Rabu, Juli 17, 2013

Mendung dan Gerimis.


            “Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta..”
             Ucapan Vita berkali-kali bergaung di telingaku, lantas kemudian mengudara di kepalaku. Ikut memenuhi pikiranku yang sejak tadi siang memadat tanpa alasan. Eh, bukannya tanpa alasan. Tetapi lebih tepatnya jika aku sendiri yang tidak ingin menganggapnya sebagai sebuah alasan.
            Kalau saja hari ini tidak perlu ada kuliah tambahan. Atau, kalau saja hari ini aku tidak perlu terlibat obrolan dengan Vita dan laki-laki itu, tentu semuanya tidak akan menjadi seaneh dan sejanggal ini. Tetapi, siapa coba yang bisa menghentikan dan mengubah jalannya takdir?

            “Arina !”
            Aku menoleh cepat saat mendengar seseorang memanggilku. Ternyata Vita, gadis itu hanya duduk-duduk di gazebo dekat kelasnya sembari menghadap laptop. Sedangkan di depannya, seorang laki-laki berwajah lonjong yang teramat sangat kukenali itu, sedang sibuk mencatat dari buku diktat tebal di depannya. Seketika laki-laki bernama Gesa itu ikut mendongak, seolah menyambut kedatanganku yang sebenarnya tanpa sengaja.
            “Tumben masuk hari Kamis?” Vita kembali melemparkan tanyanya, disusul dengan suara renyah khasnya, bercampur senyum manis dari gadis yang kebetulan juga tinggal di rumah kost yang sama denganku.
            “Pak Tomo ngasih kuliah tambahan. Lusa beliau absen karena mau ada acara keluarga. Masih ada kuliah lagi, Vit?” Merasa sungkan jika harus mengobrol sambil berdiri, aku segera mengambil duduk di depan Vita. Atau lebih tepatnya, di depan Gesa, karena hanya ada tiga tempat duduk di gazebo kecil itu.
            “Nggak ada sih, kepingin download film, Rin.. Hehehe. Lagian diktat-ku juga masih dipinjem sama si Gesa nih..” Vita menjawabku acuh, karena sekali lagi perhatiannya berhasil tersita penuh oleh laptop di depannya. 

            Alhasil, tinggal aku yang duduk berhadapan dengan Gesa. Dimana keadaannya adalah, aku yang iseng-iseng melihat apa yang dicatat oleh laki-laki itu, dan Gesa yang seolah tak menyadari kehadiranku. Sedikitpun.
            “Anak sastra ya?”
            Suara berat khas laki-laki itu membuatku tersentak sesaat. Aku masih mematung, merasa belum yakin jika ucapan barusan memang keluar dari mulut seorang Gesa, dan ditujukan untuk seorang Arina. Namun setelah menunggu beberapa detik, ditambah dengan Gesa yang saat itu menghentikan kegiatan mencatatnya dan memutuskan untuk duduk tegap menghadapku, membuatku kembali yakin bahwa ucapan tadi memang benar-benar ditujukan untukku.

            “Iya. Inggris.. Sekelas sama Vita?” Ucapanku terdengar samar hingga aku sendiri bahkan tak yakin jika laki-laki itu bisa mendengarnya.
            “Iya, Rin.. Ya si Gesa ini nih yang sering kuceritain sama kamu. Yang suka bikin ulah sama Bu Rosi itu..” Kali ini Vita menyambar obrolan kami. Membuatku membalasnya dengan anggukan dan sedikit senyum sumbang yang samar.
            “Apa sih..” Gesa menanggapi singkat. Lantas sedetik kemudian kembali menghadapkan kepalanya kearah buku di depannya. Sibuk mencatat lagi dan tidak menyadari kehadiranku untuk kedua kalinya.
            “Eh Ges, Arina ini yang nulis prosa favoritmu itu loh..” Vita bersuara sekali lagi. Kali ini laptopnya sedikit ditundukkan, mungkin proses downloadnya terlalu lama sehingga ia berfikir untuk mengobrol terlebih dulu sembari menunggu.

            Alisku tertaut. Tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Vita soal prosa tadi. Prosa.. Favorit Gesa? Seketika perutku serasa dikelilingi jutaan kupu-kupu yang entah darimana datangnya. Ada sekelebat perasaan senang yang juga tidak memiliki alasan.
            “Si penulis mendung?” Pertanyaan Gesa hanya singkat. Namun sekali lagi berhasil membuat perutku serasa diaduk-aduk dengan kencang.
            “Nah.. Itu lho Rin, yang prosa-mu soal mendung dan gerimis.. Yang kamu post di blog kampus.. Itu favorit Gesa loh..”
            Vita masih sibuk bercerita panjang lebar soal kesukaan Gesa pada beberapa tulisan yang memang sengaja ku posting di blog kampus. Yang sebenarnya lebih kutujukan untuk kepentingan pemenuhan literatur yang memang beberapa diantaranya harus hasil karya dari mahasiswa pada jurusan terkait.

            Kulirik sekali lagi laki-laki berambut lurus itu. Poni pendeknya sedikit dibuat jambul keatas, membuat kesan acak-acakan sehingga menambah penilaian plus laki-laki itu dimataku. Yang memang kulakukan diam-diam semenjak beberapa bulan terakhir ini.
            Sedangkan si empunya justru masih acuh dan terus menerus memfokuskan dirinya terhadap catatan yang sedari tadi seolah tidak selesai itu. Yang membuat rasa penasaranku sedikit tergelitik. Bagaimana tidak? Vita bilang bahwa laki-laki itu menyukai beberapa tulisanku, sedangkan saat ini ia masih bisa bertingkah seolah aku ini bukan sosok penulis prosa kesukaannya itu. Bagaimana bisa aku tidak gemas dibuatnya?
            Dan disaat aku masih sibuk menerka-nerka isi pikiran Gesa saat itu. Laki-laki itu mengulurkan sebuah loose leaf ke hadapanku. Membuatku sedikit dibuat kebingungan dengan maksud yang ia mau.

            “Tulis apapun disitu, aku ingin membaca tulisan aslimu..” Ucapnya dengan nada datar yang sama. Seolah memberiku perintah secara otoriter. Namun herannya, aku menurut juga dan mengambil secarik kertas itu. Lantas mulai menuliskan apapun yang sekiranya saat itu sedang melintasi otakku.
            Kali itu Vita hanya menyimak kami berdua. Sedangkan ia, mengawasi setiap coretan tanganku di kertas itu. Seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang akulah yang menjadi penulis beberapa prosa kesukaannya.
            Hampir dua puluh menit aku menulis dikertas tersebut. Dan setelah merasa cukup dengan apa yang kutuliskan, dan membubuhkan titik terakhir di dalam tulisanku, ku serahkan kembali kertas itu ke hadapan Gesa.
            Laki-laki itu menerimanya dengan senyum yang tersungging samar, namun lebar. Seketika aku menciut. Ini kali pertama aku menatap laki-laki itu dari jarak sedekat ini. Selain itu, baru sekali ini juga aku mendapatinya tersenyum seperti tadi. Senyum yang juga membuat sebuah lesung pipi kecil di pipinya terlukis sempurna. Membuatku kembali mencatat satu penemuan baru tentangnya. Tentang lesung pipi kecil di pipi kirinya.

            Vita berkali-kali mengacungkan ibu jarinya kearahku, lantas beralih kepada Gesa dan menjulurkan lidahnya kepada laki-laki itu. Seolah sedang mengejek, atau sekaligus menunjukkan bahwa aku memang yang menulis semua itu.
            Gesa membacanya dengan seksama. Ditelitinya satu-persatu huruf yang kutuliskan di kertas itu, seolah dengan begitu ia bisa menemukan alasan untuk membantahku. Namun ternyata hal itu tak terjadi. Karena satu-satunya hal yang dilakukan Gesa setelah membaca habis tulisanku adalah, memasukkan loose leaf itu kembali ke dalam binder biru-nya. Lantas tersenyum puas kearahku, juga Vita.

            “Gimana Ges? Bagus nggak?” Vita kembali bertanya sebelum aku sempat membuka mulut untuk menanyakan pendapat laki-laki itu.
            “Bagus. Tapi setipe sama tulisan-tulisan kamu di blog kampus..” Gesa hanya berkomentar singkat, dan masih dengan suara bernada datar kesukaannya.
            “Bukannya justru itu yang membuat identitas satu orang penulis bisa berbeda dari penulis lain?” Kali ini Vita yang menanggapi. Sedangkan aku, minatku kali ini hanya sebatas seorang pendengar saja. Tidak ingin lebih lagi.

            “Tapi kesannya monoton. Jadinya mudah ditebak..” Gesa masih mempertahankan suara datarnya. Namun kali ini ia melirikku sekilas, mungkin ingin tahu reaksiku atas sikapnya.
            “Tapi pembaca yang baik akan membaca cerita dari awal hingga selesai, bukannya langsung membuka bagian akhir dan menebak sesuka hati tentang jalan ceritanya..” Ucapku pelan. Dan bagiku itu sudah lebih cukup dari sekedar sebuah reaksi. 

Aku hanya tidak suka ditebak. Dan bagiku, laki-laki ini sudah melakukan hal yang tidak kusukai itu.

***
“Maaf ya Rin, tadi aku sama sekali nggak bermaksud melibatkan kamu di dalam obrolan semacam tadi sama Gesa ..”
Vita duduk didekatku sore itu. Sepertinya ia sedang menyesali apa yang tadi siang ia lakukan. Melibatkan aku dan Gesa di dalam sebuah obrolan, yang pada akhirnya justru berbuntut dengan sikap dingin dari masing-masing kami berdua.

Aku sendiri paham, bahwa Vita sudah pasti tidak akan mungkin bermaksud melakukan hal tadi.
“Gesa itu satu-satunya hal yang paling nggak bisa aku pahami, Rin. Yang sebentar ada, tapi sedetik kemudian hilang lagi..” 

Jantungku berdebar mendahului ritme normalnya. Ucapan Vita barusan, bagiku sudah cukup mengisyaratkan sesuatu.

“Dia nggak pernah keberatan ada buat aku. Nggak pernah membatasi dirinya untuk melakukan sesuatu, untuk siapapun. Tapi, dia nggak pernah ingin jatuh cinta. Sama sekali nggak memiliki keinginan untuk mulai memikirkan bentuk perasaan apa yang mungkin terjadi diantara seorang laki-laki dan perempuan. Dia lebih suka menjadi tak tersentuh. Asing di dalam pemahaman yang dia bangun sendiri..”
Seketika jantungku mencelos. Apa yang sempat menjadi kekhawatiranku ternyata sedang berproses menjadi nyata. Vita juga menyukai Gesa.

“Gesa nggak pernah mau tahu soal perasaanku, Rin. Sampai akhirnya aku tahu kalau dia suka membaca tulisan-tulisan di blog kampus, dan salah satu kesukaannya adalah tulisan kamu itu. Dia bahkan pernah seharian penuh membahas prosa-mu tentang mendung dan gerimis itu. Bukannya itu prosa kesukaan kamu juga kan, Rin?”
Aku menelan ludah dengan susah payah. Udara di sekeliling kami seolah menciut tanpa aba-aba. Mengalirkan kesesakan yang hanya bisa kunikmati sendirian kala itu.

“Kalaupun kamu sudah tahu apa yang mungkin saja kamu hadapi jika terus-menerus menyukai Gesa, maka satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah memberikan penerimaan dengan sebaik mungkin, Vit. Cinta itu selalu bisa bahagia dengan cara-cara yang mungkin teramat sederhana. Tetapi kembali lagi pada dasarnya, bahwa kita hanya perlu menerapkan konsep cukup, pada cinta sekalipun. Karena nggak pernah ada tolok ukur yang tepat untuk cinta, selain kata cukup itu sendiri..”

Ucapanku mengalir seolah memberikan nasehat kepada diriku sendiri. Nasehat untuk melakukan penerimaan sebaik mungkin, pada apa yang telah kupilih, juga pada apa yang ditentukan oleh Gesa sebagai pilihannya. Bahkan meski pilihannya adalah : tidak untuk dijadikan pilihan.

“Tapi, nggak ada yang lebih menyakitkan daripada jatuh cinta sama orang yang nggak kepingin jatuh cinta, Rin. Seolah kita sudah tahu bahwa itu jalan buntu, tetapi apa yang bisa kita lakukan adalah sebatas terus berada di jalan itu, sekaligus mengabaikan pertanda bahwa jalan itu sudah bernilai mustahil untuk ditembus..” Ucapan pelan Vita menuliskan jawaban sekaligus kesimpulan bagi pemikiran dan keinginanku saat itu.


“Tidak ada yang lebih sederhana lagi dari konsep jatuh cinta. Dimana semua terjadi secara serta merta, tanpa pengingkaran, tanpa banyak meminta pilihan, juga tanpa banyak menuliskan keinginan. Semua terjadi begitu saja. Secara sederhana, dan seolah tanpa sadar bahwa segala sesuatu—sekalipun yang sesederhana konsep jatuh cinta tadi—semua akan bergerak untuk tumbuh. Semua akan melalui proses yang dinamakan berkembang, tanpa terkecuali konsep jatuh cinta tadi.
Sedangkan satu-satunya hal yang tidak bisa didefinisikan dengan sederhana, adalah konsep cinta itu sendiri. Dimana kamu hanya bisa menerima perubahan secara serta-merta tadi tanpa bisa memilih bentuknya. Sedangkan kamu, hatimu masih teramat awam untuk bisa mengenali ratusan makna yang tak bisa begitu saja dijabarkan dengan kata itu.
Membuat konsep jatuh cinta yang teramat sederhana tadi, perlahan mulai menunjukkan jalinan kerumitannya. Perlahan.. Lantas kemudian menjelma tanpa makna. Dan setelah itu, lambat laun tidak bisa diungkapkan dengan bahasa yang mungkin kita temui selama ini.
Sama halnya dengan mendung, yang muncul tanpa banyak isyarat—karena justru ia lah sang isyarat tersebut. Dan pada waktu-waktu berikutnya menjelma menjadi tetesan hujan.
Hujan, yang awalnya terbentuk dari kumpulan awan, mendadak jatuh dan memilih turun untuk menjadi gerimis. Yang muncul sebagai akibat dari keberadaan mendung tadi. Yang membuat kita berhenti menebak isyarat. Berhenti, dan benar-benar tidak lagi mencari tahu kenapa gerimis harus turun lagi.”

 Mendung dan gerimis (Arina Hanida)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar