Pada sebuah ruang tunggu aku memilih untuk menjadi
salah satu penghuninya. Memasukinya tanpa ragu, dan berharap di dalamnya aku
benar-benar akan, dan bisa menemukan apa yang selama ini ku tunggui tanpa
bosan.
Satu jam bergulir cepat. Tidak terasa sedikitpun
punggung-ku yang sebenarnya mulai nyeri. Entah itu benar-benar nyeri yang
diakibatkan oleh lamanya dudukku. Ataukah justru nyeri karena apa yang berada
di dalam hatiku merembes sampai kesitu.
Aku masih berada disitu. Di sebuah ruang tunggu yang
aku sendiri tidak tahu, sampai kapan akau diperbolehkan duduk disitu.
Menunggu.
Dua jam-ku habis tanpa benar-benar terasa.
Kutolehkan kepalaku, berharap dengan begitu nyeri di leherku akan sedikit
berkurang. Waktu menunggu-ku benar-benar mulai sedikit mengganggu. Lantas aku
memohon ampun di dalam hati. Menegaskan sekali lagi pada hatiku bahwa saat ini
aku sedang menunggu, bukan menghitungi jumlah bilangan di depan jam tadi.
Tetapi masa menungguku mulai terusik. Banyak hal
indah yang entah sengaja atau tidak, silih berganti melewati tempat duduk-ku.
Seolah sedang mengejekku dan ingin menampakkan dirinya di depan mataku.
Mengacaukan waktu tungguku yang mulai memasuki bilangan tiga.
Aku terjeda.
Seseorang memanggilku untuk mendekat. Dan malangnya,
kami adalah sahabat akrab sejak dulu, yang akhir-akhir ini harus terpisah jarak
karena saling sibuk menenun gulungan mimpinya di lain tempat. Lain dimensi.
Kami mengobrol sebentar. Eh, bukan sebentar,
melainkan hampir dua jam penuh. Membuat waktu tunggu-ku bertambah menjadi lima.
Ah, aku kembali menghitungi lagi rupanya..
Sekali lagi. Aku memberikan waktu yang sama untuk
berada di ruang tunggu itu lebih lama lagi.
Sedangkan sahabatku tadi, memutuskan untuk ikut
duduk disampingku. Menemani, sekaligus berharap bisa melanjutkan ceritanya
tentang kota-kota di Jawa Timur yang pernah dijelajahinya tanpa ampun itu.
Dan aku, sekali lagi hanya bisa diam sebagai
pendengar. Atau sesekali menimpalinya dengan anggukan, atau gelengan. Atau bisa
ditambah dengan sedikit ceritaku tentang awal mula keberadaanku di ruang tunggu
ini.
“mau sampai berapa jam disini?” kalimatnya terdengar
halus, tetapi berkesan mengintimidasi.
“entahlah. Sampai ia datang tentunya..” jawabanku
mengalir lancar seperti biasanya. Bukan sekali atau dua kali aku ditanyai
semacam ini.
“kamu tahu diluar sedang ada karnaval daerah?”
sekali lagi ia bertanya.
“benarkah? Aku suka sekali melihat karnaval, tahu?”
mataku membulat sempurna mendengar kalimatnya barusan. Ia harus tahu, aku suka
sekali karnaval. Suka sekali melihat keramaian itu beredar sempurna. Penuh
warna sekaligus tawa yang seolah tidak sedang ada ujungnya.
“tapi terlambat. Acaranya sudah selesai dua jam yang
lalu. Pas ketika aku masuk kesini dan bertemu denganmu..” jawabannya datar,
seolah tidak sadar jika jawaban datar itu mengalirkan raut kesedihan yang
begitu mendalam. Hanya cermin yang mampu melihatnya dari mataku.
“kamu juga tidak tahu bahwa ruang tunggu ini kedap
suara?” tanyanya sekali lagi. Membuat gendang telingaku seolah ditulikan
sejenak.
Sejak kapan ruang tunggu kesukaanku ini berubah
kedap suara?
“itu yang membuatku tidak pernah suka berada disini.
Hal yang baru kutahu sangat kamu sukai..” ia berkata tajam, seolah ingin
menyindirku secara halus. Namun tanpa sadar, intonasinya yang sinis itu bahkan sudah
berhasil menamparku keras.
Aku menangis dalam diam. Di dalam pelukannya yang
sehangat matahari pukul tujuh pagi. Telapak tangannya membungkus tanganku yang
menggigil.
“aku akan mengajakmu pulang.. Dan tak akan kubiarkan
sekalipun kamu memasuki ruang ini tanpa aku” kata-katanya menegas di ujung
kalimat. Membuat tubuhku, kepalaku, jiwaku, terasa ringan meski sesaat.
“bawa aku pulang, dan jangan ajak aku kembali
lagi..” mohonku dengan air mata yang masih mengalir. Menganak sungai walaupun
ia terus menyekanya tanpa canggung.
“ruang tunggu ini pasti akan kita masuki kembali.
Karena tidak akan pernah ada kedatangan, jika kita tidak mau berpisah dan
kembali menunggu..” ucapnya pelan. Kali ini dengan senyum malaikatnya.
Lantas pelan-pelan dibimbingnya aku untuk keluar
dari ruang tunggu itu. Sekali lagi ia menatap mataku, tepat di kedua bola-nya.
Seketika aku tahu, ia tidak berdusta. Dan aku selalu percaya dengannya.
Selalu begitu, berulang setiap kali tanpa sadar aku
menarik tubuhku kembali kesini.
Di sebuah ruang tunggu yang kedap suara. Dimana aku
selalu menunggu, tanpa bosan. Tanpa hitungan bilangan. Tanpa kepastian jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar