Senin, Mei 20, 2013

dimengerti tanpa perlu mengeluarkan suara

seorang penulis pernah mengatakan bahwa menulis itu temannya membaca.
sedangkan seseorang yang lainnya mengatakan bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang rakus.
saya rasa mereka benar.
sangat benar malah.

jujur, sampai sekarang saya masih memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis.
entah menulis buku fiksi ataupun non-fiksi.
kalau dulu sih, terus terang saya ingin sekali menjadi seorang penulis novel,
penulis yang bisa menggiring mimpinya menyeberangi realitas pembacanya, yang juga mampu menjadikan kahayalannya dapat diterima akal sehat sebagai sesuatu yang bernilai 'benar-benar ada'

tetapi entah saya yang malas, ataukah memang saya yang terlalu sombong dengan setiap tulisan-tulisan saya.
saya justru merasa bahwa tulisan yang saya buat sama sekali tidak pernah selesai.
saya seperti merasa setiap kali saya berkeinginan menulis sebuah novel, atau minimal cerita pendek, justru keinginan menulis itu semakin tidak ada.
saya sendiri juga dibuat kebingungan dengan hal ini, karena saya sama sekali tidak tahu kenapa saya bisa mengalami hal ini.

lantas beberapa hari yang lalu saya membuka sebuah blog milik Meira Anastasia, yaitu istri dari seorang komik Stand Up Comedy Indonesia, Ernest Prakasa.
di blog yang sudah lama saya baca itu, kak Meira menulis postingan baru (saya lupa judulnya), dimana disitu ia mengatakan bahwa sudah lama ia ingin menulis sebuah buku, yang bukan fiktif katanya.
tetapi pada satu postingan barunya, ia tiba-tiba menyerah.
ia menyerah untuk membukukan tulisannya,
dan tahukah apa alasannya?
memiliki keinginan menerbitkan sebuah buku justru membunuh keinginannya untuk menulis.

saya tiba-tiba ingat dengan diri saya sendiri. juga dengan alasan yang membuat saya menghentikan kegiatan tulis menulis saya.
saya kembali teringat dengan tujuan apa yang membuat jari-jari saya menulis.
"dipahami tanpa perlu menjelaskan, dan dimengerti tanpa perlu berbicara"

hal itu tujuan semula saya, yang kemudian saya belokkan dengan kesombongan saya menuliskan mimpi dan khayalan.
tujuan yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar ingin berpendapat, tanpa perlu menyuarakan suara secara langsung.
tujuan yang entah bagaimana bisa berubah menjadi seperti ini.
buntu dan kedap udara.

lantas saya kembali diingatkan lagi melalui tulisan Darwis Tere Liye. beliau ini adalah penulis novel Hafalan Salat Delisa yang saya baca sekitar satu tahun yang lalu. novel sederhana yang membuat saya banyak berfikir, dan sedikit melakukan perenungan di dalam hal agama.
namun bukan ini yang akan saya bahas disini.
melainkan tentang tulisan Tere Liye yang menanyakan pada setiap orang yang memiliki keinginan untuk menulis.

"Apakah tujuanmu menulis? Kalau kalian berharap mendapat popularitas dan banyak uang karena hal itu, lebih baik urungkan niatmu untuk melakukannya"
kurang lebih begitulah yang saya simpulkan dari tulisan beliau.
seketika saya kembali berfikir.
untuk apa saya menulis?
sekadar ingin dikomentari 'bagus'?
ataukah justru ingin populer sebagai seorang yang hasil tulisannya keren?
saya belum tahu itu.

yang saya tahu sekarang hanyalah, bahwa mungkin selama ini dasar menulis saya hanyalah ambisi.
yakni sesuatu yang saya pandang dari segi keinginan, bukan manfaat ataupun kegunaannya.
saya minta maaf kalau kedengarannya tulisan saya kali ini sedikit menggurui, karena sebenarnya yang terjadi adalah saya yang sedang memarahi diri saya sendiri.
diri yang saya penuhi ambisi, dan tanpa sadar mulai melupakan pengendalian emosi.

saya juga tidak bisa berjanji apakah setelah ini saya bisa membuat sebuah tulisan yang lebih baik atau tidak.
karena satu-satunya hal yang ingin saya lakukan setelah menulis ini hanyalah,
untuk mengembalikan tujuan menulis saya sejak awal tadi.
sekadar dipahami tanpa menjelaskan,
dan dimengerti tanpa perlu berkata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar