear merah miliknya. Membenamkan sebagian wajahnya lantas memasang earphone-nya dan membiarkan lagu Perahu Kertas milik Maudy Ayunda mengalun tanpa henti sore itu. Sekaligus memberinya kesempatan untuk kembali mengenang sosok laki-laki berkemeja abu-abu, teman satu rombongannya di pariwisata Jakarta-Bandung awal Januari 2013 itu.

"ku bahagia..kau telah terlahir di dunia..
dan kau ada.. diantara milyaran manusia..
dan ku bisa..
dengan radar-ku,
menemukanmu..."

Tiba-tiba Renata merasakan pipinya basah. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba hatinya merasa perih. Seolah sedang kehilangan. Padahal ia hanya sedang "tidak mendapati sosok laki-laki yang hampir selama tiga hari itu dilihatnya". Ia sendiri kebingungan, bagaimana perasaannya bisa tumbuh secepat itu? Bahkan mengingat bahwa di dalam pertemuan singkat itu ia tak pernah saling menyapa, tak pernah juga saling memberitahu nama, tetapi, bagaimana ia bisa merasa se-kehilangan itu saat laki-laki tadi memutuskan untuk mengakhiri perjalannya dan turun di Purwokerto??

Renata masih terpaku di dalam bening mata laki-laki di depan gerbang rumah dokter ahli bedah itu. Terjebak kembali di dalam pesona magis yang selama satu bulan lebih lima hari ini ia abaikan. 
Ia tahu, kali ini semesta sedang memihakkan keberuntungan di depan matanya, hanya saja ia masih belum tahu bagaimana cara mengambil keberuntungan itu.

Tiba-tiba saja laki-laki itu tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
Laki-laki itu ternyata masih mengingatnya.
Renata balas tersenyum, lantas ikut mengangguk pada laki-laki yang saat iu hanya berjarak kurang lebih satu meter darinya.
Renata semakin mendekat kepada laki-laki itu, namun satu-satunya yang terlintas dalam pikirannya hanya rasa bahagia. Tak ada judul lain selain itu.

Namun semua pekiraannya runtuh seketika saat laki-laki itu mendadak mencegat langkahnya, lantas dengan cepat mengulurkan secarik kertas berwarna biru ke arahnya.

"Sebenarnya dari dulu aku mau ngasih ini, tapi terserah kamu menanggapi ini seperti apa. Tetapi, aku senang melihatmu lagi, Renata.."
Laki-laki itu kembali mengulaskan senyumnya. Yang selama satu bulan lebih lima hari ini lebih sering mengganggu pikiran sekaligus kerja otaknya. Sekaligus mulai mengalihkannya dari Bara, yang hampir selama enam tahun ini bercokol di dalam ingatan sekaligus lamunannya.

Senyum Renata kembali terkembang. Kali ini ia tahu betul bagaimana rasa bahagia itu sesederhana apa.

Tetapi sedetik kemudian otaknya justru kembali berfungsi dengan baik. Membuatnya kembali ingat bahwa ia harus segera menyeberangi zebra cross di depannya. Sekaligus menyadari bahwa hukuman keliling lapangan sudah menantinya di depan mata, mengingatkan tentang kesengajannya mengabaikan dentang bel sekolah lima menit yang lalu.

Sekilas, Renata menatap kertas biru berisi deret angka-angka asing itu. 
Bibirnya kembali tersenyum.
Hangat.




Ditulis oleh Nindya. 9 Februari 2013 pukul 1:07 AM
Untuk seorang calon dokter bernama Hasan 
:") 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar