Jumat, November 29, 2013

Pulanglah, berhentilah mencari.


Sekali lagi ku perhatikan raut wajahmu yang kelelahan. Kulit putihmu memucat, sedangkan tetesan keringat di sepanjang keningmu mengisyaratkan lelahmu kali ini berarti sangat. Segera kuangsurkan sapu tangan putih-ku kearahmu, kamu tersenyum sekali lagi.

“Makasih..”

Ucapmu singkat sambil mengusapkannya pelan di seluruh wajahmu. Deru nafasmu bahkan masih terdengar keras di telingaku, membuatku merasa tak nyaman tanpa sebab.

“Kenapa harus lari-lari, sih?” Gerutuku pelan. Namun sekali lagi, sesuai yang ku duga, kamu sama sekali tak pernah mengindahkannya.

“Kamu yang minta dikejar..” Jawaban singkatmu tak urung membuat pipiku merona hangat. Kamu selalu pandai membuatku demikian, dan itu pula yang selalu menjadi alasanku memaafkanmu. Selalu.

“Menurutmu apa yang harus ku lakukan sekarang?”

Kamu menoleh begitu mendapati suaraku. Sama sekali tak ada keberanian yang kumiliki bahkan hanya untuk sekadar membalas tatap teduhmu. Aku diam, dan kamu lebih diam.

“Masih mau menungguku atau tidak?”

Jawabanmu kembali membuatku terbeliak. Semudah itukah kamu menganggap sebuah penantian? Segampang itukah kamu memaknai harapan? Entahlah, kamu selalu punya diam sebagai jawaban. Dan bagimu, mungkin aku hanya seorang yang kekanakan dengan begitu banyak pertanyaan.

“Kenapa diam?”

Pertanyaanmu membuat nyeri di hatiku semakin menjadi. Memang tak ada bentakan, tapi dua kata itu bahkan sudah lebih dari cukup untuk mewakili seribu bentakan.

“Harus berapa lama lagi?” Ucapku lirih sembari perlahan melirikmu. Kali ini gantian kamu yang menunduk dalam. Nah, sudah tahu kan bagaimana rasanya tak punya jawaban?

“Kamu menunggu, bukan menghitung. Jadi jangan tanyakan bilangannya..”

Seketika sadarku tertampar.

“Lalu aku harus kembali dalam ketidakpastian? Begitu maumu?” Jawabanku lebih mirip bentakan saat ini. Hatiku sakit sekali.

Dengan bangganya kamu menyuruhku kembali menunggu. Kembali memandangi sosokmu yang teramat abu-abu. Sosokmu yang datang dan pergi, mengoyak hati dengan waktu yang tidak tentu.

Cuma itu maumu?

Disini. Di dalam ceritamu dan aku, mungkin cuma aku yang punya rindu. Sedangkan kamu? Entahlah, selain membuat sakit hati, aku tak tahu lagi apa tugasmu.

“Kali ini kamu minta aku menunggu untuk apa lagi? Studi-mu? Pekerjaan? Masa depan? Relasimu? Untuk apa lagi? Jawab!”

Kamu memelukku sekali lagi. Meredakan sakit dan tangisku yang bercampur jadi satu. Aku selalu menunggumu, dan kamu sama sekali tak merasa jika sedang ditunggu. Aku berjuang sekaligus berharap, sedang kamu tak merasa diperjuangkan atau diharapkan. Aku lelah memintamu, dan kamu lelah menjajariku.

“Seharusnya dari awal aku sadar bahwa kita tak pernah bisa sejalan..”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku? Maksudku adalah bahwa tidak seharusnya kita memulai apapun. Tidak seharusnya mencoba menjalani apapun. Karena kemauanmu tak punya batas, tak punya ujung..”

Kamu hanya mencari. Entah untuk tujuan pemberhentian seperti apa yang kamu mau. Yang jelas dalam hal ini kamu hanya mau mencari. Tak bermaksud menemukan. Tak ingin ditemukan.

Kamu diam.

“Aku perempuan. Aku ingin punya batas..”

“Aku bisa membatasimu kalau kamu mau..” Ucapmu tak kalah tegasnya.

“Dengan apa? Dengan permintaanmu supaya aku selalu mau menunggu? Dengan janjimu untuk pulang pada suatu waktunya? Kamu cuma punya ketidakpastian..”

Kamu menggenggam erat tanganku. Bisa kurasakan dinginnya telapakmu, menandakan ketakutanmu yang memuncak.

“Pulanglah, berhentilah mencari..”

Ucapku sekali lagi di tengah getar tangis.

Seharusnya kamu tahu, tak pernah ada yang menyukai tempatku. Menjadi kepulangan. Hanya sekadar tempat kembali, entah dipilih terlebih dulu, atau memang hanya karena tak ada lagi pilihan. Harusnya kamu pun tahu, rumah juga selalu dipilih sebelum benar-benar akan ditempati.

Namun bisa apa jika aku dan kamu memang mau?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar