Rabu, Maret 27, 2013

Pemahaman.


Ceritakan padaku tentang apakah hal yang lebih menyesakkan jika dibandingkan dengan keterasingan.
Benar-benar dikesampingkan, sendirian, dan sama sekali tidak tahu bagaimana caranya menutupi kekosongan yang tanpa sadar muncul ke permukaan.

Sama sekali kehilangan. Tanpa arah, begitu pun dengan tujuannya.

Aku tak sedang membicarakan sebuah keluhan, ataupun paksaan pengertian pada siapapun. 
Tidak tanpa pengecualian. 
Aku hanya sedang mencari tahu, kemana arah yang harusnya kuikuti. 
Aku sangat ingin tahu, kemanakah aku sedang dilimbungkan. 
Pada apakah aku sedang dialurkan. 

Aku benar-benar ingin tahu, sekaligus benar-benar tidak tahu.

Disini semua masih sama. Bentuk, warna, rasa, semuanya masih sama. 
Tetapi aku merasa tidak. 
Aku merasa semua perlahan membeda, perlahan berubah satu sama lain, dan akhirnya tak lagi sama.
Salahkah pandanganku?

Mereka tersenyum. 
Menghibur. 
Menjaga. 
Mengasihi. 
Melindungi. 
Tapi aku tetap merasa semua tidak seperti itu.
Semua terasa berbeda di mataku. 
Semua terasa asing bagi penglihatanku. 

Aku ketakutan. 
Menggigil. 
Kedinginan. 
Dan aku tetap sendirian.

Orang-orang bijak itu menasehatiku. 
Mengatakan padaku tentang apa yang mereka ketahui tentang masalahku. 
Memberitahuku tentang hidup yang punya dua sisi. Susah dan senang. 
Tapi aku tahu itu. 
Aku tahu, meskipun dengan malu kuakui juga, aku tak pernah benar-benar memahaminya. 
Tak pernah benar-benar bisa menelaah maksudnya.

Mereka tersenyum. 
Saling pandang satu sama lain, seolah menyepakati sebuah jawaban untuk diberikannya padaku.

“Kalau saja masalahmu ini memberikan jalan keluar yang sesuai dengan harapanmu, kau mau apa?” Salah satu dari mereka menanyakan ini padaku.

Aku diam sesaat. Pikirku mulai meracik jawaban. Sediplomatis mungkin. 

“Aku akan lebih bersyukur dibandingkan detik ini..” Kuakhirkan sebuah senyum untuk jawabanku.

“Kalau ternyata masalah ini, jalan keluarnya adalah hal yang paling tidak kau ingini, masihkah kau mau bersyukur untuk itu?”
Aku diam. Benar-benar diam. Otakku sama sekali tak sedang meracik jawaban.

“Kau tak tahu jawabnya? Boleh kubantu menjawabnya?”
Seseorang lain diantara mereka ikut bersuara.

“Kalau kau mau mencari buku mana yang memuat jawabanku ini, aku sangat yakin bahwa kau akan seribu kali lebih bersyukur, sekalipun jalan keluar masalahmu adalah kebencian dan ketidaksukaanmu..”

“Maksud Anda?” Aku benar-benar dibuat bingung dengan jawaban orang ini.

“Kau boleh percaya, boleh juga tidak. Bahwa semua masalah, semua beban, yang akan, yang telah, ataupun yang sedang ditimpakan kepadamu, sebenarnya telah sepaket dengan jalan keluarnya. Hanya saja, sangat sedikit orang yang bisa melihat itu. Sangat sedikit orang yang mau mencari jalan keluar itu. Mereka terlalu cepat takut, terlalu cepat kecewa, pada apa-apa yang bahkan sebenarnya tidak mereka ketahui sedikitpun..”

Aku tercengang. Perkataan itu mulai menyentuh bibir pemahamanku.

“Banyak orang yang terlebih dulu mendoktrin ketidaksukaan mereka pada istilah kemalangan. Dan lebih banyak lagi, orang yang menyimpulkan bahwa apa-apa yang menyenangkan hati mereka adalah sebuah keberuntungan. Padahal, apakah mereka benar-benar tahu, bahwa itu memang sebuah kemalangan ataukah sebuah keberuntungan?”

Pemahamanku terbuka. 
Meski tak sepenuhnya semua bisa kuterima tanpa sanggahan kecil. 

Aku mulai memikirkan racikan jawaban lain. 
Tak peduli lagi apakah itu akan terdengar diplomatis atau tidak.

“Ku jawab pertanyaan Anda yang tadi. Bahwa sekalipun masalahku satu paket dengan jalan keluar yang pernah kupanggil sebagai sebuah kemalangan, maka aku memutuskan untuk lebih bersyukur lagi dibandingkan detik yang membisikkanku jawaban yang kusukai tadi..”

Aku tersenyum. 
Sekaligus menangis. 
Mengutuki kesendirian yang mengalamatkanku pada sebuah keegoisan pikir. 
Yang hampir menjerumuskanku di dalam kebutaan arah. 
Lagi-lagi aku diberi pemahaman.

“Bukankah Tuhan-ku lebih besar daripada apapun di semesta ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar