Kuperhatikan sekali
lagi semut yang sedang berbaris di dekat kaki, yang meneruskan langkah seolah
tanpa dosa karena beberapa dari mereka baru saja menggigit tumit sampai
pergelangan kaki-ku. Sedangkan dua lainnya baru saja ku enyahkan dari sela-sela
jari, sambil sedikit meringis karena panas yang ditimbulkan akibat gigitan
makhluk mungil itu.
Beberapa menit kemudian
pikiranku kembali melantur. Semut itu pasti terusik karena aku menghalangi
barisan rapi mereka menuju remah roti yang berceceran akibat keponakan kecil-ku
tadi. Seketika aku tersenyum. Entah hangat, ataukah justru miris. Sedikit
menahan nyeri yang justru baru terasa setelah bermenit-menit sejak digigit
semut tadi.
Dan itu jelas bukan
karena gigitan semut. Aku yakin sekali
***
Ia melewatiku begitu
saja, tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun, juga tanpa mengalihkan tatapannya
dari buku tebal yang sedari tadi menutup sebagian pandangnya. Hatiku mencelos.
Sekecil apakah aku
hingga tak tampak di kedua matanya, yang bahkan sudah tertutup kacamata minus
dua itu. Ataukah, sebegitu transparannya penampakan-ku sampai ia bisa melewati
dudukku tanpa mau meluangkan sejenak tatapannya, bahkan meski hanya untuk
mencatatkan keberadaanku.
Sekali lagi, kutelan
kecewaku dalam-dalam. Keleburkan sekali lagi harapan yang sempat timbul,
tentang sapa ramahnya yang dulu pernah menjadi milikku. Entah seutuhnya,
ataukah hanya sebagian kecilnya. Aku tak lagi peduli soal itu.
Aku hanya ingin ia
melihatku. Lagi. Sekali lagi.
***
Kali ini kuputuskan
untuk beristirahat sejenak di perpustakaan sekolah. Tempat yang paling
disukainya diantara tempat-tempat lain yang juga disukainya disini. Tak munafik
memang, aku berharap bisa menemukan sosoknya disitu. Dengan wajah tenangnya,
menghadap sebuah buku, atau mungkin sedang menulisi buku jurnal pribadinya,
atau bahkan mungkin sedang melamun sambil menatap jendela.
Kebiasaan-kebiasaannya yang hampir selalu kucatat tiap kali kami berdua
menghabiskan waktu di tempat tenang itu.
Dan aku beruntung.
Ia sedang duduk
sendirian, seperti biasa. Kali ini sambil menghadap laptop putihnya dan dengan
jari-jari nya yang sibuk mengetik diatas keyboard. Ia kelihatan tak terusik
dengan kedatanganku, juga tak terusik dengan keributan yang ditimbulkan kelas
di depan perpustakaan.
Ia selalu punya dunia
sendiri. Dan dulu, aku-lah satu-satunya orang yang bisa menemaninya di dunia
itu.
Kuputuskan untuk tak
lagi mengganggu tenang dunianya, bahkan meski hatiku meronta dan begitu
merindukan sapa manis sekaligus senyum tipis bibirnya.
Tepat pada menit kelima
aku memandanginya, ia menolehkan wajah dan menjatuhkan tatapan matanya di kedua
mataku.
Tatap itu masih saja
datar, seolah melupakan bahwa ia pernah benar-benar menatapku dengan begitu
hangat. Sedetik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya. Membuat
kesadaranku terkumpul kembali. Bahwa ia bukan lagi yang memiliki tatapan
sehangat matahari pagi, dan senyum yang se-ramah sahabat yang tak pernah ingkar
janji.
Ia menciptakan
perbedaan, dan aku-lah alasan atas perbedaan yang dibuatnya itu.
***
“Jangan berharap apapun
dari bentuk pertemanan kita!”
Ia menatapku tanpa
berkedip. Itu bentakan pertamaku padanya bahkan sejak tiga tahun kami saling
mengenal dan memutuskan untuk berteman baik.
“Aku.. Aku hanya
senang-- bisa memiliki teman sepertimu.. Itu saja,” ia berkata sambil
terbata-bata. Kuperhatikan sekali lagi manik matanya, ada kristal bening yang
mengumpul di sudut-sudutnya, yang seolah akan pecah jika saja aku membuka
mulutku sekali lagi.
“Dan jangan pernah
menulis tentangku..” itu ucapanku lagi. Yang akhirnya membuat pipinya memerah,
dan satu hal yang kudapati setelah itu.
Ia tak lagi menemuiku
dengan senyum. Sedikitpun. Sampai sekarang.
***
Kali ini, entah
mendapatkan perintah macam apa otakku. Kuputuskan untuk mengakhiri segala macam
bentuk pengacuhannya terhadapku, dan kemudian memberanikan diri untuk
menghampirinya. Terlebih dulu menyapanya mungkin adalah salah satu jalan yang
terbaik untuk itu.
“Sibuk?”
Ia mendongak menatapku.
Masih datar, dan seolah masih tak menganggapku benar-benar ada.
“Tidak”
Jawaban yang tak pernah
ia berikan pada siapapun setahuku. Ia tipe gadis ramah yang suka bicara. Yang
selalu banyak bertanya, bahkan meski tahu tak semua pertanyaannya akan
terjawab.
“Bisa ngobrol sebentar
nggak?” aku masih tak ingin melepaskannya kali ini. Karena entah karena apa,
tiba-tiba saja ada sebentuk kebahagiaan baru yang timbul karena mendengar
suaranya.
“Maaf, tapi aku
terlanjur ada janji. Permisi..”
Segera kuhalangi
jalannya. Ia tak boleh terus menerus mengacuhkanku semau hatinya seperti ini.
“Kamu bisa minggir
nggak? Aku ada urusan penting !”
Kali ini ia
membentakku. Satu-satunya hal yang selalu tabu dilakukannya, apalagi
terhadapku. Bahkan aku masih ingat perkataannya beberapa waktu lalu, tentang
ketidakmampuannya untuk membenciku, sekalipun aku berkali-kali membuatnya
berdecak kesal ataupun melotot sebal.
Ia menepis lenganku,
dan menghindar dari hadapanku secepat yang ia bisa. Kali ini aku maklum, dan
diam-diam menghentikan usahaku. Tatapan datarnya masih tak mampu membohongiku.
Sekarang ia boleh menjauhiku sampai jarak terjauh sekalipun, karena meskipun
demikian, tatapan matanya telah terlebih dulu memaafkanku.
***
Aku menggenggam
erat-erat laptop di kedua tanganku, sangat takut jika benda itu sampai terjatuh
hanya karena tanganku tak begitu kuat menahannya. Kuputuskan untuk telebih dulu
duduk di teras kelas, sembari mengatur ritme nafas sekaligus mengumpulkan
kekuatan setelah baru saja menghamburkannya karena hal yang teramat sederhana.
Bertemu Arga.
Entah sejak kapan
pertemuan dengan anak itu bisa menghabiskan jatah kekuatan, yang seharusnya
masih bisa kugunakan untuk menghadapi apapun di sekolah. Hal berharga diluar
bertemu dan menghabiskan waktu untuk mengingat-ingat bentuk pertemanan kami,
yang beberapa waktu lalu harus berlalu sia-sia bahkan sebelum perpisahan sekolah
benar-benar membuat kami jauh satu sama lain.
Dan kalaupun boleh
kuulang ceritanya sekali lagi, hal itu memang murni kesalahanku. Murni
kebodohan yang terang-terangan kulakukan, bahkan meski sudah tahu konsekuensi
apa yang akan kuterima jika saja berani melakukannya. Tetapi, siapa yang bisa
menahan diri untuk tidak jatuh cinta?
Jawabnya memang ada.
Tetapi, sepertinya jawaban itu sama sekali tidak merujuk pada kenyataan yang
kuhadapi saat itu ; jatuh cinta pada Arga.
Kalau saja aku boleh
memilih, maka aku tidak akan memilih untuk bertemu Arga. Tidak akan memilih
untuk berkenalan dan membentuk pertemanan dengan anak itu. Memilih untuk tidak
peduli sekalipun ia dihukum guru karena tidak mengerjakan tugas. Memilih untuk
tidak memapahnya ke UKS saat ia pura-pura sakit. Memilih untuk tidak
memperdulikan apapun yang terjadi padanya ketika aku tidak sedang bersamanya.
Memilih untuk tidak mengajaknya masuk ke dalam dunia yang pada awalnya
kunikmati sendirian.
Apapun itu, jika
berkaitan dengannya. Aku berharap bisa memilih untuk tidak memilihnya sebagai
laki-laki pertama yang bisa membuatku sebegitu jatuh cintanya.
Aku masih ingat
bagaimana ia menolakku dengan caranya sendiri. Penolakan yang dilakukannya
setelah tahu bahwa selama kami berteman, secara diam-diam aku sering menulis
surat untuknya. Menuliskan cerita tentangnya, juga tentang kami, lantas
menaruhnya di dalam sebuah kotak yang hanya kubiarkan berdiam rapi di dalam
almari meja belajar-ku.
Penolakan yang kemudian
berujung pada pengacuhan demi pengacuhannya pada keberadaanku. Pada setiap
langkahnya yang melewatiku, dan pada setiap tatapan matanya yang tak sengaja
menangkap bayanganku.
Ia mengacuhkanku begitu
saja. Menganggapku tidak ada, dan membiarkanku melihatnya ketika ia tak sedang
melihat kearahku.
Arga tiba-tiba saja
membuat jarak yang teramat jauh. Teramat jauhnya bahkan sampai aku sendiri tak
tahu, apakah ada bedanya antara ia ada ataukah tidak. Karena satu-satunya yang
terjadi ketika ia dan aku tak sengaja bertemu adalah ; kedua matanya yang tak
lagi menatapku.
Dan bagiku itu sudah
lebih dari sekedar penolakan. Lebih dari sebuah penghindaran dan usaha untuk
bersembunyi. Maka, sebelum ia menghindar lebih jauh lagi. Kuputuskan untuk
memisahkan langkah dari sosoknya, berharap dengan begitu ia bisa tahu. Dunia
dan langkah kami tak akan lagi pernah bertemu untuk menyatu. Ia harus tahu itu.
***
“Arga, sebelumnya aku
minta maaf kalau selama ini sudah lancang masuk ke dalam hidupmu. Tetapi terima
kasih telah menjadi temanku. Karena satu-satunya hal yang paling kusayangkan
setelah perpisahan bukan tentang kehilangan sosoknya, melainkan karena tahu
bahwa apa yang sudah berlalu tidak mungkin pernah kembali lagi. Begitu pula
dengan kita. Bukan karena aku takut tidak lagi bisa berteman denganmu,
melainkan aku takut harus kehilangan teman sebaik kamu. Teman yang terlalu
banyak memberikan ingatan nanti, yaitu disaat kamu dan aku mungkin tidak akan
lagi saling mengingat nama satu sama lain.
Aku hanya ingin
memberitahu kamu. Tentang sesuatu yang selama ini paling membuatku merasa menyesal.
Aku memang pernah mengharapkan bentuk lain diluar pertemanan diantara kamu dan
aku, tapi itu dulu. Dan seperti yang sudah kukatakan tadi, aku hanya takut
kehilangan teman sebaik kamu kalau saja aku dengan berani menaruh harapan lain
terhadap pertemanan kita. Maka sebelum kamu berfikir macam-macam, aku hanya
ingin menegaskan bahwa demi pertemanan kita dan demi teman sebaik kamu, aku
sudah mengalahkan harapan itu.
Aku juga ingin kamu tahu, bahwa mungkin setelah
hari ini kita akan segera berbeda langkah. Kita akan segera menemukan dunia
kita masing-masing. Dan kita tidak akan pernah menjadi sama seperti kita hari
ini ataupun kemarin. Maka kamu jangan khawatir, karena setelah ini,
satu-satunya hal yang akan kuingat hanyalah satu ; terima kasih sudah menjadi
teman baik-ku. Sampai kapanpun.
Salam,
Arinda
NB : Kamu tahu nggak,
Ga? Kemarin aku baru saja digigit semut. Mungkin karena aku mengacaukan barisan
mereka kali ya? Tapi nggak tahu kenapa, aku justru seneng karena semut itu
gigit aku. Karena setidaknya, aku mampu mereka lihat dan mereka masih
memberikan reaksi pada keberadaanku. Yah, meskipun aku cuma dianggap pengganggu
sih.. Hehe, maaf kalau ceritaku konyol ya, Ga.. ”
Kulipat kembali kertas
yang ternyata masih terbawa di dalam saku jaket-ku. Surat dari Arinda yang
sejak satu minggu lalu membuat dunia-ku mendadak jungkir balik tanpa tentu.
Masih satu minggu
bagiku. Dan entah bagaimana gadis itu bisa bertahan diam dengan sikap bodohku
saat itu selama hampir lebih dari enam bulan.
Dan tiba-tiba saja, aku
merasa begitu ingin semut-semut itu kembali menggigitku.
baguuuussss, bikin lanjutannyaaa dooong kakaak =))))
BalasHapus