Hari ini,
ditemani lagu Stand Up For Love dari Destiny’s Child dan setelah sebelumnya
lagu dari Izi yang judulnya Eung Geub Shil, lagu yang menjadi soundtrack drama
Korea sepanjang masaku “My Sassy Girl Chun Hyang”. Aku kembali bercerita…
Kenapa
sampai detik ini apa yang kurasakan disini masih sama dengan apa yang ku
rasakan kemarin, kemarin lusa, lusanya lagi, dan beratus-ratus lusa yang aku
sendiri tidak bisa mengingatnya dengan baik. Semuanya masih sama, masih statis,
seolah menunjukkan bahwa aku masih belum melakukan hal yang bersifat
memperbarui hidupku. Aku merasa masih saja berdiri di tempat tanpa ada hal
berarti yang bisa dan pernah ku lakukan.
Kadang
sebuah rasa dan dorongan alamiah dari nuraniku berteriak dan memprotes kenapa
sampai saat ini belum ada perubahan berarti di dalam hari-hari yang seharusnya
kujalani dengan penuh kesadaran untuk berubah dan menjadi lebih baik. Tetapi
aku belum lelah mencari. Aku masih belum ingin berhenti belajar. Belajar pada
apapun yang sekiranya bisa membantuku mendapatkan pendapat dan pandangan baru
mengenai hidup yang seharusnya ku jalani.
Sekarang
lagu bergerak kepada soundtrack drama Asia “Silence”, drama Asia pertama yang
ku tonton. Judul lagunya Jing Jing De, dan dinyanyikan oleh (kalau tidak salah
tahu) Vic Zhou sendiri, yang juga merupakan tokoh utama di dalam cerita ini.
Ingatanku
kembali berputar, mengarah kepadanya lagi. Lagi?
Kenapa aku
menyebutnya lagi? Karena memang selama ini pikiran itu yang sebagian besar
menguasaiku. Pikiran itu yang selama ini banyak menyuruhku untuk melamun
daripada mengerjakan latihan soal Hidrolisis ataupun Larutan Penyangga.
Tapi aku
yakin bukan hanya itu yang menguasai pikiranku, melainkan juga arah hidupku.
Kemana nantinya aku akan membawa diri dan hidupku sangat bergantung kepada apa
yang sudah ku lakukan sekarang dan kemarin.
Oh ya, kemarin
aku terlambat ke sekolah. Dan untuk membayarnya, aku harus rela hampir lima
belas menit berdiri dan hormat dengan patuh di bawah tiang bendera di tengah
lapangan sekolah. Disaksikan secara langsung oleh anak-anak kelas X-3 yang
kebetulan pagi itu jam kosong sebelum masuk jam olahraga. Jangan tanya
bagaimana perasaanku saat itu maupun kali ini, karena aku masih normal. Dan
untuk itu aku pasti sangat malu.
Tapi
akhirnya aku kembali belajar. Aku belajar tentang bagaimana aku harus
menggunakan waktuku dengan baik agar tidak sampai waktu sendiri yang kelak
menghancurkanku. Aku kembali belajar pada sebuah pengalaman dan cerita untuk
mengendalikan diriku sendiri dengan baik. Dan kuharap, pembelajaran ini tidak
hanya berlaku untuk hari ini, melainkan sampai nanti—saat yang aku sendiri
tidak tahu tibanya—aku bisa mandiri.
Entahlah
kenapa aku masih bisa terjaga sampai pukul 01:40 pagi. Tapi suatu hal
mendorongku kuat untuk melakukannya. Bukan sekali ini juga aku menghabiskan
malam sampai pagi dengan hanya menulis dan terpaku di depan layar laptop tanpa
tahu apa yang sebenarnya telah ku tulis ini.
Lagu Shou
Xi De Wen Rou yang masih dari Vic mengajakku melanjutkan tulisan ini.
Aku tidak
tahu apa yang sebenarnya ku cari sekarang. Hanya saja aku masih memiliki mimpi.
Dan untuk itu aku sangat meyakininya. Aku mengaku sekarang, bahwa aku adalah
seseorang yang sangat berharap untuk bisa menjadi seorang penulis tetapi aku
tidak pernah mampu menciptakan karya yang spektakuler, atau minimal karya
tulisan yang membuat orang berimajinasi tinggi seperti yang biasa ku lakukan
saat sedang sendirian.
Semakin aku
sering membaca buku, terutama buku yang berkaitan dengan kehidupan realita
orang lain, aku semakin menemukan apa yang sebenarnya ku inginkan. Bukan
menjadi orang yang bisa menciptakan karya imajinatif, melainkan seseorang yang
lebih ingin menampilkan dirinya sendiri dalam bentuk buku yang diisi oleh tokoh
bernama lain dengan sifat, kebiasaan, dan cerita yang mirip denganku. Dimana
pada dasarnya aku hanya ingin orang lain tahu apa yang sebenarnya terjadi
padaku tanpa perlu susah-susah bertanya padaku.
Tadi,
adalah acara tujuh harian Mbah Kung, dimana ada saudara lainku yang baru
datang. Namanya Mbak Evi. Begitu Mbak Evi datang, seperti biasa yang kulakukan
adalah menghampirinya dan segera menjabat tangannya, sesuai yang selalu
diajarkan Bapak dan Mama padaku tapi lebih sering ku abaikan dan ku tinggalkan.
Tiba-tiba
Mbak Evi menanyakan apakah benar aku sudah kuliah. Aku mengernyitkan alisku
sebagai jawaban ketidakpahaman. Dan Mbak Evi kembali bilang bahwa ia
iseng-iseng membuka profil account Facebook-ku dan mendapati biodataku
terdaftar sebagai mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sebenarnya
aku hanya menganggap itu sebagai hasil dari doaku yang diam-diam selalu
panjatkan seusai shalat.
Jujur
sekali, aku memang sangat tergoda dengan jurusan itu yang tentu saja dengan
mengesampingkan jurusan Sastra Jepang dan Inggris yang juga ku dambakan. Entah
karena alasan seperti apa aku bisa memutuskan untuk ikut memasukkan Fakultas
Psikologi sebagai salah satu jurusan kuliah yang benar-benar secara khusus ku
inginkan.
Ah,
sekarang lagu bergerak kepada Lara Fabian dengan Broken Vow-nya yang langsung
memaksaku menahan air mata agar jangan sampai jatuh. Karena dengan berbagai
alasan, yang salah satunya adalah keberadaan pakpuh-pakpuhku yang baru saja
tiba dari Surabaya, aku memutuskan untuk menahan perasaanku.
Baru saja
aku membaca beberapa cuplikan ulasan novel karangan Moammar Emka, pengarang
yang baru kusadari, memiliki pencitraan dan gaya bahasa yang sangat puitis
tetapi lugas dan tegas. Sehingga perasaannya sebagai seorang laki-laki mampu
terbaca jelas dan terbingkai apik di dalam tata bahasa yang menggugah rasa.
Setelah itu
aku kembali memikirkan orang itu. Meski secara diam-diam aku masih memintanya
untuk senantiasa menemaniku di dalam segala rasa sendiri, sepi, sedih, bahagia,
gembira, kecewa, dan segala rasa yang entah apa sebutannya. Aku yang masih
diam-diam mengajaknya serta untuk tetap berada di samping lamunan dan tatapan
rindu-ku yang sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk diungkapkan sampai
habis.
Kadang secara sadar dan egois aku selalu memilih untuk menyembunyikan
segala perasaan yang kumiliki padanya dari jangkauan orang lain. Tetapi
bukankah aku juga boleh lelah? Aku secara tak sadar, atau tak sepenuhnya sadar,
sering sekali menyinggung namanya di dalam sebuah cerita yang kubagi pada
beberapa orang saja di dalam hidupku.
Aku tidak
mengerti kenapa perasaanku padanya harus hidup dalam kurun waktu lima tahun
ini. Bahkan setelah tahu bahwa sama sekali tidak ada hal yang berubah sejak
saat pertama itu, aku sama sekali belum merasa ingin mengakhirinya. Atau paling
tidak, bergerak sedikit saja dari tempat ini menuju tempat lain yang bisa saja
menjanjikan hal baru yang lebih menarik.
Aku selalu
tak bisa semudah itu mengakhiri cerita tentangnya. Tentang dia yang selama
kurang lebih lima tahun ini menjadi alasanku untuk tetap menunggu. Tentang dia yang
pernah membuatku banyak tersenyum dan bersemangat untuk tetap menjalani hari
yang seharusnya terasa berat. Tentang dia yang selalu ku sebut-sebut sebagai
cinta pertamaku.
Cinta
pertama.
Ya, hanya
itu satu-satunya penjelasan yang mungkin dibalik segala cerita yang ku tulis
tanpa terpaksa ini. Sebuah cerita yang tidak pernah memiliki alasan untuk ada
atau mati.
Sebenarnya
mengantuk juga, apalagi setelah sadar bahwa waktu bergerak kepada pukul 02.18
tanpa bisa kusadari sepenuhnya.
Sekarang
aku mengganti lagunya menjadi A Thousand Years milik Christina Perri, dan
perlahan kesadaranku kembali terkumpul. Aku masih ingin bercerita, masih ingin
menumpahkan segala isi pikiranku yang berjejal dan memberontak ingin keluar.
Tetapi aku merasa untuk perlu membatasinya dan memilih tetap mengeluarkannya
sedikit demi sedikit sehingga cerita itu tidak mudah habis.
Terlalu
banyak hal yang ingin ku ceritakan sampai aku sendiri tidak tahu bagaimana
harus memulainya, apalagi mengakhirinya. Tetapi aku tetap disini, tetap pada
keputusanku untuk senatiasa menulis setiap harinya. Entah jika suatu saat nanti
aku bisa menulis buku atau novel, aku hanya berharap aku bisa menulisnya dengan
sepenuh hati, sehingga orang yang membacanya akan ikut menggunakan hatinya
dalam memahami apa yang ku tuliskan nanti..
Dan
demikian, maka lagu dari Chantal Kreviazuk yang judulnya I’m Leaving on a
Jetplane mengantarku untuk menjeda tulisan ini. Sekedar memberiku kesempatan
untuk kembali berfikir dan kesempatan untuk memperoleh cerita baru,
(20/05/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar