Rabu, Oktober 14, 2015

Dari Seorang Laki-Laki Egois Bernama Aku.



Tahun berganti, menandakan tepatnya satu tahun atas pergiku.
Meninggalkan wajah cantikmu yang kali itu, tak terlalu banyak melukis senyum.
Kamu terlihat sedih, meski mati-matian aku tahu kamu menahannya ketika didepanku.

Dan aku benci kenyataan itu.
Sangat membenci kenyataan kamu terlihat baik-baik saja meski bukan sekali dua kali aku berpamit.

Lagi aku mendapati senyum tipismu.
Kali itu kamu memakai baju merah muda kesayanganmu.
Baju yang selalu kupuji tiap kali kamu mengenakannya.

Sumpah, dengan baju berlengan panjang itu aku bagai melihat ibuku menjelma muda.

Kenyataan yang membuatku sekali lagi membencimu.
Kenyataan bahwa kamu sangat mirip dengan wanita tersayangku itu telak membuatku gila kalau sampai harus kehilanganmu.

Aku terdiam lagi.
Mengingat bahwa sudah satu tahun aku tak mendapati wajah sendumu.
Senyum lebarmu yang selalu saja kamu suguhkan,
seolah tak peduli dengan keadaan hatimu sendiri.
Membuatku sekali lagi membencimu.

Kulirik ponselku yang masih saja memasang wajahmu sebagai latar belakang layarnya.
Disitu aku melihat kamu semakin cantik,
pada foto baru yang kamu unggah didalam situs sosial mediamu,
dengan baju merah muda yang sama,
rambutmu yang semakin cokelat,
dan beberapa bekas jerawat di pipi kirimu,
membuat rinduku menjadi.
Aku rindu padamu.
Rindu sampai menjadi.
Rindu sampai gila, kalau aku boleh berlebihan menyebutnya.

Dan lagi-lagi, kenyataan itu membuatku semakin membencimu.
Membencimu yang tetap baik-baik saja,
seolah tak menyadari bahwa seorang laki-laki disini bisa sampai sebegitunya karena terlalu merindukanmu.

Lamat-lamat kudengar lagu kesayanganmu dari dalam rumah.
Mungkin kakakku, atau keponakanku,
atau mungkin aku sendiri yang menyalakannya, dan lupa mematikannya kembali.

Sama halnya perasaanku terhadapmu,
yang terlanjur jatuh sampai terlalu, hingga aku sendiri lupa bagaimana cara melupa atas sosokmu.

Sungguh, sampai detik ini tak ada lagi yang bisa kulakukan selain membencimu mati-matian.

Membencimu yang masih saja tersenyum indah,
seolah tak tanggap pada adaku yang menuntut kamu jadi satu-satunya untukku.

Membencimu yang terlalu baik pada siapa saja,
termasuk pada beberapa laki-laki yang berpura menawarkan persahabatan padamu,
padahal jelas aku tahu, mereka menyukaimu.
Membencimu yang masih saja terlihat polos, dan terlalu apa adanya,
seolah tak menyadari kalau dunia bisa saja sejahat ibu tiri Cinderella kepadamu.

Masih sangat membencimu.
Yang dengan santainya melangkah kemana-mana,
mengambil setiap gambar yang kamu suka,
mengunggahnya di sosial media,
menanggapi setiap komentar menggoda dengan balasan canda.
Benar-benar membencimu yang masih saja tak mau jatuh cinta,
meski sudah ratusan hari lebih kutinggalkan.

Ibuku bilang aku keterlaluan.
Ia membelamu,
seolah kamu sudah menjadi anak gadisnya.
Menanyakan kabarmu seolah ia tahu bahwa kamulah gadis yang berhasil membuat aku, anak laki-lakinya cinta sampai sebegitunya.

Lagi ibuku membelamu,
mengatakan bahwa dengan semakin banyak rasa benci yang kuada-ada atasmu hanya akan menyiksamu,

menyiksaku,
yang memang nyatanya tak kunjung mampu melepaskanmu.

Sekarang jelaskan kepadaku, masih bolehkah aku membencimu?

Karena jujur saja, aku tak bermaksud menghilangkan perasaan benci itu sedikitpun darimu.
Berharap dengan begitu kamu selalu mau menungguku menjemputmu.
Berharap dengan begitu kamu ikut membenciku,
membuat bencimu menjadikanku kekal dalam ingatanmu.
Dan dengan begitu kekalnya aku di dalam ingatanmu,
maka semakin lebar pula celahku menjatuhkan cinta kepadamu.
Hingga habis semuanya.
Hingga tumpah tak ada sisa.

Cukup kamu.
Dan tak perlu selainmu.
Sekarang katakan padaku,
bolehkah laki-laki egois yang begitu mencintaimu
ini tetap pada pendiriannya?
Menginginkanmu sebagai satu-satunya,
dalam hidupnya?


*fiksi*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar