Rabu, Oktober 14, 2015

Dari Aku, yang Kamu Sebut Teman.



Kalau kamu bilang aku tak punya hak untuk marah, kamu benar.
Lagi, kalau kamu bilang aku tak punya wewenang mengaturmu, kamu masih benar.

Aku ini manusia yang tak kunjung menjadi siapa dimata indahmu.
Manusia yang harus mampu bangga meski hanya dari kejauhan membelai hitam ikal rambutmu. Manusia yang harus mau bahagia, meski jelas-jelas melihat kamu bersama laki-laki itu.

Kamu pernah bilang, kamu sayang padaku,
namun sayang itu tak lebih dari sayang seorang teman terhadap temannya.
Dan dengan jawaban itu, aku tetap harus bahagia,
bahkan meski tanpa kamu tahu,
ada hatiku yang meronta.
Meminta kamu,
sekaligus hatimu yang jelas-jelas sudah terisi penuh oleh laki-laki itu.

Tapi nyatanya aku masih pula tak ingin beranjak.
Masih pula aku menyetiakan diri pada bayanganmu yang malangnya,
justru semakin menjauh seiring bertambah kuatnya perasaanku.

Kamu tak tahu, dan tak mau tahu bahkan meski sudah tiga kali aku menyatakan perasaan itu.
Katamu sederhana,
ada bagian dari diriku yang membuat kamu tak bisa nyaman.
Dan tentu saja, kenyamananmu berpengaruh besar pada bahagiamu.
Dan itu berarti, bukan aku penyebab bahagiamu.
Bukan aku, dan tak pernah dari aku.

Sore itu, selepas menjemputmu dari kelas menarimu,
kembali aku mencoba peruntungan.
Menyatakan perasaan untuk yang ke empat kalinya,
berharap kali itu suasana hatimu sedang baik,
lalu kamu lupa mengatakan kalimat-kalimat penolakan seperti biasa.
Doaku agak aneh, memang.

Lagi, ternyata takdir baik belum mau turut padaku.
Kamu masih saja menolak.
Menyangkal perasaanku dengan alasan, tak seharusnya aku memiliki perasaan atas namamu. membuatku terhenyak kaget,
tak menyangka kamu bisa berkata seperti itu.

Siapa aku?
Siapa kamu?
Sampai bisa-bisanya kita mengarang kepada siapa kita boleh jatuh cinta,
atau untuk siapa-siapa saja cinta kita tak boleh sampai tumpah.

Lalu kamu diam. Seolah berusahan mencari-cari jawaban atas aku yang masih saja menunggumu tanpa sungkan.

“Lihat aku. Bisakah kamu melihat aku tak bahagia?”
Tentu aku menolak.
Bidadari sepertimu kuwajibkan hukumnya untuk senantiasa bahagia.
Itu sudah mutlak, tanpa boleh ada gangguan.

“Maka sudah, lepaskan aku. Anggap perasaan kita cukup hanya pada batas teman. Aku tak mampu bahagia, dan kalaupun nanti aku harus mendapat yang selain dia. Maka tetap, kamu hanya bisa kupandang sebagai teman. Tidakkah pintaku berlebihan?”

Ucap pelanmu membuatku haru.
Kamu benar, cinta tak seharusnya dipaksakan.
Tak seharusnya diluruskan sampai seperti apa yang kita mau.

Sekarang aku tahu apa yang membuat aku tak pernah cukup istimewa dimatamu.
Kamu tak butuh sosok dengan kelebihan yang terlalu.
Kamu hanya butuh sosok biasa, yang punya beberapa kekurangan.
Karena sama seperti yang kamu bilang.
Berpasangan itu hakikatnya untuk menyempurnakan.
Bukan hanya tentang mengumpulkan berbagai kelebihan.


Ya, kamu benar.

*fiksi*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar