Bagaimana
seseorang bisa mencintai seorang lainnya secara konstan?
Pikiran ini menggangguku sejak beberapa hari kemarin.
Mencintai secara konstan? Menumbuhkan rasa yang sama setiap
harinya, tanpa perubahan?
Kedengarannya tidak ada.
Tetapi benarkah demikian? Semudah itukah aku menyimpulkan
sebuah jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya juga kuragukan tentang ada atau
tidaknya?
Aku mulai menarik mundur pikirku. Mencoba menyelami satu
persatu lautan jawaban yang sekiranya bisa kuanggap tepat.
Tetap. Tidak ada yang bisa kusimpulkan dan kubulatkan untuk
jadi jawaban.
Aku sudah
pernah jatuh cinta sebelumnya.
Entah pada
level mana kupatrikan cinta itu sendiri, yang jelas, aku sudah tahu bagaimana
rasanya.
Seolah semuanya menjadi abu-abu di depan matamu.
Benar jadi salah.
Salah, juga masih bisa dibenarkan.
Semua hanya begitu. Dibolak balik tanpa ampun.
Semua kenyataan diubah sedemikian rupa sampai menjadi
khayalan.
Dan tiap-tiap khayalan, perlahan-lahan selalu dimintakan doa
supaya menjadi kenyataan.
Hanya itu.
Selebihnya ; lebih abu-abu lagi.
Tak ada kejelasan dalam cinta.
Kau bisa dengan serta merta jatuh. Atau bahkan kau boleh
memilih untuk sedikit demi sedikit tenggelam dan habis lebur di dalamnya.
Bersama cinta.
Kembali pada pertanyaan tentang cinta konstan yang
kupikirkan.
Dulu, ketika kukatakan aku jatuh cinta untuk yang pertama
kalinya, aku merasa semua serba tak konstan. Berawal dari sebuah kebetulan
bernama takdir, kami bertemu.
Sampai akhirnya usia kami bertambah. Sekaligus dengan bentuk
perasaanku, perasaannya, yang makin hari makin tidak terbaca secara kasat mata.
Aku tetap bangga pada pengakuanku sebelumnya ; bahwa aku
telah jatuh cinta.
Entah bagaimana jadinya, aku hanya merasa bangga memiliki
cinta.
Memiliki rasa.
Sampai akhirnya, aku kembali sadar bahwa aku bukannya tumbuh
semakin kecil.
Aku juga tumbuh dewasa.
Sama dewasanya dengan cinta yang pernah ceritakan di
awal-awal tadi.
Ku jatuhkan satu persatu rasaku.
Mulai dari perasaan senang saat melihat wajahnya.
Bertumbuh menjadi perasaan senang saat tahu namanya.
Lantas, merasa senang, lebih senang ketika bisa memiliki
waktu untuk mengobrol lebih lama dengannya. Sekadar menikmati lucu wajahnya
dari jarak dekat. Sekaligus berdiam, dan larut di dalam senyum dan tawanya.
Rasa itu semakin nyata.
Bergerak dari satu tahap, dan terus bermetamorfosis melalui
tahap-tahap sederhananya.
Dilengkapi rindu.
Cemburu.
Lelah.
Jarak.
Ketidaktahuan.
Dan bahkan, keikhlasan.
Rasa ini memiliki umur. Bisa tumbuh dewasa,
Juga menua dengan sendirinya.
Membuatku kembali menemuinya, sekadar menanyakan sesuatu ;
“tak bosankah kamu menjadi cinta?”
Ia tersenyum.
Cantik sekali.
Lantas menjawab dengan teramat lembut. Membuatku terasa
seperti seorang gadis kecil yang di-ninabobokan ibunya.
“tidak. Karena itulah aku dinamakan cinta.”
Aku tercengang sesaat.
Ia benar.
Ia tak mungkin akan merasa bosan.
Sekalipun tak sampai berbalas sama.
Sekalipun tetap duduk di singgasana ketidakpastian.
Ataupun, berbaring, dan melemah pasrah,
Di dalam pembaringan kepatah-hatian.
Ia tetap menoleh ketika namanya dipanggil, entah diserukan
keras, ataupun dibisikkan selirih mungkin.
Ia tetap.
Namanya tetap.
Ketidakjelasannya tetap.
Ketidak-tertebakkan-nya tetap.
Ia konstan dalam setiap tumbuhnya. Konsisten.
Ia, cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar