Minggu, Agustus 12, 2012

Random Kadaluarsa


Hari ini, ditemani lagu Stand Up For Love dari Destiny’s Child dan setelah sebelumnya lagu dari Izi yang judulnya Eung Geub Shil, lagu yang menjadi soundtrack drama Korea sepanjang masaku “My Sassy Girl Chun Hyang”. Aku kembali bercerita…


Kenapa sampai detik ini apa yang kurasakan disini masih sama dengan apa yang ku rasakan kemarin, kemarin lusa, lusanya lagi, dan beratus-ratus lusa yang aku sendiri tidak bisa mengingatnya dengan baik. Semuanya masih sama, masih statis, seolah menunjukkan bahwa aku masih belum melakukan hal yang bersifat memperbarui hidupku. Aku merasa masih saja berdiri di tempat tanpa ada hal berarti yang bisa dan pernah ku lakukan.

Kadang sebuah rasa dan dorongan alamiah dari nuraniku berteriak dan memprotes kenapa sampai saat ini belum ada perubahan berarti di dalam hari-hari yang seharusnya kujalani dengan penuh kesadaran untuk berubah dan menjadi lebih baik. Tetapi aku belum lelah mencari. Aku masih belum ingin berhenti belajar. Belajar pada apapun yang sekiranya bisa membantuku mendapatkan pendapat dan pandangan baru mengenai hidup yang seharusnya ku jalani.

Sekarang lagu bergerak kepada soundtrack drama Asia “Silence”, drama Asia pertama yang ku tonton. Judul lagunya Jing Jing De, dan dinyanyikan oleh (kalau tidak salah tahu) Vic Zhou sendiri, yang juga merupakan tokoh utama di dalam cerita ini.

Ingatanku kembali berputar, mengarah kepadanya lagi. Lagi?

Kenapa aku menyebutnya lagi? Karena memang selama ini pikiran itu yang sebagian besar menguasaiku. Pikiran itu yang selama ini banyak menyuruhku untuk melamun daripada mengerjakan latihan soal Hidrolisis ataupun Larutan Penyangga.

Tapi aku yakin bukan hanya itu yang menguasai pikiranku, melainkan juga arah hidupku. Kemana nantinya aku akan membawa diri dan hidupku sangat bergantung kepada apa yang sudah ku lakukan sekarang dan kemarin.

Oh ya, kemarin aku terlambat ke sekolah. Dan untuk membayarnya, aku harus rela hampir lima belas menit berdiri dan hormat dengan patuh di bawah tiang bendera di tengah lapangan sekolah. Disaksikan secara langsung oleh anak-anak kelas X-3 yang kebetulan pagi itu jam kosong sebelum masuk jam olahraga. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu maupun kali ini, karena aku masih normal. Dan untuk itu aku pasti sangat malu.

Tapi akhirnya aku kembali belajar. Aku belajar tentang bagaimana aku harus menggunakan waktuku dengan baik agar tidak sampai waktu sendiri yang kelak menghancurkanku. Aku kembali belajar pada sebuah pengalaman dan cerita untuk mengendalikan diriku sendiri dengan baik. Dan kuharap, pembelajaran ini tidak hanya berlaku untuk hari ini, melainkan sampai nanti—saat yang aku sendiri tidak tahu tibanya—aku bisa mandiri.

Entahlah kenapa aku masih bisa terjaga sampai pukul 01:40 pagi. Tapi suatu hal mendorongku kuat untuk melakukannya. Bukan sekali ini juga aku menghabiskan malam sampai pagi dengan hanya menulis dan terpaku di depan layar laptop tanpa tahu apa yang sebenarnya telah ku tulis ini.

Lagu Shou Xi De Wen Rou yang masih dari Vic mengajakku melanjutkan tulisan ini.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ku cari sekarang. Hanya saja aku masih memiliki mimpi. Dan untuk itu aku sangat meyakininya. Aku mengaku sekarang, bahwa aku adalah seseorang yang sangat berharap untuk bisa menjadi seorang penulis tetapi aku tidak pernah mampu menciptakan karya yang spektakuler, atau minimal karya tulisan yang membuat orang berimajinasi tinggi seperti yang biasa ku lakukan saat sedang sendirian.

Semakin aku sering membaca buku, terutama buku yang berkaitan dengan kehidupan realita orang lain, aku semakin menemukan apa yang sebenarnya ku inginkan. Bukan menjadi orang yang bisa menciptakan karya imajinatif, melainkan seseorang yang lebih ingin menampilkan dirinya sendiri dalam bentuk buku yang diisi oleh tokoh bernama lain dengan sifat, kebiasaan, dan cerita yang mirip denganku. Dimana pada dasarnya aku hanya ingin orang lain tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku tanpa perlu susah-susah bertanya padaku.

Tadi, adalah acara tujuh harian Mbah Kung, dimana ada saudara lainku yang baru datang. Namanya Mbak Evi. Begitu Mbak Evi datang, seperti biasa yang kulakukan adalah menghampirinya dan segera menjabat tangannya, sesuai yang selalu diajarkan Bapak dan Mama padaku tapi lebih sering ku abaikan dan ku tinggalkan.

Tiba-tiba Mbak Evi menanyakan apakah benar aku sudah kuliah. Aku mengernyitkan alisku sebagai jawaban ketidakpahaman. Dan Mbak Evi kembali bilang bahwa ia iseng-iseng membuka profil account Facebook-ku dan mendapati biodataku terdaftar sebagai mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Sebenarnya aku hanya menganggap itu sebagai hasil dari doaku yang diam-diam selalu panjatkan seusai shalat.

Jujur sekali, aku memang sangat tergoda dengan jurusan itu yang tentu saja dengan mengesampingkan jurusan Sastra Jepang dan Inggris yang juga ku dambakan. Entah karena alasan seperti apa aku bisa memutuskan untuk ikut memasukkan Fakultas Psikologi sebagai salah satu jurusan kuliah yang benar-benar secara khusus ku inginkan.

Ah, sekarang lagu bergerak kepada Lara Fabian dengan Broken Vow-nya yang langsung memaksaku menahan air mata agar jangan sampai jatuh. Karena dengan berbagai alasan, yang salah satunya adalah keberadaan pakpuh-pakpuhku yang baru saja tiba dari Surabaya, aku memutuskan untuk menahan perasaanku.

Baru saja aku membaca beberapa cuplikan ulasan novel karangan Moammar Emka, pengarang yang baru kusadari, memiliki pencitraan dan gaya bahasa yang sangat puitis tetapi lugas dan tegas. Sehingga perasaannya sebagai seorang laki-laki mampu terbaca jelas dan terbingkai apik di dalam tata bahasa yang menggugah rasa.

Setelah itu aku kembali memikirkan orang itu. Meski secara diam-diam aku masih memintanya untuk senantiasa menemaniku di dalam segala rasa sendiri, sepi, sedih, bahagia, gembira, kecewa, dan segala rasa yang entah apa sebutannya. Aku yang masih diam-diam mengajaknya serta untuk tetap berada di samping lamunan dan tatapan rindu-ku yang sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk diungkapkan sampai habis. 

Kadang secara sadar dan egois aku selalu memilih untuk menyembunyikan segala perasaan yang kumiliki padanya dari jangkauan orang lain. Tetapi bukankah aku juga boleh lelah? Aku secara tak sadar, atau tak sepenuhnya sadar, sering sekali menyinggung namanya di dalam sebuah cerita yang kubagi pada beberapa orang saja di dalam hidupku.

Aku tidak mengerti kenapa perasaanku padanya harus hidup dalam kurun waktu lima tahun ini. Bahkan setelah tahu bahwa sama sekali tidak ada hal yang berubah sejak saat pertama itu, aku sama sekali belum merasa ingin mengakhirinya. Atau paling tidak, bergerak sedikit saja dari tempat ini menuju tempat lain yang bisa saja menjanjikan hal baru yang lebih menarik.

Aku selalu tak bisa semudah itu mengakhiri cerita tentangnya. Tentang dia yang selama kurang lebih lima tahun ini menjadi alasanku untuk tetap menunggu. Tentang dia yang pernah membuatku banyak tersenyum dan bersemangat untuk tetap menjalani hari yang seharusnya terasa berat. Tentang dia yang selalu ku sebut-sebut sebagai cinta pertamaku.

Cinta pertama.
Ya, hanya itu satu-satunya penjelasan yang mungkin dibalik segala cerita yang ku tulis tanpa terpaksa ini. Sebuah cerita yang tidak pernah memiliki alasan untuk ada atau mati.
Sebenarnya mengantuk juga, apalagi setelah sadar bahwa waktu bergerak kepada pukul 02.18 tanpa bisa kusadari sepenuhnya.

Sekarang aku mengganti lagunya menjadi A Thousand Years milik Christina Perri, dan perlahan kesadaranku kembali terkumpul. Aku masih ingin bercerita, masih ingin menumpahkan segala isi pikiranku yang berjejal dan memberontak ingin keluar. Tetapi aku merasa untuk perlu membatasinya dan memilih tetap mengeluarkannya sedikit demi sedikit sehingga cerita itu tidak mudah habis.

Terlalu banyak hal yang ingin ku ceritakan sampai aku sendiri tidak tahu bagaimana harus memulainya, apalagi mengakhirinya. Tetapi aku tetap disini, tetap pada keputusanku untuk senatiasa menulis setiap harinya. Entah jika suatu saat nanti aku bisa menulis buku atau novel, aku hanya berharap aku bisa menulisnya dengan sepenuh hati, sehingga orang yang membacanya akan ikut menggunakan hatinya dalam memahami apa yang ku tuliskan nanti..

Dan demikian, maka lagu dari Chantal Kreviazuk yang judulnya I’m Leaving on a Jetplane mengantarku untuk menjeda tulisan ini. Sekedar memberiku kesempatan untuk kembali berfikir dan kesempatan untuk memperoleh cerita baru,
(20/05/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar