Minggu, Agustus 12, 2012

Seperti Sinar Matahari


Aku tidak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi. Ya, memang benar hal itu berada jauh dari kuasa dan kendaliku sebagai seorang manusia yang notabene hanya bisa bersembunyi dibalik sesuatu bernama takdir. Tetapi sekarang,
disinilah aku. Duduk tegak sembari berkonsentrasi penuh menatap layar laptop dan mengetik sesuatu disana.
            Aku melirik jam Hello Kitty pemberian salah seorang teman SMA-ku saat aku berulang tahun ke tujuh belas sepuluh tahun yang lalu. Sudah pukul satu pagi ternyata, dan kedua mataku sama sekali belum lelah untuk terus terbuka, menemani pikiranku yang masih mengembara dengan berbagai kata dan kalimat.
            Rumah sudah sepi, kurasa hampir tak akan ada yang mungkin menggangguku jika sudah seperti ini. Mereka juga sudah terlanjur mengerti kebiasaanku yang selalu menggunakan waktu tidur mereka untuk terjaga dan menulis.
            Dengan ditemani lagu Eung Geub Shil dari Izi yang mengalun lembut dari kedua earphone di telingaku, perasaan dan pikiranku kembali bergolak.
***

            Tulungagung 2010                                                                                  
            Hari ini merupakan hari kesekian-ku berada disini,

di sekolah yang juga merupakan salah satu SMA Negeri terbaik di kotaku. SMA yang sejak dulu menjadi mimpiku, tetapi sekarang rasanya semua sudah berubah. Tidak ada lagi SMA yang sejak dulu ku harapkan, melainkan hanya sebuah tempat dengan berbagai macam jenis manusia disana. Dimana aku harus menghabiskan lebih dari seperempat hariku untuk berada disana. Tanpa hati.
            “Feb, ada apa?” Suara khas Anisa disertai dengan tepukan lembut di bahuku langsung menyentakkanku ke dunia nyata. “Tidak ada apa-apa, hanya mengantuk..” Aku tersenyum basa-basi, sekedar membuat Anisa cepat percaya dan kembali meninggalkanku sendirian. “Mengantuk atau melamun?” Gadis itu rupanya sudah hafal dengan kelakuanku, ia pun tersenyum maklum dan kembali membiarkanku kembali melamun.
            Sudah hampir satu tahun aku sama sekali tidak bisa tersenyum dengan wajar. Dalam artian, aku memang tersenyum tetapi hal tersebut sama sekali tidak datang dari dalam hatiku. Aku hanya tersenyum untuk menghormati mereka—orang yang tersenyum padaku. Hanya itu, dan bukan lebih. Dan untuk kekacauan ini aku sudah memiliki seseorang untuk disalahkan. Namanya Tara.
            Aku masih menimbang ponsel di tanganku. Mataku tertumbuk pada satu nomor ponsel yang sejak setahun lalu berada disana. Hanya berada disana dan sama sekali belum pernah ku hubungi maupun kukirimi pesan.
            “Masih ingat padanya?” Sekali lagi Anisa mengejutkanku. “Kau ini ya ! Ingat pada siapa maksudmu?” Dengan gugup aku segera memasukkan ponsel itu ke dalam laci mejaku. “Tentu saja pada Tara Dewana ! Buktinya ini !” Dengan sekali gerak, ponsel di laci mejaku sudah berpindah ke genggaman Anisa. Gadis itu mendengus saat melihat nama Tara masih tertera di layar ponselku.
            “Kenapa kau tidak mencoba menghubunginya Feb? Kau tahu nomor ponselnya, tinggal mengiriminya pesan, beres !” Anisa mengangsurkan ponselku dengan kasar, lantas bersedekap menatap lurus kedalam mataku. “Kau pikir semudah itu melakukannya? Aku tidak akan seberani itu melakukannya, kau tahu! ” Aku balas menjawabnya dengan kasar. Sekali-kali gadis itu juga perlu melihat ketegasanku.
            “Kau hanya tidak berani Feb, hanya memikirkan perasaanmu sendiri, bahkan tanpa peduli jika itu bisa membuat keadaanmu menjadi semakin buruk !” Anisa menandaskan kalimat terakhirnya sebelum ia kembali meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya yang memang hampir seluruhnya benar.
            Selama ini aku memang hanya takut dan bersembunyi di balik rasa khawatirku. Selama ini aku hanya menunggu. Menunggu tanpa tahu apa yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu sia-sia diantara hal tersebut. Selama ini aku hanya takut sakit hati, tidak peduli jika semakin hari keadaan justru bertambah buruk.

            Tulungagung 2012
            Hampir tiga tahun aku berada disini, di sekolah yang sama. Yang masih belum bisa mengembalikan hatiku seutuhnya. Hari ini adalah hari perpisahan di sekolah Tara. Ya, semakin jauh juga jarak yang akan terjadi diantara aku dan Tara. Seperti yang ku tahu, Tara memang cukup cerdas sehingga ia hanya memerlukan waktu yang lebih cepat setahun untuk lulus SMA daripada aku. Dan untuk itulah, selama ini aku sama sekali tidak pernah berani mengganggunya.
            Pulang sekolah hari ini aku masih harus menyelesaikan tugas Bahasa Jerman yang dibebankan guru kami tadi, dan hal itu juga yang mengharuskanku berada disini. Perpustakaan kota terlihat lenggang siang ini, hanya ada aku dan dua orang gadis berseragam SMA lain yang masing-masing sedang sibuk dengan buku di depannya. Sampai akhirnya seseorang kembali mengejutkanku.
            “Febby?”
            Suara berat seorang laki-laki langsung menyentakkan perhatianku dari buku tebal Bahasa Jerman di hadapanku. Aku menoleh dan mendapati sepasang mata sedang menatapku tak percaya.
            “Tara..”
Aku langsung menyesali suara pertama yang keluar dari mulutku. Terdengar serak dan perih, seolah semua beban dan luka sedang tersangkut disana.
            “Hei, lama sekali tidak melihatmu ya? Sedang apa kau disini?” Tara, masih dengan senyum dan tatapan hangatnya membuatku seolah sedang bermimpi. “Ak.. Aku hanya sedang menyelesaikan tugas sekolah Ta.. Kau sendiri, apa yang kau lakukan disini?” Aku masih berusaha mengendalikan segala debar dan perasaan yang mulai berkecamuk.
            “Kau pikir hanya kau yang punya tugas?” Anak itu tertawa kecil sambil membuka buku yang tadi dibawanya. “Ah, kupikir lulus cepat itu bisa menghindarkanku dari tugas, nyatanya tidak..” Tara masih mempertahankan senyum hangatnya. sikapnya yang juga masih seringan dan seakrab dulu tak urung membuat mataku panas.
            Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku saat aku merasakan sebulir airmata meluncur di pipiku tanpa bisa ku proses sebelumnya.
            “Febby? Kau kenapa? Ada yang salah?” Tara ternyata menyadari sikap anehku tadi. Ia yang tadinya masih tenang duduk di bangku di hadapanku dengan sigap menahan daguku untuk tidak berpaling.
            “Tidak.. Bukan apa-apa, maafkan aku.. Mungkin aku harus segera pulang..” Aku bergegas menutup buku di depanku dan berusaha secepat mungkin menghindar dari laki-laki itu. “Febby, kau kenapa? Tidak mungkin kau menangis tanpa alasan yang jelas. Berhentilah dulu, mungkin kita bisa bicara.. ” Tangannya refleks menahan pergelangan tanganku. Dan dengan kasar aku menghempaskannya, karena dengan alasan apapun, Tara sama sekali tidak boleh tahu apa yang membuatku bersikap seaneh ini padanya.
            “Tolong lepaskan tanganmu Ta.. Aku masih ada urusan..” Aku memohon pada laki-laki itu karena sepertinya pegangan tangannya begitu kuat mencengkeram tanganku. “Tidak sebelum kau bicara dengan jelas. Ada apa? Apa ada yang salah denganku?” Suara rendah dan dalam milik Tara semakin menusuk ulu hatiku. Bagaimana mungkin aku mengatakan secara jujur padanya bahwa aku begini karena terlalu lama merindukannya?
            “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dalam keadaan seperti ini. Ikut aku,” Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang tanganku ia mencangklong tasnya dan membiarkan bukunya tergeletak diatas meja.
            “Saya titip buku saya disana, saya ada urusan mendadak..” Tara dengan mudahnya mendapatkan izin dari penjaga perpustakaan itu langsung menarikku keluar perpustakaan dan mengikutinya.
            “Kau bisa bercerita sekarang,” Laki-laki itu melepaskan tanganku begitu kami sampai di kafetaria yang terletak di sebelah barat gedung perpustakaan itu. “Apa yang harus kuceritakan Ta?” Aku menatap tak mengerti pada anak itu. Mulutnya masih terkatup rapat, rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu di balik raut wajahnya yang datar.
            “Apapun, tanpa terkecuali alasanmu menangis begitu melihatku tadi..” Tara berucap datar. Anak itu hanya menatap lurus ke dalam mataku, seolah hanya dengan itu ia sudah bisa memahami semuanya.
            “Aku merindukanmu selama dua tahun ini Ta.. Apa itu bisa kau pahami?” Kalimat yang tanpa sadar kuucapkan itu langsung membungkam rapat Tara. Laki-laki itu hanya menatapku dengan tatapan tak tertebaknya. Tanpa senyum, dan tanpa jawaban. Entah sampai kapan.


            Jakarta 2013
            Aku sudah berpindah tempat sekarang. Yah, walaupun masih tidak ada Tara. Yang jelas aku merasa hidupku sudah berjalan semakin baik saat ini.
            Aku juga sudah masuk di Universitas Indonesia. Universitas terbaik yang pernah terpatri rapi di dalam benakku. Dan untung saja, disini semuanya terasa baik menyambutku, sehingga aku sama sekali tidak perlu banyak-banyak melamun dan mengabiskan waktuku dengan sia-sia.
            Entah apa namanya hubunganku dengan Tara sekarang. Yang jelas kami masih berhubungan sangat baik, dan aku tidak perlu menunggu waktu tahunan untuk bertemu dengannya, karena setiap kali ia pulang dari Surabaya dan aku pulang dari Jakarta, kami selalu memiliki waktu untuk bertemu.
            Dan walaupun ia juga masih belum memberikan jawaban atas pertanyaanku dua tahun lalu di perpustakaan kota Tulungagung, aku masih bersyukur karena paling tidak ia sudah tahu bagaimana perasaanku terhadapnya.
            “Feb, tentang tugas dari Bu Feli apa kau sudah membuat presentasinya?” Reza, salah satu teman kelompokku untuk tugas presentasi kali ini mengejutkanku dengan sapaannya barusan.
            “Reza ! Apa tidak bisa kau bertanya tanpa membuatku terkejut?” Aku mendengus pelan pada laki-laki itu, sedangkan ia hanya balas tertawa tanpa memperdulikan omelanku. “Kau terlalu mudah terkejut Feb.. Kemarin aku juga hanya memanggilmu pelan dan kau menganggapnya sebagai kejutan..” Reza mengambil duduk di sebelahku lantas mengambil alih laptop di depanku.
            “Baguslah kalau sudah selesai..” Anak itu berkata ringan sambil sibuk memeriksa presentasi yang memang sedari tadi kubuat. “Bagus ya? Bagus sekali memang..” Aku berkata sinis sambil beralih pada ponselku yang sedari tadi kubiarkan. “Yah, maafkan aku Feb.. Kau tahu kan bahwa aku tidak sepintar dirimu? Kau mau kutraktir makan?” Reza yang menyadari nada suaraku yang mulai berubah tak bersahabat segera meredamkan suasana yang sebenarnya hanya pura-pura kulakukan. Entah kenapa, aku selalu saja kesulitan untuk marah pada sahabatku ini.
            “Ah bosan, kau hanya menawarkan itu dari awal kita masuk kuliah..” Aku mencibir anak itu, sambil menunggu ekspresi wajah memohonnya yang selalu sukses membuatku tertawa.
            “Kau ini ya.. Mana mungkin aku marah padamu? ” Tak urung, wajah memohon Reza kembali mampu membuatku kehilangan rasa marah dan justru semakin membuatku tidak bisa menyembunyikan tawaku.
            “Ah, kau selalu begitu Feb.. Jadi kau senang melihatku memelas seperti tadi? Ha?” Wajah marah Reza bukannya meredakan tawaku, namun justru semakin membuatku terpingkal, sampai akhirnya sebuah dering telepon mengejutkan kami berdua.
            “Ya? Oh Tara.. Apa? Kau pulang dalam minggu ini? Ya, baiklah, aku mengerti.. Tidak, aku hanya sedang menunggu giliran presentasi.. Kau? Ya, ya, ya, aku tahu.. Baiklah, sampai jumpa..” Aku tak dapat menyembunyikan rona bahagia yang tiba-tiba saja menghangatkan perasaanku begitu mendengar suara Tara barusan.
            “Tara ya?” Rupanya Reza masih mendengar saat aku menyebutkan nama laki-laki itu tadi. “Ya, dia bilang, dia akan pulang ke Tulungagung dalam minggu ini Za.. Dan mungkin dia juga akan ke Jakarta karena sepupunya akan menikah..” Aku menjawab pertanyaan Reza dengan ringan. Entah kenapa, telepon dari Tara barusan seolah langsung mengangkat seluruh beban berat yang sedari tadi menghimpit pundakku.
            “Bisa kulihat kau masih menyukainya Feb..” Reza tersenyum saat mengatakan hal itu. “Tentu saja Za, bukannya kau sudah tahu tentang hal itu?” Aku menatap tak mengerti pada ekspresi yang ditunjukkan Reza padaku.
            “Apa Tara sudah mengatakan perasaannya padamu Feb?” Pertanyaan Reza langsung menyudutkanku. “Kami, eh maksudku Tara, sama sekali bukan tipe orang yang perlu mengatakan cinta untuk menunjukkan perasaannya, dan lagi, aku juga bukan gadis yang membutuhan kata cinta hanya untuk tahu laki-laki itu menyukaiku atau tidak.. Bukannya aku sudah sering mengatakan hal ini padamu Za?” Aku kembali dikuasai emosi. Pertanyaan Reza tadi seolah mengingatkanku pada Anisa yang dulu sempat memojokkanku dengan perkataannya.
            “Tetapi tidak selamanya kau harus menunggu seperti ini Feb.. Hanya menunggu tanpa pernah tahu yang kau tunggu itu akan datang atau hanya membayangimu.. Bagaimanapun juga kau ini seorang gadis, pasti perlu bagimu untuk mendapatkan suatu kepastian !” Kalimat panjang Reza kembali memukulku telak. Entah bagaimana cara anak itu memahami setiap perasaanku. Tidak bisa kupungkiri juga bahwa aku sangat ingin tahu bagaimana perasaan Tara terhadapku selama ini. Toh, sudah lewat dua tahun sejak ia tahu bahwa aku memiliki perasaan istimewa untuknya.
            “Aku tidak menunggu selamanya Za.. Akan ada saatnya Tara mengatakan jawabannya dan saat itu yang sedang ku tunggu. Tolong kau mengerti itu..” Aku menandaskan kalimat itu sebagai penjelasan terakhir mengenai Tara bagi Reza. “Terserah kau Feb, kau juga sudah terlalu dewasa untuk nasehatku kan? Asal kau tahu juga, masih ada orang yang mau menunggumu, dengan sepenuh hatinya. Ingat itu Feb,” Reza kembali mengatakan hal yang membuatku tak mengerti.
            “Kau masih ingat pada teman SMA-mu yang bernama Rizky Alatas? Kebetulan ia sepupuku dan selama ini aku sangat mengenalmu dengan baik darinya. Ia menitipkan salamnya padamu..” Reza kembali menyampaikan hal yang sama sekali tak bisa kuduga.
Rizky Alatas?. Tentu saja aku masih sangat mengingat anak itu. Anak laki-laki hitam manis, dengan lesung pipi kecil di pipi sebelah kirinya, dan dengan segala sifat misteriusnya yang sempat membuatku hampir melupakan Tara semasa SMA kelas dua lalu. Ia yang sempat duduk sebangku denganku akibat lotre kelas. Dan juga merupakan anak laki-laki pertama yang pernah membaca notesku yang berisi cerpen dan tulisan aneh buatanku, yang sebenarnya selalu tertuju pada Tara.
“Tentu saja Za, sampaikan salamku padanya..” Reza hanya menanggapi ucapanku barusan dengan ibu jarinya yang terangkat di udara. Sepertinya sejarah kembali berulang. Tara harus menjadi sasaran kesalahan dari sahabatku. Dulu Anisa, sekarang Reza.


Jakarta 2015
Perasaanku sama sekali tidak bisa dilukiskan sekarang. Bagaimana tidak? Aku baru saja melewati masa paling menegangkan dalam dunia perkuliahan. Ya, aku baru saja menghadapi wisuda-ku. Entah apapun nanti jadinya aku, aku hanya ingin mendapatkan tempat yang lebih baik dari dari tempat ini dengan predikat cumlaude-ku. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mewujudkan keinginan ayah dan ibu kan?
Reza masih harus menunda satu tahun lagi karena anak itu memang tidak begitu memperdulikan absensinya selama ini.
“Yah, jadi kau akan segera meninggalkanku ya Feb? Baik-baiklah ya? Jangan lupa untuk menjaga dirimu juga.. Dan tentang laki-laki itu, apa kau ingin aku melakukan sesuatu padanya?” Ekspresi Reza kembali membuatku tertawa.
“Kau ya, belajarlah saja yang baik, jangan suka membolos agar cepat menyusulku.. Dan tentang Tara, yah, aku mampu melewati semuanya Za..” Aku tersenyum meyakinkan Reza, dan terlebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Ya, aku akan baik-baik saja, dengan atau tanpa Tara sekalipun.
Masih sangat ku ingat bagaimana pertemuan terakhirku dengan Tara beberapa minggu sebelum wisudaku. Saat itu ia kembali berkunjung ke Jakarta karena ia harus menjalani masa percobaan kerjanya di salah satu perusahaan disini. Kali itu ia sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan dan semua perasaanku terhadapnya,
“Aku ini seperti sinar matahari yang akan memancarkan kebahagiaan walau hanya bisa kau pandang dan kau nikmati dari jarak jauh, tetapi kau sama sekali tidak bisa mendekatiku karena itu akan menghancurkanmu.. Jadi, begitulah aku Feb.. Aku mengerti bagaimana kau merindukanku selama ini, tetapi aku sama sekali tidak memahaminya.. Sama sepertimu, kau, juga tidak akan bisa memahamiku..” Tara mengatakan kalimat itu dengan tenang. Suaranya yang rendah dan dalam seolah menghipnotisku untuk menurutinya.
“Jadi untuk apa kau biarkan aku mendekati sinar itu selama ini jika kau tahu bahwa itu akan menghancurkanku? Apa kau sudah menemukan gadis yang mampu mendekati sinar matahari itu?” Aku sama sekali tidak tahu kekuatan apa yang mendorongku untuk mengatakan hal itu. Namun untuk pertama kalinya, aku berhasil tidak menangis di depannya.
“Akan ada saatnya dimana kau merasa yakin pada sesuatu yang sama sekali belum kau pahami. Dan suatu hari nanti kau akan mengerti mengapa aku melakukan hal ini. Percayalah, saat aku pergi, maka hidupmu akan jauh lebih baik lagi.. Jadi, kau bisa melupakanku?”
Kalimat panjang yang diucapkan Tara saat itu menuntunku untuk mengangguk. Dan walaupun masih terasa seperti mimpi, ternyata Tara benar. Bahwa memang bukan dia yang bisa kupahami dan bukan aku yang bisa ia pahami.
“Setelah kau pergi nanti, kau akan seperti sinar matahari di beberapa Negara Eropa Ta.. Walaupun setiap hari ada, tetapi akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melihatmu kembali.. Berbahagialah Ta..” Aku menuliskan sebuah pesan singkat padanya begitu laki-laki menjauh dari pandanganku. Dan untuk terakhir kalinya ia hanya memberiku sebuah pesan balasan.


From : Tara Dewana
Semangat dan bahagialah selalu, Febby :)

Dan sejak saat itu, Tara hanya menjadi sebuah bagian manis di dalam hidupku.

***

Jakarta 2022
Aku tersenyum puas begitu membubuhkan titik terakhir pada cerita yang kubuat. Setelah itu aku berencana untuk mengirimkan draft novel ini kepada editorku. Tidak sabar rasanya menunggu segala proses demi proses sebelum melihat novel ini terjajar di toko buku seperti novel-novelku sebelumnya.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah pelukan melingkar lembut di leherku.
“Sayang, ini sudah jam empat pagi. Aku kan udah bilang, itu nggak sehat buat kamu..” Suara tegas milik Rizky tak urung membuatku tersenyum. “Kok kamu udah bangun sih? Tumben banget..” Aku meledek Rizky, seseorang yang ternyata telah disiapkan Tuhan untuk menggantikan Tara. Seseorang yang amat sangat istimewa, yang mau menungguku dengan sepenuh hatinya.
“Kamu nggak tahu kan kalau aku nyusul kamu disitu?” Laki-laki itu menatapku jahil sambil menunjuk sofa dibelakangku. “Tahu kok, tapi aku biarin aja soalnya kamu usil terus sih..” Aku balas tersenyum jahil lantas berdiri dan melepaskan pelukannya.
“Eh..” Laki-laki itu terkejut dengan reaksiku yang cukup tiba-tiba itu.
“Udah mandi sana, bau tahu..” Aku tertawa kecil sambil mendorong tubuhnya yang masih berada pada jarak yang dekat denganku.
Tiba-tiba Rizky mencium pipiku.
“Kamu ya !” Aku baru saja akan mencubitnya, seperti yang sering ku lakukan jika laki-laki itu dengan seenaknya melakukan hal tadi padaku. Tetapi Rizky sudah terlebih dulu berlari sambil tertawa terbahak karena kembali berhasil menggodaku.
Jauh di dalam hatiku, aku amat sangat berterima kasih pada Tara yang telah mengantarkanku pada sosok sesempurna Rizky. Sosok yang sekarang dan selamanya akan kucintai. Dengan sepenuh hati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar