Tahun berganti, menandakan tepatnya satu
tahun atas pergiku.
Meninggalkan wajah cantikmu yang kali
itu, tak terlalu banyak melukis senyum.
Kamu terlihat sedih, meski mati-matian
aku tahu kamu menahannya ketika didepanku.
Dan aku benci kenyataan itu.
Sangat membenci kenyataan kamu terlihat
baik-baik saja meski bukan sekali dua kali aku berpamit.
Lagi aku mendapati senyum tipismu.
Kali itu kamu memakai baju merah muda
kesayanganmu.
Baju yang selalu kupuji tiap kali kamu
mengenakannya.
Sumpah, dengan baju berlengan panjang
itu aku bagai melihat ibuku menjelma muda.
Kenyataan yang membuatku sekali lagi
membencimu.
Kenyataan bahwa kamu sangat mirip dengan
wanita tersayangku itu telak membuatku gila kalau sampai harus kehilanganmu.
Aku terdiam lagi.
Mengingat bahwa sudah satu tahun aku tak
mendapati wajah sendumu.
Senyum lebarmu yang selalu saja kamu
suguhkan,
seolah tak peduli dengan keadaan hatimu
sendiri.
Membuatku sekali lagi membencimu.
Kulirik ponselku yang masih saja
memasang wajahmu sebagai latar belakang layarnya.
Disitu aku melihat kamu semakin cantik,
pada foto baru yang kamu unggah didalam
situs sosial mediamu,
dengan baju merah muda yang sama,
rambutmu yang semakin cokelat,
dan beberapa bekas jerawat di pipi
kirimu,
membuat rinduku menjadi.
Aku rindu padamu.
Rindu sampai menjadi.
Rindu sampai gila, kalau aku boleh
berlebihan menyebutnya.
Dan lagi-lagi, kenyataan itu membuatku
semakin membencimu.
Membencimu yang tetap baik-baik saja,
seolah tak menyadari bahwa seorang laki-laki
disini bisa sampai sebegitunya karena terlalu merindukanmu.
Lamat-lamat kudengar lagu kesayanganmu
dari dalam rumah.
Mungkin kakakku, atau keponakanku,
atau mungkin aku sendiri yang
menyalakannya, dan lupa mematikannya kembali.
Sama halnya perasaanku terhadapmu,
yang terlanjur jatuh sampai terlalu,
hingga aku sendiri lupa bagaimana cara melupa atas sosokmu.
Sungguh, sampai detik ini tak ada lagi
yang bisa kulakukan selain membencimu mati-matian.
Membencimu yang masih saja tersenyum
indah,
seolah tak tanggap pada adaku yang
menuntut kamu jadi satu-satunya untukku.
Membencimu yang terlalu baik pada siapa
saja,
termasuk pada beberapa laki-laki yang
berpura menawarkan persahabatan padamu,
padahal jelas aku tahu, mereka
menyukaimu.
Membencimu yang masih saja terlihat
polos, dan terlalu apa adanya,
seolah tak menyadari kalau dunia bisa
saja sejahat ibu tiri Cinderella kepadamu.
Masih sangat membencimu.
Yang dengan santainya melangkah
kemana-mana,
mengambil setiap gambar yang kamu suka,
mengunggahnya di sosial media,
menanggapi setiap komentar menggoda
dengan balasan canda.
Benar-benar membencimu yang masih saja
tak mau jatuh cinta,
meski sudah ratusan hari lebih
kutinggalkan.
Ibuku bilang aku keterlaluan.
Ia membelamu,
seolah kamu sudah menjadi anak gadisnya.
Menanyakan kabarmu seolah ia tahu bahwa
kamulah gadis yang berhasil membuat aku, anak laki-lakinya cinta sampai
sebegitunya.
Lagi ibuku membelamu,
mengatakan bahwa dengan semakin banyak
rasa benci yang kuada-ada atasmu hanya akan menyiksamu,
menyiksaku,
yang memang nyatanya tak kunjung mampu
melepaskanmu.
Sekarang jelaskan kepadaku, masih
bolehkah aku membencimu?
Karena jujur saja, aku tak bermaksud
menghilangkan perasaan benci itu sedikitpun darimu.
Berharap dengan begitu kamu selalu mau
menungguku menjemputmu.
Berharap dengan begitu kamu ikut
membenciku,
membuat bencimu menjadikanku kekal dalam
ingatanmu.
Dan dengan begitu kekalnya aku di dalam
ingatanmu,
maka semakin lebar pula celahku
menjatuhkan cinta kepadamu.
Hingga habis semuanya.
Hingga tumpah tak ada sisa.
Cukup kamu.
Dan tak perlu selainmu.
Sekarang katakan padaku,
bolehkah laki-laki egois yang begitu
mencintaimu
ini tetap pada pendiriannya?
Menginginkanmu sebagai satu-satunya,
dalam hidupnya?
*fiksi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar