“Nggak ada yang lebih menyakitkan
daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta..”
Ucapan Vita berkali-kali bergaung di
telingaku, lantas kemudian mengudara di kepalaku. Ikut memenuhi pikiranku yang
sejak tadi siang memadat tanpa alasan. Eh, bukannya tanpa alasan. Tetapi lebih
tepatnya jika aku sendiri yang tidak ingin menganggapnya sebagai sebuah alasan.
Kalau saja hari ini tidak perlu ada
kuliah tambahan. Atau, kalau saja hari ini aku tidak perlu terlibat obrolan
dengan Vita dan laki-laki itu, tentu semuanya tidak akan menjadi seaneh dan
sejanggal ini. Tetapi, siapa coba yang bisa menghentikan dan mengubah jalannya takdir?
“Arina !”
Aku menoleh cepat saat mendengar
seseorang memanggilku. Ternyata Vita, gadis itu hanya duduk-duduk di gazebo
dekat kelasnya sembari menghadap laptop. Sedangkan di depannya, seorang
laki-laki berwajah lonjong yang teramat sangat kukenali itu, sedang sibuk
mencatat dari buku diktat tebal di depannya. Seketika laki-laki bernama Gesa
itu ikut mendongak, seolah menyambut kedatanganku yang sebenarnya tanpa
sengaja.
“Tumben masuk hari Kamis?” Vita
kembali melemparkan tanyanya, disusul dengan suara renyah khasnya, bercampur
senyum manis dari gadis yang kebetulan juga tinggal di rumah kost yang sama
denganku.
“Pak Tomo ngasih kuliah tambahan.
Lusa beliau absen karena mau ada acara keluarga. Masih ada kuliah lagi, Vit?”
Merasa sungkan jika harus mengobrol sambil berdiri, aku segera mengambil duduk
di depan Vita. Atau lebih tepatnya, di depan Gesa, karena hanya ada tiga tempat
duduk di gazebo kecil itu.
“Nggak ada sih, kepingin download
film, Rin.. Hehehe. Lagian diktat-ku juga masih dipinjem sama si Gesa nih..”
Vita menjawabku acuh, karena sekali lagi perhatiannya berhasil tersita penuh
oleh laptop di depannya.
Alhasil, tinggal aku yang duduk
berhadapan dengan Gesa. Dimana keadaannya adalah, aku yang iseng-iseng melihat
apa yang dicatat oleh laki-laki itu, dan Gesa yang seolah tak menyadari
kehadiranku. Sedikitpun.
“Anak sastra ya?”
Suara berat khas laki-laki itu
membuatku tersentak sesaat. Aku masih mematung, merasa belum yakin jika ucapan
barusan memang keluar dari mulut seorang Gesa, dan ditujukan untuk seorang
Arina. Namun setelah menunggu beberapa detik, ditambah dengan Gesa yang saat
itu menghentikan kegiatan mencatatnya dan memutuskan untuk duduk tegap
menghadapku, membuatku kembali yakin bahwa ucapan tadi memang benar-benar
ditujukan untukku.
“Iya. Inggris.. Sekelas sama Vita?”
Ucapanku terdengar samar hingga aku sendiri bahkan tak yakin jika laki-laki itu
bisa mendengarnya.
“Iya, Rin.. Ya si Gesa ini nih yang
sering kuceritain sama kamu. Yang suka bikin ulah sama Bu Rosi itu..” Kali ini
Vita menyambar obrolan kami. Membuatku membalasnya dengan anggukan dan sedikit
senyum sumbang yang samar.
“Apa sih..” Gesa menanggapi singkat.
Lantas sedetik kemudian kembali menghadapkan kepalanya kearah buku di depannya.
Sibuk mencatat lagi dan tidak menyadari kehadiranku untuk kedua kalinya.
“Eh Ges, Arina ini yang nulis prosa
favoritmu itu loh..” Vita bersuara sekali lagi. Kali ini laptopnya sedikit
ditundukkan, mungkin proses downloadnya terlalu lama sehingga ia berfikir untuk
mengobrol terlebih dulu sembari menunggu.
Alisku tertaut. Tak mengerti dengan
apa yang dikatakan oleh Vita soal prosa tadi. Prosa.. Favorit Gesa? Seketika
perutku serasa dikelilingi jutaan kupu-kupu yang entah darimana datangnya. Ada
sekelebat perasaan senang yang juga tidak memiliki alasan.
“Si penulis mendung?” Pertanyaan
Gesa hanya singkat. Namun sekali lagi berhasil membuat perutku serasa
diaduk-aduk dengan kencang.
“Nah.. Itu lho Rin, yang prosa-mu
soal mendung dan gerimis.. Yang kamu post di blog kampus.. Itu favorit Gesa
loh..”
Vita masih sibuk bercerita panjang
lebar soal kesukaan Gesa pada beberapa tulisan yang memang sengaja ku posting
di blog kampus. Yang sebenarnya lebih kutujukan untuk kepentingan pemenuhan
literatur yang memang beberapa diantaranya harus hasil karya dari mahasiswa
pada jurusan terkait.
Kulirik sekali lagi laki-laki
berambut lurus itu. Poni pendeknya sedikit dibuat jambul keatas, membuat kesan
acak-acakan sehingga menambah penilaian plus laki-laki itu dimataku. Yang
memang kulakukan diam-diam semenjak beberapa bulan terakhir ini.
Sedangkan si empunya justru masih
acuh dan terus menerus memfokuskan dirinya terhadap catatan yang sedari tadi
seolah tidak selesai itu. Yang membuat rasa penasaranku sedikit tergelitik.
Bagaimana tidak? Vita bilang bahwa laki-laki itu menyukai beberapa tulisanku,
sedangkan saat ini ia masih bisa bertingkah seolah aku ini bukan sosok penulis
prosa kesukaannya itu. Bagaimana bisa aku tidak gemas dibuatnya?
Dan disaat aku masih sibuk
menerka-nerka isi pikiran Gesa saat itu. Laki-laki itu mengulurkan sebuah loose
leaf ke hadapanku. Membuatku sedikit dibuat kebingungan dengan maksud yang ia
mau.
“Tulis apapun disitu, aku ingin
membaca tulisan aslimu..” Ucapnya dengan nada datar yang sama. Seolah memberiku
perintah secara otoriter. Namun herannya, aku menurut juga dan mengambil
secarik kertas itu. Lantas mulai menuliskan apapun yang sekiranya saat itu
sedang melintasi otakku.
Kali itu Vita hanya menyimak kami
berdua. Sedangkan ia, mengawasi setiap coretan tanganku di kertas itu. Seolah
sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang akulah yang menjadi penulis
beberapa prosa kesukaannya.
Hampir dua puluh menit aku menulis
dikertas tersebut. Dan setelah merasa cukup dengan apa yang kutuliskan, dan
membubuhkan titik terakhir di dalam tulisanku, ku serahkan kembali kertas itu
ke hadapan Gesa.
Laki-laki itu menerimanya dengan
senyum yang tersungging samar, namun lebar. Seketika aku menciut. Ini kali
pertama aku menatap laki-laki itu dari jarak sedekat ini. Selain itu, baru
sekali ini juga aku mendapatinya tersenyum seperti tadi. Senyum yang juga
membuat sebuah lesung pipi kecil di pipinya terlukis sempurna. Membuatku
kembali mencatat satu penemuan baru tentangnya. Tentang lesung pipi kecil di
pipi kirinya.
Vita berkali-kali mengacungkan ibu
jarinya kearahku, lantas beralih kepada Gesa dan menjulurkan lidahnya kepada
laki-laki itu. Seolah sedang mengejek, atau sekaligus menunjukkan bahwa aku
memang yang menulis semua itu.
Gesa membacanya dengan seksama.
Ditelitinya satu-persatu huruf yang kutuliskan di kertas itu, seolah dengan
begitu ia bisa menemukan alasan untuk membantahku. Namun ternyata hal itu tak
terjadi. Karena satu-satunya hal yang dilakukan Gesa setelah membaca habis
tulisanku adalah, memasukkan loose leaf itu kembali ke dalam binder biru-nya.
Lantas tersenyum puas kearahku, juga Vita.
“Gimana Ges? Bagus nggak?” Vita
kembali bertanya sebelum aku sempat membuka mulut untuk menanyakan pendapat
laki-laki itu.
“Bagus. Tapi setipe sama
tulisan-tulisan kamu di blog kampus..” Gesa hanya berkomentar singkat, dan
masih dengan suara bernada datar kesukaannya.
“Bukannya justru itu yang membuat
identitas satu orang penulis bisa berbeda dari penulis lain?” Kali ini Vita
yang menanggapi. Sedangkan aku, minatku kali ini hanya sebatas seorang
pendengar saja. Tidak ingin lebih lagi.
“Tapi kesannya monoton. Jadinya
mudah ditebak..” Gesa masih mempertahankan suara datarnya. Namun kali ini ia
melirikku sekilas, mungkin ingin tahu reaksiku atas sikapnya.
“Tapi pembaca yang baik akan membaca
cerita dari awal hingga selesai, bukannya langsung membuka bagian akhir dan
menebak sesuka hati tentang jalan ceritanya..” Ucapku pelan. Dan bagiku itu
sudah lebih cukup dari sekedar sebuah reaksi.
Aku hanya tidak suka ditebak. Dan
bagiku, laki-laki ini sudah melakukan hal yang tidak kusukai itu.
***
“Maaf ya Rin, tadi aku sama
sekali nggak bermaksud melibatkan kamu di dalam obrolan semacam tadi sama Gesa
..”
Vita duduk didekatku sore itu.
Sepertinya ia sedang menyesali apa yang tadi siang ia lakukan. Melibatkan aku
dan Gesa di dalam sebuah obrolan, yang pada akhirnya justru berbuntut dengan
sikap dingin dari masing-masing kami berdua.
Aku sendiri paham, bahwa Vita
sudah pasti tidak akan mungkin bermaksud melakukan hal tadi.
“Gesa itu satu-satunya hal yang
paling nggak bisa aku pahami, Rin. Yang sebentar ada, tapi sedetik kemudian
hilang lagi..”
Jantungku berdebar mendahului
ritme normalnya. Ucapan Vita barusan, bagiku sudah cukup mengisyaratkan
sesuatu.
“Dia nggak pernah keberatan ada
buat aku. Nggak pernah membatasi dirinya untuk melakukan sesuatu, untuk
siapapun. Tapi, dia nggak pernah ingin jatuh cinta. Sama sekali nggak memiliki
keinginan untuk mulai memikirkan bentuk perasaan apa yang mungkin terjadi
diantara seorang laki-laki dan perempuan. Dia lebih suka menjadi tak tersentuh.
Asing di dalam pemahaman yang dia bangun sendiri..”
Seketika jantungku mencelos. Apa
yang sempat menjadi kekhawatiranku ternyata sedang berproses menjadi nyata.
Vita juga menyukai Gesa.
“Gesa nggak pernah mau tahu soal
perasaanku, Rin. Sampai akhirnya aku tahu kalau dia suka membaca
tulisan-tulisan di blog kampus, dan salah satu kesukaannya adalah tulisan kamu
itu. Dia bahkan pernah seharian penuh membahas prosa-mu tentang mendung dan
gerimis itu. Bukannya itu prosa kesukaan kamu juga kan, Rin?”
Aku menelan ludah dengan susah
payah. Udara di sekeliling kami seolah menciut tanpa aba-aba. Mengalirkan
kesesakan yang hanya bisa kunikmati sendirian kala itu.
“Kalaupun kamu sudah tahu apa
yang mungkin saja kamu hadapi jika terus-menerus menyukai Gesa, maka
satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah memberikan penerimaan dengan
sebaik mungkin, Vit. Cinta itu selalu bisa bahagia dengan cara-cara yang
mungkin teramat sederhana. Tetapi kembali lagi pada dasarnya, bahwa kita hanya
perlu menerapkan konsep cukup, pada cinta sekalipun. Karena nggak pernah ada
tolok ukur yang tepat untuk cinta, selain kata cukup itu sendiri..”
Ucapanku mengalir seolah
memberikan nasehat kepada diriku sendiri. Nasehat untuk melakukan penerimaan
sebaik mungkin, pada apa yang telah kupilih, juga pada apa yang ditentukan oleh
Gesa sebagai pilihannya. Bahkan meski pilihannya adalah : tidak untuk dijadikan
pilihan.
“Tapi, nggak ada yang lebih
menyakitkan daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta,
Rin. Seolah kita sudah tahu bahwa itu jalan buntu, tetapi apa yang bisa kita
lakukan adalah sebatas terus berada di jalan itu, sekaligus mengabaikan
pertanda bahwa jalan itu sudah bernilai mustahil untuk ditembus..” Ucapan pelan
Vita menuliskan jawaban sekaligus kesimpulan bagi pemikiran dan keinginanku
saat itu.
“Tidak ada yang lebih sederhana
lagi dari konsep jatuh cinta. Dimana semua terjadi secara serta merta, tanpa
pengingkaran, tanpa banyak meminta pilihan, juga tanpa banyak menuliskan
keinginan. Semua terjadi begitu saja. Secara sederhana, dan seolah tanpa sadar
bahwa segala sesuatu—sekalipun yang sesederhana konsep jatuh cinta tadi—semua
akan bergerak untuk tumbuh. Semua akan melalui proses yang dinamakan
berkembang, tanpa terkecuali konsep jatuh cinta tadi.
Sedangkan satu-satunya hal yang
tidak bisa didefinisikan dengan sederhana, adalah konsep cinta itu sendiri.
Dimana kamu hanya bisa menerima perubahan secara serta-merta tadi tanpa bisa
memilih bentuknya. Sedangkan kamu, hatimu masih teramat awam untuk bisa
mengenali ratusan makna yang tak bisa begitu saja dijabarkan dengan kata itu.
Membuat konsep jatuh cinta yang
teramat sederhana tadi, perlahan mulai menunjukkan jalinan kerumitannya.
Perlahan.. Lantas kemudian menjelma tanpa makna. Dan setelah itu, lambat laun
tidak bisa diungkapkan dengan bahasa yang mungkin kita temui selama ini.
Sama halnya dengan mendung, yang
muncul tanpa banyak isyarat—karena justru ia lah sang isyarat tersebut. Dan
pada waktu-waktu berikutnya menjelma menjadi tetesan hujan.
Hujan, yang awalnya terbentuk
dari kumpulan awan, mendadak jatuh dan memilih turun untuk menjadi gerimis.
Yang muncul sebagai akibat dari keberadaan mendung tadi. Yang membuat kita
berhenti menebak isyarat. Berhenti, dan benar-benar tidak lagi mencari tahu
kenapa gerimis harus turun lagi.”
Mendung
dan gerimis (Arina Hanida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar