Rabu, Maret 14, 2012

Puisi, Aku, Kamu, dan Tujuhbelas Tahunku



Hari ini tujuhbelas tahun usiaku. Usia yang selalu diumpamakan emas bagi setiap remaja, terlebih lagi bagiku. Entah kenapa, aku selalu menunggu saat ini, menunggu usia emasku tiba, dan menikmati setiap tahap yang mengantarkanku padanya.

Aku memasuki gerbang sekolahku dengan perasaan yang sulit ku lukiskan, yang jelas hari ini aku sangat bahagia. Beberapa orang yang kukenal mengikuti langkahku dari belakang, dan tanpa menoleh sekalipun aku bisa merasakan betapa aura bahagia mereka terpancar kuat dan tersirat di balik langkah ringan mereka.

“Nad !”

Aku menoleh dan mendapati senyum Lala tersungging manis menyapaku.
“Tumben berangkat pagi? Ada apa nih?” Gadis itu menjajari langkahku, kucir rambutnya bergerak-gerak mengikuti ayunan langkahnya. “Enaknya ada apa ya La? Bentar, aku pikir-pikir dulu ya.. Kasih aku waktu tiga tahun..” Aku menjawab ringan, mencoba melempar keceriaan untuk membuka hari ini.

“Selalu aja ! Ada pe-er ya?” Lala menggerutu, namun bibirnya tersenyum kecil, dan aku bersyukur sudah mampu membuat seseorang tersenyum pagi ini. “Nggak tahu ya, aku nggak mau mikir gitu ah !” Aku mencibir sambil mengedarkan pandanganku meneliti lapangan basket sekolahku yang masih terlihat sepi kali ini.

“Ih ! Denger-denger pensi nanti datengin artis loh..” Lala mencubit udara di sekitarnya karena aku sempat berkelit saat gadis itu akan memulai jurus cubitan andalannya. “Ah, paling juga hampir sama kaya tahun kemarin.. Itu lagi, itu lagi..” Kali ini aku yang menggerutu, ingatanku kembali merujuk pada tahun lalu saat pensi sekolah kami mendatangkan artis untuk yang pertama kalinya.

“Terus maunya??” Lala bertanya sedikit sebal saat mengetahui reaksiku tak seheboh yang ia harapkan. “Bikin acara biasa aja lah, pokoknya bisa nunjukin bakat-bakatnya murid sini, gitu kayanya lebih berkesan deh.. Bikin seleksi gitu buat pengisi acaranya..” Kali ini aku tidak bisa membatasi mulutku untuk berbicara.

Menurutku memang acara seperti itu akan lebih baik, daripada harus mengeluarkan dana yang sama sekali tidak akan sedikit jika harus mendatangkan artis lagi seperti tahun lalu. Dimana kami yang sudah membayar banyak, hanya bisa duduk atau paling heboh adalah naik kursi sambil jingkrak-jingkrak, tanpa bisa melihat dengan jelas personel-personel band ibukota yang konon katanya tampan sekali itu.

Beberapa saat kemudian aku dan Lala sudah tiba di kelas. Dan seperti yang sudah kuduga, jika jam masih belum menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, maka XI IPA 5 akan terlihat sepi seperti pagi ini. Bangku-bangku juga masih duduk manis diatas meja, pertanda kami berdua adalah pendatang pertama dan kedua di kelas ini.

“Nyesel deh berangkat sepagi ini..” Lala menghempaskan duduknya lemah. Gadis itu langsung sibuk dengan Blackberry-nya. “Kenapa nyesel?” Aku menghampiri Lala yang terlihat cemberut.

“Kalo sepagi ini kan Reza belum datang.. Ah, nyesel, nyesel, nyesel !” Lala menghentak-hentakkan kakinya di lantai yang sama sekali tak bersalah padanya. Aku langsung mengangguk-angguk paham. Reza adalah anak kelas XI IPA 2 yang selama ini mati-matian disukai temanku ini. Dan kebiasaannya adalah tidak akan muncul di sekolah sebelum bel berdentang satu kali.

“Mentang-mentang rumahnya cuma tinggal nyebrang aja, datangnya sok nelat !” Lala masih menggerutu. Kadang-kadang aku ragu bagaimana sebenarnya perasaan gadis itu pada Reza, mengingat ia tak pernah ragu untuk mengomentari kebiasaan-kebiasaan buruk pujaan hati-nya itu.

“Ya kamu nongkrong aja di depan kelas dari sekarang. Toh, IPA 2 kan kelihatan dari sini..” Aku mencoba memberi saran yang mungkin masuk akal untuk Lala. “Iya, IPA 2-nya emang kelihatan dari sini, tapi masalahnya IPA 5-nya nggak kelihatan dari sana, Nadia sayang..” Lala menatapku dengan pandangan -- siap kucubit lagi kan?-- nya.

“Oh iya ya, lupa..” Aku menepuk dahiku pelan, menyesali ide bagusku yang justru menambah banyak kadar kekesalan Lala. Kelas XI IPA 1 sampai 4 memang berada di lantai dua gedung utara, sedangkan kelasku berada di lantai dua gedung barat, yang berandanya tertutup kubah masjid sekolah yang berada tepat di samping kiri bangunan kelasku. Sehingga kelas kami tertutup sempurna oleh kubah megah itu. Dan seperti biasa, gadis itu akan sibuk dengan Blackberrry-nya lagi jika sedang mengalami badmood seperti pagi ini.

“Maaf deh, lagian nanti kalo hari ini kamu ditakdirkan Tuhan buat ketemu Reza, mau hari ini dia nggak masuk sekolah sekali pun, kamu bakalan tetap ketemu dia La.. ” Aku berinisiatif kembali untuk menghiburnya. Lagipula apa yang kukatakan memang ada benarnya kan?

“Iya juga sih Nad, ngapain juga aku marah-marah nggak jelas gini ya?..” Tawa Lala pecah setelah sepersekian detik gadis itu mencerna kalimatku. “Nah, makanya senyum lagi dong.. Masa’ pagi-pagi gini udah mau marah? Nanti rezekinya pada kabur loh..” Aku menepuk-nepuk bahu gadis itu, dan seketika senyumnya merekah kembali.



***



Tujuh belas tahunku sudah berjalan sepuluh jam, beberapa teman sekelasku juga sudah memberiku ucapan selamat. Aku menduga bahwa mereka mengetahui ulangtahun-ku dari pengingat di account facebook mereka masing-masing, dan bukan dari ingatan mereka sendiri. Namun aku merasa hal tersebut sama sekali tidak perlu dipermasalahkan.

Kantin sekolah kami terlihat sesak saat jam istirahat tiba. Seperti kali ini, aku yang hanya berencana membeli beberapa makanan kecil memutuskan untuk menunda keinginanku sebelum aku menjadi korban tragedi saling dorong antar siswa siang ini.

Pandanganku kembali beredar ke seluruh penjuru kantin. Aku menajamkan pandangannku, mencoba mencari seseorang di tengah-tengah hiruk pikuk transaksi jual-beli di sekitarku.

Aku memang belum memiliki seseorang yang istimewa sampai hari ini, tetapi aku sudah memandang istimewa seseorang, bahkan jauh sebelum tujuh belas tahunku tiba. Dan tidak seperti biasanya, aku tidak mendapati sosoknya duduk sambil menikmati semangkuk bakso di bangku yang terletak di bawah pohon mangga besar di tengah kantin terbuka itu.

“Nad, jadi beli apa nggak nih? Rame banget tuh..” Tiara menyadarkan lamunanku. Tangannya mulai menarik tanganku untuk menjauh dari tempat itu. “Tapi Ra--”, dan sebelum sempat aku melanjutkan kalimatku, Tiara sudah menarikku untuk mengikutinya ke kantin depan. Seketika harapanku untuk bertemu dengan orang itu langsung surut.

“Wah, banyak banget Nad..” Dino langsung menyambut kedatanganku dan ‘oleh-oleh’ ku di kelas dengan wajah sumringah. “Wah, panjang umur ya Nad..” Dino langsung memanjatkan doanya untukku, sedangkan matanya menatap gorengan dan minuman yang kubawa dengan penuh minat.

“Wah Nadia cantik deh, perlu dibantuin nggak nih?” Kali ini Graha yang berseru sambil menghambur semangat kearah makanan dan minuman yang tergeletak di bangku ku.

“Gombal ah! Maaf ya, aku cuma bisa ngasih ini buat kalian..” Aku segera menyisihkan tubuhku dari makanan dan minuman itu, sebelum akhirnya habis tak bersisa oleh teman-teman sekelasku.

“Sering-sering ulangtahun dong Nad..” Theo berkomentar dengan mulutnya yang penuh dengan pisang goreng. Dan aku berharap bisa ikut menikmati rasa senang teman-temanku kali ini, di tengah perasaanku yang sedikit kurang baik akibat belum melihat sosok seseorang hari ini.

Kelas kembali tenang saat Pak Harjo, guru Matematika kami tiba. Dan aku ikut menenangkan diriku walaupun rasa semangatku yang sempat berada di titik maksimal tadi pagi, perlahan kembali turun.

Pak Harjo memerintahkan kami untuk mengerjakan LKS sebelum beliau pergi karena harus menghadiri suatu acara penting yang tidak disebutkan namanya itu. Yang akhirnya justru disambut sangat meriah oleh kelasku.

Aku mengambil LKS Matematika-ku yang baru saja dikembalikan oleh Dea, temanku dari IPA 4. Sambil sibuk mencari-cari halaman 54 seperti yang diperintahkan oleh Pak Harjo, mataku tertumbuk pada kertas berwarna biru muda yang terselip di halaman 17.

Aku merasa asing dengan kertas yang memang bukan milikku itu dan menganggapnya sebagai milik Dea yang tertinggal. Sampai akhirnya aku membaca kertas itu dan menyadari bahwa kertas itu bukan milik Dea.




‘Tujuh belas tahunmu tiba hari ini

Tetapi aku tak berada disana

Tujuh belas tahunmu tiba hari ini

Tetapi aku tak melihatmu disini

Tujuh belas tahunmu tiba hari ini

Namun doaku kan teriring disisimu

Tujuh belas tahunmu tiba hari ini

Namun hatiku masih dan selalu melihatmu

Tujuh belas tahunmu tiba hari ini

Maka berbahagialah, untukmu, untukku, untuk kita’

22 Februari 2012



Salam, Aku







Puisi yang tertulis disana sangat singkat. Begitu singkatnya hingga aku mampu menangkap apa yang tersirat di dalamnya dengan mudah. Aku cepat-cepat menelepon Dea untuk memastikan perasaanku.

“De, yang pinjam LKS-ku setelah kamu siapa?” Aku menanyakan hal tersebut dengan cepat, mengabaikan keterkejutan gadis itu akibat teleponku yang tiba-tiba. “Arka Nad,” Dea menjawab pelan. Mungkin kelas gadis itu sedang ada pelajaran.

“Ada yang ilang ya? Soalnya hari ini dia nggak masuk, lagi sakit katanya.. Maaf ya Nad, padahal aku udah minta dia hati-hati lho..” Dea bertanya khawatir, suaranya masih terdengar berbisik.

“Nggak De, makasih..” Aku memutuskan telepon. Dalam hati aku sudah berjanji terlebih dulu untuk minta maaf lagi pada Dea nanti sepulang sekolah. Kali ini aku hanya sedang berusaha menenangkan jantungku yang mendadak liar akibat dari sebuah puisi yang baru saja kubaca tadi.

Puisi yang harus menunggu datangnya tujuh belas tahun untuk bisa kubaca.





11 Februari 2012 / 01.17 WIB



untukmu : seseorang yang pernah mengajarkan aku masa lalu :)

1 komentar: