Sekali lagi ku
perhatikan raut wajahmu yang kelelahan. Kulit putihmu memucat, sedangkan
tetesan keringat di sepanjang keningmu mengisyaratkan lelahmu kali ini berarti
sangat. Segera kuangsurkan sapu tangan putih-ku kearahmu, kamu tersenyum sekali
lagi.
“Makasih..”
Ucapmu singkat sambil
mengusapkannya pelan di seluruh wajahmu. Deru nafasmu bahkan masih terdengar
keras di telingaku, membuatku merasa tak nyaman tanpa sebab.
“Kenapa harus
lari-lari, sih?” Gerutuku pelan. Namun sekali lagi, sesuai yang ku duga, kamu
sama sekali tak pernah mengindahkannya.
“Kamu yang minta
dikejar..” Jawaban singkatmu tak urung membuat pipiku merona hangat. Kamu
selalu pandai membuatku demikian, dan itu pula yang selalu menjadi alasanku
memaafkanmu. Selalu.
“Menurutmu apa yang harus
ku lakukan sekarang?”
Kamu menoleh begitu
mendapati suaraku. Sama sekali tak ada keberanian yang kumiliki bahkan hanya
untuk sekadar membalas tatap teduhmu. Aku diam, dan kamu lebih diam.
“Masih mau menungguku
atau tidak?”
Jawabanmu kembali
membuatku terbeliak. Semudah itukah kamu menganggap sebuah penantian? Segampang
itukah kamu memaknai harapan? Entahlah, kamu selalu punya diam sebagai jawaban.
Dan bagimu, mungkin aku hanya seorang yang kekanakan dengan begitu banyak
pertanyaan.
“Kenapa diam?”
Pertanyaanmu membuat
nyeri di hatiku semakin menjadi. Memang tak ada bentakan, tapi dua kata itu
bahkan sudah lebih dari cukup untuk mewakili seribu bentakan.
“Harus berapa lama
lagi?” Ucapku lirih sembari perlahan melirikmu. Kali ini gantian kamu yang
menunduk dalam. Nah, sudah tahu kan bagaimana rasanya tak punya jawaban?
“Kamu menunggu, bukan
menghitung. Jadi jangan tanyakan bilangannya..”
Seketika sadarku
tertampar.
“Lalu aku harus kembali
dalam ketidakpastian? Begitu maumu?” Jawabanku lebih mirip bentakan saat ini.
Hatiku sakit sekali.
Dengan bangganya kamu
menyuruhku kembali menunggu. Kembali memandangi sosokmu yang teramat abu-abu.
Sosokmu yang datang dan pergi, mengoyak hati dengan waktu yang tidak tentu.
Cuma itu maumu?
Disini. Di dalam
ceritamu dan aku, mungkin cuma aku yang punya rindu. Sedangkan kamu? Entahlah,
selain membuat sakit hati, aku tak tahu lagi apa tugasmu.
“Kali ini kamu minta
aku menunggu untuk apa lagi? Studi-mu? Pekerjaan? Masa depan? Relasimu? Untuk
apa lagi? Jawab!”
Kamu memelukku sekali
lagi. Meredakan sakit dan tangisku yang bercampur jadi satu. Aku selalu
menunggumu, dan kamu sama sekali tak merasa jika sedang ditunggu. Aku berjuang
sekaligus berharap, sedang kamu tak merasa diperjuangkan atau diharapkan. Aku
lelah memintamu, dan kamu lelah menjajariku.
“Seharusnya dari awal
aku sadar bahwa kita tak pernah bisa sejalan..”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku? Maksudku
adalah bahwa tidak seharusnya kita memulai apapun. Tidak seharusnya mencoba
menjalani apapun. Karena kemauanmu tak punya batas, tak punya ujung..”
Kamu hanya mencari.
Entah untuk tujuan pemberhentian seperti apa yang kamu mau. Yang jelas dalam
hal ini kamu hanya mau mencari. Tak bermaksud menemukan. Tak ingin ditemukan.
Kamu diam.
“Aku perempuan. Aku
ingin punya batas..”
“Aku bisa membatasimu
kalau kamu mau..” Ucapmu tak kalah tegasnya.
“Dengan apa? Dengan
permintaanmu supaya aku selalu mau menunggu? Dengan janjimu untuk pulang pada
suatu waktunya? Kamu cuma punya ketidakpastian..”
Kamu menggenggam erat
tanganku. Bisa kurasakan dinginnya telapakmu, menandakan ketakutanmu yang
memuncak.
“Pulanglah, berhentilah
mencari..”
Ucapku sekali lagi di
tengah getar tangis.
Seharusnya kamu tahu,
tak pernah ada yang menyukai tempatku. Menjadi kepulangan. Hanya sekadar tempat
kembali, entah dipilih terlebih dulu, atau memang hanya karena tak ada lagi
pilihan. Harusnya kamu pun tahu, rumah juga selalu dipilih sebelum benar-benar
akan ditempati.
Namun bisa apa jika aku
dan kamu memang mau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar