Sabtu, September 29, 2012

Kias pada Hujan

          Aku menyukai suasana seperti ini. Hujan yang turun hampir mirip gerimis, dan kaca jendela yang mengembun dengan sempurna. Membuatnya mengabur yang akhirnya justru menggelitikku untuk menulis disana. Masih ditambah lagi dengan secangkir espresso hangat yang uapnya sedikit demi sedikit memudar, menyisakan harum samar yang membuatku enggan pulang dari tempat ini.

            Kali ini suasana kedai kopi kesukaanku ini cukup lenggang. Sepertinya memang tak banyak pengunjung yang suka menghabiskan waktunya dengan memandangi hujan yang akhir-akhir ini lebih sering mengguyur Jakarta, seperti yang sudah satu minggu ini kulakukan.
            “Kal, ada pesanan lagi?” Suara mas Dion, salah seorang pramusaji kedai kopi ini, menegurku pelan. Aku menoleh dan menggeleng kepada laki-laki pemilik senyum ramah itu,
“Nggak dulu Mas, ntar aja, belum abis juga,” Aku menambahkan sambil menunjuk kearah cangkir dihadapanku. Mas Dion hanya mengacungkan ibu jarinya di udara, lantas kembali sibuk dengan pekerjaannya.
            Aku kembali menekuri pemandangan hujan yang sempat kualihkan tadi, berusaha kembali mendapatkan emosi dan aliran rasa tak beraturan yang sempat ia hadirkan di tengah-tengah pekerjaanku yang masih saja menuntut untuk dinomorsatukan.
            Kali ini, baru saja aku akan mendapatkan ketenangan yang kuinginkan, justru ponselku lah yang merusaknya. Aku menarik napas pelan, berusaha mengenyahkan segala pikiran dan rencana buruk untuk mengabaikan dering itu.
            Dan sekali lagi, pekerjaan lah yang kembali mengambil seluruh waktuku.
            “Halo?” Aku menempelkan ponselku di telinga, setelah beberapa detik aku tidak bisa menebak juga siapa pemilik nomor asing yang menghubungiku kali ini.
            “Dengan Kalila Danintya? Saya Reza Raditya, boleh minta waktunya sebentar?” Suara berat laki-laki diseberang telepon itu mengingatkanku pada seseorang. Namun segera kubunuh pikiran itu, berusaha kembali untuk tidak mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Lagipula, dari segi nama saja sudah berbeda. Reza dan Kias.
            “Ya, boleh. Maaf, Bapak Reza, kita bertemu langsung atau di kantor saja?” Aku memutuskan untuk segera memberi laki-laki itu pilihan. Ia menimbang sesaat dan memutuskan untuk bertemu terlebih dulu, namun sebelum itu ia justru membuka masalahnya terlebih dulu di telepon.
            “Jadi, Anda ingin bercerai dari istri Anda yang sekarang, tetapi Anda kesulitan untuk mengatakan alasan dibalik permintaan itu?” Aku kembali menyimpulkan, sedikit mempersingkat konsultasi via telepon yang sebenarnya kurang suka untuk kulakukan.
            “Mungkin memang sebaiknya Anda mengambil keputusan seperti ini. Maaf, bukan maksud saya untuk menganjurkan perceraian, tetapi bagi seorang perempuan, hal tersakit dan yang paling tidak pernah mereka inginkan itu adalah dibohongi. Yah, meskipun terlalu terlambat bagi istri Anda untuk mengetahui tentang kenyataan bahwa perasaan Anda sama sekali tidak pernah menjadi miliknya, ia tetap berhak tahu apa yang ada sejujurnya..” Aku kembali menjelaskan pada laki-laki itu.
            Beberapa menit kemudian ia mengakhiri obrolan dan memutuskan untuk melanjutkannya satu jam lagi di kedai ini. Agak aneh memang, calon klien-ku kali ini sama sekali tidak meminta macam-macam, tidak seperti klien-klien yang kuhadapi sebelumnya. Menuntut ini-itu, tempat konsultasi yang begini-begitu, dan bahkan sering lupa bahwa psikolog itu juga punya kantor sendiri.
            Aku mendesah agak berlebihan, kasus yang akan kutangani kali ini agak bertentangan dengan apa yang kurasakan. Tentang suami yang ingin bercerai dari istrinya karena merasa masih tidak bisa melupakan masa lalunya yang sampai sekarang masih belum bisa ia lupakan.
            Begitulah kadang-kadang yang kuhadapi sebagai seorang psikolog. Kadang harus tetap bisa memberikan jalan keluar dari sebuah masalah yang sebenarnya agak bertentangan dengan perasaannya. Apalagi dalam hal ini, aku sudah bisa menebak bahwa akan ada satu perasaan perempuan yang akan dikorbankan.
            Tiba-tiba saja ingatanku kembali mengajakku kembali menguliti masa lalu. Hal yang sebenarnya sudah jauh kubuang, bahkan dari kenangan sekalipun. Ingatan yang selama ini kudiamkan, dan kubiarkan untuk jauh terinjak oleh segala macam pekerjaan yang menyita habis waktuku. Walaupun tak terpungkiri, bahwa masih ada celah di dalam diriku yang tak pernah menolak kedatangannya.
            Yaitu salah satu sudut terjauh hatiku, yang dulu, dan bahkan sampai sekarang masih menjadi milik Kias seutuhnya.
            Masih seolah lekat pula didalam benakku tentang sosok laki-laki teman SMA-ku itu. Sosok tenang yang selalu membuatku lebih sering menebak-nebak daripada mengetahui, dan sosok yang pernah membuatku menaruh harapan tertinggi tentang sebuah rasa. Sosok yang pernah menunjukkanku betapa cantiknya rintik hujan yang dipandang dari balik kaca jendela yang berembun. Sosok yang membuatku selalu menghabiskan waktu akhir pekanku di kedai ini, dengan secangkir espresso hangat yang dulu selalu dipesannya juga.
            Sosok terbaik yang mengambil kunci hatiku, dan tak pernah mengembalikannya sampai sekarang. Karena kabar terakhir yang kuketahuhi tentangnya setelah delapan tahun ini hanyalah tentang kepindahannya ke Batam, kota dengan kemungkinan terkecil untuk pertemuan kami.
            Hampir satu jam sudah kenangan tentang Kias menemaniku, hal yang masih sering terjadi tiap kali aku berada ditempat ini. Dan baru saja ketika harum espresso milikku hampir masuk ke tenggorokanku, seseorang menepuk pundakku perlahan.
            Aku menoleh, dan sedetik kemudian, ingatan tentang Kias tadi seolah menjadi nyata.
            “Kal, apa kabar? Maaf kalau tadi aku harus bohong sebagai Reza Raditya, karena kalau nggak seperti itu, aku sama sekali nggak yakin apakah kamu masih mau ketemu aku apa nggak, apalagi setelah delapan tahun lalu aku pindah ke Batam dan menikah diam-diam disana..”
            Laki-laki itu, masih dengan senyum dan sorot matanya yang tenang, membuatku enggan untuk mengalihkan tatapan dari matanya. Aku masih belum percaya dengan takdirku kali ini.
            “Bagaimanakah Kalila Danintya? Sebagai seorang psikolog terkenal, bukankah seharusnya Anda sudah bisa menebak maksud kedatangan saya?” Laki-laki itu tersenyum lebar. Lantas segera duduk dihadapanku, mengambil cangkir espresso milikku lantas menyesapnya perlahan.
            “Rasa espresso-mu masih sama, ” Ia kembali meletakkan cangkir espresso itu, kali ini dihadapannya.
            “Ya, kamu selalu tahu jawabnya Ki..” Aku tak bisa memutuskan untuk bahagia atau tidak saat ini. Karena sekalipun salah satu sisi hatiku menyentak marah dan mengatakan bahwa perkataanku barusan adalah salah, namun sisi lainnya justru bersorak bahagia. Dan sebagai psikolog yang masih normal, bukankah wajar jika aku memilih sesuatu yang membahagiakan?
            Entahlah, tak ada jawab yang pasti tentang kami berdua saat itu, karena hal terakhir yang kutahu hanyalah kami yang sama-sama sibuk menikmati pemandangan hujan dibalik kaca jendela yang mengembun, dengan tangan Kias yang erat menggenggam tanganku.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar