Rabu, Maret 27, 2013

Saat lelah menemukan celah..


Aku sudah berlari, sekalipun aku hampir kehabisan nafas untuk itu.

Sekali lagi, aku kembali berlari, benar-benar berlari, entah untuk mengejar apa. Entah untuk mensejajarkan langkah dengan apa, atau mungkin dengan siapa. Tak pernah ada jawaban jelas soal itu.

Aku kelelahan.

Sangat-sangat kelelahan. Benar-benar telah sampai di depan gerbang pemberhentian, bukan untuk menyatakan kalah. Tetapi ingin sekali menyudahi pencarian. Sangat ingin mengakhiri kelelahan yang selama ini kucari dan bahkan kuciptakan sendiri.

Aku duduk. Diam. Mematung, dan membiarkan rambut ekor kuda-ku berantakan tertiup angin. Siang ini tidak sepanas biasanya, atau sebut saja cerah. Tidak mendung, dan bukan juga panas menggigit yang membuat punggung telapak tanganku mendadak berwarna kecokelatan karena lebih sering terkena matahari langsung, dibandingkan bagian yang tertutup jaket-ku.

Kurapatkan sekali lagi cardigan cokelat-ku, membiarkan rasa hangat sekaligus sejuk kali itu, terperangkap di dalamnya. 

Apa-apa yang berada di sekitarku sama sekali tidak berhasil menarik perhatian. Deretan penjual yang menjajakan aneka makanan serta minuman, yang juga tidak henti-hentinya menawarkan obat-obat tradisionalnya, sekaligus yang sedang merayu seorang anak kecil secara diam-diam untuk mau membeli sebuah balon bergambar kepala Mickey Mouse di genggamannya.

Aku benar-benar kelelahan. Bahkan sampai aku sendiri pun tidak tahu, apa yang sebenarnya kuinginkan dari kedatanganku ke taman kota pukul satu siang seperti kali ini. Tetapi aku terlanjur berada disini, berada didalam atmosfer menjebak, yang mengungkungku di dalam ketidaktahuan yang sama sekali tidak bisa kupahami sebabnya.

Ponsel di saku celana sudah kumatikan sejak tadi. Aku memang bermaksud menghindari apapun. Menghindari siapapun, tanpa ada sedikitpun tawar menawar untuk sebuah pengecualian. 

Aku lebih mirip dengan orang kalut, yang kehilangan, sekaligus tidak tahu apa yang sedang membuatnya merasa sebegitu kehilangannya.

Beberapa mata mulai iseng menatapku. Pandangan itu jika kuartikan secara garis besar, maka semua memiliki kesamaan makna ; iba.

Dan aku benci sekali hal itu.

Aku ini bukan seseorang yang sedang membutuhkan rasa kasihan. Bukan juga seseorang yang sedang merasa sedih begitu dalam. Aku tidak sedang patah. Tidak sedang pecah.

Aku hanya seseorang, yang sedang mati-matian membunuh rasa kehilangannya. 
Ya, itu aku yang sebenarnya. 

Seorang gadis yang hanya membodohi dirinya sendiri di dalam sebuah penantian tanpa ujung akhir. Seorang gadis yang tanpa sadar tengah membuang-buang waktu berharganya demi menantikan sesuatu yang tidak jelas kedatangannya. Entah nanti, atau justru tidak datang sama sekali.

Aku tak pernah suka sendirian. Itu kejujuran.
Tetapi untuk bersembunyi dibalik ketidaktahuan, sekaligus kehilangan yang semakin merumit ini, aku memutuskan untuk menyukai kesendirian. Merasa aman dibalik kekosongan, sekaligus tetap merasa baik-baik saja sekalipun masih saja kehilangan.

Tetapi aku terlanjur sendiri. Terlanjur menolak kehadiran siapapun. Terlanjur mengindahkan kemauan hati untuk terus terpasung egois, dan bertahan, bahkan meski tanpa satupun teman.

Kuperhatikan dari balik diam dan airmata yang kusembunyikan dari balik punggungnya, ia menjauh. Perlahan makin jauh, dan menyisakan sebuah titik dari pandangan yang bisa kudapati.

Aku menangis dalam diam.
Sakit..
Sakit sekali…

Aku kehilangan. Dan ia tidak.
Aku sendirian. Dan ia masih berkawan.
Aku menunggunya berbalik. Dan ia tak sadar jika sedang ditunggu.

Lantas, masih bolehkah aku tidak marah? Masih bolehkah aku tidak kelelahan?

Tiba-tiba sebuah genggaman meraihku. Mengajakku berdiri tanpa banyak bicara. Senyumnya terkembang sempurna, lebar, bersahabat, dan cukup kuat untuk kujadikan sebagai obat. Diselipkannya sebuah kertas berwarna biru langit ke tanganku. Ia tersenyum sekali lagi, lebih lebar, lebih indah.

Magis.

Membuatku benar-benar lupa akan semua rasa sakit. Benar-benar tak lagi mampu mengingat, sebesar apakah rasa kehilangan itu sampai akhirnya ia datang dan mengulurkan tangannya demi mengajakku beranjak.

“Sama sekali tidak ingin membaca itu? Sehari semalam aku menulisnya..” Tawaku pecah seketika, bersamaan dengan senyum lebar-hangat-miliknya, sekaligus kehangatan yang menjalar dibalik telapak tanganku yang tenggelam dibalik genggaman tangannya.

Sengaja kubaca keras-keras tulisan rapi itu ;
“Aku akan menunjukkanmu banyak hal indah kalau kau mau. Bukan hanya sekadar rumah mewah ataupun taman dengan banyak bunga yang selalu kau sukai. Bukan tentang apa-apa yang bisa kau lihat. Tidak juga tentang hal yang bisa kulihat. Ini tentang sesuatu yang kau rasa, bukan yang ia rasa..”

“Bagaimana, kau bersedia?”, kejutnya setelah aku selesai membaca.

Aku menatapnya sekilas. Tanpa ekspresi apa-apa.

Matanya. Senyumnya. Wajahnya. Seluruh gestur tubuhnya. Semua sedang mengatakan hal yang sama. Aku tahu. Bahkan sekalipun ia tak pernah mengutarakannya. Aku yakin, bahkan meski ia tidak pernah meyakinkanku untuk mempercayainya. Aku hanya melihat, ah.. bukan melihat. Aku merasakan. Ya, aku merasakan. Aku tak bisa melihat semua itu. 

Ia benar. Ini bukan tentang apa-apa yang bisa kulihat ataupun yang bisa ia lihat.
Ini hanya tentang apa yang bisa kurasa…

“Ya..”

Aku berucap hati-hati. Kali ini ia balas menatapku tanpa ekspresi yang bisa kuterjemahkan maknanya. 

Namun sedetik kemudian tawa kami pecah.

Aku bahagia. Meski ini benar-benar lebih sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar