Kalau kamu bilang aku tak punya hak
untuk marah, kamu benar.
Lagi, kalau kamu bilang aku tak punya
wewenang mengaturmu, kamu masih benar.
Aku ini manusia yang tak kunjung menjadi
siapa dimata indahmu.
Manusia yang harus mampu bangga meski
hanya dari kejauhan membelai hitam ikal rambutmu. Manusia yang harus mau
bahagia, meski jelas-jelas melihat kamu bersama laki-laki itu.
Kamu pernah bilang, kamu sayang padaku,
namun sayang itu tak lebih dari sayang
seorang teman terhadap temannya.
Dan dengan jawaban itu, aku tetap harus
bahagia,
bahkan meski tanpa kamu tahu,
ada hatiku yang meronta.
Meminta kamu,
sekaligus hatimu yang jelas-jelas sudah
terisi penuh oleh laki-laki itu.
Tapi nyatanya aku masih pula tak ingin
beranjak.
Masih pula aku menyetiakan diri pada
bayanganmu yang malangnya,
justru semakin menjauh seiring bertambah
kuatnya perasaanku.
Kamu tak tahu, dan tak mau tahu bahkan
meski sudah tiga kali aku menyatakan perasaan itu.
Katamu sederhana,
ada bagian dari diriku yang membuat kamu
tak bisa nyaman.
Dan tentu saja, kenyamananmu berpengaruh
besar pada bahagiamu.
Dan itu berarti, bukan aku penyebab
bahagiamu.
Bukan aku, dan tak pernah dari aku.
Sore itu, selepas menjemputmu dari kelas
menarimu,
kembali aku mencoba peruntungan.
Menyatakan perasaan untuk yang ke empat
kalinya,
berharap kali itu suasana hatimu sedang
baik,
lalu kamu lupa mengatakan
kalimat-kalimat penolakan seperti biasa.
Doaku agak aneh, memang.
Lagi, ternyata takdir baik belum mau
turut padaku.
Kamu masih saja menolak.
Menyangkal perasaanku dengan alasan, tak
seharusnya aku memiliki perasaan atas namamu. membuatku terhenyak kaget,
tak menyangka kamu bisa berkata seperti
itu.
Siapa aku?
Siapa kamu?
Sampai bisa-bisanya kita mengarang
kepada siapa kita boleh jatuh cinta,
atau untuk siapa-siapa saja cinta kita
tak boleh sampai tumpah.
Lalu kamu diam. Seolah berusahan
mencari-cari jawaban atas aku yang masih saja menunggumu tanpa sungkan.
“Lihat aku. Bisakah kamu melihat aku tak
bahagia?”
Tentu aku menolak.
Bidadari sepertimu kuwajibkan hukumnya
untuk senantiasa bahagia.
Itu sudah mutlak, tanpa boleh ada
gangguan.
“Maka sudah, lepaskan aku. Anggap
perasaan kita cukup hanya pada batas teman. Aku tak mampu bahagia, dan kalaupun
nanti aku harus mendapat yang selain dia. Maka tetap, kamu hanya bisa kupandang
sebagai teman. Tidakkah pintaku berlebihan?”
Ucap pelanmu membuatku haru.
Kamu benar, cinta tak seharusnya
dipaksakan.
Tak seharusnya diluruskan sampai seperti
apa yang kita mau.
Sekarang aku tahu apa yang membuat aku
tak pernah cukup istimewa dimatamu.
Kamu tak butuh sosok dengan kelebihan
yang terlalu.
Kamu hanya butuh sosok biasa, yang punya
beberapa kekurangan.
Karena sama seperti yang kamu bilang.
Berpasangan itu hakikatnya untuk
menyempurnakan.
Bukan hanya tentang mengumpulkan
berbagai kelebihan.
Ya, kamu benar.
*fiksi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar