Aku
tidak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi. Ya, memang benar hal itu berada jauh
dari kuasa dan kendaliku sebagai seorang manusia yang notabene hanya bisa
bersembunyi dibalik sesuatu bernama takdir. Tetapi sekarang,
disinilah aku. Duduk tegak sembari berkonsentrasi penuh menatap layar laptop dan mengetik sesuatu disana.
disinilah aku. Duduk tegak sembari berkonsentrasi penuh menatap layar laptop dan mengetik sesuatu disana.
Aku melirik jam Hello Kitty
pemberian salah seorang teman SMA-ku saat aku berulang tahun ke tujuh belas
sepuluh tahun yang lalu. Sudah pukul satu pagi ternyata, dan kedua mataku sama
sekali belum lelah untuk terus terbuka, menemani pikiranku yang masih
mengembara dengan berbagai kata dan kalimat.
Rumah sudah sepi, kurasa hampir tak akan
ada yang mungkin menggangguku jika sudah seperti ini. Mereka juga sudah
terlanjur mengerti kebiasaanku yang selalu menggunakan waktu tidur mereka untuk
terjaga dan menulis.
Dengan ditemani lagu Eung Geub Shil dari Izi yang mengalun
lembut dari kedua earphone di telingaku, perasaan dan pikiranku kembali bergolak.
***
Tulungagung
2010
Hari ini merupakan hari kesekian-ku
berada disini,
di sekolah yang juga merupakan salah satu SMA Negeri terbaik di kotaku. SMA yang sejak dulu menjadi mimpiku, tetapi sekarang rasanya semua sudah berubah. Tidak ada lagi SMA yang sejak dulu ku harapkan, melainkan hanya sebuah tempat dengan berbagai macam jenis manusia disana. Dimana aku harus menghabiskan lebih dari seperempat hariku untuk berada disana. Tanpa hati.
di sekolah yang juga merupakan salah satu SMA Negeri terbaik di kotaku. SMA yang sejak dulu menjadi mimpiku, tetapi sekarang rasanya semua sudah berubah. Tidak ada lagi SMA yang sejak dulu ku harapkan, melainkan hanya sebuah tempat dengan berbagai macam jenis manusia disana. Dimana aku harus menghabiskan lebih dari seperempat hariku untuk berada disana. Tanpa hati.
“Feb, ada apa?” Suara khas Anisa
disertai dengan tepukan lembut di bahuku langsung menyentakkanku ke dunia
nyata. “Tidak ada apa-apa, hanya mengantuk..” Aku tersenyum basa-basi, sekedar
membuat Anisa cepat percaya dan kembali meninggalkanku sendirian. “Mengantuk
atau melamun?” Gadis itu rupanya sudah hafal dengan kelakuanku, ia pun
tersenyum maklum dan kembali membiarkanku kembali melamun.
Sudah hampir satu tahun aku sama
sekali tidak bisa tersenyum dengan wajar. Dalam artian, aku memang tersenyum
tetapi hal tersebut sama sekali tidak datang dari dalam hatiku. Aku hanya
tersenyum untuk menghormati mereka—orang yang tersenyum padaku. Hanya itu, dan
bukan lebih. Dan untuk kekacauan ini aku sudah memiliki seseorang untuk
disalahkan. Namanya Tara.
Aku masih menimbang ponsel di
tanganku. Mataku tertumbuk pada satu nomor ponsel yang sejak setahun lalu
berada disana. Hanya berada disana dan sama sekali belum pernah ku hubungi
maupun kukirimi pesan.
“Masih ingat padanya?” Sekali lagi
Anisa mengejutkanku. “Kau ini ya ! Ingat pada siapa maksudmu?” Dengan gugup aku
segera memasukkan ponsel itu ke dalam laci mejaku. “Tentu saja pada Tara Dewana
! Buktinya ini !” Dengan sekali gerak, ponsel di laci mejaku sudah berpindah ke
genggaman Anisa. Gadis itu mendengus saat melihat nama Tara masih tertera di
layar ponselku.
“Kenapa kau tidak mencoba
menghubunginya Feb? Kau tahu nomor ponselnya, tinggal mengiriminya pesan, beres
!” Anisa mengangsurkan ponselku dengan kasar, lantas bersedekap menatap lurus
kedalam mataku. “Kau pikir semudah itu melakukannya? Aku tidak akan seberani itu
melakukannya, kau tahu! ” Aku balas menjawabnya dengan kasar. Sekali-kali gadis
itu juga perlu melihat ketegasanku.
“Kau hanya tidak berani Feb, hanya
memikirkan perasaanmu sendiri, bahkan tanpa peduli jika itu bisa membuat
keadaanmu menjadi semakin buruk !” Anisa menandaskan kalimat terakhirnya
sebelum ia kembali meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya yang
memang hampir seluruhnya benar.
Selama ini aku memang hanya takut
dan bersembunyi di balik rasa khawatirku. Selama ini aku hanya menunggu.
Menunggu tanpa tahu apa yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu sia-sia
diantara hal tersebut. Selama ini aku hanya takut sakit hati, tidak peduli jika
semakin hari keadaan justru bertambah buruk.
Tulungagung
2012
Hampir tiga tahun aku berada disini,
di sekolah yang sama. Yang masih belum bisa mengembalikan hatiku seutuhnya.
Hari ini adalah hari perpisahan di sekolah Tara. Ya, semakin jauh juga jarak
yang akan terjadi diantara aku dan Tara. Seperti yang ku tahu, Tara memang
cukup cerdas sehingga ia hanya memerlukan waktu yang lebih cepat setahun untuk
lulus SMA daripada aku. Dan untuk itulah, selama ini aku sama sekali tidak
pernah berani mengganggunya.
Pulang sekolah hari ini aku masih
harus menyelesaikan tugas Bahasa Jerman yang dibebankan guru kami tadi, dan hal
itu juga yang mengharuskanku berada disini. Perpustakaan kota terlihat lenggang
siang ini, hanya ada aku dan dua orang gadis berseragam SMA lain yang masing-masing
sedang sibuk dengan buku di depannya. Sampai akhirnya seseorang kembali mengejutkanku.
“Febby?”
Suara berat seorang laki-laki
langsung menyentakkan perhatianku dari buku tebal Bahasa Jerman di hadapanku.
Aku menoleh dan mendapati sepasang mata sedang menatapku tak percaya.
“Tara..”
Aku
langsung menyesali suara pertama yang keluar dari mulutku. Terdengar serak dan
perih, seolah semua beban dan luka sedang tersangkut disana.
“Hei, lama sekali tidak melihatmu
ya? Sedang apa kau disini?” Tara, masih dengan senyum dan tatapan hangatnya
membuatku seolah sedang bermimpi. “Ak.. Aku hanya sedang menyelesaikan tugas
sekolah Ta.. Kau sendiri, apa yang kau lakukan disini?” Aku masih berusaha
mengendalikan segala debar dan perasaan yang mulai berkecamuk.
“Kau pikir hanya kau yang punya
tugas?” Anak itu tertawa kecil sambil membuka buku yang tadi dibawanya. “Ah,
kupikir lulus cepat itu bisa menghindarkanku dari tugas, nyatanya tidak..” Tara
masih mempertahankan senyum hangatnya. sikapnya yang juga masih seringan dan
seakrab dulu tak urung membuat mataku panas.
Aku cepat-cepat mengalihkan
pandanganku saat aku merasakan sebulir airmata meluncur di pipiku tanpa bisa ku
proses sebelumnya.
“Febby? Kau kenapa? Ada yang salah?”
Tara ternyata menyadari sikap anehku tadi. Ia yang tadinya masih tenang duduk
di bangku di hadapanku dengan sigap menahan daguku untuk tidak berpaling.
“Tidak.. Bukan apa-apa, maafkan
aku.. Mungkin aku harus segera pulang..” Aku bergegas menutup buku di depanku
dan berusaha secepat mungkin menghindar dari laki-laki itu. “Febby, kau kenapa?
Tidak mungkin kau menangis tanpa alasan yang jelas. Berhentilah dulu, mungkin
kita bisa bicara.. ” Tangannya refleks menahan pergelangan tanganku. Dan dengan
kasar aku menghempaskannya, karena dengan alasan apapun, Tara sama sekali tidak
boleh tahu apa yang membuatku bersikap seaneh ini padanya.
“Tolong lepaskan tanganmu Ta.. Aku
masih ada urusan..” Aku memohon pada laki-laki itu karena sepertinya pegangan
tangannya begitu kuat mencengkeram tanganku. “Tidak sebelum kau bicara dengan
jelas. Ada apa? Apa ada yang salah denganku?” Suara rendah dan dalam milik Tara
semakin menusuk ulu hatiku. Bagaimana mungkin aku mengatakan secara jujur
padanya bahwa aku begini karena terlalu lama merindukannya?
“Aku tidak bisa membiarkanmu pergi
dalam keadaan seperti ini. Ikut aku,” Dengan sebelah tangannya yang tidak
memegang tanganku ia mencangklong tasnya dan membiarkan bukunya tergeletak
diatas meja.
“Saya titip buku saya disana, saya
ada urusan mendadak..” Tara dengan mudahnya mendapatkan izin dari penjaga
perpustakaan itu langsung menarikku keluar perpustakaan dan mengikutinya.
“Kau bisa bercerita sekarang,”
Laki-laki itu melepaskan tanganku begitu kami sampai di kafetaria yang terletak
di sebelah barat gedung perpustakaan itu. “Apa yang harus kuceritakan Ta?” Aku
menatap tak mengerti pada anak itu. Mulutnya masih terkatup rapat, rahangnya
mengeras, seolah menahan sesuatu di balik raut wajahnya yang datar.
“Apapun, tanpa terkecuali alasanmu
menangis begitu melihatku tadi..” Tara berucap datar. Anak itu hanya menatap
lurus ke dalam mataku, seolah hanya dengan itu ia sudah bisa memahami semuanya.
“Aku merindukanmu selama dua tahun
ini Ta.. Apa itu bisa kau pahami?” Kalimat yang tanpa sadar kuucapkan itu
langsung membungkam rapat Tara. Laki-laki itu hanya menatapku dengan tatapan
tak tertebaknya. Tanpa senyum, dan tanpa jawaban. Entah sampai kapan.
Jakarta
2013
Aku sudah berpindah tempat sekarang.
Yah, walaupun masih tidak ada Tara. Yang jelas aku merasa hidupku sudah
berjalan semakin baik saat ini.
Aku juga sudah masuk di Universitas Indonesia.
Universitas terbaik yang pernah terpatri rapi di dalam benakku. Dan untung
saja, disini semuanya terasa baik menyambutku, sehingga aku sama sekali tidak
perlu banyak-banyak melamun dan mengabiskan waktuku dengan sia-sia.
Entah apa namanya hubunganku dengan
Tara sekarang. Yang jelas kami masih berhubungan sangat baik, dan aku tidak
perlu menunggu waktu tahunan untuk bertemu dengannya, karena setiap kali ia
pulang dari Surabaya dan aku pulang dari Jakarta, kami selalu memiliki waktu
untuk bertemu.
Dan walaupun ia juga masih belum
memberikan jawaban atas pertanyaanku dua tahun lalu di perpustakaan kota
Tulungagung, aku masih bersyukur karena paling tidak ia sudah tahu bagaimana
perasaanku terhadapnya.
“Feb, tentang tugas dari Bu Feli apa
kau sudah membuat presentasinya?” Reza, salah satu teman kelompokku untuk tugas
presentasi kali ini mengejutkanku dengan sapaannya barusan.
“Reza ! Apa tidak bisa kau bertanya
tanpa membuatku terkejut?” Aku mendengus pelan pada laki-laki itu, sedangkan ia
hanya balas tertawa tanpa memperdulikan omelanku. “Kau terlalu mudah terkejut
Feb.. Kemarin aku juga hanya memanggilmu pelan dan kau menganggapnya sebagai
kejutan..” Reza mengambil duduk di sebelahku lantas mengambil alih laptop di
depanku.
“Baguslah kalau sudah selesai..”
Anak itu berkata ringan sambil sibuk memeriksa presentasi yang memang sedari
tadi kubuat. “Bagus ya? Bagus sekali memang..” Aku berkata sinis sambil beralih
pada ponselku yang sedari tadi kubiarkan. “Yah, maafkan aku Feb.. Kau tahu kan
bahwa aku tidak sepintar dirimu? Kau mau kutraktir makan?” Reza yang menyadari
nada suaraku yang mulai berubah tak bersahabat segera meredamkan suasana yang
sebenarnya hanya pura-pura kulakukan. Entah kenapa, aku selalu saja kesulitan
untuk marah pada sahabatku ini.
“Ah bosan, kau hanya menawarkan itu
dari awal kita masuk kuliah..” Aku mencibir anak itu, sambil menunggu ekspresi
wajah memohonnya yang selalu sukses membuatku tertawa.
“Kau ini ya.. Mana mungkin aku marah
padamu? ” Tak urung, wajah memohon Reza kembali mampu membuatku kehilangan rasa
marah dan justru semakin membuatku tidak bisa menyembunyikan tawaku.
“Ah, kau selalu begitu Feb.. Jadi
kau senang melihatku memelas seperti tadi? Ha?” Wajah marah Reza bukannya
meredakan tawaku, namun justru semakin membuatku terpingkal, sampai akhirnya
sebuah dering telepon mengejutkan kami berdua.
“Ya? Oh Tara.. Apa? Kau pulang dalam
minggu ini? Ya, baiklah, aku mengerti.. Tidak, aku hanya sedang menunggu
giliran presentasi.. Kau? Ya, ya, ya, aku tahu.. Baiklah, sampai jumpa..” Aku
tak dapat menyembunyikan rona bahagia yang tiba-tiba saja menghangatkan
perasaanku begitu mendengar suara Tara barusan.
“Tara ya?” Rupanya Reza masih
mendengar saat aku menyebutkan nama laki-laki itu tadi. “Ya, dia bilang, dia
akan pulang ke Tulungagung dalam minggu ini Za.. Dan mungkin dia juga akan ke
Jakarta karena sepupunya akan menikah..” Aku menjawab pertanyaan Reza dengan
ringan. Entah kenapa, telepon dari Tara barusan seolah langsung mengangkat
seluruh beban berat yang sedari tadi menghimpit pundakku.
“Bisa kulihat kau masih menyukainya
Feb..” Reza tersenyum saat mengatakan hal itu. “Tentu saja Za, bukannya kau
sudah tahu tentang hal itu?” Aku menatap tak mengerti pada ekspresi yang
ditunjukkan Reza padaku.
“Apa Tara sudah mengatakan
perasaannya padamu Feb?” Pertanyaan Reza langsung menyudutkanku. “Kami, eh
maksudku Tara, sama sekali bukan tipe orang yang perlu mengatakan cinta untuk
menunjukkan perasaannya, dan lagi, aku juga bukan gadis yang membutuhan kata
cinta hanya untuk tahu laki-laki itu menyukaiku atau tidak.. Bukannya aku sudah
sering mengatakan hal ini padamu Za?” Aku kembali dikuasai emosi. Pertanyaan
Reza tadi seolah mengingatkanku pada Anisa yang dulu sempat memojokkanku dengan
perkataannya.
“Tetapi tidak selamanya kau harus
menunggu seperti ini Feb.. Hanya menunggu tanpa pernah tahu yang kau tunggu itu
akan datang atau hanya membayangimu.. Bagaimanapun juga kau ini seorang gadis,
pasti perlu bagimu untuk mendapatkan suatu kepastian !” Kalimat panjang Reza
kembali memukulku telak. Entah bagaimana cara anak itu memahami setiap
perasaanku. Tidak bisa kupungkiri juga bahwa aku sangat ingin tahu bagaimana
perasaan Tara terhadapku selama ini. Toh, sudah lewat dua tahun sejak ia tahu
bahwa aku memiliki perasaan istimewa untuknya.
“Aku tidak menunggu selamanya Za..
Akan ada saatnya Tara mengatakan jawabannya dan saat itu yang sedang ku tunggu.
Tolong kau mengerti itu..” Aku menandaskan kalimat itu sebagai penjelasan
terakhir mengenai Tara bagi Reza. “Terserah kau Feb, kau juga sudah terlalu
dewasa untuk nasehatku kan? Asal kau tahu juga, masih ada orang yang mau
menunggumu, dengan sepenuh hatinya. Ingat itu Feb,” Reza kembali mengatakan hal
yang membuatku tak mengerti.
“Kau masih ingat pada teman SMA-mu
yang bernama Rizky Alatas? Kebetulan ia sepupuku dan selama ini aku sangat
mengenalmu dengan baik darinya. Ia menitipkan salamnya padamu..” Reza kembali
menyampaikan hal yang sama sekali tak bisa kuduga.
Rizky
Alatas?. Tentu saja aku masih sangat mengingat anak itu. Anak laki-laki hitam
manis, dengan lesung pipi kecil di pipi sebelah kirinya, dan dengan segala
sifat misteriusnya yang sempat membuatku hampir melupakan Tara semasa SMA kelas
dua lalu. Ia yang sempat duduk sebangku denganku akibat lotre kelas. Dan juga
merupakan anak laki-laki pertama yang pernah membaca notesku yang berisi cerpen
dan tulisan aneh buatanku, yang sebenarnya selalu tertuju pada Tara.
“Tentu
saja Za, sampaikan salamku padanya..” Reza hanya menanggapi ucapanku barusan
dengan ibu jarinya yang terangkat di udara. Sepertinya sejarah kembali
berulang. Tara harus menjadi sasaran kesalahan dari sahabatku. Dulu Anisa,
sekarang Reza.
Jakarta 2015
Perasaanku
sama sekali tidak bisa dilukiskan sekarang. Bagaimana tidak? Aku baru saja
melewati masa paling menegangkan dalam dunia perkuliahan. Ya, aku baru saja
menghadapi wisuda-ku. Entah apapun nanti jadinya aku, aku hanya ingin mendapatkan
tempat yang lebih baik dari dari tempat ini dengan predikat cumlaude-ku. Bagaimanapun juga, aku
harus bisa mewujudkan keinginan ayah dan ibu kan?
Reza
masih harus menunda satu tahun lagi karena anak itu memang tidak begitu
memperdulikan absensinya selama ini.
“Yah,
jadi kau akan segera meninggalkanku ya Feb? Baik-baiklah ya? Jangan lupa untuk
menjaga dirimu juga.. Dan tentang laki-laki itu, apa kau ingin aku melakukan
sesuatu padanya?” Ekspresi Reza kembali membuatku tertawa.
“Kau
ya, belajarlah saja yang baik, jangan suka membolos agar cepat menyusulku.. Dan
tentang Tara, yah, aku mampu melewati semuanya Za..” Aku tersenyum meyakinkan
Reza, dan terlebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Ya, aku akan baik-baik
saja, dengan atau tanpa Tara sekalipun.
Masih
sangat ku ingat bagaimana pertemuan terakhirku dengan Tara beberapa minggu
sebelum wisudaku. Saat itu ia kembali berkunjung ke Jakarta karena ia harus
menjalani masa percobaan kerjanya di salah satu perusahaan disini. Kali itu ia
sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan dan semua perasaanku terhadapnya,
“Aku
ini seperti sinar matahari yang akan memancarkan kebahagiaan walau hanya bisa
kau pandang dan kau nikmati dari jarak jauh, tetapi kau sama sekali tidak bisa
mendekatiku karena itu akan menghancurkanmu.. Jadi, begitulah aku Feb.. Aku
mengerti bagaimana kau merindukanku selama ini, tetapi aku sama sekali tidak
memahaminya.. Sama sepertimu, kau, juga tidak akan bisa memahamiku..” Tara
mengatakan kalimat itu dengan tenang. Suaranya yang rendah dan dalam seolah
menghipnotisku untuk menurutinya.
“Jadi
untuk apa kau biarkan aku mendekati sinar itu selama ini jika kau tahu bahwa
itu akan menghancurkanku? Apa kau sudah menemukan gadis yang mampu mendekati
sinar matahari itu?” Aku sama sekali tidak tahu kekuatan apa yang mendorongku
untuk mengatakan hal itu. Namun untuk pertama kalinya, aku berhasil tidak
menangis di depannya.
“Akan
ada saatnya dimana kau merasa yakin pada sesuatu yang sama sekali belum kau
pahami. Dan suatu hari nanti kau akan mengerti mengapa aku melakukan hal ini.
Percayalah, saat aku pergi, maka hidupmu akan jauh lebih baik lagi.. Jadi, kau
bisa melupakanku?”
Kalimat
panjang yang diucapkan Tara saat itu menuntunku untuk mengangguk. Dan walaupun
masih terasa seperti mimpi, ternyata Tara benar. Bahwa memang bukan dia yang
bisa kupahami dan bukan aku yang bisa ia pahami.
“Setelah
kau pergi nanti, kau akan seperti sinar matahari di beberapa Negara Eropa Ta..
Walaupun setiap hari ada, tetapi akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
melihatmu kembali.. Berbahagialah Ta..” Aku menuliskan sebuah pesan singkat
padanya begitu laki-laki menjauh dari pandanganku. Dan untuk terakhir kalinya
ia hanya memberiku sebuah pesan balasan.
From : Tara Dewana
Semangat dan bahagialah selalu,
Febby :)
Dan
sejak saat itu, Tara hanya menjadi sebuah bagian manis di dalam hidupku.
***
Jakarta 2022
Aku
tersenyum puas begitu membubuhkan titik terakhir pada cerita yang kubuat.
Setelah itu aku berencana untuk mengirimkan draft novel ini kepada editorku.
Tidak sabar rasanya menunggu segala proses demi proses sebelum melihat novel
ini terjajar di toko buku seperti novel-novelku sebelumnya.
Tiba-tiba
aku merasakan sebuah pelukan melingkar lembut di leherku.
“Sayang,
ini sudah jam empat pagi. Aku kan udah bilang, itu nggak sehat buat kamu..”
Suara tegas milik Rizky tak urung membuatku tersenyum. “Kok kamu udah bangun
sih? Tumben banget..” Aku meledek Rizky, seseorang yang ternyata telah
disiapkan Tuhan untuk menggantikan Tara. Seseorang yang amat sangat istimewa,
yang mau menungguku dengan sepenuh hatinya.
“Kamu
nggak tahu kan kalau aku nyusul kamu disitu?” Laki-laki itu menatapku jahil sambil
menunjuk sofa dibelakangku. “Tahu kok, tapi aku biarin aja soalnya kamu usil
terus sih..” Aku balas tersenyum jahil lantas berdiri dan melepaskan
pelukannya.
“Eh..”
Laki-laki itu terkejut dengan reaksiku yang cukup tiba-tiba itu.
“Udah
mandi sana, bau tahu..” Aku tertawa kecil sambil mendorong tubuhnya yang masih
berada pada jarak yang dekat denganku.
Tiba-tiba
Rizky mencium pipiku.
“Kamu
ya !” Aku baru saja akan mencubitnya, seperti yang sering ku lakukan jika
laki-laki itu dengan seenaknya melakukan hal tadi padaku. Tetapi Rizky sudah
terlebih dulu berlari sambil tertawa terbahak karena kembali berhasil
menggodaku.
Jauh
di dalam hatiku, aku amat sangat berterima kasih pada Tara yang telah
mengantarkanku pada sosok sesempurna Rizky. Sosok yang sekarang dan selamanya
akan kucintai. Dengan sepenuh hati.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar