Kamis, Agustus 21, 2014

Pantas



Kalaupun ada beberapa perasaan yang tak boleh selesai, bisakah itu berlaku pada perasaanku? Pada perasaan cinta dan sakit yang muncul bersama. Mencintai sembari tersakiti dalam waktu yang bersamaan. Dan jawabannya? Ya, aku menerimanya. Menerima kenyataan bahwa perasaanku memang tak boleh selesai. Walaupun harus.

“Tetapi mau sampai kapan kau akan terus seperti ini? ” tanyanya geram. Seolah menyesali kebodohanku sebagai seorang perempuan yang terlalu ikhlas menunggu.

“Aku hanya belum mendapatkan jawaban atas pencarianku..” ucapku tak kalah kesalnya. Kali ini sembari memainkan ujung-ujung gaun kuning gadingku. Dulu ia selalu memuji jika aku mengenakan gaun ini, dipadukan dengan cardigan biru gelap pemberiannya.

“Kau bukan sedang mencari. Kau menunggui, apa yang bahkan tak ingin kembali..” tandasnya kejam. Menurutku ia memang sahabat yang punya dua sisi. Menenangkan, sekaligus menyakiti dalam sekali waktu.

Kupandangi air mukanya yang bahkan masih terlihat sebal. Mungkin karena terlalu lama menungguiku yang tak melakukan apa-apa di tempat ini. Sekali lagi, ia menyeruput latte keduanya.

“Rin, kau tahu, suamiku bisa mengamuk jika tahu aku menghabiskan secangkir latte. Dan sekarang aku sampai pada cangkir keduaku. Ia bisa menghentikan jatah belanjaku seketika..”

Ia mengeluh namun masih juga menghabiskan latte-nya.

“Kau bisa memesan air putih jika mau, kan?” jawabku asal. Membuatnya langsung menendang kakiku dari balik meja. Membuat tawaku muncul seketika.

“Ini alasannya kenapa aku selalu suka mengganggu waktu indahmu bersama Kevin. Hanya kau yang tahu benar cara membuatku tertawa bahkan meski setelah semalaman menangis..”

Ia mencibir.

“Tambahkan. Hanya aku juga satu-satunya orang yang tak pernah melarangmu untuk jatuh cinta pada manusia yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu..”

Ia tersenyum lebar. Mengundang senyum yang sama muncul dari bibirku.

***

Karina masih menyendoki es krim vanilla-nya, tanpa benar-benar berniat menghabiskannya. Gadis sahabatku hanya memainkan sendoknya, menjilati ujung es krimnya, dan sama sekali tak menaruh minat pada es krim kesukaannya itu.

Gadis itu sedang kacau hari ini. Hatinya patah, dan entah untuk keberapa kalinya ia harus kembali menelan pil pahit yang tak juga dihindarinya itu.

Bagiku ia memang sedikit bodoh. Karena, harus disebut apa lagi jika seorang perempuan harus mau mempertaruhkan perasaannya demi laki-laki yang entah dimana rimbanya, padahal jelas-jelas ada seseorang yang tulus mencintainya, pada saat yang bersamaan.

Namun aku juga sama bodohnya. Meskipun tahu bahwa keputusan Karin untuk menunggu, bukanlah keputusan yang tepat, toh tiap kali ia menanyakan tentang apa yang harus dilakukannya, jawabanku selalu sama.

“Apapun yang hatimu mau, aku turut..”

Dan itu juga berarti, aku ikut andil dalam pengambilan keputusan bodohnya. Menunggu Brian yang entah dimana, dan mengabaikan Arga yang bahkan selalu ada.

***

“Mel, ketemuan yuk. Aku mau merayakan sesuatu..”

Ucap singkatnya di telepon tak urung membuatku kembali tergerak. Meninggalkan Kevin suamiku, yang hanya bisa mengedikkan bahunya tiap kali kumintai izin bertemu Karina. Ia hanya memberiku waktu sampai sebelum jam makan siang, dan bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah pengertian dari seseorang yang benar-benar mencintaiku itu.

“Kau tahu, Kevin hanya memberiku waktu tak lebih dari jam makan siang nanti. Jadi tolong katakan secepatnya apa perayaan yang kau maksud itu..”

Senyum Karina terkembang hangat tanpa kuminta, bahkan gadis itu seolah mengabaikan penjelasanku barusan. Membuatku menebak-nebak apa gerangan yang membuatnya sehangat pagi ini.

Mendadak tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas putihnya. Selembar undangan berwarna perak, dengan detil bunga-bunga berwarna kecoklatan.

Aku merebutnya dengan cepat. Agak berdebar karena mengira gadis itu telah mengambil keputusan bodoh dengan menerima lamaran seseorang yang bahkan tak benar-benar dimauinya.

Kubaca guratan nama berwarna kecokelatan itu dan semakin terperanjat melihat apa yang tertera disitu.

“Brian akan menikah?”

Sekali lagi Karina mengangguk. Namun anehnya, sama sekali tak tampak gurat kesedihan atau kesakitan yang hampir selalu ia tunjukkan tiap kali kami membicarakan sosok laki-laki yang satu itu.

“Dan kau ingin merayakan patah hatimu untuk yang kesekian kalinya? Bagiku sudah cukup kau membodohi diri terus menerus seperti ini, Rin!” sentakku tak tahan pada sikap sok kuatnya. Sikap yang justru membuat hatiku terasa sakit.

Aku tahu benar perasaan gadis itu, dan sepanjang pengentahuanku, cintanya untuk Brian tak pernah semain-main itu.

“Aku ingin merayakan kebebasanku, Mel. Kau harusnya ikut senang karena aku sudah tak lagi menunggu laki-laki itu, kan?”

Ia masih terlihat bahagia. Bahkan meski diam-diam aku berhasil mencatat rasa sakit dibalik bening matanya yang tertutup kacamata minus.

“Katakan padaku, apa yang harus kulakukan seharian ini untukmu? Kuyakin untuk hal ini Kevin akan memberiku dispensasi..”

Kali ini aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Atau bahkan jika Kevin akan menghentikan uang belanjaku, aku sudah siap dengan segala kemungkinan itu. Aku hanya tak ingin, dan tak mungkin membiarkan Karina sendirian dalam keadaan seperti ini.

Jika aku saja seterkejut ini, tentu Karina akan jauh lebih dari itu.

“Aku menemuinya kemarin. Kukatakan bahwa aku mencintainya, sejak bertahun-tahun yang lalu, dan bahkan sampai sekarang. Lalu ia memberiku undangan ini, dan sejak saat itu aku tahu, aku telah mengambil keputusan yang tepat..”

Karina mengawali ceritanya. Membuatku diam-diam menyesali caranya menyelesaikan masalahnya sendirian. Tanpa aku.

“Lalu apa jawabannya?”

Kuberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada Karina.

“Ia bilang aku pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya..”

Tanpa sadar aku ikut mengangguk. Brian benar, Karina memang pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.

“Tetapi bukan itu mauku. Aku tak ingin mencintai orang lain dengan label lebih baik dari Brian, karena bagiku jatuh cinta bukan perkara baik atau lebih baik. Bagiku, itu seolah memberi kesan bahwa selama ini aku telah mencintai laki-laki yang tak cukup baik..”

Aku termangu. Tak cukup percaya bahwa seseorang sepatah hati Karina masih bisa memberikan pembelaan bagi laki-laki yang mematahkan hatinya sampai seperti itu.

You deserve to have so much more, Rin..”
Kata-kataku tertelan oleh tangisku sendiri.

“Aku percaya pada pelangi setelah hujan, dan yah, untuk datangnya pelangi yang sempat bertahun-tahun hilang, bisakah Kevin memberimu dispensasi?”

Kali ini aku tertawa.

“Tidak jika kau tak mengajak Arga turut serta..”

Ucapanku dibalas tawa lepas Karina. Membuatku tahu, gadis itu telah bahagia didalam patah hatinya.

*fiksi*

Magetan, 21 Agustus 2014
12 : 08 PM
(cerita ini didapat dari pengembangan sebuah cerita di tumblr Windy Ariestanty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar