Aku sudah
berlari, sekalipun aku hampir kehabisan nafas untuk itu.
Sekali lagi, aku
kembali berlari, benar-benar berlari, entah untuk mengejar apa. Entah untuk
mensejajarkan langkah dengan apa, atau mungkin dengan siapa. Tak pernah ada
jawaban jelas soal itu.
Aku kelelahan.
Sangat-sangat
kelelahan. Benar-benar telah sampai di depan gerbang pemberhentian, bukan untuk
menyatakan kalah. Tetapi ingin sekali menyudahi pencarian. Sangat ingin
mengakhiri kelelahan yang selama ini kucari dan bahkan kuciptakan sendiri.
Aku duduk. Diam.
Mematung, dan membiarkan rambut ekor kuda-ku berantakan tertiup angin. Siang ini
tidak sepanas biasanya, atau sebut saja cerah. Tidak mendung, dan bukan juga
panas menggigit yang membuat punggung telapak tanganku mendadak berwarna kecokelatan
karena lebih sering terkena matahari langsung, dibandingkan bagian yang
tertutup jaket-ku.
Kurapatkan sekali
lagi cardigan cokelat-ku, membiarkan rasa hangat sekaligus sejuk kali itu,
terperangkap di dalamnya.
Apa-apa yang
berada di sekitarku sama sekali tidak berhasil menarik perhatian. Deretan penjual
yang menjajakan aneka makanan serta minuman, yang juga tidak henti-hentinya
menawarkan obat-obat tradisionalnya, sekaligus yang sedang merayu seorang anak
kecil secara diam-diam untuk mau membeli sebuah balon bergambar kepala Mickey Mouse
di genggamannya.
Aku benar-benar
kelelahan. Bahkan sampai aku sendiri pun tidak tahu, apa yang sebenarnya
kuinginkan dari kedatanganku ke taman kota pukul satu siang seperti kali ini.
Tetapi aku terlanjur berada disini, berada didalam atmosfer menjebak, yang
mengungkungku di dalam ketidaktahuan yang sama sekali tidak bisa kupahami
sebabnya.
Ponsel di saku
celana sudah kumatikan sejak tadi. Aku memang bermaksud menghindari apapun. Menghindari
siapapun, tanpa ada sedikitpun tawar menawar untuk sebuah pengecualian.
Aku lebih mirip
dengan orang kalut, yang kehilangan, sekaligus tidak tahu apa yang sedang
membuatnya merasa sebegitu kehilangannya.
Beberapa mata
mulai iseng menatapku. Pandangan itu jika kuartikan secara garis besar, maka semua
memiliki kesamaan makna ; iba.
Dan aku benci
sekali hal itu.
Aku ini bukan
seseorang yang sedang membutuhkan rasa kasihan. Bukan juga seseorang yang
sedang merasa sedih begitu dalam. Aku tidak sedang patah. Tidak sedang pecah.
Aku hanya
seseorang, yang sedang mati-matian membunuh rasa kehilangannya.
Ya, itu aku yang
sebenarnya.
Seorang gadis
yang hanya membodohi dirinya sendiri di dalam sebuah penantian tanpa ujung
akhir. Seorang gadis yang tanpa sadar tengah membuang-buang waktu berharganya
demi menantikan sesuatu yang tidak jelas kedatangannya. Entah nanti, atau
justru tidak datang sama sekali.
Aku tak pernah
suka sendirian. Itu kejujuran.
Tetapi untuk
bersembunyi dibalik ketidaktahuan, sekaligus kehilangan yang semakin merumit
ini, aku memutuskan untuk menyukai kesendirian. Merasa aman dibalik kekosongan,
sekaligus tetap merasa baik-baik saja sekalipun masih saja kehilangan.
Tetapi aku
terlanjur sendiri. Terlanjur menolak kehadiran siapapun. Terlanjur mengindahkan
kemauan hati untuk terus terpasung egois, dan bertahan, bahkan meski tanpa
satupun teman.
Kuperhatikan dari
balik diam dan airmata yang kusembunyikan dari balik punggungnya, ia menjauh. Perlahan
makin jauh, dan menyisakan sebuah titik dari pandangan yang bisa kudapati.
Aku menangis
dalam diam.
Sakit..
Sakit sekali…
Aku kehilangan. Dan
ia tidak.
Aku sendirian. Dan
ia masih berkawan.
Aku menunggunya
berbalik. Dan ia tak sadar jika sedang ditunggu.
Lantas, masih
bolehkah aku tidak marah? Masih bolehkah aku tidak kelelahan?
Tiba-tiba sebuah
genggaman meraihku. Mengajakku berdiri tanpa banyak bicara. Senyumnya terkembang
sempurna, lebar, bersahabat, dan cukup kuat untuk kujadikan sebagai obat. Diselipkannya
sebuah kertas berwarna biru langit ke tanganku. Ia tersenyum sekali lagi, lebih
lebar, lebih indah.
Magis.
Membuatku benar-benar
lupa akan semua rasa sakit. Benar-benar tak lagi mampu mengingat, sebesar
apakah rasa kehilangan itu sampai akhirnya ia datang dan mengulurkan tangannya
demi mengajakku beranjak.
“Sama sekali
tidak ingin membaca itu? Sehari semalam aku menulisnya..” Tawaku pecah
seketika, bersamaan dengan senyum lebar-hangat-miliknya, sekaligus kehangatan
yang menjalar dibalik telapak tanganku yang tenggelam dibalik genggaman
tangannya.
Sengaja kubaca
keras-keras tulisan rapi itu ;
“Aku
akan menunjukkanmu banyak hal indah kalau kau mau. Bukan hanya sekadar rumah
mewah ataupun taman dengan banyak bunga yang selalu kau sukai. Bukan tentang
apa-apa yang bisa kau lihat. Tidak juga tentang hal yang bisa kulihat. Ini tentang
sesuatu yang kau rasa, bukan yang ia rasa..”
“Bagaimana, kau
bersedia?”, kejutnya setelah aku selesai membaca.
Aku menatapnya
sekilas. Tanpa ekspresi apa-apa.
Matanya. Senyumnya.
Wajahnya. Seluruh gestur tubuhnya. Semua sedang mengatakan hal yang sama. Aku tahu.
Bahkan sekalipun ia tak pernah mengutarakannya. Aku yakin, bahkan meski ia
tidak pernah meyakinkanku untuk mempercayainya. Aku hanya melihat, ah.. bukan
melihat. Aku merasakan. Ya, aku merasakan. Aku tak bisa melihat semua itu.
Ia benar. Ini bukan
tentang apa-apa yang bisa kulihat ataupun yang bisa ia lihat.
Ini hanya
tentang apa yang bisa kurasa…
“Ya..”
Aku berucap hati-hati.
Kali ini ia balas menatapku tanpa ekspresi yang bisa kuterjemahkan maknanya.
Namun
sedetik kemudian tawa kami pecah.
Aku bahagia. Meski
ini benar-benar lebih sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar