Point of view : Woman
Sekali lagi gadis itu
mengecek bajunya, sekadar merapikan cardigan cream yang sebenarnya sudah melekat manis di tubuhnya. Perhatiannya
beralih kepada rambut lurus panjangnya, entah harus digerai tanpa pemanis
sedikitpun, ataukah harus dikuncir tinggi agar membuatnya terlihat lebih segar.
Ia mengatur nafasnya
dengan sedikit susah payah. Hari ini akan ada sebuah momen aneh sekaligus
langka yang akan terjadi di dalam sejarah hari-nya.
Pergi makan malam
dengan Brian.
Ya, Brian. Teman kuliahnya
yang selama ini mencatat predikat “The most unpredictable person” di kelasnya. Sebenarnya
ia bukan golongan laki-laki berandalan atau semacam sosok misterius yang lebih
suka duduk di pojokan kelas. Bagi Marsha, Brian hanyalah sosok yang selalu punya
dua sisi. Air sekaligus api. Sedikit tengil sekaligus menenangkan dalam sekali
waktu.
Tetapi untuk kali
pertama—sejak satu semester mereka kuliah di jurusan dan kelas yang sama—Marsha
mendapatkan permintaan langka dari anak itu.
Setelah memastikan
bahwa penampilannya malam ini tidak terlihat berlebihan, sekaligus tidak juga
terlihat lusuh. Marsha memutuskan untuk segera berangkat ke tempat yang ia
janjikan dengan laki-laki itu.
Sepanjang perjalanan,
Marsha tidak henti-hentinya merapal doa. Berharap dengan begitu ia tidak perlu
tiba dihadapan Brian dalam keadaan gugup.
Kurang dari setengah
jam Marsha sudah menginjakkan kakinya di restoran tempatnya membuat janji
dengan Brian. Gadis itu buru-buru masuk dan mencari dimana Brian sudah
menunggunya kali itu.
Ia menyusuri hampir
seisi ruangan dengan kedua matanya, sampai akhirnya pandangannya jatuh tepat
kearah sudut ruangan. Dimana sosok yang dikenalinya (karena ia adalah Brian),
sekaligus sosok yang membuatnya pangling—atau lebih tepatnya ; terpesona—sesaat
(karena begitu rapinya anak itu berdandan malam ini).
“Bri.. Sudah lama
nunggu?”
Marsha memutuskan untuk
menghampiri Brian terlebih dulu karena sepertinya ia sama sekali tidak
menyadari kehadiran Marsha kali itu.
Seketika mata mereka
berhenti dalam satu titik. Dan jika boleh mengakui, baru kali ini Marsha
melihat mata Brian. Benar-benar melihat mata bulat itu dari jarak yang hampir
tidak pernah ia dapati sebelumnya. Cokelat muda. Satu hal yang Marsha catat
sebagai warna iris mata laki-laki itu, sebelum ia memutuskan untuk tersenyum
dan mengendalikan detak jantungnya yang mempercepat frekuensinya tanpa ijin.
“Belum kok. Duduk dulu
aja, Sha..”
Marsha mencatat banyak
perbedaan dari penampilan Brian malam ini. Kemejanya. Sepatunya. Wajahnya. Rambutnya,
dan jika masih boleh ditambah, Marsha bahkan bisa mencium bau parfum segar yang
dikenakan oleh laki-laki itu. Membuat pipinya menghangat seketika.
Mungkin ini terlalu
cepat disimpulkan. Sekaligus terlalu cepat untuk memberikan nama pada perasaan
yang mendadak menyerbu hatinya kali ini. Perasaan janggal, sekaligus
menyenangkan yang bahkan belum pernah dibayangkannya untuk muncul akibat
keberadaan sosok Brian.
Tetapi Marsha
berkali-kali meyakinkan. Ia tidak mungkin jatuh cinta secepat ini pada sosok
Brian. Ya, tidak mungkin hal itu terjadi. Tidak mungkin.. atau, belum mungkin?
Entahlah. Karena pelayan
restoran sudah terlebih dulu datang dan mengacaukan segala macam prasangka yang
mulai terbangun di dalam benak Marsha. Tentang Brian.
PS : Sip, awal yang bagus Tur buat part-mu. Semoga part-ku ini cukup bisa membantu kelanjutan ceritanya ya. Happy writing too !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar