Selasa, Oktober 16, 2012

Tembok hidup yang punya nama = Kau


Pada satu diantara jutaan detik yang ku miliki, aku memilih kembali untuk mengajakmu. 
Menyusuri kenangan satu demi satu. 
Lantas pelan-pelan merapikannya, biarpun hanya berbentuk kepingan.
Dan sekali lagi, kau hanya membiarkanku berjalan sendiri. 
Membiarkanku merapikan kenangan itu tanpa bantuanmu sedikitpun.
Aku memanggilmu satu kali, menunggu sampai kau menoleh, dan tak ada jawaban. 
Dua kali aku memanggilmu, kau masih saja meneruskan langkah panjangmu, seperti tidak mendengar pantulan suaraku,
Aku kembali memanggilmu sampai aku sendiri lupa, sudah berapa kali ku gaungkan namamu, yang lagi-lagi tanpa balas jawab,


Lantas, aku harus memanggilmu dengan cara bagaimana lagi? 
Harus dengan panggilan apa lagi? 
Harus dengan alasan apa lagi untuk membuatmu tahu bahwa kau sedang ku panggil?



“aku sibuk,” 
itu pesan  terakhirmu, yang kau tinggalkan  setelah makan siang kemarin ,

Aku berusaha keras untuk memahami maksudnya, mencerna dua kata itu berulang kali, sambil terus mengulang-ulang percakapan akrab kita di dalam ingatan. 

Sibuk.

Hanya itu penjelasanmu, sibuk dengan diammu, dan  dengan  segala urusanmu yang tidak pernah bisa ku 
 pahami.

Lantas bagaimana denganku? 
Apa menurutmu aku juga tidak sibuk? 
Sampai-sampai kau berkata seolah hanya kau satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh sibuk? 
Apakah kesibukanmu itu juga mengajarkanmu untuk tidak memperdulikan kesibukan orang lain juga?


Sekali lagi, kau hanya tersenyum mendengar serentetan pertanyaanku tadi,

 “aku juga tahu bahwa kau sibuk, aku juga bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh sibuk, dan kesibukanku juga tidak pernah mengajarkanku untuk tidak peduli pada kesibukan orang lain. Tetapi, kesibukanku kali ini telah menciptakan dunia baru untukku, dunia yang mungkin akan  menjadi asing bagimu, kau paham?”

Kalimatmu mengalir begitu lancar, tetapi senyummu kembali mengguratkan isyarat.

“aku selalu berusaha untuk paham” 
kau hanya tersenyum lebar mendengar jawabanku. 

Aku kembali tertegun, seolah mencari kejujuran  di kedua matamu , dan  aku tidak mendapati apa-apa disana. 
 Matamu selalu menjadi sungai rahasia yang tak pernah usai ku selami.

“denganmu, aku selalu merasa seperti bicara dengan tembok”
 kalimat getas yang ku ucapkan padamu ternyata sama sekali tidak bisa menyentuhmu, kau hanya tertawa, 

“berarti aku adalah tembok tertampan di dunia,” kau kembali bercanda, membuatku enggan untuk bicara kembali.

Sampai akhirnya kali itu pembicaraan kita kembali terhenti begitu saja, tanpa pernah ada akhir yang jelas.

Dasar tembok.
Tak mengerti juga kau rupanya.
Kau bisa mendengar, tetapi tidak pernah mau menjawab. 
Kau bisa melihat, tetapi tak pernah sekalipun kau memberikan pendapat. 
Kau punya perasaan, namun untuk yang satu itu, aku ragu bahwa kau bisa menggunakannya.
Kau,                                                                        
Aku seperti bicara dengan tembok hidup tiap kali berhadapan denganmu. 
Tembok yang punya nama, 
tembok yang bisa berjalan, 
tembok yang sering mengantuk, 
tembok yang suka dan pandai melukis, 
tembok yang tak pernah basa-basi,

Kau,
Seperti tembok yang bisa mendengar, melihat, dan bahkan merasakan.

Tetapi tembok, sekalipun diteriaki macam-macam, 
sekalipun dibisiki dengan suara sekeras apapun, 
tetap saja sebuah tembok, 
yang entah sampai kapan tidak pernah mau menjawab.

Tembok yang tetap berdiri pada tempatnya didirikan, 
yang hanya akan mendengar tanpa balas meneriakkan jawabannya, 
yang melihat tanpa balas menunjukkan maunya, 
yang merasakan tanpa pernah tahu, 
bagaimana caranya untuk belajar memahami..


Untukmu, tembok hidup yang namanya selalu ku sembunyikan.
Oktober, 16, 2012 00:25 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar