Aku benci
sekali mengingat hal ini. Bukan tanpa alasan. Tetapi karena aku memang
tergolong orang buta arah. Jadi jelas bukan kenapa aku sedikit risih dengan
pembicaraan yang melibatkan arah-arah di dalamnya. (Risih karena nggak ngerti
sama sekali)
Ditambah
lagi dengan pengalaman tersesat. Praktis hal itu semakin menambah prosentase
perasaan risihku terhadap hal itu.
Bermula
dari les Kimia yang terlambat dua jam, yang akhirnya dibatalkan (bayangin aja
telat sampe dua jam). Yang akhirnya berbuntut dengan tawaranku untuk mengantar
salah satu teman untuk pulang bersama. Awalnya aku masih tenang karena ia bisa
menunjukkan arah jalan kerumahnya yang kebetulan memang cukup jauh dari tempat
lesku tadi.
Setelah
menurunkannya di depan gang (aku masih harus menjemput seorang sepupu lagi
setelahnya), aku memutar motor kembali dan berusaha mengikuti ingatanku tentang
jalan kami sebelumnya.
Satu
perempatan besar lengkap dengan traffic light-nya terlewati dengan selamat kali
itu. Berlanjut dengan perempatan lain yang agak lebih besar, dan disanalah otakku
mulai bekerja lambat. Aku lupa kearah belokan mana yang menuju Kepatihan (waktu
itu dari perempatan Jepun). Dan dengan ingatan yang lemah dan ditambah dengan
ke-sok tahuan, aku memutuskan untuk lurus (waktu itu seingatku memang lurus
kok).
Aku masih
melajukan motor dengan kecepatan sedang, ditambah dengan menikmati angin jam
sepuluh pagi di hari yang cukup mendung kali itu. Setelah beberapa ratus meter
aku baru sadar kalau jalan yang kulewati itu ternyata lebih panjang dari
sebelumnya. Otak mulai bekerja. Dan semakin curiga dengan tidak adanya traffic
light yang seharusnya sudah kelihatan dalam jarak beberapa puluh meter saja.
Waktu itu
kendaraan sekitar yang lewat jalan itu
kebanyakan adalah truk dan mobil. Lah, ditambah lagi disitu aku melewati sebuah
bangunan bekas pabrik rokok yang lama tidak terpakai. Berangkat dari
fakta-fakta itu aku mulai memikirkan kemungkinan terburuk tentang kejadian yang
sedang kualami. Tersesat.
Yang benar saja. Ini masih Tulungagung, kota
kelahiranku sendiri. Dimana tujuh belas tahunku kulewati disana. Dan aku masih
bisa tersesat.
Sempat
terpikir untuk mengirimkan sms kepada salah satu teman untuk meminta petunjuk
jalan. Tetapi segera kuurungkan niat itu begitu mengingat bahwa ia pandai dalam
urusan arah. Dan paling gemar menunjukkan letak tempat dengan arah-arah yang
asing bagiku. Jadi kuputuskan untuk tidak jadi meminta bantuannya. Aku hanya
tidak ingin semakin bingung dan menangis di jalan.
Penyelesaian
dari drama itu sebenarnya mudah. Dengan masih berbekal rasa sok tahu aku
memutuskan untuk berbalik arah menuju traffic light tadi. Setelah itu aku belok
kiri (seingatku), dan mengikuti jalan dengan bantuan kata hati, feeling,
perasaan, dan sebagainya. Ditambah dengan sedikit ingatan tentang jalan yang
sebenarnya sering kulewati bersama seorang teman (tetapi aku masih lupa,
mungkin prosentasi ingatnya 45,5 %). Finally, aku sampai di salah satu belokan
dekat rumah sepupuku tadi (rumahnya Sobontoro, dekat Rumah Sakit Dr. Iskak).
Hanya satu yang kuingat saat itu, ya, bahagia dan lega (setelah berkali-kali
membaca hamdalah, sebenarnya pengen sujud syukur, tapi nggak mungkin karena
lagi naik motor).
Jadi
kesimpulannya, menurutmu, apa aku perlu belajar arah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar