Kamis, Juli 11, 2013

Silakan kamu bahagia.

Hari ini aku hanya mendengar kabar sepatah. Tidak begitu jelas, karena memang tanpa sengaja telingaku merekamnya dari obrolan tiga gadis yang berdiri tak jauh dari tempatku menunggu bus siang tadi.

"Sudah lima tahun di Belanda? Wah, pulang-pulang pasti gandeng bule tuh.." ini perkataan gadis manis berambut pendek.

"Ya iyalah, mana orangnya ganteng pula.. Yah, biarpun belum pernah ketemu langsung, tapi aku pernah baca beritanya di koran.." kalau yang ini, milik si rambut lurus bak gadis Jepang.

"Se-terkenal apa sih Ariyan Grinanda itu? Sampai pada heboh dibikin orang satu itu.. Padahal, artis juga bukan.. Aku ketemu dia di depan bandara kemarin, tapi menurutku biasa aja tuh.." kali ini aku tersenyum. Gadis berjilbab ini ternyata lebih sinis daripada dugaanku.

Aku hanya balas menunduk, meskipun telingaku masih saja sepuas hati merekam obrolan mereka tanpa kuminta. Padahal jika boleh kuminta, aku hanya ingin meminta mereka diam. Aku ingin mereka menyadari kehadiranku, yang jelas-jelas sudah pasti lebih tahu tentang Iyan daripada mereka.

Ingin juga rasanya berdeham sedikit. Berusaha mencatatkan keberadaanku di tengah-tengah obrolan simpang-siur soal kedatangan sosok favoritku itu. Ya, sosok favoritku yang tanpa bisa kucegah akhirnya menjadi sosok favorit mereka juga.

Ingatanku melayang-layang bebas. Menyusuri lembar demi lembar kenangan yang pernah kutulisi bersama sosok Iyan, lima tahun lalu sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia demi cita-citanya belajar musik.

Iyan. Satu-satunya sosok diluar keluarga yang bisa dengan mudah membuatku percaya banyak hal. Tentang bumi yang berputar mengelilingi matahari, sebaliknya. Tentang bintang yang sebenarnya tidak sekecil kelihatannya. Tentang mimpi yang selalu punya makna. Dan juga tentang konsep dimensi pararel, yang memungkinkan kami akan menatap langit yang sama bahkan meski pada kenyataannya, kami sedang terpisah ribuan mil jauhnya.

Kadang aku juga heran, kenapa aku harus mempercayai semua perkataannya saat itu. Tentang mimpinya menjadi seorang komposer handal, yang pada akhirnya akan menulis dan mengkomposisi jutaan lagu indah. Tentang keharusannya mengambil kesempatan belajar di Belanda selama lima tahun, dan meninggalkan rajutan mimpiku yang diam-diam kusulam bersama dirinya. Atau lebih tepat, bersama bayangannya.

Iyan.. Iyan.. Iyan.. dan Iyan..
Ia tak pernah mengatakan apa-apa sebelum pesawatnya lepas landas, dan aku mematung memandanginya. Berharap dengan begitu ia mau mengucapkan apapun. Apapun, yang sekiranya bisa kembali kupercaya sehingga aku tak perlu sibuk mencari penggantinya ketika tiba-tiba aku rindu tawa sumbang dan lesung pipi mungil di pipi kanannya.
Apapun. Yang sekiranya mampu membuatku masih mau menunggunya, sekalipun beasiswa musiknya mendadak diperpanjang sepuluh atau bahkan dua puluh tahun lagi.

Tetapi Iyan selalu diam. Ia memilih untuk selalu berpura-pura bodoh dan menganggap bahwa semua lembaran kenangan yang sudah mutlak menjadi milikku dan dia, hanya sebagai kenangan saja. Diam dan duduk manis didalam kotak masa lalu. Tanpa perlu diganggu ataupun digerak-gerakkan lagi barang sedikitpun.

Ia tidak pernah lagi menceritakan Belanda, atau apapun tentang Mark, Cindy, Kevin, ataupun Roben yang merupakan sahabat-sahabat terbaiknya selama di negeri itu. Ia tidak pernah lagi mengirimkan pesan ataupun sedikit kabar mengenai perpindahan musim di Belanda yang biasanya selalu kunikmati dengan antusias.
Iyan selalu diam. Dan selalu memilih untuk menjadi bodoh.

Aku masih mematung. Memainkan ponsel yang berhiaskan gambar beruang kecil dengan matanya yang tinggal satu. Pemberian Iyan.
Sebuah pesan tiba-tiba masuk. Balasan yang kutunggu sejak pertama kali kudengar tiga orang disampingku tadi mengucapkan dan membicarakan namanya.

"Maaf Kinar, aku masih di Belanda dan belum bisa pulang.."

Ya. Aku menjawab singkat dalam hati.
Menghindarlah sejauh apapun yang kamu suka, Yan. Semoga kamu selalu bahagia dengan segala diam dan sikap pura-pura bodoh-mu itu.

Segera kuhapus pesannya tadi. Menyusul pesan-pesan lain yang bahkan masih kusimpan sejak pertama kali nomornya mampir ke dalam inbox ponselku, bertahun-tahun yang lalu. Oya, aku ingat. Kembali kugerakkan jemariku, menyusuri phonebook hingga berhenti pada satu nama.
Ariyan Grinanda.
Ku-klik tombol 'delete contact', dan setelah itu aku yakin ia sudah teramat sangat bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar