Beberapa perasaan yang tak bisa selesai,
nyatanya tetap dituntut untuk selesai.
Sama halnya ketika aku mendapati kedua
matamu,
yang meskipun kita sedang duduk
berdampingan kali itu,
tak ada yang mampu kudapati dari
keberadaanmu,
selain sosokmu yang tak tergapai hati.
Kamu ada, hatimu yang entah kemana.
Sampai akhirnya aku memberanikan diri
bertanya.
Mencoba peruntungan dengan mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kubiarkan bergantungan
sendirian di langit pikiranku.
Tentang dimana hatimu, dimana
perasaanmu,
tentang apa-apa yang tak lagi kudapati
darimu,
bahkan meski ketika bibirmu tersenyum
kearahku.
Sejak hari itu aku tahu.
Cintaku sudah jauh bertepuk sebelah
tangan.
Cinta yang pada beberapa waktunya sempat
kuagungkan karena begitu besarnya kepadamu, nyata-nyatanya luruh habis juga.
Seolah salju segenggam dibakar habis api
bergenggam-genggam.
Lalu kamu mengatakan kamu tak lagi
memahami arah pembicaraanku.
Arah bicara yang kubawa pada
penyelesaian atas hubungan sepihak yang kita bangun.
Arah bicara yang kugiring menuju
pemahamanku atas kita yang ternyata tak lagi satu tujuan.
Kamu masih saja mengelak.
Masih saja menganggap bahwa kita
baik-baik saja.
Padahal jelas tertangkap mata, kamu tak
lagi ada disana.
Kamu tak lagi menjadi kamu yang pernah
kukirimi puisi cinta berlembar-lembar.
Kamu pun bukan lagi sosok yang pernah
kurindukan sampai gila.
Bukan lagi orang yang kucinta, itu
status barumu.
Dan cukup, sampai pada kenyataan itu
saja.
Kamu dan aku, tak lagi mampu menyamakan
segala untuk menjadi kita.
Kamu dan aku, biar saja menjadi dua
subjek yang berbeda.
Cukup itu saja.
*fiksi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar