Kalaupun
ada beberapa perasaan yang tak boleh selesai, bisakah itu berlaku pada
perasaanku? Pada perasaan cinta dan sakit yang muncul bersama. Mencintai sembari
tersakiti dalam waktu yang bersamaan. Dan jawabannya? Ya, aku menerimanya. Menerima
kenyataan bahwa perasaanku memang tak boleh selesai. Walaupun harus.
“Tetapi
mau sampai kapan kau akan terus seperti ini? ” tanyanya geram. Seolah menyesali
kebodohanku sebagai seorang perempuan yang terlalu ikhlas menunggu.
“Aku
hanya belum mendapatkan jawaban atas pencarianku..” ucapku tak kalah kesalnya. Kali
ini sembari memainkan ujung-ujung gaun kuning gadingku. Dulu ia selalu memuji
jika aku mengenakan gaun ini, dipadukan dengan cardigan biru gelap
pemberiannya.
“Kau
bukan sedang mencari. Kau menunggui, apa yang bahkan tak ingin kembali..”
tandasnya kejam. Menurutku ia memang sahabat yang punya dua sisi. Menenangkan,
sekaligus menyakiti dalam sekali waktu.
Kupandangi
air mukanya yang bahkan masih terlihat sebal. Mungkin karena terlalu lama
menungguiku yang tak melakukan apa-apa di tempat ini. Sekali lagi, ia
menyeruput latte keduanya.
“Rin,
kau tahu, suamiku bisa mengamuk jika tahu aku menghabiskan secangkir latte. Dan
sekarang aku sampai pada cangkir keduaku. Ia bisa menghentikan jatah belanjaku
seketika..”
Ia
mengeluh namun masih juga menghabiskan latte-nya.
“Kau
bisa memesan air putih jika mau, kan?” jawabku asal. Membuatnya langsung
menendang kakiku dari balik meja. Membuat tawaku muncul seketika.
“Ini
alasannya kenapa aku selalu suka mengganggu waktu indahmu bersama Kevin. Hanya kau
yang tahu benar cara membuatku tertawa bahkan meski setelah semalaman
menangis..”
Ia
mencibir.
“Tambahkan.
Hanya aku juga satu-satunya orang yang tak pernah melarangmu untuk jatuh cinta
pada manusia yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu..”
Ia
tersenyum lebar. Mengundang senyum yang sama muncul dari bibirku.
***
Karina
masih menyendoki es krim vanilla-nya, tanpa benar-benar berniat
menghabiskannya. Gadis sahabatku hanya memainkan sendoknya, menjilati ujung es
krimnya, dan sama sekali tak menaruh minat pada es krim kesukaannya itu.
Gadis
itu sedang kacau hari ini. Hatinya patah, dan entah untuk keberapa kalinya ia
harus kembali menelan pil pahit yang tak juga dihindarinya itu.
Bagiku
ia memang sedikit bodoh. Karena, harus disebut apa lagi jika seorang perempuan
harus mau mempertaruhkan perasaannya demi laki-laki yang entah dimana rimbanya,
padahal jelas-jelas ada seseorang yang tulus mencintainya, pada saat yang
bersamaan.
Namun
aku juga sama bodohnya. Meskipun tahu bahwa keputusan Karin untuk menunggu,
bukanlah keputusan yang tepat, toh tiap kali ia menanyakan tentang apa yang
harus dilakukannya, jawabanku selalu sama.
“Apapun
yang hatimu mau, aku turut..”
Dan
itu juga berarti, aku ikut andil dalam pengambilan keputusan bodohnya. Menunggu
Brian yang entah dimana, dan mengabaikan Arga yang bahkan selalu ada.
***
“Mel,
ketemuan yuk. Aku mau merayakan sesuatu..”
Ucap
singkatnya di telepon tak urung membuatku kembali tergerak. Meninggalkan Kevin
suamiku, yang hanya bisa mengedikkan bahunya tiap kali kumintai izin bertemu
Karina. Ia hanya memberiku waktu sampai sebelum jam makan siang, dan bagiku itu
sudah lebih dari cukup untuk sebuah pengertian dari seseorang yang benar-benar
mencintaiku itu.
“Kau
tahu, Kevin hanya memberiku waktu tak lebih dari jam makan siang nanti. Jadi tolong
katakan secepatnya apa perayaan yang kau maksud itu..”
Senyum
Karina terkembang hangat tanpa kuminta, bahkan gadis itu seolah mengabaikan
penjelasanku barusan. Membuatku menebak-nebak apa gerangan yang membuatnya
sehangat pagi ini.
Mendadak
tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas putihnya. Selembar undangan
berwarna perak, dengan detil bunga-bunga berwarna kecoklatan.
Aku
merebutnya dengan cepat. Agak berdebar karena mengira gadis itu telah mengambil
keputusan bodoh dengan menerima lamaran seseorang yang bahkan tak benar-benar
dimauinya.
Kubaca
guratan nama berwarna kecokelatan itu dan semakin terperanjat melihat apa yang
tertera disitu.
“Brian
akan menikah?”
Sekali
lagi Karina mengangguk. Namun anehnya, sama sekali tak tampak gurat kesedihan
atau kesakitan yang hampir selalu ia tunjukkan tiap kali kami membicarakan sosok
laki-laki yang satu itu.
“Dan
kau ingin merayakan patah hatimu untuk yang kesekian kalinya? Bagiku sudah
cukup kau membodohi diri terus menerus seperti ini, Rin!” sentakku tak tahan
pada sikap sok kuatnya. Sikap yang justru membuat hatiku terasa sakit.
Aku
tahu benar perasaan gadis itu, dan sepanjang pengentahuanku, cintanya untuk
Brian tak pernah semain-main itu.
“Aku
ingin merayakan kebebasanku, Mel. Kau harusnya ikut senang karena aku sudah tak
lagi menunggu laki-laki itu, kan?”
Ia
masih terlihat bahagia. Bahkan meski diam-diam aku berhasil mencatat rasa sakit
dibalik bening matanya yang tertutup kacamata minus.
“Katakan
padaku, apa yang harus kulakukan seharian ini untukmu? Kuyakin untuk hal ini
Kevin akan memberiku dispensasi..”
Kali
ini aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Atau bahkan jika Kevin akan
menghentikan uang belanjaku, aku sudah siap dengan segala kemungkinan itu. Aku hanya
tak ingin, dan tak mungkin membiarkan Karina sendirian dalam keadaan seperti
ini.
Jika
aku saja seterkejut ini, tentu Karina akan jauh lebih dari itu.
“Aku
menemuinya kemarin. Kukatakan bahwa aku mencintainya, sejak bertahun-tahun yang
lalu, dan bahkan sampai sekarang. Lalu ia memberiku undangan ini, dan sejak
saat itu aku tahu, aku telah mengambil keputusan yang tepat..”
Karina
mengawali ceritanya. Membuatku diam-diam menyesali caranya menyelesaikan
masalahnya sendirian. Tanpa aku.
“Lalu
apa jawabannya?”
Kuberanikan
diri untuk menanyakan hal itu pada Karina.
“Ia
bilang aku pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya..”
Tanpa
sadar aku ikut mengangguk. Brian benar, Karina memang pantas mendapatkan yang
lebih baik darinya.
“Tetapi
bukan itu mauku. Aku tak ingin mencintai orang lain dengan label lebih baik
dari Brian, karena bagiku jatuh cinta bukan perkara baik atau lebih baik. Bagiku,
itu seolah memberi kesan bahwa selama ini aku telah mencintai laki-laki yang
tak cukup baik..”
Aku
termangu. Tak cukup percaya bahwa seseorang sepatah hati Karina masih bisa
memberikan pembelaan bagi laki-laki yang mematahkan hatinya sampai seperti itu.
“You
deserve to have so much more, Rin..”
Kata-kataku
tertelan oleh tangisku sendiri.
“Aku
percaya pada pelangi setelah hujan, dan yah, untuk datangnya pelangi yang
sempat bertahun-tahun hilang, bisakah Kevin memberimu dispensasi?”
Kali
ini aku tertawa.
“Tidak
jika kau tak mengajak Arga turut serta..”
Ucapanku
dibalas tawa lepas Karina. Membuatku tahu, gadis itu telah bahagia didalam
patah hatinya.
*fiksi*
Magetan,
21 Agustus 2014
12
: 08 PM
(cerita
ini didapat dari pengembangan sebuah cerita di tumblr Windy Ariestanty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar