Aku benci berada disini. Pada udara
sejuk dan semilir angin yang menabuh daun-daun jati itu perlahan. Benci pada
setiap gemericik air yang mengalir dari pancuran bambu di dekat kakiku saat
ini. Benci pada harumnya bau tanah yang baru saja tersiram hujan.
Dan hampir membenci semuanya yang ada
disini. Disini, di tempat yang bahkan namanya saja tak ingin kuingat-ingat
lagi. Benar-benar ingin kuhapus, walaupun sebenarnya aku sendiri tahu. Tak akan
pernah ada yang terhapus dari tempat ini.
Perjalananku dari Jakarta ke tempat
ini memakan waktu hampir dua puluh empat jam. Dimana beberapa jamnya masih
harus dibagi lagi sebagai perjalanan dengan pesawat, dan mobil pribadi milik
Nabila, sepupuku yang paling antusias menyambut kepulanganku kali ini.
“Mbak Mel harus tahu, Tulungagung
sudah berubah banyak setelah Mbak hijrah ke Jakarta.. Nggak ada lagi yang
namanya jalan berbatu yang dulu Mbak Mel bilang jalanan penuh perjuangan itu..”
Nabila tersenyum lebar, seolah meyakinkan sikapku yang sejak tiba di bandara
sudah menunjukkan ketidak-antusiasan sama sekali.
“Tambah macet ya, Bil..” Sengaja
kutanggapi sedikit celotehan gadis SMA itu. Aku hanya ingin bersikap sopan, apalagi
Nabila juga sudah berbaik hati mau menjemputku di bandara.
“Itu kan baru Panglima Sudirman,
Mbak.. Sekarang, malah daerah jalanan favorit Mbak Mel yang kaya’ syuting video
klip itu, macetnya nggak kalah sama Sudirman-nya Jakarta, Mbak..” Mulut Nabila
masih tak hentinya bercerita. Kulirik sekilas matanya, dan tak ada sedikitpun
kebohongan yang bisa kudeteksi disana.
“Nanti sore ajakin aku lewat situ
dong..”
Nabila menghentikan ocehannya, lantas
menatapku sekali lagi.
“Mbak Mel yakin? Aku pernah kejebak
macet dua jam setengah lho disitu..” Ia melebarkan matanya. Sepertinya ia
merasa sedang salah dengar begitu mendapati permintaan pertamaku hari ini.
“Yakin. Aku mau memastikan, apa
jalanannya masih suka kotor kaya’ dulu apa nggak..” Seketika Nabila tertawa
mendengar jawabanku.
“Ada-ada aja Mbak.. Yang jelas, Mbak Mel
bakalan pangling deh sama Tulungagung yang sekarang. Aku yakin..”
Alisku tertaut. Entah kenapa,
terbersit rasa tidak suka saat mendengar kalimat terakhir Nabila tadi. Seolah
ada kesan bahwa aku sudah benar-benar ketinggalan jauh soal perkembangan kota kecil-ku
ini.
Apalagi sekarang Bapak, Ibu dan Dimas
kakakku, semuanya sudah ikut menetap di Jakarta dan membuka toko barang antik
di salah satu gerai di kawasan Mangga Dua. Praktis kami hanya pulang setahun
sekali.
Tempat ini. Hampir selalu memiliki
dua sisi bagi pengetahuanku. Dimana sisi yang lain menawarkan kemegahan.
Sedangkan sisi lainnya, menyisakan atmosfer lawas yang membuatku masih saja
mencium aroma masa kecil disitu.
Aroma khas yang menemaniku tumbuh,
dan sampai akhirnya memutuskan untuk melepas dua sisi antik itu, dan melenggang
jauh ke Jakarta.
Ponsel di saku celanaku bergetar
menandakan telepon masuk. Nama Yusa lengkap dengan fotonya yang tersenyum
menatap kamera, terlihat berkedip-kedip meminta untuk segera diangkat.
Sebenarnya tidak sabar untuk segera
memberi kabar pada laki-laki itu. Tentang tempat yang lebih sering kujanjikan
daripada kuceritakan keberadaannya. Tempat yang selalu menggelitik rasa
penasarannya, yang juga tanpa alasan itu.
“Pacar Mbak Mel mirip Dimas Aditya
deh..” Celetukan ringan Nabila kembali membuatku tergeragap dari lamunan.
“Diangkat dong Mbak, keburu senyumnya kering lho..” Aku kembali tertawa
dibuatnya.
“Halo, ada apa Sa?” Aku bangkit dari
dudukku dan memilih tempat yang agak jauh dari Nabila.
Hampir setengah jam telingaku dibuat
panas oleh ocehan Yusa. Juga oleh macam-macam permintaannya yang sering
kuanggap aneh. Minta supaya Tulungangung didokumentasikan? Entah apa yang saat
itu sedang dipikirkannya.
“Bukan pacarku kok, Bil..”
Nabila yang sedang asyik berfoto tersentak
begitu mendapati kedatanganku. Kembali aku duduk disampingnya, lantas
membasuhkan kakiku yang terkena lumpur, di air yang masih saja mengalir deras
di samping tempat duduk kami.
“Pasti naksir abis deh sama Mbak
Mel..” Kembali senyum jahil tersungging jelas di bibir gadis itu.
“Nggak juga. Dia cuma penasaran aja
sama aku..”
Kali ini alis Nabila yang tertaut.
Gadis itu sepertinya mulai bingung dengan ucapanku. Reaksi yang hampir selalu
kutemui tiap kali mendengar alasanku mengenai sikap Yusa.
“Bingung ya?”
Nabila mengangguk jujur.
“Dia itu teman kuliahku. Yang nggak
tahu kenapa, paling ikhlas mencari tahu tentang apapun yang berkaitan denganku.
Entah tentang keluarga, teman, dan bahkan orang-orang di masa laluku. Aku
sendiri nggak pernah paham sama alasannya, dan nggak pernah mau paham sama
alasannya melakukan hal itu..”
Penjelasanku menggantung. Perasaan
aneh itu kembali muncul, dan aku selalu benci pada reaksi yang ditimbulkan oleh
kemunculannya.
“Mas tadi nggak pernah mengatakan
perasaannya sama Mbak Mel?”
“Namanya Yusa.. Pernah. Tapi aku
nggak pernah mau dengar soal itu. Bagiku itu nggak penting, Bil. Toh diutarakan
ataupun nggak, aku juga tahu kalau Yusa cuma sekedar penasaran..” Ucapanku
meninggi begitu mendengar pertanyaan Nabila barusan. Perasaan aneh itu kembali
terusik.
“Dan Mbak Mel inginnya bukan seperti
itu?”
Aku menatap gadis itu cepat. “Dia cuma bikin kepalaku pusing, Bil..”
“Karena apa yang dilakukan Mas Yusa,
sama dengan yang dilakukan Mas Rangga ya Mbak?”
Sekali lagi aku tersentak. Gadis itu
ternyata jauh lebih memahami maksudku.
Rangga.
Ingatanku mendadak merujuk kepada
satu nama itu. Nama seorang teman SMA-ku, yang merangkap teman semasa SD dan
SMP-ku. Sekelas, dan hampir selalu duduk bersebelahan.
Rangga. Yang hampir selalu membuatku
sebal dengan pertanyaan-pertanyaannya yang lebih mirip dengan penyidik yang
sedang menginterogasi seorang tersangka. Seseorang yang hampir selalu ada
disetiap kesempatan yang melibatkanku. Yang membuatnya lebih terkenal
dibandingkan teman-temanku yang lain dimata keluargaku.
“Mas Rangga sering nanyain Mbak Mel ke aku,
tapi nggak pernah kujawab, Mbak.. Aku memang nggak pernah paham sama apa yang
sebenarnya terjadi antara Mbak Mel sama Mas Rangga, tapi aku yakin kalau
sebenarnya Mas Rangga nggak hanya penasaran sama Mbak Mel..” Ucapan panjang
Nabila kembali membuatku tercenung.
Aku hanya tidak yakin apakah gadis
itu masih bisa mengatakan hal semacam tadi, kalau saja dia tahu apa yang pernah
dicapkan Rangga. Yang akhirnya membuatku membenci atmosfer nyaman di kota ini.
Di tempat ini. Dimana angin semilir menabuh daun jati, air mengalir deras dari
pancuran, dan lumpur becek mengotori kaki.
“Rangga itu nggak ubahnya bayangan,
yang bisa seenaknya menjelma jadi kenyataan. Tapi tetap maya, dan selamanya
semu. Nggak akan pernah lebih dari itu.. ”
Dan sekarang, begitu lepas dari
Rangga maka datanglah Yusa. Yang seolah dikirimkan Tuhan sebagai peringatan,
bahwa aku masih saja pantas menjadi objek rasa penasaran. Karena begitu rasa
penasaran itu habis, maka aku tak akan lagi punya alasan untuk dicari.
“Mbak Mel jangan bilang seperti itu.
Kalau memang hanya penasaran dan hanya jadi bayangan, mereka berdua nggak akan
mencari Mbak Mel lagi. Mereka pasti membiarkan Mbak Mel pergi.. Tapi
kenyataannya, mereka masih ada kan? Masih mencari Mbak kan?”
Nabila sepertinya tidak memahami
maksudku kali ini. Dimataku, mendadak ia kembali sama seperti teman-temanku
yang lain. Yang hanya memahami alasan kenapa aku dicari, bukan alasan kenapa
Rangga dan Yusa harus mencariku.
“Buatku sama saja, Bil. Mereka
mencari karena merasa belum menemukan apa yang sebenarnya ingin mereka cari.
Mereka belajar memahami jalan pikiranku, tetapi nggak pernah tahu apa yang
sebenarnya aku pikirkan. Apa itu namanya kalau bukan rasa penasaran saja?”
“Mbak Mel mau tahu kan, kenapa Mbak selalu
dicari?” Nabila tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuat rasa ingin tahuku
muncul ke permukaan. Alisku terangkat, menunggu jawaban gadis itu yang mungkin
akan mengejutkanku lagi.
“Karena Mbak Mel selalu memberi
kesempatan mereka untuk mencari lebih jauh lagi.. Dan Mbak Mel, sama sekali
nggak memberikan kesempatan mereka untuk menghentikan pencarian mereka..”
Obrolanku dan Nabila menggantung.
Gerimis mulai muncul, dan untuk hal yang satu itu aku sama sekali tak memiliki
penawar atas kebencian yang kumunculkan tanpa alasan itu.
Sore harinya, Nabila benar-benar
menepati janjinya untuk mengajakku menyusuri jalanan sepanjang WR. Supratman.
Namun kali ini, kami memilih untuk berjalan kaki di sepanjang trotoarnya
daripada naik mobil pribadi Nabila seperti bayanganku pada mulanya.
Sekali lagi, gadis itu benar. Jalanan
favoritku semasa sekolah dulu itu sekarang menjelma menjadi jalanan yang hampir
tak bisa kukenali. Tak ada lagi daun kering tertiup angin yang dulu sering
kusebut sebagai setting video klip. Tidak ada lagi jajaran pertokoan yang dulu
sering sekali kukunjungi, melainkan beton-beton tinggi penyangga jalanan megah
yang arusnya padat merayap itu.
Seketika perasaanku menghangat. Dan
aku yakin, bahwa aku sangat mengenali perasaan hangat semacam ini. Namanya
rindu. Yang hampir sepuluh tahun ini berhasil kumatikan sementara, tertelan
riuhnya Jakarta dan pengapnya udara persaingan keras disana.
Perasaan yang hampir selalu kukenali
tiap kali malam merayap datang, dan membungkus keramaian itu sementara.
Perasaan yang selalu sama setiap tahunnya. Yang juga selalu kusangkalkan keberadaannya,
kali ini tumpah ruah, membanjir diantara kokohnya beton-beton penyangga jalanan
padat sore itu.
“Mau mampir kesitu nggak, Mbak?”
Nabila menunjuk sebuah toko kecil, yang rolling door-nya hampir menutup
sempurna. Namun dengan cat merah batanya, seketika membuat otakku langsung
mengenalinya tanpa perlu berfikir dua kali.
“Itu kan somay-nya Bah Acan, Bil !” Aku
memekik tanpa sadar. Membuat seorang pejalan kaki didepanku menoleh dan menahan
tawa setelahnya.
Langkahku mempercepat dirinya sendiri
tanpa sadar. Atmosfer hangat itu mendadak nyata. Tempat itu, satu-satunya hal
yang membuatku masih mengenali jalanan WR Supratman hari ini. Juga satu-satunya
hal, yang membuatku semakin mengenali perasaan aneh yang ada sejak awal
kedatanganku kemari.
Kugandeng tangan Nabila untuk segera
memasuki toko yang merangkap rumah itu. Pandanganku seketika menyapu
sekelilingnya, dan jatuh tanpa permisi pada sosok laki-laki yang membelakangi
kami saat itu. Perasaan aneh itu pun mendadak berubah menjadi debaran dengan frekuensi
tinggi.
Dan sebelum laki-laki itu sempat
berbalik, bibirku terlebih dulu menyebutkan namanya.
“Yusa..”
Sosok laki-laki itu menoleh cepat.
“Melia??”
Debaran itu semakin menjadi. Kutolehkan
kembali kepalaku untuk mencari Nabila. Dan seperti yang sudah bisa kuramalkan,
gadis itu bahkan tak lagi tercium baunya. “Gadis pintar..”, batinku cepat.
“Sudah kubilang kan, dokumentasikan
tempat ini buatku. Coba kamu langsung bilang iya, nggak akan aku nekat
mendokumentasikannya sendiri..” Yusa berucap enteng. Seolah pertemuannya
denganku kali ini sama dengan pertemuan-pertemuan tanpa sengaja kami di kantor.
Entah di kantin, lobby, ataukah lorong toilet.
“Kamu nggak akan menemukan apapun,
Sa.. Berhentilah mencari !” Tak tahan juga gertakanku untuk kuucapkan. Sudah
lama sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini, hanya saja perasaan aneh tadi
yang memaksaku untuk terus menguncinya.
“Kenapa baru sekarang kamu mengatakan
itu, Mel? Apa yang kamu tunggu? Kamu menunggu aku lelah dulu? Kamu berhasil,
Melia.. Kamu mengatakannya tepat ketika aku sudah tidak lagi punya alasan untuk
mencari kamu..” Ucapan Yusa membungkamku lebih dulu.
“Kamu yang memberikan alasan kenapa
aku harus mencari, Mel.. Dan ketika kamu bilang bahwa aku nggak akan menemukan
apapun, justru saat itu aku sudah menemukan.” Laki-laki itu melanjutkan
ucapnnya, membuatku sekali lagi hanya bisa menunduk. Memainkan garpu di tangan,
tanpa tahu apa yang bisa kulakukan selain itu.
Sekali lagi. Tundukan kepalaku
semakin dalam. Biar Yusa yang mencari tahu artinya. Toh, ia bahkan sudah tahu
kemana harus mencariku untuk dibawanya pulang kembali.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar