Kali ini suasana kedai kopi
kesukaanku ini cukup lenggang. Sepertinya memang tak banyak pengunjung yang
suka menghabiskan waktunya dengan memandangi hujan yang akhir-akhir ini lebih
sering mengguyur Jakarta, seperti yang sudah satu minggu ini kulakukan.
“Kal, ada pesanan lagi?” Suara mas
Dion, salah seorang pramusaji kedai kopi ini, menegurku pelan. Aku menoleh dan
menggeleng kepada laki-laki pemilik senyum ramah itu,
“Nggak dulu Mas, ntar
aja, belum abis juga,” Aku menambahkan sambil menunjuk kearah cangkir
dihadapanku. Mas Dion hanya mengacungkan ibu jarinya di udara, lantas kembali
sibuk dengan pekerjaannya.
Aku kembali menekuri pemandangan
hujan yang sempat kualihkan tadi, berusaha kembali mendapatkan emosi dan aliran
rasa tak beraturan yang sempat ia hadirkan di tengah-tengah pekerjaanku yang
masih saja menuntut untuk dinomorsatukan.
Kali ini, baru saja aku akan mendapatkan
ketenangan yang kuinginkan, justru ponselku lah yang merusaknya. Aku menarik
napas pelan, berusaha mengenyahkan segala pikiran dan rencana buruk untuk
mengabaikan dering itu.
Dan sekali lagi, pekerjaan lah yang
kembali mengambil seluruh waktuku.
“Halo?” Aku menempelkan ponselku di
telinga, setelah beberapa detik aku tidak bisa menebak juga siapa pemilik nomor
asing yang menghubungiku kali ini.
“Dengan Kalila Danintya? Saya Reza
Raditya, boleh minta waktunya sebentar?” Suara berat laki-laki diseberang telepon
itu mengingatkanku pada seseorang. Namun segera kubunuh pikiran itu, berusaha
kembali untuk tidak mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Lagipula,
dari segi nama saja sudah berbeda. Reza dan Kias.
“Ya, boleh. Maaf, Bapak Reza, kita
bertemu langsung atau di kantor saja?” Aku memutuskan untuk segera memberi
laki-laki itu pilihan. Ia menimbang sesaat dan memutuskan untuk bertemu
terlebih dulu, namun sebelum itu ia justru membuka masalahnya terlebih dulu di
telepon.
“Jadi, Anda ingin bercerai dari
istri Anda yang sekarang, tetapi Anda kesulitan untuk mengatakan alasan dibalik
permintaan itu?” Aku kembali menyimpulkan, sedikit mempersingkat konsultasi via
telepon yang sebenarnya kurang suka untuk kulakukan.
“Mungkin memang sebaiknya Anda mengambil
keputusan seperti ini. Maaf, bukan maksud saya untuk menganjurkan perceraian,
tetapi bagi seorang perempuan, hal tersakit dan yang paling tidak pernah mereka
inginkan itu adalah dibohongi. Yah, meskipun terlalu terlambat bagi istri Anda
untuk mengetahui tentang kenyataan bahwa perasaan Anda sama sekali tidak pernah
menjadi miliknya, ia tetap berhak tahu apa yang ada sejujurnya..” Aku kembali
menjelaskan pada laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian ia
mengakhiri obrolan dan memutuskan untuk melanjutkannya satu jam lagi di kedai
ini. Agak aneh memang, calon klien-ku kali ini sama sekali tidak meminta
macam-macam, tidak seperti klien-klien yang kuhadapi sebelumnya. Menuntut
ini-itu, tempat konsultasi yang begini-begitu, dan bahkan sering lupa bahwa
psikolog itu juga punya kantor sendiri.
Aku mendesah agak berlebihan, kasus
yang akan kutangani kali ini agak bertentangan dengan apa yang kurasakan.
Tentang suami yang ingin bercerai dari istrinya karena merasa masih tidak bisa
melupakan masa lalunya yang sampai sekarang masih belum bisa ia lupakan.
Begitulah kadang-kadang yang
kuhadapi sebagai seorang psikolog. Kadang harus tetap bisa memberikan jalan
keluar dari sebuah masalah yang sebenarnya agak bertentangan dengan
perasaannya. Apalagi dalam hal ini, aku sudah bisa menebak bahwa akan ada satu
perasaan perempuan yang akan dikorbankan.
Tiba-tiba saja ingatanku kembali
mengajakku kembali menguliti masa lalu. Hal yang sebenarnya sudah jauh kubuang,
bahkan dari kenangan sekalipun. Ingatan yang selama ini kudiamkan, dan
kubiarkan untuk jauh terinjak oleh segala macam pekerjaan yang menyita habis
waktuku. Walaupun tak terpungkiri, bahwa masih ada celah di dalam diriku yang
tak pernah menolak kedatangannya.
Yaitu salah satu sudut terjauh
hatiku, yang dulu, dan bahkan sampai sekarang masih menjadi milik Kias
seutuhnya.
Masih seolah lekat pula didalam
benakku tentang sosok laki-laki teman SMA-ku itu. Sosok tenang yang selalu
membuatku lebih sering menebak-nebak daripada mengetahui, dan sosok yang pernah
membuatku menaruh harapan tertinggi tentang sebuah rasa. Sosok yang pernah
menunjukkanku betapa cantiknya rintik hujan yang dipandang dari balik kaca jendela
yang berembun. Sosok yang membuatku selalu menghabiskan waktu akhir pekanku di
kedai ini, dengan secangkir espresso hangat yang dulu selalu dipesannya juga.
Sosok terbaik yang mengambil kunci
hatiku, dan tak pernah mengembalikannya sampai sekarang. Karena kabar terakhir
yang kuketahuhi tentangnya setelah delapan tahun ini hanyalah tentang
kepindahannya ke Batam, kota dengan kemungkinan terkecil untuk pertemuan kami.
Hampir satu jam sudah kenangan
tentang Kias menemaniku, hal yang masih sering terjadi tiap kali aku berada
ditempat ini. Dan baru saja ketika harum espresso milikku hampir masuk ke
tenggorokanku, seseorang menepuk pundakku perlahan.
Aku menoleh, dan sedetik kemudian,
ingatan tentang Kias tadi seolah menjadi nyata.
“Kal, apa kabar? Maaf kalau tadi aku
harus bohong sebagai Reza Raditya, karena kalau nggak seperti itu, aku sama
sekali nggak yakin apakah kamu masih mau ketemu aku apa nggak, apalagi setelah delapan
tahun lalu aku pindah ke Batam dan menikah diam-diam disana..”
Laki-laki itu, masih dengan senyum
dan sorot matanya yang tenang, membuatku enggan untuk mengalihkan tatapan dari
matanya. Aku masih belum percaya dengan takdirku kali ini.
“Bagaimanakah Kalila Danintya?
Sebagai seorang psikolog terkenal, bukankah seharusnya Anda sudah bisa menebak
maksud kedatangan saya?” Laki-laki itu tersenyum lebar. Lantas segera duduk
dihadapanku, mengambil cangkir espresso milikku lantas menyesapnya perlahan.
“Rasa espresso-mu masih sama, ” Ia
kembali meletakkan cangkir espresso itu, kali ini dihadapannya.
“Ya, kamu selalu tahu jawabnya Ki..”
Aku tak bisa memutuskan untuk bahagia atau tidak saat ini. Karena sekalipun
salah satu sisi hatiku menyentak marah dan mengatakan bahwa perkataanku barusan
adalah salah, namun sisi lainnya justru bersorak bahagia. Dan sebagai psikolog
yang masih normal, bukankah wajar jika aku memilih sesuatu yang membahagiakan?
Entahlah, tak ada jawab yang pasti
tentang kami berdua saat itu, karena hal terakhir yang kutahu hanyalah kami
yang sama-sama sibuk menikmati pemandangan hujan dibalik kaca jendela yang
mengembun, dengan tangan Kias yang erat menggenggam tanganku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar