Jumat, November 29, 2013

Semoga Belum Terlambat.


“Karena menyadari sesuatu yang sudah terlambat itu rasanya menyakitkan..” Gadis itu berucap lirih ketika kami berdua sedang duduk berhadapan, sembari menghabiskan kopi masing-masing, sore itu.

Aku menatapnya sekilas. Dan mendapatinya yang sedang melamun tanpa sadar, membuatku sekali lagi mengalihkan pandangan. 

Aku selalu membenci saat-saat dimana ia terlihat sebegitu lemahnya. Terlihat teramat rapuh, bahkan sampai-sampai aku sendiri hampir tak bisa menahan diri untuk memeluknya. Mendekapnya sampai erat, hanya supaya ia tahu bahwa aku tak pernah ingin membiarkannya sendirian.

“Kau tahu, bagaimana rasanya mencintai seseorang yang jelas-jelas tak akan mungkin mencintaimu?” 
Ucapannya kembali memaksaku untuk mendongak, dan menatap langsung ke dalam matanya. Ada jutaan rasa yang tersirat di balik beningnya, membuatku sekali lagi kalah di dalam teduh tatapannya.

“Aku memang tak mengalaminya langsung. Tetapi melalui dirimu, sedikit banyak aku tahu bagaimana rasanya..” 
Aku hanya bisa menjawab sebatas itu. Kulihat, ia sekali lagi menghembuskan nafasnya berat. Seolah dengan begitu, seluruh beban yang menyesakkan hatinya akan ikut terhempas keluar bersama uap yang ditimbulkannya.

“Kau tahu, bagaimana rasanya menunggu terlalu lama namun akhirnya hanya selesai begitu saja, tanpa hasil yang sesuai dengan harapan?” Ia kembali bertanya. Seperti seorang anak kecil yang sedang berusaha mencari tahu tentang apa saja kepada ayah-ibunya.

“Entahlah, aku tidak pernah menunggu seseorang sampai sebegitu lamanya sepertimu..” Berhati-hati sekali kuucapkan jawaban ini kepadanya. Kali ini ia hanya menanggapinya dengan diam.

Kulirik ia sekali lagi. Arina tidak pernah seperti ini sebelumnya, tepatnya sebelum ia menceritakan tentang salah satu kisah cintanya semasa kecil dulu, aku selalu memandangnya sebagai seorang gadis yang lebih sering tertawa daripada terduduk melamun.

Atau ada kalanya ia melamun, namun ia tak pernah sampai memiliki wajah semurung ini. Bagiku, ia adalah gadis yang tawanya selalu lebih cepat menular, bahkan melebihi kecepatan penularan virus influenza. Ia juga gadis yang hampir tak pernah kehabisan bahan pembicaraan, yang oleh sebagian teman sekelas kami dianggap sebagai khayalan dan mimpi, yang terlalu dangkal untuk dibicarakan oleh seorang mahasiswa seperti kami, waktu itu.

Ia selalu suka membaca novel romansa dan mendengarkan lagu melankolis. Sesuai sekali dengan raut wajahnya yang hampir selalu tenang, atau bahkan lebih mirip tanpa ekspresi.

Aku bahkan masih ingat sekali bagaimana pertemuan pertama kami, yaitu ketika OSPEK dan kebetulan juga dikarenakan letak kelompok kami yang berdekatan. Aku bahkan masih mengingat pada pekikan pertamanya yang ia tujukan padaku, sesaat setelah kami hampir saja bertabrakan di pintu kelas. Karena tidak sengaja aku membuka pintu yang didorongnya.

“Reno, pacarmu pasti akan membunuhku hidup-hidup, kalau saja ia tahu kau masih menemaniku disini..”

Aku tertawa kecil mendengar perkataannya barusan. Membuatku langsung teringat pada sosok Via yang notabene adalah pacarku semenjak SMA dulu. Keberadaan gadis manis itu sendiri, sebenarnya juga sudah bukan menjadi rahasia lagi antara aku dan Arina. Tetapi entah kenapa Arina selalu mempermasalahkan hal yang menurutku sepele itu.

“Dia tahu tentangmu, Rin.. Tenang saja..” 
Aku bermaksud untuk membuat Arina tidak terlalu memusingkan soal Via, karena bagaimanapun juga, pacarku itu sudah paham betul bahwa hubungan persahabatanku dengan Arina terlanjur tidak bisa diganggu gugat.

Hal itu yang sebenarnya membuatku sedikit bingung. Aku tahu bahwa aku teramat mencintai Via, tetapi entah kenapa, aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku sampai harus kehilangan Arina. Mungkin aku bisa lumpuh seketika, entahlah, perasaan semacam itu nyatanya tumbuh sendiri tanpa kuminta.

“Kau sendiri, apa tidak sebaiknya mulai belajar melupakan Indra?” Ucapanku meluncur tanpa bisa kuproses terlebih dulu. Entah kenapa aku bisa mendadak sesensitif ini hanya karena membicarakan laki-laki itu. Tentang cinta masa kecil Arina. Cinta pertamanya.

“Entahlah, setiap hari aku selalu belajar melakukannya. Tetapi setiap hari pula, aku gagal, Ren..” Arina kembali melamun, namun kali ini tangannya masih sibuk mengaduk-aduk kopinya yang bahkan hanya tinggal separuh itu.

“Aku sudah terlalu lama menyimpannya di dalam hati. Yang akhirnya, justru membuatku teramat kesulitan untuk melepaskannya begitu saja..” Ia kembali melanjutkan ucapannya. Kali ini suaranya yang mendadak melemah membuatku ikut merasa sakit tanpa sadar.

“Aku sebenarnya tidak pernah keberatan jika suatu saat ia memang harus pergi. Toh, selama ini kami juga tidak pernah memiliki hubungan apa-apa. Tapi, kau tahu tidak, apa keinginan terbesarku untuknya?”

Kutatap kedua bola matanya yang melebar. Ada pancaran rasa yang aku sendiri tak tahu harus memberikannya nama apa, dan entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa teramat cemburu pada laki-laki bernama Indra itu.

“Apa?” Pertanyaanku terdengar ketus bagi telingaku sendiri, namun sepertinya tidak bagi Arina. Karena setelah itu kulihat ia masih bisa tersenyum begitu hangatnya.

“Aku hanya ingin ia bahagia. Dengan, ataukah tanpa aku nantinya.. Hanya itu keinginanku, Ren.”
Ada kristal bening yang terkumpul di sudut-sudut matanya, membuatku langsung percaya bahwa ia sama sekali tidak berbohong pada ucapannya.

“Kau berhak sama bahagianya dengan Indra, Rin.. Kau berhak dicintai sama besarnya, seperti kau mencintai laki-laki itu..” Ucapanku kali ini hanya tertahan dan menggema keras di dalam hati. Aku tak pernah bisa menghadapi gadis ini dengan biasa. Bagiku, ia selalu saja membuatku kehilangan kata-kataku sendiri.

“Dan kau tahu tidak, Ren? Akhir-akhir ini ada seseorang lain yang mendadak membuatku meragukan perasaanku pada Indra..”

Seketika aku terbeliak. Hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri. Seorang Arina, yang bahkan telah bertahan hampir delapan tahun untuk menunggu cinta pertamanya, mendadak merasa ragu pada perasaannya sendiri.

“Kau mulai menyukai orang lain?” Tebakku hati-hati. 

“Aku tidak tahu, Ren. Apakah aku boleh menyebutnya sebagai rasa suka, ataukah hanya sebagai pelarian atas rasa lelahku terhadap Indra.. Yang jelas, aku belum pernah merasa se-kacau ini hanya karena pesan singkatnya..”

Aku menahan nafas tanpa sadar. Aku sendiri juga tidak tahu harus bersikap bahagia ataukah justru cemburu seperti sebelumnya. Keputusan Arina untuk menyukai orang lain memang membawa dua kabar bagiku. Baik, karena dengan begitu ia tak lagi perlu merasa sakit karena pengabaian-demi pengabaian yang diberikan Indra. Dan buruk, karena dengan begitu maka posisiku lambat laun bisa saja terganti oleh sosok baru itu.

“Memangnya dia siapa, Rin?” Aku kembali mencegat ceritanya. Memaksanya untuk segera tiba pada bagian-bagian cerita yang mungkin bisa membuatku kembali merasa lega.

“Kau kenal betul orang ini, hanya saja aku yakin bahwa kau pasti akan sangat terkejut kalau sampai kau tahu siapa dia..” Arina tersenyum kecil. Yang seolah dengan begitu saja, seluruh luka di matanya bisa terhapus seluruhnya, tanpa sisa.

“Ia orang yang selama ini begitu kubenci. Begitu bencinya, bahkan sampai membuatku berusaha untuk selalu melihat kesalahannya, di dalam setiap kebaikannya yang ia tujukan untukku,” Arina menjeda sebentar untuk menatapku, memastikan bahwa aku masih menyimak setiap kata-katanya. “Tetapi tentu saja aku yang kalah. Benci dan cinta itu hanya disekat oleh benang tipis yang hampir tak kasat mata, dimana setiap kali aku berusaha membencinya, hal itu justru memaksaku untuk mengingatnya tanpa henti..”

Aku masih menunggu setiap kelanjutan ceritanya. Ada riak berbeda yang kulihat pada manik matanya. Riak penuh makna yang bahkan tidak pernah kudapati pada cerita-ceritanya tentang Indra selama ini.

“Aku bahkan masih bisa mencari-cari kesalahan di dalam setiap perhatiannya, yang entah kenapa tiba-tiba saja terasa begitu besar..”

Arina kembali diam. Ia menarik nafas dalam-dalam, lantas menghembuskannya begitu pelan, atau lebih terkesan berhati-hati.

“Sampai akhirnya, begitu ia dan seluruh kebiasaannya berhenti, aku baru sadar bahwa aku kehilangan. Lebih kehilangan lagi ketika aku semakin tahu, bahwa aku sudah terlalu terlambat untuk menyadari bahwa selama ini, kebencian yang kumunculkan pada sosoknya sama sekali tidak beralasan.. Aku sudah terlalu terlambat, bahkan meski hanya untuk sekadar menahannya agar tidak pergi..”

Arina masih menunduk dalam. Dan aku tahu benar kebiasaannya jika sudah begitu.

“Usap dulu, Rin..” Kuangsurkan sapu tanganku pada gadis itu, yang disambutnya dengan tangan bergetar dan pipi yang basah.

Tak lama kemudian, ia sudah kembali menegakkan pandangannya. 

“Bagaimana kau tahu bahwa kau sudah begitu terlambat, Rin?” Ini pertanyaanku sesaat setelah ia mengeringkan sisa-sisa tangis di sudut matanya.

“Ia sendiri yang mengatakannya padaku.. Ia mengatakan, bahwa ia terlanjur mencintai orang lain. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan mungkin jatuh cinta padaku, bahkan meskipun aku terlanjur jatuh cinta padanya..” 

Arina menjelaskan dengan senyum getir yang ia paksakan. Senyum yang membuatku selalu mendadak membenci ‘cinta’, karena hal itulah yang selama ini begitu diagungkan oleh Arina, namun tanpa sadar justru merupakan hal yang paling membuatnya merasa sakit.

Dan sialnya, ia tak mau tahu soal itu.

“Aku melihat kau mencintai orang ini begitu berbeda dari caramu mencintai Indra, Rin.. Aku belum pernah melihatmu sampai setakut ini kehilangan seseorang, mengingat bahwa satu-satunya keinginanmu bagi Indra hanyalah melihatnya bahagia, dengan ataukah tanpa kau sama sekali.. Lalu, kenapa kau tidak membiarkan saja orang ini bahagia, sama halnya dengan kau melepaskan Indra?” 
Kata-kataku mengalir lancar, dan berhasil membuat Arina kembali terdiam untuk beberapa saat lamanya.

“Entahlah, tetapi kurasa aku tidak bisa melakukannya, Ren..”
Aku seolah terpukul telak dengan ucapan Arina. Sedikit tidak memahami juga, apa maksud gadis itu membiarkan dirinya terluka lebih dalam lagi. Jika dengan Indra yang sudah bisa ia lepaskan saja, ia masih bisa merasa sakit. Bagaimana dengan orang baru ini, yang jelas-jelas tidak bisa ia dapatkan, dan masih juga tidak bisa ia lepaskan?

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan sesakit apakah perasaan gadis itu sekarang.

“Aku memang mencintai Indra. Tetapi aku lebih membutuhkan orang ini, Ren..” 
Arina kembali bersuara. Membuatku sekali lagi bisu karena tak tahu lagi harus membujuk gadis ini seperti apa lagi.

“Aku tahu ia tidak bisa mencintaiku, dan justru itu yang membuatku semakin tidak bisa melepaskannya.. Aku membencinya sampai sekarang, sekaligus teramat membutuhkannya, entah sampai kapan..” Gadis itu masih berbicara, seolah tidak begitu memperdulikan aku yang masih bisu dibuatnya.

“Aku membencimu, Reno.. Teramat membencimu, bahkan sampai-sampai aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya padamu..” Tiba-tiba saja gadis itu kembali melanjutkan kalimatnya, membuatku kembali mengarahkan tatapan kepada kedua matanya. Dan sekali lagi, aku tak mendapati sedikit pun kebohongan disana.

“Aku selalu membencimu selama ini, Ren. Sampai akhirnya kau pergi, dan aku tahu, bahwa aku membutuhkan rasa benci terhadapmu itu, untuk membuat semuanya terasa baik-baik saja..” Ucapannya masih terdengar begitu emosional.

“Aku membencimu yang selalu baik, yang selalu bersikap seolah kita adalah sahabat. Aku membencimu yang selalu menanyakan kabar, dan selalu menyediakan diri untuk mendengar setiap ceritaku. Aku membencimu yang selalu bisa membuatku tertawa, namun pada akhirnya pergi dan membuatku begitu kehilangan.. Aku membencimu yang membuatku membutuhkanmu, lebih dari sekadar sahabat..” 

Tangis Arina pecah seketika. 

Membuatnya langsung menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mencegah isakannya agar tak sampai terlepas. Meski itu menyebabkan bahunya ikut berguncang karena menahan tangis.

Tanpa berfikir panjang aku segera bangkit dari dudukku dan menghamburkan pelukanku untuk gadis itu. Tidak peduli bahkan meski seisi kedai kopi itu melayangkan pandangan anehnya pada kami berdua. 

Tangisnya masih menderas di dalam pelukku. Kuraih kedua tangannya yang terlalu dingin itu, lantas menggenggamnya erat. Ia masih terisak-isak bahkan meski aku sudah berusaha mempererat pelukanku.

“Aku membencimu yang selalu memelukku seperti ini ketika aku menangis, Reno..” Ucapnya pelan di tengah-tengah airmatanya yang mulai membasahi kemeja kerjaku.

“Silakan, Rin.. Silakan benci aku sesukamu, dan jangan pernah berhenti membutuhkanku, sampai kapanpun..” 

Ucapku sambil tersenyum, sembari menghirup aroma vanilla yang menguar dari rambutnya. Aku merasa lengkap, dan hanya dengan Arina, aku tahu hal itu hanya bisa terjadi. Hanya dengan Arina.

Aku tak pernah keberatan bahkan meski gadis itu akan membenciku seumur hidupnya, karena hanya dengan begitu aku bisa memasuki pikirannya tanpa henti. Sama halnya dengan ia yang tak pernah lelah menemukan caranya untuk kembali ke dalam pikiranku.

Dan aku juga tidak akan pernah membiarkan ia bahagia dengan siapapun. Kecuali denganku.

***

Untuk seorang Reno yang jauh di luar sana. Aku membencimu, yang tiba-tiba saja membuatku merasa begitu membutuhkanmu. Semoga aku belum terlalu terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar