Rabu, Oktober 14, 2015

Aku ; sesuatu yang jelas kamu tak tahu.



Sebut aku sebagai manusia paling egois di dunia.
Manusia monokrom yang katamu hanya kenal kepastian dan satu ketidakpastian.
Yang katamu, kalau tidak ‘ya’ maka itu harus berarti ‘tidak’.
Ya, aku memang membiasakan diriku untuk tak mengenal kata ‘mungkin’.

Lalu tiba-tiba kamu, manusia super lengkap yang pernah kukenal,
mendadak membawaku melintasi apa-apa yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Duniamu yang selalu kusebut terlalu ramai,
namun kamu yang selalu mengatakan bahwa aku hanya terlalu mencintai sepi.

Padahal bukan itu, aku manusia biasa,
yang takut sendiri dan sebenarnya sangat benci sepi.

Kamu hanya belum paham.
Hanya belum tahu bahwa dibalik manusia super egois ini,
aku cuma manusia yang punya macam-macam kesedihan.
Yang terlalu kenyang dengan kehilangan,
yang sampai akhirnya mencetakku menjadi sosok super kaku,
yang tak kenal warna abu-abu.

Katamu, aku terlalu hitam untuk menjadi putih.
Dan sebaliknya, mampu pula aku menjadi terlalu putih untuk menjadi hitam.
Bagimu, aku garis tegas yang tahu kemana harus melangkah,
yang paham betul tiap-tiap keputusan yang harus kuambil.

Sementara aku menyebutmu sebagai garis lengkung,
yang tak beraturan,
dan punya cabang tak terhitung.

Garis-garis yang hanya akan membuat mataku berkunang-kunang tak karuan,
dan kepalaku pening bukan kepalang.
Kukatakan padamu sekali lagi, kamu punya terlalu banyak warna.
Kamu punya terlalu banyak pintu, yang hampir kesemuanya kamu biarkan terbuka lebar.

Membiarkan siapa saja memasukinya tanpa ketuk pintu lebih dulu.
Membiarkan mereka melakukan apa saja disana,
tanpa sadar bahwa kecerobohanmu bisa saja membuat mereka tahu apa saja kelemahanmu,
lalu membunuhmu pelan, selagi kamu ketiduran.

Lalu kamu tertawa keras mendengar ucapku.
Kamu bilang imajinasiku keterlaluan.
Dan lebih parahnya, kamu bilang aku terlalu memuja ketakutan.
Bukannya itu tak salah?

Bukankah memang semakin lebar kita membuka pintu,
maka semakin banyak pula yang ingin masuk?
Dan kalau sudah banyak yang masuk,
bukankah jauh lebih besar juga kemungkinan kita dihancurkan oleh mereka?

Lagi-lagi tawamu mengeras.

Menyuruhku mengendalikan bayangan di kepalaku,
agar tak menjadi ketakutan yang tanpa sebab.

Aku tak mengerti, ada sebuah ruang egoisku yang tak mau begitu saja mengiyakan pintamu.

Kamu tak paham.
Aku, si manusia paling egois di dunia ini,
tentu tak mau begitu saja membiarkan kamu,
yang jelas telah menjadi satu-satunya di dalam hati,
dapat dilihat oleh siapapun.

Kamu benar, aku memang hanya mengenal kepastian dan satu ketidakpastian.

Sementara kabar yang masih kukuh kusembunyikan darimu,
adalah kejelasanku jatuh cinta kepadamu.

Sosok tak tergenggam yang menjadi alasan kenapa aku masih memiliki satu ketidakpastian.

“Bisakah aku dan kamu yang bedanya sejauh timur dari barat itu, menjadi satu, seperti laut berpeluk erat dengan bibir pantai?”

Ketidaktahuanku menggenggam erat ketidakpastian.
Kamu jelas tak tahu itu.


*fiksi*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar