Minggu, Agustus 12, 2012

Arah

Aku benci sekali mengingat hal ini. Bukan tanpa alasan. Tetapi karena aku memang tergolong orang buta arah. Jadi jelas bukan kenapa aku sedikit risih dengan pembicaraan yang melibatkan arah-arah di dalamnya. (Risih karena nggak ngerti sama sekali)


Ditambah lagi dengan pengalaman tersesat. Praktis hal itu semakin menambah prosentase perasaan risihku terhadap hal itu.

Bermula dari les Kimia yang terlambat dua jam, yang akhirnya dibatalkan (bayangin aja telat sampe dua jam). Yang akhirnya berbuntut dengan tawaranku untuk mengantar salah satu teman untuk pulang bersama. Awalnya aku masih tenang karena ia bisa menunjukkan arah jalan kerumahnya yang kebetulan memang cukup jauh dari tempat lesku tadi.

Setelah menurunkannya di depan gang (aku masih harus menjemput seorang sepupu lagi setelahnya), aku memutar motor kembali dan berusaha mengikuti ingatanku tentang jalan kami sebelumnya.

Satu perempatan besar lengkap dengan traffic light-nya terlewati dengan selamat kali itu. Berlanjut dengan perempatan lain yang agak lebih besar, dan disanalah otakku mulai bekerja lambat. Aku lupa kearah belokan mana yang menuju Kepatihan (waktu itu dari perempatan Jepun). Dan dengan ingatan yang lemah dan ditambah dengan ke-sok tahuan, aku memutuskan untuk lurus (waktu itu seingatku memang lurus kok).

Aku masih melajukan motor dengan kecepatan sedang, ditambah dengan menikmati angin jam sepuluh pagi di hari yang cukup mendung kali itu. Setelah beberapa ratus meter aku baru sadar kalau jalan yang kulewati itu ternyata lebih panjang dari sebelumnya. Otak mulai bekerja. Dan semakin curiga dengan tidak adanya traffic light yang seharusnya sudah kelihatan dalam jarak beberapa puluh meter saja.

Waktu itu kendaraan sekitar yang   lewat jalan itu kebanyakan adalah truk dan mobil. Lah, ditambah lagi disitu aku melewati sebuah bangunan bekas pabrik rokok yang lama tidak terpakai. Berangkat dari fakta-fakta itu aku mulai memikirkan kemungkinan terburuk tentang kejadian yang sedang kualami. Tersesat.
 Yang benar saja. Ini masih Tulungagung, kota kelahiranku sendiri. Dimana tujuh belas tahunku kulewati disana. Dan aku masih bisa tersesat.


Sempat terpikir untuk mengirimkan sms kepada salah satu teman untuk meminta petunjuk jalan. Tetapi segera kuurungkan niat itu begitu mengingat bahwa ia pandai dalam urusan arah. Dan paling gemar menunjukkan letak tempat dengan arah-arah yang asing bagiku. Jadi kuputuskan untuk tidak jadi meminta bantuannya. Aku hanya tidak ingin semakin bingung dan menangis di jalan.

Penyelesaian dari drama itu sebenarnya mudah. Dengan masih berbekal rasa sok tahu aku memutuskan untuk berbalik arah menuju traffic light tadi. Setelah itu aku belok kiri (seingatku), dan mengikuti jalan dengan bantuan kata hati, feeling, perasaan, dan sebagainya. Ditambah dengan sedikit ingatan tentang jalan yang sebenarnya sering kulewati bersama seorang teman (tetapi aku masih lupa, mungkin prosentasi ingatnya 45,5 %). Finally, aku sampai di salah satu belokan dekat rumah sepupuku tadi (rumahnya Sobontoro, dekat Rumah Sakit Dr. Iskak).

 Hanya satu yang kuingat saat itu, ya, bahagia dan lega (setelah berkali-kali membaca hamdalah, sebenarnya pengen sujud syukur, tapi nggak mungkin karena lagi naik motor).
Jadi kesimpulannya, menurutmu, apa aku perlu belajar arah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar