“Karena menyadari sesuatu
yang sudah terlambat itu rasanya menyakitkan..” Gadis itu berucap lirih ketika
kami berdua sedang duduk berhadapan, sembari menghabiskan kopi masing-masing,
sore itu.
Aku menatapnya sekilas. Dan
mendapatinya yang sedang melamun tanpa sadar, membuatku sekali lagi mengalihkan
pandangan.
Aku selalu membenci
saat-saat dimana ia terlihat sebegitu lemahnya. Terlihat teramat rapuh, bahkan
sampai-sampai aku sendiri hampir tak bisa menahan diri untuk memeluknya.
Mendekapnya sampai erat, hanya supaya ia tahu bahwa aku tak pernah ingin
membiarkannya sendirian.
“Kau tahu, bagaimana rasanya
mencintai seseorang yang jelas-jelas tak akan mungkin mencintaimu?”
Ucapannya
kembali memaksaku untuk mendongak, dan menatap langsung ke dalam matanya. Ada
jutaan rasa yang tersirat di balik beningnya, membuatku sekali lagi kalah di
dalam teduh tatapannya.
“Aku memang tak mengalaminya
langsung. Tetapi melalui dirimu, sedikit banyak aku tahu bagaimana rasanya..”
Aku hanya bisa menjawab sebatas itu. Kulihat, ia sekali lagi menghembuskan
nafasnya berat. Seolah dengan begitu, seluruh beban yang menyesakkan hatinya
akan ikut terhempas keluar bersama uap yang ditimbulkannya.
“Kau tahu, bagaimana rasanya
menunggu terlalu lama namun akhirnya hanya selesai begitu saja, tanpa hasil
yang sesuai dengan harapan?” Ia kembali bertanya. Seperti seorang anak kecil
yang sedang berusaha mencari tahu tentang apa saja kepada ayah-ibunya.
“Entahlah, aku tidak pernah
menunggu seseorang sampai sebegitu lamanya sepertimu..” Berhati-hati sekali
kuucapkan jawaban ini kepadanya. Kali ini ia hanya menanggapinya dengan diam.
Kulirik ia sekali lagi.
Arina tidak pernah seperti ini sebelumnya, tepatnya sebelum ia menceritakan
tentang salah satu kisah cintanya semasa kecil dulu, aku selalu memandangnya
sebagai seorang gadis yang lebih sering tertawa daripada terduduk melamun.
Atau ada kalanya ia melamun,
namun ia tak pernah sampai memiliki wajah semurung ini. Bagiku, ia adalah gadis
yang tawanya selalu lebih cepat menular, bahkan melebihi kecepatan penularan
virus influenza. Ia juga gadis yang hampir tak pernah kehabisan bahan
pembicaraan, yang oleh sebagian teman sekelas kami dianggap sebagai khayalan
dan mimpi, yang terlalu dangkal untuk dibicarakan oleh seorang mahasiswa
seperti kami, waktu itu.
Ia selalu suka membaca novel
romansa dan mendengarkan lagu melankolis. Sesuai sekali dengan raut wajahnya
yang hampir selalu tenang, atau bahkan lebih mirip tanpa ekspresi.
Aku bahkan masih ingat
sekali bagaimana pertemuan pertama kami, yaitu ketika OSPEK dan kebetulan juga
dikarenakan letak kelompok kami yang berdekatan. Aku bahkan masih mengingat
pada pekikan pertamanya yang ia tujukan padaku, sesaat setelah kami hampir saja
bertabrakan di pintu kelas. Karena tidak sengaja aku membuka pintu yang didorongnya.
“Reno, pacarmu pasti akan
membunuhku hidup-hidup, kalau saja ia tahu kau masih menemaniku disini..”
Aku tertawa kecil mendengar
perkataannya barusan. Membuatku langsung teringat pada sosok Via yang notabene
adalah pacarku semenjak SMA dulu. Keberadaan gadis manis itu sendiri,
sebenarnya juga sudah bukan menjadi rahasia lagi antara aku dan Arina. Tetapi
entah kenapa Arina selalu mempermasalahkan hal yang menurutku sepele itu.
“Dia tahu tentangmu, Rin..
Tenang saja..”
Aku bermaksud untuk membuat Arina tidak terlalu memusingkan soal
Via, karena bagaimanapun juga, pacarku itu sudah paham betul bahwa hubungan
persahabatanku dengan Arina terlanjur tidak bisa diganggu gugat.
Hal itu yang sebenarnya
membuatku sedikit bingung. Aku tahu bahwa aku teramat mencintai Via, tetapi
entah kenapa, aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku
sampai harus kehilangan Arina. Mungkin aku bisa lumpuh seketika, entahlah,
perasaan semacam itu nyatanya tumbuh sendiri tanpa kuminta.
“Kau sendiri, apa tidak sebaiknya
mulai belajar melupakan Indra?” Ucapanku meluncur tanpa bisa kuproses terlebih
dulu. Entah kenapa aku bisa mendadak sesensitif ini hanya karena membicarakan
laki-laki itu. Tentang cinta masa kecil Arina. Cinta pertamanya.
“Entahlah, setiap hari aku selalu
belajar melakukannya. Tetapi setiap hari pula, aku gagal, Ren..” Arina kembali
melamun, namun kali ini tangannya masih sibuk mengaduk-aduk kopinya yang bahkan
hanya tinggal separuh itu.
“Aku sudah terlalu lama
menyimpannya di dalam hati. Yang akhirnya, justru membuatku teramat kesulitan
untuk melepaskannya begitu saja..” Ia kembali melanjutkan ucapannya. Kali ini
suaranya yang mendadak melemah membuatku ikut merasa sakit tanpa sadar.
“Aku sebenarnya tidak pernah
keberatan jika suatu saat ia memang harus pergi. Toh, selama ini kami juga
tidak pernah memiliki hubungan apa-apa. Tapi, kau tahu tidak, apa keinginan
terbesarku untuknya?”
Kutatap kedua bola matanya
yang melebar. Ada pancaran rasa yang aku sendiri tak tahu harus memberikannya
nama apa, dan entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa teramat cemburu pada
laki-laki bernama Indra itu.
“Apa?” Pertanyaanku
terdengar ketus bagi telingaku sendiri, namun sepertinya tidak bagi Arina.
Karena setelah itu kulihat ia masih bisa tersenyum begitu hangatnya.
“Aku hanya ingin ia bahagia.
Dengan, ataukah tanpa aku nantinya.. Hanya itu keinginanku, Ren.”
Ada kristal bening yang
terkumpul di sudut-sudut matanya, membuatku langsung percaya bahwa ia sama
sekali tidak berbohong pada ucapannya.
“Kau berhak sama bahagianya
dengan Indra, Rin.. Kau berhak dicintai sama besarnya, seperti kau mencintai
laki-laki itu..” Ucapanku kali ini hanya tertahan dan menggema keras di dalam
hati. Aku tak pernah bisa menghadapi gadis ini dengan biasa. Bagiku, ia selalu
saja membuatku kehilangan kata-kataku sendiri.
“Dan kau tahu tidak, Ren?
Akhir-akhir ini ada seseorang lain yang mendadak membuatku meragukan perasaanku
pada Indra..”
Seketika aku terbeliak.
Hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Seorang Arina, yang bahkan telah
bertahan hampir delapan tahun untuk menunggu cinta pertamanya, mendadak merasa
ragu pada perasaannya sendiri.
“Kau mulai menyukai orang
lain?” Tebakku hati-hati.
“Aku tidak tahu, Ren. Apakah
aku boleh menyebutnya sebagai rasa suka, ataukah hanya sebagai pelarian atas
rasa lelahku terhadap Indra.. Yang jelas, aku belum pernah merasa se-kacau ini
hanya karena pesan singkatnya..”
Aku menahan nafas tanpa
sadar. Aku sendiri juga tidak tahu harus bersikap bahagia ataukah justru
cemburu seperti sebelumnya. Keputusan Arina untuk menyukai orang lain memang
membawa dua kabar bagiku. Baik, karena dengan begitu ia tak lagi perlu merasa
sakit karena pengabaian-demi pengabaian yang diberikan Indra. Dan buruk, karena
dengan begitu maka posisiku lambat laun bisa saja terganti oleh sosok baru itu.
“Memangnya dia siapa, Rin?”
Aku kembali mencegat ceritanya. Memaksanya untuk segera tiba pada bagian-bagian
cerita yang mungkin bisa membuatku kembali merasa lega.
“Kau kenal betul orang ini,
hanya saja aku yakin bahwa kau pasti akan sangat terkejut kalau sampai kau tahu
siapa dia..” Arina tersenyum kecil. Yang seolah dengan begitu saja, seluruh
luka di matanya bisa terhapus seluruhnya, tanpa sisa.
“Ia orang yang selama ini
begitu kubenci. Begitu bencinya, bahkan sampai membuatku berusaha untuk selalu
melihat kesalahannya, di dalam setiap kebaikannya yang ia tujukan untukku,”
Arina menjeda sebentar untuk menatapku, memastikan bahwa aku masih menyimak
setiap kata-katanya. “Tetapi tentu saja aku yang kalah. Benci dan cinta itu hanya
disekat oleh benang tipis yang hampir tak kasat mata, dimana setiap kali aku
berusaha membencinya, hal itu justru memaksaku untuk mengingatnya tanpa
henti..”
Aku masih menunggu setiap
kelanjutan ceritanya. Ada riak berbeda yang kulihat pada manik matanya. Riak
penuh makna yang bahkan tidak pernah kudapati pada cerita-ceritanya tentang
Indra selama ini.
“Aku bahkan masih bisa
mencari-cari kesalahan di dalam setiap perhatiannya, yang entah kenapa
tiba-tiba saja terasa begitu besar..”
Arina kembali diam. Ia
menarik nafas dalam-dalam, lantas menghembuskannya begitu pelan, atau lebih
terkesan berhati-hati.
“Sampai akhirnya, begitu ia
dan seluruh kebiasaannya berhenti, aku baru sadar bahwa aku kehilangan. Lebih
kehilangan lagi ketika aku semakin tahu, bahwa aku sudah terlalu terlambat
untuk menyadari bahwa selama ini, kebencian yang kumunculkan pada sosoknya sama
sekali tidak beralasan.. Aku sudah terlalu terlambat, bahkan meski hanya untuk
sekadar menahannya agar tidak pergi..”
Arina masih menunduk dalam.
Dan aku tahu benar kebiasaannya jika sudah begitu.
“Usap dulu, Rin..”
Kuangsurkan sapu tanganku pada gadis itu, yang disambutnya dengan tangan
bergetar dan pipi yang basah.
Tak lama kemudian, ia sudah
kembali menegakkan pandangannya.
“Bagaimana kau tahu bahwa
kau sudah begitu terlambat, Rin?” Ini pertanyaanku sesaat setelah ia
mengeringkan sisa-sisa tangis di sudut matanya.
“Ia sendiri yang
mengatakannya padaku.. Ia mengatakan, bahwa ia terlanjur mencintai orang lain.
Ia mengatakan bahwa ia tidak akan mungkin jatuh cinta padaku, bahkan meskipun
aku terlanjur jatuh cinta padanya..”
Arina menjelaskan dengan senyum getir yang
ia paksakan. Senyum yang membuatku selalu mendadak membenci ‘cinta’, karena hal
itulah yang selama ini begitu diagungkan oleh Arina, namun tanpa sadar justru
merupakan hal yang paling membuatnya merasa sakit.
Dan sialnya, ia tak mau tahu
soal itu.
“Aku melihat kau mencintai
orang ini begitu berbeda dari caramu mencintai Indra, Rin.. Aku belum pernah
melihatmu sampai setakut ini kehilangan seseorang, mengingat bahwa satu-satunya
keinginanmu bagi Indra hanyalah melihatnya bahagia, dengan ataukah tanpa kau
sama sekali.. Lalu, kenapa kau tidak membiarkan saja orang ini bahagia, sama
halnya dengan kau melepaskan Indra?”
Kata-kataku mengalir lancar, dan berhasil
membuat Arina kembali terdiam untuk beberapa saat lamanya.
“Entahlah, tetapi kurasa aku
tidak bisa melakukannya, Ren..”
Aku seolah terpukul telak
dengan ucapan Arina. Sedikit tidak memahami juga, apa maksud gadis itu
membiarkan dirinya terluka lebih dalam lagi. Jika dengan Indra yang sudah bisa
ia lepaskan saja, ia masih bisa merasa sakit. Bagaimana dengan orang baru ini,
yang jelas-jelas tidak bisa ia dapatkan, dan masih juga tidak bisa ia lepaskan?
Aku benar-benar tidak bisa
membayangkan sesakit apakah perasaan gadis itu sekarang.
“Aku memang mencintai Indra.
Tetapi aku lebih membutuhkan orang ini, Ren..”
Arina kembali bersuara.
Membuatku sekali lagi bisu karena tak tahu lagi harus membujuk gadis ini
seperti apa lagi.
“Aku tahu ia tidak bisa mencintaiku,
dan justru itu yang membuatku semakin tidak bisa melepaskannya.. Aku
membencinya sampai sekarang, sekaligus teramat membutuhkannya, entah sampai
kapan..” Gadis itu masih berbicara, seolah tidak begitu memperdulikan aku yang
masih bisu dibuatnya.
“Aku membencimu, Reno..
Teramat membencimu, bahkan sampai-sampai aku tidak tahu harus bagaimana
mengatakannya padamu..” Tiba-tiba saja gadis itu kembali melanjutkan
kalimatnya, membuatku kembali mengarahkan tatapan kepada kedua matanya. Dan
sekali lagi, aku tak mendapati sedikit pun kebohongan disana.
“Aku selalu membencimu
selama ini, Ren. Sampai akhirnya kau pergi, dan aku tahu, bahwa aku membutuhkan
rasa benci terhadapmu itu, untuk membuat semuanya terasa baik-baik saja..”
Ucapannya masih terdengar begitu emosional.
“Aku membencimu yang selalu
baik, yang selalu bersikap seolah kita adalah sahabat. Aku membencimu yang
selalu menanyakan kabar, dan selalu menyediakan diri untuk mendengar setiap
ceritaku. Aku membencimu yang selalu bisa membuatku tertawa, namun pada
akhirnya pergi dan membuatku begitu kehilangan.. Aku membencimu yang membuatku
membutuhkanmu, lebih dari sekadar sahabat..”
Tangis Arina pecah seketika.
Membuatnya langsung menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya,
mencegah isakannya agar tak sampai terlepas. Meski itu menyebabkan bahunya ikut
berguncang karena menahan tangis.
Tanpa berfikir panjang aku
segera bangkit dari dudukku dan menghamburkan pelukanku untuk gadis itu. Tidak
peduli bahkan meski seisi kedai kopi itu melayangkan pandangan anehnya pada
kami berdua.
Tangisnya masih menderas di
dalam pelukku. Kuraih kedua tangannya yang terlalu dingin itu, lantas
menggenggamnya erat. Ia masih terisak-isak bahkan meski aku sudah berusaha
mempererat pelukanku.
“Aku membencimu yang selalu
memelukku seperti ini ketika aku menangis, Reno..” Ucapnya pelan di
tengah-tengah airmatanya yang mulai membasahi kemeja kerjaku.
“Silakan, Rin.. Silakan
benci aku sesukamu, dan jangan pernah berhenti membutuhkanku, sampai
kapanpun..”
Ucapku sambil tersenyum, sembari menghirup aroma vanilla yang
menguar dari rambutnya. Aku merasa lengkap, dan hanya dengan Arina, aku tahu
hal itu hanya bisa terjadi. Hanya dengan Arina.
Aku tak pernah keberatan
bahkan meski gadis itu akan membenciku seumur hidupnya, karena hanya dengan
begitu aku bisa memasuki pikirannya tanpa henti. Sama halnya dengan ia yang tak
pernah lelah menemukan caranya untuk kembali ke dalam pikiranku.
Dan aku juga tidak akan
pernah membiarkan ia bahagia dengan siapapun. Kecuali denganku.
***
Untuk
seorang Reno yang jauh di luar sana. Aku membencimu, yang tiba-tiba saja membuatku
merasa begitu membutuhkanmu. Semoga aku belum terlalu terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar